Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Rabu, 25 Desember 2013

Purnama yang Disulih Sabit


Purnama

Entah berapa malam yang berkesudah, sang gadis memagut lengkung sabit dalam jejaring pandangnya di malam kesunyian yang diakrabinya. Telah lama ia mengemas gelinang air mata menjadi cinta. Dan membiarkan sepi kehilangan pedihnya. Pun hatinya yang gerhana mampu memahami luka hingga perih yang umpama bilah pisau itu tak lagi dirasainya tajam.

Lalu, purnama kembali datang.
Bersama lelaki angin, menelisik geriak rasa di kedalaman hatinya.
Perlahan-lahan kesunyiannya terusik.

*

Lelaki Angin

Lelaki angin itu pencuri hatinya. Menguarkan rasa yang pernah gadis itu pusarakan sebelum kedatangannya. Dipusarakan oleh sebab luka yang pernah didapati dari lelaki pendahulunya. Setelahnya, keberadaan lelaki itu umpama purnama yang menenggelamkan sabit.

Seiring detak waktu yang bergulir, sang gadis kian hanyut meresapi keberadaannya. Lalu, ia mendapati kidung puisinya kembali mendendang rekah cinta yang telah lama melayu. Kidung yang mengajarinya detak jantung baru. Dari lelaki kedua yang datang laksana lesir angin malam.

Datang tiba-tiba. Menyelinap diam-diam. Merasuk pelan-pelan. Dan tanpa ia sadari, bersarang dalam-dalam di hatinya merupa sebentuk rasa yang dikenalinya cinta. Lebih dari cinta yang pernah ia kecap sebelumnya.

Lantas, yang dinamainya jalinan pun ia kantih bersama sang lelaki. Dengan raga yang nyaris tak kehilangan temunya di tiap masa yang mereka pintal. Hingga suatu ketika, jarak dan waktu membatasi mereka dalam rekat raga. Demi sebuah penghidupan yang layak di masa depan, sang lelaki menerbangkan asa di kota orang.

*

Kidung Kerinduan

Semenjak jarak dan waktu merentangi raga sang lelaki dari jerat jejala retinanya, ia tak pernah memejam rindu. Layaknya udara yang menghidupi peparunya. Sekalipun ia hembus, pada akhirnya, ia hirup kembali. Selalu berulang, tak berkeakhiran.

Barangkali, rindu membuatnya mengerti mengapa waktu dan jarak tercipta. Sebab dahulu, di kisah kasih sebelum ini, jarak dan waktu terus berpihak padanya.

Semalam-malam, ia tak pernah berhenti merangkai berlarik-larik syair berpuja cinta yang ia seduh bersama suara sang lelaki di kejauhan sana. Suara yang mampu membasuh rindunya. Suara yang merupa genggam tangan sang lelaki. Merupa lengan yang merengkuhi tubuh sang gadis.

Seringkali matanya basah kala suara lelaki menggeletar buluh-buluh perindu di hatinya. Matanya basah, sebab berharap-harap dekap raga menjelma. Sementara, waktu yang dihidupi sang lelaki terlampau pepat dengan kesibukan hingga kerap kali membuat secercah asa temu yang diingininya menjadi penantian. Entah seberapa banyak penantian itu telah ia telimpuhi dengan selaksa rindu mendendam.

Selaksa rindu mendedam yang hanya bisa ia tumpah dalam bebait kidung kerinduan ketika semasa penantian.

*

Purnama Membelah

Sang gadis dan sang lelaki hidup mengekor detak waktu. Jalinan yang mereka sulam menjelang berbilang dua tahun. Cinta sang gadis berbanding lurus selaju dengan perjalanan waktu; kian meriap mengakar. Dan kesetiaan pada cinta telah meliliti hatinya dalam kelindan penantian.

Sayang seribu sayang, ternyata, cinta sang lelaki hanya selarap jarak. Nun jauh di sana, diam-diam ia bermain api. Entah sejak kapan. Hingga akhirnya, ia habis terbakar oleh api yang diciptakannya sendiri. Lalu, keberadaan sang gadis menjadi tiada di lekap pikirannya.

Telah lama sang gadis menyadari. Sejak suara sang lelaki mulai jarang menghalwa di telinga. Perlahan-lahan, geliat perubahan menampak. Yang diyakininya insting menggetap, sekalipun raga sang lelaki tak mengada dalam tangkapan matanya. Sebab, di masa sebelumnya, sang gadis pernah mengalami cecap luka. Hingga tak muskil baginya mengenali sirat makna dari gelagat perubahan sang lelaki.

Bangkai yang disembunyikan sang lelaki telah ia endus kuat-kuat aromanya. Ia kuak bangkai itu, namun sang lelaki berkilah. Hanya wanita yang adalah biang onak, hadir dalam rupa suara. Secara terang merenggut apa yang telah menjadi bagian dari diri sang gadis. Sedangkan sang lelaki hanya membisu, berlindung di balik ketiak sang onak.

Lagi, jalinan retas. Musabab perkara yang sama; setia hilang, hati diduai. Rupa lelakinya yang membedakan. Kali ini lelaki angin. Yang datangnya bagai angin. Pun perginya.

Kemudian, didapatinya purnama membelah menjadi dua bagian. Dan separonya melenyap. Masih inginkah ia menatapi purnama sementara hatinya telah pintang separo dikerat luka akibat lelaku sang lelaki? Padahal baginya, purnama adalah dua yang satu. Dua belahan hati yang menyatu.

*

Kidung Duka

Cinta sang gadis meremuk. Repih berkecai-kecai. Dan serpihan-serpihan itu kembali melukai hatinya. Serupa mengulang kembali memorabilia luka yang pernah dikecapnya di masa silam sebelum ini. Ia kehilangan lengkung senyumnya

Setiap malam, kepingan-kepingan bayang wajah sang lelaki memancar di mana-mana. Di dinding-dinding kamar yang dingin, di pintu kamar, di lemari pakaian, di langit-langit atap, di cermin rias, di hamparan langit malam, kecuali kala langit purnama. Ia memunggungi purnama sejak purnama berwujud separo.

Sang gadis acapkali memporak-porandakan waktu. Ia tak pernah berjalan maju. Sebab udara yang ia hela bersama eja lukanya adalah masa lalu dimana kilatan-kilatan tilas kenangan bersama sang lelaki itu menggertir. Nyalang menelanjangi perih hatinya hingga lekuk wajahnya habis dipelajari airmata. 

Bilur luka yang dahulunya telah mengatup, koyak kembali. Melimbungkan dirinya hingga ke titik nadir. Luka itu seumpama lesit sebutir peluru dari senapan yang bersarang di dadanya terlalu dalam. Darahnya ruah bercucuran. Butuh siasat dan keberanian untuk menukil peluru itu dengan jemarinya sendiri. Dan saat itulah masa-masa sulit kembali membebatnya.

Entah seberapa lama pedih bercampur serangsang amarah ia timpakan pada luka yang melintari kalbunya. Hatinya tak lagi larat memahami keberadaan luka. Akibatnya, luka itu kembali dirasainya laksana pisau tajam yang mengiris nadi hidupnya. Pun solilokuinya tak lagi melengkingkan asmaraloka dua insan. Hanya mengisah getir luka.

Dengan hati yang tergenggam luka lebam 
Dan kurasai perihnya tak pernah memejam
Aku berjalan mengkhianati waktu
Menghela detaknya yang telah lampau terketuk palu

Kidung duka ....
Mengapa tak mampu lagi kunikmati gurat luka?
Ketika memorabilia tilas kenangan mengiris nadi
Dan menyesap waktu mundur dari waktu yang kupijaki

Mengapa kini kubenci yang dinamai airmata?
Ajari aku kembali pada suatu masa sebelum ini
Kala selaksa luka kulumati bukan sebagai pedih derita
Kala sepi telah kehilangan pedihnya yang tiada berperi


Kidung duka ....
Biarkan kumencintai airmata saja
Bersama pesta-pora malam-malam kesunyian
Hingga luka bisa kembali kukaribi bersama tawa

*

Purnama yang Disulih Sabit

Entah telah berapa malam rebah purnama di langit, sang gadis punggungi. Rupa purnama yang bertemaram bulat sempurna, benar-benar telah meniada dipikirannya. Sebab baginya wujud purnama masih sama; menjadi separo.

Perlahan, fase purnama disulih sabit. Sabit yang fasenya serupa gerhana purnama yang nyaris melesapkan seluruh temaramnya. Menyisa selengkung cahaya. Lengkung yang bagi sang gadis merupa senyum langit malam kepadanya.

Berkawan lengkung sabit, ia kembali meleburi diri bersama malam-malam kesunyian. Seperti kala ia merahim pada airmata dan mengemasnya menjadi cinta. Pun membuat sepi telah kehilangan pedihnya. Hingga luka mampu ia akrabi dengan sungging senyum.

*

Cerpen ini menjadi salah satu nominator kumcer "Solilokui Kenangan", terbitan HAEM Publishing.

Yang Kukatakan pada Dingin Malam ini


Pada dingin malam ini, kukatakan... jangan beranjak. Temaniku bersama detik yang tak pernah membatu.

Pada dingin malam ini, kukatakan... rayulah gerimis agar kembali bertandang mendekap bumi seperti sore tadi. Biarkan aroma tanah basah menimangku dalam jernih pikiran. Mengusir jenuh yang mendera-dera.

Pada dingin malam ini, kukatakan... bekukanlah kesunyian dalam aliran bulir-bulir waktu. Biarkan kubercakap-cakap dengan suara-suara diri dalam tenang yang panjang.

Pada dingin malam ini, kukatakan... ikutlah bersamaku, menjerit dalam kidung sesak penat. Berteriak pecahkan katarsis lewat serakan kata-kata.

Pada dingin malam ini, kukatakan... menyatulah bersamaku, masukilah aliran napasku melalui butir-butir udara yang kusesap dalam-dalam. Biarkan sesak dan penat ini merepih dan menjelma debu lantas lesap menguap.

Pada dingin malam ini, kukatakan... esok, ketika pekat langit menenggelamkan senja, tetaplah seperti ini. Sebab adamu yang mengkaribi malam, membuat sunyiku kian berkilau. Pula rasa yang kusembunyikan terlihat begitu jelas.

-Vinny Erika Putri, 26.12.13

Sabtu, 16 November 2013

Maaf Atas Nama Khilaf




Dua hari sebelum usiaku bertambah dan jatah hidupku berkurang, atas nama khilaf, seseorang muncul dengan sebuah kata 'maaf'. Muncul setelah sekian lama tak mengusikku. Setelah sekian lama aku tak lagi menangis dan telah tegak berdiri.

Akan kukatakan sesuatu. Dulu bagimu kata maaf itu begitu agung. Seringkali kau memarahiku bila kata maaf berulang terucap dari mulutku. Katamu, aku mudah sekali meminta maaf dan melakukan kesalahan. Tapi, aku kini tertawa. Kau gunakan maaf untuk alasan klise. KHILAF. Untuk seorang lelaki, kuacungkan jempol atas ketidaksanggupanmu memahami perbedaan antara khilaf dan pilihan.

Itu bukan khilaf. Itu pilihan. Kau memilih melakukannya. Melukai dengan sadar. Tanyalah pada ibumu, yang seorang perempuan, atas apa yang kau lakukan, bisakah kumaafkan dengan mudah?

Tapi, biarkan saja, meski kau tiba-tiba muncul pun, aku sudah tak sudi untuk kembali memerah air mata. Karena segala kenangan sudah tak memiliki makna, arti atau perasaan apapun. Kenangan beserta rasanya, telah lama mati dan terlupakan.

Sabtu, 26 Oktober 2013

Kesunyian Kirana



Kirana telah lupa. Bagaimana cinta dan lelaki itu terupa. Sepanjang ia mengenal cinta dan lelaki, hanya getir yang dicecapnya. Hati Kirana memati suri. Pada cinta dan lelaki.
*

Kirana menghentikan kakinya di depan pagar besi. Polesan warna di sekujur pagar mulai pudar dan mengarat. Lama-lama matanya memandang rumah di sebalik pagar. Kepenatan pada kota memulangkan Kirana ke rumah. Rumah yang menjentikkan rindu di hatinya.

Perlahan-lahan, Kirana mulai mengeja kenangan. Isi kepalanya memantulkan Kirana kecil tengah berlarian. Matanya lengah. Aral batu menjatuhkan kakinya. Lutut Kirana kecil mengucurkan darah. Dari bibirnya pecah tangisan. Baru reda setelah sang ibu mendudukkan Kirana kecil di sebuah bangku. Tangan lembut sang ibu mengobati luka Kirana. Dekapan dan senyumnya meredakan lecut kesakitan.

Denting kenangan kian menajam seiring langkah kakinya. Kirana memasuki pekarangan. Kakinya menginjak ilalang yang tumbuh setinggi betis. Beberapa bulan ke belakang, orang yang biasa dititahkannya merawat rumah itu, mengambil langkah mundur.

Kirana berjalan menuju selasar rumah. Didapatinya sebagian cat pada dinding-dinding kusam memucat. Pun kaca-kaca jendela buram berkerak debu. Kirana menyorongkan kunci ke sebuah lubang pada gagang pintu. Pintu ia dorong. Terdengar bunyi menderit. Derit memecah sunyi.

Pintu seolah mengeluhkan, “Aku bosan pada kalian. Dalam satu waktu, keberadaanku hanya untuk didatangi sekaligus ditinggalkan.”

Rumah menyambutnya dengan keheningan dan kotak kenangan lebih banyak. Memasuki ruangan, seluas mata menjala langit-langit, sesawang bergelantungan. Debu-debu tebal melumuri barang-barang. Barang-barang itu tak pernah berpindah tempat. Masih sama seperti bertahun-tahun silam sebelum kepergiannya.

Beberapa kursi kayu teronggok di ruang tamu. Di sini, Kirana kecil kerap mendapati bahu sang ibu berguncang kecil. Sengguk tetas bersama guncangan. Dari balik pintu yang terkuak, mata Kirana kecil mencuatkan kebingungan.

Sebenarnya, sewaktu itu, sang ibu kerap menyetia pada penantian. Menaruh harap pada ketukan pintu. Akan datang sosok lelakinya. Sampai sadarnya membeliak. Harapan kala itu serupa caranya mengkhianati kenyataan. Lelakinya tak pernah menjejakkan kaki di sini.

Jengkal demi jengkal kaki menyeret Kirana ke ruangan lain. Ruangan yang paling memancarkan kilau kebersamaan mereka. Adalah peraduan semasa malam melelapkannya. Pembaringan  berukiran kayu mematung di situ. Kirana membongkar gudang ingatan di kepalanya. Mencari degup kehidupan yang pernah ada.

Masih digenggamnya ingatan. Di pembaringan itu, sebelum lelap meringkusnya, sang ibu kerap mendongeng. Selama sang ibu mendongeng, khayalan negeri antah-berantah menari-nari di kepalanya. Lainnya, senandung ninabobo menyerupai kidung pengantar mimpi. Pula belai tangan sang ibu melarutkan Kirana kecil dalam kantuk.

Tatkala Kirana kecil terbangun di sepertiga malam-Nya, tubuh sang ibu tak tertangkap rabaan tangan. Dengan mata terpincing, Kirana melihat sang ibu tengah menelimpuhi kaki Tuhan dengan kepalanya. Lama. Entah apa yang dijeritkan batinnya. Air asin resap di atas sajadah menimpali sedu sedan.

Di pembaringan ini pula, Kirana kecil kerap mengurai tanya tentang sosok ayah. Lelaki yang dinamai ayah, tak pernah dilihatnya sama sekali.

“Apakah ayah membenciku, Bu?”

“Tidak, Kirana. Ayah tak membencimu.”

“Lalu, mengapa ayah tak pernah ada di sini?”

“Ayah sudah bersama Tuhan.”

“Tuhan mengambil ayah dariku?”

“Ayah memang milik Tuhan, Kirana. Kelak, kita akan menemui Tuhan untuk berjumpa dengan ayah bila saatnya tiba. Sekarang, tidurlah.”

Kirana kecil bungkam. Kebingungan tercipta di kepalanya. Bila ia menanyakan sosok ayah, genangan selalu mengada di mata ibu. Meski bibirnya menarik segaris senyum.
*
Kirana berpeluh keringat. Lesapnya debu dan sesawang menguras habis tenaganya. Letak benda-benda yang belasan tahun silam menghuni rumah itu, tak pernah diubahnya. Kirana tengah mencoba berdamai dengan kenangan. Ia telah beroleh pemahaman. Tentang cara orang-orang melawan kenangan yang menguarkan aroma luka.

Apa yang didapati dari melupakan sebagai cara melawan kenangan? Sia-sia. Nyatanya, waktu tak bisa melapukkannya. Apalagi membunuhnya. Selama jantung masih berdegup, selama kewarasan belumlah tertelan gila, sepanjang itu pula kenangan bernyawa. Utuh terbingkai dalam kepala.

Lelah meremasi persendian. Peluh melengketkan tubuh. Lelah dan peluh mengeluarkan Kirana dari rumah. Kirana berjalan menuju pancuran air terdekat. Tubuhnya perlu dibersihkan dan disegarkan.

Sepanjang kaki mengayun, senyum sapa berhamburan dari bibir-bibir yang ditemuinya. Beberapa dari mereka, berkeingin-tahuan besar tentang kabar Kirana selama di kota. Kirana mendadak seperti tetamu agung yang telah lama dinanti.
*
Panjang bayang-bayang kian memudar. Langit berangsur menghitam selaju tenggelamnya bola merah di ufuk timur. Semburat kemerahan yang melenyap, tersulihkan gelap yang pekat.

Kirana memantik api dari korek gas. Disulutkannya api pada sumbu lilin yang tergeletak di meja. Pijar api lilin menerabas gelap. Menciptakan keremangan. Dalam keremangan, Kirana hanyut meresapi keberadaan cahaya. Cahaya adalah tulang rusuk gelap. Mereka sepasang kekasih.

Cahaya menuntun gelap. Tanpa gelap, cahaya tak terasa cahaya. Terkadang, manusia melupakan keberadaan gelap yang bersembunyi dalam tiap-tiap diri. Sebagian dari mereka merasa bermandikan cahaya. Hingga cahaya yang terlampau silau, menutup mata mereka.

Kirana menjatuhkan diri di pembaringan. Ia menghirup waktu yang telah terketuk palu. Pikirannya mengelana. Menjelajahi tiap-tiap tilas yang basah. Masih tanak di pikirannya. Kali pertama ia bertanya tentang hal yang mengusik gadis seusianya.

“Cinta itu apa, Bu?”

“Cinta itu seperti ibu menyayangimu.”

“Jika cinta itu seperti ibu menyayangiku, seperti ayah menyayangi ibu jugakah?”

Sang ibu mengangguk lemah. Matanya basah. Basah mengilau. Merayap turun di wajah sang ibu. Kirana tak bertanya lagi. Kedua tangannya beranjak melingkari tubuh sang ibu. Erat-erat. Seolah tengah membagi kekuatan dan mengenyahkan duka sang ibu.
*
Kirana bangkit dari rebah. Bosan menyeretnya ke sisi jendela di samping pembaringan. Tangannya mendorong jendela. Seiring jendela terkuak, angin melesak masuk. Menawarkan silir angin pegunungan yang dingin. Binatang-binatang malam mengikrik. Kikrikan mereka laksana katarsis di pelataran sunyi yang kental.

Kirana melayangkan pandang ke arah langit. Bersama jejaring kenangan yang tak jemu menjeratnya. Di jendela ini, Kirana dan sang ibu seringkali menatapi rembulan di dua masa. Semasa lingkar rembulan memurnama langit. Dan semasa rembulan menyabit. Mereka meningkahi waktu dengan bercakap-cakap tentang segala yang bernapaskan kehidupan. Suatu masa, ketika rembulan penuh melingkar, Kirana mencari tahu bagaimana cinta itu terupa.

“Ibu, apakah debar itu serupa cinta?”

“Siapa lelaki yang mengajarimu debar, Nak? Yang pernah kau kenalkan kala itu pada ibu?”

Anggukan Kirana menandai jawaban, “Bagaimana, Bu? Bagaimana caraku menghadapinya?”

Sang ibu terdiam. Sangat lama. Betapa resah menikamnya. Waktu telah meremajakan usia anak gadisnya. Sanggupkah ia gemakan cinta sebagai mawar tanpa duri? Padahal, ia telah merasai leleran darah dari duri-duri mawar. Duri-duri yang pada akhirnya menyisakan luka.

“Kau lihat purnama itu, Nak? Purnama itu dua yang satu. Separuh adalah hatimu, separuh lagi adalah hati yang menggenapinya. Mencintalah.”

Sang ibu berhenti sejenak. Peparunya bergerak naik. Bagai menarik keluar gemuruh dari rongga dadanya. Lalu, membuangnya dengan lepasan embus napas.

“Bila suatu ketika kau dapati lingkar rembulan separuh, tetaplah benderang. Atau jadilah seperti sabit, yang tetap tersenyum kepada langit meskipun langit memberinya pekat kelam.”

“Apakah purnama itu separuh ibu dan separuh ayah?”

“Bukan, Nak. Separuh purnama itu ibu. Separuhnya lagi kau.”

“Mengapa bukan ayah?”

“Hanya napasmu yang masih jelas ibu rasakan. Adanya ibu, dititipkan Sang Kuasa untuk menjagamu.”

“Bila suatu saat aku tak di sini, apa yang akan ibu pandangi?”

“Lengkung sabit.”

“Kalau begitu, kita akan tetap memandangi purnama atau pun sabit di jendela yang sama.”

“Bagaimana caranya?”

“Aku minta lelakiku membawa serta ibu ke jendela mana pun ia membawaku.”

Sang ibu merengkuh Kirana. Serupa merengkuh harap: tak ditemurunkannya kepahitan. Akan cinta dan lelaki pada Kirana.
*
Dingin udara kian merajam tulang-belulang. Namun, Kirana enggan beranjak dari tepian jendela. Tilas yang basah masih membiusnya. Kali ini, ingatan tentang lelaki pertama yang mengenalinya debar.

Kala itu, Kirana seumpama kertas polos. Sedang lelaki pertama itu tintanya. Dan puisi-puisi yang digoreskan tinta itu merupa cinta. Lelaki pertama amatlah lihai. Ia telah mengenal rupa-rupa perempuan. Dengan sangat elok ia melambungkan hati Kirana pada keindahan.

“Berhati-hatilah, Nak. Sekalipun cinta seumpama puisi yang menebarkan wewangian dan keindahan bunga-bunga, tetaplah mengada padanya kidung yang menyairkan duri.”

Petuah itu petuah sang ibu. Namun, Kirana tetap mabuk cinta. Cinta telah melenakannya panjang-panjang. Lewat lelaki pertama, ia mencari-cari cermin ayah. Pun membentuk sosok lelaki di kepalanya. Lelaki pertama mengajarinya rasa mendamba. Apa yang telah dilakukan lelaki pertama?

Lelaki pertama mempermainkannya. Sedang Kirana terlalu lugu untuk merasai keganjilan. Sampai didapatinya nyata dengan mata kepala. Lelaki pertama tengah mengajari rabaan berujung lenguh menggelinjang. Pada seorang perempuan yang Kirana tak mengenalnya.

Kirana hancur. Hatinya mumur. Barulah ia mencelikkan matanya lebar-lebar. Ia tak mengenali lelakinya benar-benar. Cinta lelakinya sebatas rabaan. Ketika Kirana menggelengkan kepala untuk lekuk tubuhnya dipelajari, lelaki itu mencari perempuan lain sejenis itu.

Setelahnya, sang lelaki meminta jalinan tersambung kembali. Sungguh, terasa musykil dan mustahil bagi Kirana menerima. Kirana tak setunduk itu pada kebodohan. Tuak memabukkan itu telah berganti sembilu yang mengiris-ngiris hatinya. Kirana berjalan meniti waktu. Tertatih. Jatuh bangun.

Belum usai perih luka mengering. Perih baru datang menerjang. Menghempaskan Kirana pada liku yang panjang. Diteguk-paksanya kenyataan, sang ibu kehilangan degup jantung.

Jubelan orang-orang berpakaian serba hitam di tanah pekuburan seakan maklum. Akan usia yang seumpama jam pasir. Suatu waktu, detik yang berbulir akan berhenti mengalir. Sedang bagi Kirana? Menyisakan getir.

Lalu, didapatinya ia menjelma titik di dunia yang terlampau luas. 
Kecil.
Sendiri.
*
Malam kian meninggi. Lelah mengembalikan Kirana ke pembaringan. Namun, lelah tak pernah melelapkannya sungguh-sungguh. Sebab, meski malam membenamkannya pada bunga tidur, harum mimpinya tetaplah airmata. Seperti ketika ia terbangun kali ini. Sealir linang membasahi wajahnya.

Selebar-lebar Kirana membuka mata, didapatinya gelap menyergap. Lilin itu telah habis mengorbankan diri. Tangan Kirana meraba-raba pembaringan. Mencari-cari korek gas untuk menyulut lilin. Duri-duri bunga tidur menjauhkannya dari pembaringan.

Kirana memilih meringkuk di kursi dekat jendela. Aroma suram kenangan kembali menghanyutkannya. Atau seperti yang telah terkatakan sebelumnya. Kirana tengah berdamai dengan kenangan.

Kematian sang ibu melarikan Kirana ke kota rantau. Kota, tempatnya mendulang rupiah. Pula mempertemukannya dengan lelaki kedua. Lelaki kedua adalah lelaki menawan di mata Kirana. Jika lelaki pertamanya berisikan kepala laksana batu dan api. Maka lelaki kedua bagaikan tanah. Tanah mampu menjelma rupa-rupa.

Kala perih memuramkan Kirana, ia menyuguhkan lelucon-lelucon. Kala mata Kirana bertempias, tangan lelaki kedua menjadi tadahnya. Pun mahir mengubah kebosanan menjadi tetawa. Padanya, Kirana merasai debar baru. Berangsur-angsur hatinya kembali memerah jambu.

Di penghujung dua tahun usia jalinan, kegamangan menyapa. Lintas kota, akan menciptakan bentang jarak di antara mereka. Kemudian, batin Kirana menggemakan bermacam tanya.

Apa kuasa jarak terhadap cinta, duhai sang waktu? Mengeratkan jalinan? Atau mencerai-beraikannya?

Tanpa jarak yang panjang, lelaki pertama pandai membagi waktu dengan perempuan lain. Kini, dengan jarak yang membentang? Ah, Kirana memilih membunuh keraguan. Keraguan dibunuhnya dengan satu tebasan. Kepercayaan: lelaki kedua bukanlah lelaki pertama.

Seiring waktu bergulir, betapa bentang jarak menempanya pada penantian. Penantian melahirkan dera rindu. Semasa itu, keberadaan jarak serupa siksaan. Kirana hanya puas dengan suara lelaki kedua dari kejauhan. Lainnya, Kirana sadari bahwa jarak adalah celah bagi godaan bertumbuh liar. Pula membuka ruang dusta selebar-lebarnya.

Setanah-tanahnya lelaki kedua, jiwanya tetaplah lelaki. Yang oleh sebab perempuan, ia tak bisa menghindari api. Ia memerah terbakar. Kobaran api mengepulkan asap. Sangit tercium Kirana.

Rupanya, luka dari lelaki pertama mengasah kepekaan Kirana akan keganjilan. Suara lelaki kedua kian jarang menghalwa di telinga. Sekali ia didapati suara lelaki kedua, bunyinya hanyalah tumpahan serangsang amarah. Cinta lelaki kedua memucat mayat.

Puncak keganjilan tetas. Ketika suara perempuan yang menjadi onak menohok Kirana. Bagaimana dengan lelaki kedua? Lelaki kedua terlalu pengecut untuk sebuah pengakuan. Kejujuran nurani memilih bersembunyi. Ketiak perempuan onak itu tempat lelaki kedua bernaung.

Hati Kirana mengalunkan kidung yang menyairkan duri:

            Betapa... hatiku memar lebam
            Sebab hempasan luka lara
            Sekali empasan, remuk-redam
            Berkali empasan, lumat sempurna
            Kubertanya pada malam yang temaram
            Mengapa harus menoreh cecap luka
            Jika itu sebuah rasa yang mendalam
            Yang orang-orang namai cinta
*
Dari kejauhan, rembulan menyabit di angkasa. Lengkungnya menertawai kehidupan yang tengah lengah dibuai malam. Sinar terangnya bagai parang. Yang seolah ingin menyebat sisi tersembunyi manusia yang masih terjaga di sebalik jendela.

Usai perih tak menawarkan apa-apa selain caranya mengundang airmata, Kirana beranjak menuju lemari pakaian. Ia mengambil kotak yang ditemukannya ketika membersihkan debu-debu dan sesawang. Kotak yang tak terjamah semasa degup sang ibu masih ada.

Kotak itu, persemayaman rupa-rupa kisah. Tentang cinta dan lelaki yang pernah membuat purnama utuh di mata sang ibu. Tentang wewangian, cedayam bunga-bunga hingga mata pisau yang menyayati nadi. Kirana kini tahu. Apa sebab sang ibu menganggap purnama itu separuh dirinya dan separuh Kirana.

Bara merah berkobar di hati Kirana. Meletupkan kemuakan tiada tara. Kirana menyentakkan tanya di tengah gelimang kemuakan, “Dari apa hati lelaki-lelaki itu terupa, Ibu? Ataukah malah tak berhati?”

Dalam Kepala Kirana masih tertanam ingatan. Bagaimana dahulu sang ibu tersenyum saat ia memberondong tentang sosok ayah. Ah, betapa saat itu hatinya memeram reriak pedih. Kepada Kirana, ia membingkai lelakinya dalam potret ketiadaan. Sekalipun nyata, jantung lelakinya masih bedenyut. Nun jauh di sana.

Dari kotak itu, Kirana mereguk duri-duri. Duri-duri itu adalah kenyataan. Yang mengisahkan kidung petaka antara sang ayah dan ibu. Kuasa jarak dan waktu awal mulanya.

Demi mengubah gubuk menjadi dinding berkayu dan berperabot lebih banyak, demi terpenuhinya perut dengan bermacam makanan dan asap dapur tetap mengepul, sang ayah menghamba pada jarak dan waktu. Lantas, di bawah panjangnya kuasa jarak dan waktu, setia tak ubahnya telur di ujung tanduk.

Pada perempuan bergincu merah yang menawarkan ladangnya, ayah Kirana bercocok tanam. Setelahnya, bulan perempuan bergincu merah tak lagi memerah. Benih telah menjadi daging. Kehidupan kota yang gemerlap bersama perempuan bergincu merah, memalingkan ayah Kirana dari sang ibu. Ah, betapa....
*
“Bila suatu ketika kau dapati lingkar rembulan separuh, tetaplah benderang. Atau jadilah seperti sabit, yang tetap tersenyum kepada langit meskipun langit memberinya pekat kelam.”

Tilas suara menggema dari segala arah. Menyerupai dengung tawon. Kirana menjadi paham, mengapa lengkung sabit yang dipilih sang ibu ketika rembulan tak lagi melingkar penuh.

Kirana tercekik sesak. Sesak melahirkan desah. Melentingkan getar di bibir. Lirih terdengar ujar, “Aku merindukanmu, Bu. Adakah telaga cinta lain yang sejernih dirimu? Adakah yang paham tentang cecap luka-luka sedalam engkau memahamiku? Duhai Ibu..., mengapa cinta dan lelaki begitu memuakkan?”

Angin berdesing. Menggetarkan kaca jendela. Tiupannya semakin mengencang. Pucuk pepohonan meliuk-liuk. Dedaunan terputus napas. Tercerabut paksa dari reranting. Memilin, berputar. Melayang-layang. Lalu, jatuh sekehendak angin mendaratkannya.
            Tahukah kau, dedaunan yang melayang-layang?
            Meski angin memisahkanmu dari reranting
            Kau tak akan merasai sunyi panjang menjerang
            Sebab, akan ada tanah yang bersiap menampamu
            Lalu kau, reranting....
            Tahukah kau, wahai reranting?
            Kau tak pernah kehilangan dedaunan
            Dedaunan tak benar-benar pergi
            Dedaunan hanya menyulap diri
            Menjelma humus agar kau tetap berseri
            Bersama dedaunan-dedaunan baru
            Sedang rembulan sabit di angkasa sana?
            Meski bintang-bintang bertabur di sekelilingnya
            Dengan lengkung yang terang menyala
            Rembulan sabit menertawai kesunyiannya sendiri

Sinar rembulan berwujud parang berangsur lindap memudar. Pendar bintang-bintang berganti cahaya bercerambuk petir. Langit bertudung mendung. Kirana memejam mata. Hampa dan kekosongan menjelanak diam-diam.

Pelan-pelan, tanah kering beraroma basah. Lantas, membecek selaju langit mendaraskan hujan. Alam yang tak tertebak di sekarat malam, seolah membahasakan perasaan. Bersama butir-butir air di matanya yang jatuh satu-satu, Kirana lebur dalam kesunyian. Rasanya, Kirana ingin tidur... di pangkuan Tuhan.
*

Penulis : Vinny Erika Putri
*Cerpen ini masuk ke dalam 150 karya cerpen favorit kategori C (Umum/ guru/ mahasiswa) dalam LMCR ROHTO MENTHOLANUM 2013 dari (menurut informasi) 6700 naskah yang masuk.