Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Jumat, 29 September 2023

#2. Arketipe-Menikah-Pilihan Perempuan Dalam Rumah Tangga



Aku tidak diberikan pilihan atau hak memilih untuk lahir di keluarga macam apa. Tapi kelak, aku bisa memilih akan menikah atau tidak, memiliki anak atau tidak, aturan dan kesepakatan macam apa yang ingin kubuat dengan pasangan jikapun aku memutuskan menikah.

Aku tidak ingin menjadi istri seperti ibu, atau bahkan menjadi ibu seperti ibu. Ibu adalah wanita yang kehilangan hak-hak dan keberaniannya sebagai individu. Ibu banyak mengorbankan dirinya sendiri ketika menikah hanya demi mempertahankan keutuhan rumah tangganya yang sudah cukup banyak kerusakan. Ibu menjadikan anak sebagai alasan kebertahanannya mempertahankan rumah tangga. Ibu adalah wanita yang kehilangan dirinya sendiri setelah dia menikah. Seperti perempuan kebanyakan lainnya.

MENGAPA WANITA KEHILANGAN KEBERANIANNYA UNTUK TEGAS MENGAMBIL KEPUTUSAN BERPISAH ATAU MELAWAN SAAT PERNIKAHANNYA SUDAH TIDAK LAGI SEHAT? MENGAPA WANITA KEHILANGAN KEBERANIANNYA UNTUK MENYUARAKAN DAN MENEGASKAN HAK-HAKNYA SEBAGAI INDIVIDU SETELAH MENIKAH?

Malam ini, masih seperti malam-malam kemarin, amarahku belum juga mereda.

Kau tahu, Bu? Setiap kali kalian bertengkar, bapak mengoceh ocehan parau yang seringkali menaikkan emosiku, sementara kau hanya diam, pertanyaan di kepalaku semakin menjadi-jadi, mengapa kau memutuskan menikahi lelaki macam bapak? Yang kesulitan mengendalikan emosinya. Yang tidak mampu membimbing, mengayomi dan berwibawa layaknya seorang suami dan bapak yang dewasa? Di mataku, dia gagal, sebagai suami untuk ibu. Pun, sebagai bapak untuk anak-anaknya.

Kutanya pada kalian, apakah itu yang disebut menua bersama dengan indah? Ketimbang mengatakannya indah, kuberitahu kalian. Ya, kalian menua bersama dalam ketidak-dewasaan mental, ketidak-matangan emosional dan kesulitan komunikasi dua arah yang konstruktif. Disadari atau tidak, tauladan itu yang telah kalian turunkan pada anak-anak. Ah, mungkin lebih tepatnya tidak disadari, karena bapak adalah manusia dengan kesadaran rendah. Sumbu pendek. Sementara kau, ibu, alih-alih memilih diam untuk menghindari situasi-kondisi panas, kau hanya menunda bom waktumu sendiri.

Dari rumah tangga kalian, terbentuklah seorang aku, perempuan pemberontak yang berkemarahan besar terhadap penindasan perempuan dalam rumah tangga. Aku, yang dipenuhi dengan kegeraman terhadap perempuan yang membaktikan diri sepenuhnya kepada suami dan anak-anaknya. Bakti mereka, bagiku lebih terkesan sebagai penggadaian diri secara total. 

Aku, yang dipenuhi dengan rasa sinis terhadap lelaki dan perempuan dalam rumah tangga yang tak becus menjalankan perannya sebagai suami-istri sekaligus ibu-ayah, berpemikiran, betapa dungu ketika orang-orang memutuskan untuk menikah dan memiliki anak dengan segala harap impiannya yang terpampang manis. Mereka kaum utopis dengan kesiapan mental yang tak pernah siap oleh kehadiran distopia yang diciptakan lingkaran terdekat mereka ketika realita yang terjadi amat sangat bersebrangan dengan bangunan megah dalam kerangka utopia mereka.

Aku, sudah berada di titik yang kenyang melihat dan mendengar berbagai problematika rumah tangga kalian ataupun orang-orang di sekitarku. Rasa-rasanya, sampai sudah tidak peduli lagi dengan pertengkaran-pertengkaran kecil ataupun besar yang kalian pertontonkan. Bahkan, ada tidaknya kalian, mulai pudar dalam pijakan dan perputaran roda hidupku.

Aku, hanya melihat diriku sendiri. Bahkan, ketika aku memutuskan menikah pun, pilihan utama yang aku lihat dalam rumah tangga adalah diriku sendiri. Selalu dan selalu. Bukan suami, anak, ataupun mertua. Sebab, keluargaku sendiri pun bukan lagi prioritas utama.

Sudah cukup bagiku menyediakan ruang lebih banyak untuk orang lain ketimbang untuk diriku sendiri. Aku tidak ingin berbagi ruang pribadi dengan orang-orang.

Jika orang lain depresi karena ingin diakui, dianggap ada dan disayangi oleh orang-orang di sekeliling mereka, aku lebih ingin hidup untuk kebahagiaan dan kewarasan diriku sendiri. Ya, hidup dengan tetap memiliki keberanian menjalani hidup dengan caraku sendiri.

Aku memilih tidak mencontoh dirimu, Bu. Dirimu bukan tauladanku. Ya dirimu: seorang istri yang selalu mengalah dan melayani suami tapi lupa merawat dirimu sendiri, seorang ibu yang memperlakukan sulung dengan penuh kemandirian dan bertanggung jawab terhadap adik-adiknya tetapi tidak cukup tegas untuk adik-adik si sulung, seorang menantu yang sanggup merawat orang tua dari keluarga suami dengan penuh dedikasi dan berbuat kebaikan pada adik-adik suamimu yang berkali-kali menyakitimu. Padahal kebaikan apapun yang kau lakukan pada mereka tak membuat luka batinmu benar-benar sembuh.

Aku juga tidak ingin mendapatkan lelaki seperti bapak. Bapak bukanlah tauladanku. Dia adalah seorang pecundang yang: tidak bisa mengurus dirinya sendiri dan mudah melimpahkan kesalahannya pada orang lain, tidak berani menghadapi masalahnya sendiri, tidak bisa melindungi-mengayomi-mendidik istri dan anak-anaknya layaknya seorang suami-bapak, serta ucapan-ucapan yang keluar dari mulutnya tidak memberikan kesejukan apapun.

Ketika aku benar-benar berlepas diri dari kendali amarahku, lalu kukatakan bahwa bapak gagal sebagai suami sekaligus bapak, tentu ibu akan tetap membela bukan? Ya, membela karena dia suamimu, bapak dari anak-anakmu.

Jadi, cerminan yang kudapat adalah, perempuan dalam rumah tangga kebanyakan memilih hidup menjadi pelindung banyak orang. Tidak hanya ibu, mungkin kebanyakan perempuan memilih itu.

Aku? Tidak seperti itu. 

Pernikahan, tidak menjadikan aku sosok yang mengutamakan suami atau anak. Realistis untuk masing-masing pihak berani mengakui dan bertanggungjawab atas kesalahan serta kekurangan masing-masing. Berani untuk meminta maaf lalu katakan apa yang harus diperbaiki di depan anak-anak atau pasangan. Bukan hanya diam, atau mendominasi salah satu pihak kemudian menjadi permasalahan yang mengambang tanpa penyelesaian dan terjadi berulang-ulang.

Aku, sudah muak, dengan pilihan perempuan dalam rumah tangga yang mengorbankan dirinya untuk banyak hal. Begitu minim apresiasi dari sekelilingnya sehingga depresilah mereka dalam kepungan kekecewaan dan belenggu luka batin yang menjadi racun bagi jiwa mereka sendiri. Janganlah selalu menjadi pahlawan dalam rumah tanggamu, Wahai Para Wanita. Tetaplah waras sebagai individu. Tidak melulu suami-anak-mertua menjadi tanggung jawab hidup kalian. Mereka bukan bayi yang lahir kemarin sore. Sebagai manusia yang (masih) hidup, semestinya mereka bertumbuh dan bisa semakin bijaksana akan kehidupan dirinya sendiri.

AKU TIDAK SEPERTI ITU. 

Aku tetap memilih diriku sendiri. Aku tetap memiliki keberanian untuk menyuarakan dan menegaskan apapun yang menjadi hak-hakku sebagai individu. Prioritas hidupku adalah diriku sendiri. Dalam babak kehidupan apapun.

-Vinny Erika Putri, 29.09.23

Selasa, 18 Juli 2023

Hai, Tengoklah Kedalam, Aku Di Sini!



Hai, apa kabarmu?
Adakah penuh isi kepala yang ingin kautuang?
Tengoklah kedalam, aku di sini.

Hai, penatkah dirimu?
Adakah selaksa rasa yang ingin kau bagi?
Tengoklah kedalam, aku di sini.

Hai, lelahkah jiwamu?
Hingga lisanmu tak sanggup berkata-kata
Tengoklah kedalam, aku di sini.

Hai, dengarlah... semua baik-baik saja.
Tengoklah kedalam, aku di sini.
Menunggumu kembali memeluk hatimu sendiri.
Dalam diam sunyi yang menenangkan.

Hai, lihatlah... kau tak pernah sendirian.
Tengoklah kedalam, aku di sini.
Bersama-Nya, untuk membersamaimu.
Selalu, di tiap nafas dan degup jantungmu.
Dalam lembar episode demi episode kehidupan.

Hai, ingatlah... bahwa,
cinta kasih,
luka-luka,
suka cita,
duka lara,
bukanlah dirimu yang sesungguhnya.
Kau, tidak terikat oleh realitas kesementaraan semacam itu.

Tengoklah kedalam, aku di sini.
Ya.
Tengoklah kedalam, aku di sini.

Aku di sini.
Hakikat keberadaan dirimu yang autentik.
Pun, jalan setapak menuju jalan sejati untuk pulang.

Kala belantara ujian kehidupan memaksa jedamu datang.
Tengoklah kedalam, aku di sini.

- V.E.P, 18.07.23, untuk diriku dari diriku

Minggu, 12 Maret 2023

Cinta, Apakah Kau Mempercayaiku?


Malam ini, isi kepalaku bersahutan, mempertanyakan perkara usang yang tak pernah lapuk dimakan zaman, meski segala jenis tipe generasi manusia telah bermunculan dalam pergilirannya.

Apakah kau percaya cinta?
Pertanyaan ini membawaku ke banyak lintasan pertanyaan lainnya yang muncul hingga kubaca kembali apa yang pernah kutulis di sini: https://serahimaksara.blogspot.com/2021/09/apakah-kau-pernah-merasakan-jatuh-cinta.html 
Lalu, apa kau masih seperti dirimu saat menuliskan itu? 
Sepertinya begitu. Kau tahu? Hal apa yang paling dibenci orang-orang yang pernah dihancurkan kepercayaannya oleh cinta yang dahulunya terasa agung dan begitu tulus mereka berikan? 
Hal semacam apa?
Pengulangan pola serupa yang dirasakan pesakitan cinta dari luka-luka yang didapatinya. 
Jenis luka-luka seperti apa?
Luka pengkhianatan, pengabaian hingga kemelekatan. 
Bagaimana luka ini berdampak pada mereka?
Peninggalan luka-luka semacam ini, akan menjadi bahan bakar pemikiran dan perasaan para pesakitan cinta untuk menguji dirinya, orang-orang yang mengaku mencintainya bahkan keberadaan cinta itu sendiri secara realitis. Apakah cinta cukup bisa bekerja menyembuhkan mereka, atau, memperdalam duka trauma yang kian membuat mereka mengalami krisis kepercayaan akan cinta dan mengambil pilihan hidup berkebalikan.
Luka pengkhianatan, membuat mereka sulit membuka diri apalagi membiarkan orang-orang masuk begitu saja kedalam hatinya. Batasan yang dibuatnya seperti pertahanan tembok baja tinggi-tebal-berlapis, tidak mudah diluruhkan apalagi dijangkau orang-orang, kecuali, mereka pernah mengalami luka yang sama sehingga pemahaman mereka tentang rasa sakit semacam ini bisa berada di horizon yang sama.
Luka pengabaian, membuat mereka mencari perhatian dalam bentuk apapun kepada orang-orang di sekeliling mereka agar mendapatkan cinta untuk mengisi kekosongan ruang hati mereka. Atau justru malah kebalikannya, mereka mengambil pilihan over-independent yang berarti tidak bergantung dan tidak membutuhkan seseorang untuk selalu berada di samping mereka dalam situasi-kondisi sulit.
Luka kemelekatan, membuat mereka melepaskan diri kelekatan atau kedekatan apapun dengan cara tidak menaruh rasa sayang dan kepedulian melebihi apa yang mereka takar dari batasan yang mereka punya terhadap orang lain diluar dirinya. Sehingga, ketika mereka merasakan kemelekatan menyayatnya dengan rasa cemas akan pengabaian atau kebergantungan, pertahanan diri mereka berbunyi dan meminta mereka keluar dari lingkaran tersebut dengan cara membuang jauh-jauh rasa peduli yang tadinya mereka miliki.
Lalu, pola lukamu ada di bagian mana?
Mungkin ketiganya. Kejadian kecil apapun yang membawa ingatanku pada pola serupa di masa lalu, bisa menjadi sebuah trigger atau pemicu, dan pada akhirnya membuatku kembali mempertanyakan cinta dari lelaki manapun atau orang-orang yang mengaku menyayangi dan mencintaiku. Sebab itulah, aku yang sekarang adalah seseorang yang membuat batasan ketat untuk tidak membagikan segala hal yang sifatnya personal kepada orang-orang, mengambil pilihan yang mengarah pada over independent dan enggan melekatkan diri pada siapapun yang bisa menimbulkan ketergantungan bagiku. Begini, lebih mendamaikan bukan? Dan, inilah caraku mempertahankan hidup yang merdeka dari rasa sakit sampai dengan saat ini.
Apakah perasaanmu masih sakit mengingat luka-lukamu? 

Entahlah. Hanya dominasi rasa marah yang sanggup mendaras lumbung air dalam hatiku saat mengingatnya. Bedanya, aku tidak lagi merasakan keterpurukan seperti dahulu. Aku, bisa menjalani hidupku secara normal sebagaimana standar keumuman yang dilakukan orang-orang selama menjalani kehidupan mereka. Atau mungkin, aku tidak tahu lagi bagaimana caranya bersedih hingga kemarahan-kemarahankulah yang kupersembahkan pada air mata untuk menggantikan manifestasi dari kedukaan.

Kalau begitu, apakah benar-benar tidak ada yang bisa kau percayai dari cinta?
Kukembalikan pertanyaan itu kepada semesta, apa dan bagaimana seorang pesakitan ini bisa mempercayai cinta? Hai, Semesta, apakah kau bisa memberikanku jawaban? Jawaban yang memeluk semua rasa sakitku? Jawaban yang meluruhkan seluruh raguku bahwa cinta sebenar-benarnya cinta memang ada? Jawaban yang mampu membunuh ilusi dan fatamorgana yang dialami para utopis cinta? Jawaban yang menjadi bukti nyata adanya dan kurasakan secara real. Aku sudah bosan. Sangat bosan. Dan aku, semakin sulit tergugah dengan romantisme apapun yang ditunjukkan oleh para pemuja cinta.

Tahukah kau, suatu pertanyaan yang ingin kuajukan? Pertanyaan ini, sedikit mirip dengan pertanyaan awal yang muncul di kepala dan menjadi percakapan singkat kita tentang cinta.

Pertanyaan soal mengapa kau harus percaya pada cinta?

Bukan. Tapi pertanyaan berkebalikan. Dengarkan baik-baik, Cinta, apakah kau mempercayaiku? 
Dan Semesta, jawablah dengan bukti yang bisa kurasakan bahwa cinta mempercayaiku, pun sebaliknya, agar aku tak lagi menguji cinta dari luka-luka yang pernah kudapati dan menjadikan cinta sebuah material yang terus menerus kupertanyakan dimana letak keindahannya.


-V.E.P, 12.03.23

Sabtu, 11 Maret 2023

Temukan Sendiri Formulanya


Ada suatu percakapan sore yang membuatku tergelitik untuk menuliskan sudut pandangku mengenai gaya parenting dan salah satu hal yang mungkin juga menjadi pikiran banyak wanita sebagai ibu dari satu anak atau lebih. Percakapan bermula dari dirinya yang berkisah tentang pola asuh yang diterapkan ke anak-anaknya.
Vin, menurut lu, pola asuh yang gue terapkan ke anak gue, udah bener belum? Kata orang begini begitu. Kata ilmu parenting begini begitu. 
Jawabannya mau panjang apa pendek nih?  
Apa kata lu aja deh, gue banyak dapet masukan dari kanan-kiri-depan-belakang yang bilang ini bener itu salah. 
Jawaban simpelnya dulu nih ya, "Tutup telinga lu dari apa kata orang. Kagak usah kebanyakan tengok kanan-kiri-depan-belakang." 
Udah, kayak gitu doang? 
Ya kayak gitu doang kalo lu kagak mau stres. Lagian kalo gue kasih penjabaran panjang, lu siap dengerin? 

Dia mengiyakan, lanjutlah aku ceramah tipis-tipis. 

Oke. Yang jelas gue kagak bakal mempatenkan mana gaya parenting yang bener mana yang salah. Pertama, karena gue belum punya anak yang lahir dari rahim gue sendiri. Kedua, gue bukan orang yang ahli apalagi mumpuni soal ilmu-ilmu terkait parenting secara akademik ataupun pengalaman. Disclaimer-nya, ini hanya pandangan gue, yang juga punya banyak bias, belok bahkan mungkin pengaburan.

Aku mengambil jeda napas untuk diriku sendiri dan melihat banyak sudut pandang yang sebisa mungkin menjadi opsi untuk jawaban. 

Pertama, Tuhan menciptakan anak lu yang udah jelas berbeda dari anak lainnya. Bukan cuma anak lu aja malah. Setiap manusia diciptakan dengan pembawaannya masing-masing. Jangankan anak orang lain dengan anak lu, kembar dalam satu keluarga aja kagak mungkin plek ketiplek sama. Mereka individu yang punya warna dan keunikannya sendiri. Jadi, ya, jangan bandingin anak lu sama anak tetangga. Termasuk dalam hal pola asuh. 
Kedua, setiap rumah tangga, punya racikan formulanya sendiri, yang lagi-lagi bakal beda dengan rumah tangga lainnya. Termasuk menentukan pola asuh. Lu dengan pasangan, yang dibentuk dari latar belakang keluarga berbeda aja, masih harus menyesuaikan diri dan bersepakat tentang gaya parenting (pengasuhan) kalian sebagai orang tua. Terus, ngapain repot-repot ngebiarin orang lain ikut ngerecokin? 
Ketiga, tidak ada ilmu parenting yang murni benar. Karena kalau sudah sampai pada claim kata "benar", nantinya jadi pembenaran yang diperdebatkan. Lalu, terjadi stagnasi atau kemandekan pada bidang ilmu tersebut. Atau, terparahnya, matilah ilmu tersebut dalam kata "benar" yang salah kaprah. Dalam ilmu parenting, yang ada hanya kata cocok-tepat atau tidak untuk nantinya ditiru-modifikasi-kembangkan. Penerapannya pun trial and error kasus per kasus dimana setiap kasusnya, balik lagi, menyesuaikan dengan versi rumah tangga masing-masing. Pola asuh bisa aja mirip, tapi gaya parenting jelas bakal berbeda. Tergantung situasi-kondisi personal rumah tangga yang ngejalanin.

Sunyi beberapa jenak. Tampaknya, sesuatu mulai masuk di pikirannya, sebelum akhirnya, sebuah pertanyaan bergulir dari bibirnya,

Terus, gue harus gimana?  

Ya tetep belajar dari banyak guru, mentor atau media manapun. Tapi jangan sampai mabok copy paste dimana semuanya lu terapin mentah-mentah ke anak. Karena anak lu bukan skripsi yang bisa di-copy paste dengan kutipan jurnal ilmiah untuk penguatan landasan teori. Saring dengan intuisi, feeling, intelektual yang lu punya sebagai orang tua, terus diramulah tuh jadi satu. Percaya dengan orang lain pun, lihat-lihat dulu, kapasitas orang itu ada di tingkat mana.

Lu berarti kagak pernah ngadepin kesulitan, ya, selama nanganin murid-murid?

Meledaklah tawaku dalam hati, lalu berujar, 

Gue yang udah pengalaman jadi guru 10 tahun aja, soal mempelajari anak-anak, kagak abis-abis bab kisah perjalanan jatuh bangunnya. Saking apanya coba? Saking kompleks dan luaaaarrrr biasanya mereka itu. Mau tahu kagak, apa jurus terakhir gue nih, atas pertanyaan lu, yang kadang gue juga pertanyakan ke diri sendiri saat pening ngadepin murid-murid. 

Apa tuh?  

Terakhir nih ya, balik lagi semuanya tuh ke Allah. Lu atau gue mau punya ilmu sekaliber ahli parenting, psikolog anak, tokoh publik, pemuka agama, dengan gaya parenting terbaik sekalipun, kagak ada apa-apanya. Kita dan mereka juga manusia yang punya stressor-nya sendiri ngadepin anak-anak atau problematika hidup lainnya. Apa yang mereka bicarakan soal gaya parenting adalah gaya parenting dari pengalaman mereka menangani masalah. Yang mereka bagikan kepada kita adalah pertukaran informasi dan pengalaman. Sementara, Allah itu, satu-satunya Dzat yang memegang jiwa, hati dan akal pikiran anak-anak lu. Dia, yang Maha Mengetahui anak-anak, lu. Jadi, balik lagi, kan, ujung sandarannya ke Pemilik Segala Ilmu Yang Tak Terbatas dari tetesan ilmu yang diketahui, dikuasai, diaplikasikan manusia di dunia.

Lagi-lagi, dia memberikan jeda balasan yang agak lama. Kalau sudah begini, sepertinya, lebih baik langsung ke kesimpulan akhir agar pikirannya tidak bertambah rumit.

Gini, intinya, dari penjabaran panjang gue, temukan sendiri formulanya. Caranya, terus belajar meng-upgrade diri dan berdamai dengan proses yang seringkali tidak menyamankan hati. Lu kagak salah, mereka juga kagak salah. Kalian hanya punya sudut pandang berbeda soal anak-anak kalian yang diciptakan berbeda pula oleh Allah. Fokus pada apa yang bisa dikembangkan dari masing-masing formula. Karena, kalau semua formula dibuat sama, dunia ini terlalu membosankan.

Lebih jauh lagi, aku bisa mengambil kesimpulan lain yang terbaca setelah dirinya berterima kasih dan mengatakan kelegaan perasaannya. Bahwa, dia hanya butuh penenangan, penguatan dan perspektif yang tidak menyudutkan.


- V.E.P, 11.03.23