Paling tidak, setiap sebulan sekali, beliau menembus dinginnya malam hanya karena sebuah alasan: rasa iba terhadap sesama yang kurang beruntung di jalanan sana. Beliau mencari-cari gelandangan, orang gila dan penghuni jalanan semacamnya untuk berbagi makanan terbaik yang dibuat dengan tangannya sendiri dari harta yang ia punya. Orang gila mendapat prioritas utama dibandingkan gelandangan yang sehat dan masih bisa mencari makan sendiri. Karena orang gila lebih sering terusir dengan kejijikan dan ketakukan dari orang-orang yang didatanginya.
Pada awalnya, beliau melakukannya hanya berdua dengan saudara setianya. Sampai akhirnya menginspirasi orang-orang di sekitarnya termasuk perkumpulan ibu-ibu haji di mana ia menjadi anggota akhirnya tergerak ikut membantu. Hingga saat ini, pekerjaan itu sudah beliau lakukan selama 9 tahun. Sebuah perjuangan dan keistiqomahan yang luar biasa yang belum tentu saya sanggup bertahan sejauh itu.
Beliau adalah "emak" luar biasa yang terlihat "biasa", "heboh", polahnya jenaka tanpa mengurangi kadar kebijaksanaannya, kadang sedikit "rada-rada" (seperti saya, yang "rada-rada"-nya lebih banyak). Beliau adalah rekan baru saya yang sifatnya "ke-emak-an" (kalau keibuan, cukup satu, ibu saya yang tak akan bisa tergantikan dengan ibu manapun) Haha!
Apa yang dilakukan beliau mengingatkan saya pada momen yang masih begitu tanak terasa sampai resap ke hati. Saya pernah melakukan apa yang beliau lakukan saat saya berkuliah di Purwokerto. Sekali bersama dengan teman-teman dalam kondisi emosi stabil (baca: perasaan bahagia, akal-pikiran berjalan jernih) dan emosi kurang stabil (baca: hati yang remuk, akal-pikiran keruh). Bedanya, kami tidak memasak sendiri. Kami urunan membeli nasi bungkus untuk dibagikan kepada "para penghuni trotoar malam".
Apa yang paling membekas adalah momen ketika saya dan seorang sahabat yang sama-sama dalam kondisi emosi kurang stabil melakukan ini tanpa saya rencanakan sebelumnya. Kami menggila, menyusuri jalanan dengan pikiran masing-masing yang masih karut-marut. Kami mencari para gelandangan. Diantara para gelandangan, saya menemukan satu orang gila perempuan dan tidak ada rasa takut sama sekali dalam diri saya untuk mendekatinya saat itu. Mungkin karena kala itu, saya benar-benar tengah melepaskan pikiran juga perasaan saya yang sedemikian keruh. Ketika saya memberikan bungkusan makanan itu, dan menatapnya lama, di titik ini, hati saya terasa sesak. Mata saya memanas. Lalu, ada hangat yang menetes. Entah saat itu, apakah rasa sakit yang sedang saya alami yang bekerja menciptakan tetesan air atau keperihan saya melihat orang gila tersebut.
Setelah saya dan sahabat saya rampung membagikan makanan bungkus itu, kami masih menahan kepulangan ke kosan masing-masing. Saya sebelumnya sudah izin pada ibu kos bahwa saya akan pulang larut malam.
Kami duduk di trotoar alun-alun kota cukup lama. Duduk menatap nanar jalanan yang tetap hidup meski malam nyaris tanggal separuh waktunya. Sesekali lingkar mata beralih tatap ke arah langit-Nya. Kadang kami dikepung hening. Kadang sahabat saya berbicara entah apa yang saya tak begitu hirau. Saya terlalu sibuk dengan pikiran dan perasaan sendiri. Apa yang saya lakukan saat itu bukanlah yang pertama kali. Saya pernah melakukannya (dua kali) bersama teman-teman saat kondisi riang gembira (baca: kondisi emosi stabil, lapang hati) dan begitu antusias dengan ide yang digagas seorang teman perempuan saya. Tapi, perasaan yang sampai pada saat itu, tak seperti saat saya hanya melakukannya berdua saja bersama seorang sahabat perempuan dalam kondisi “sempit hati”. Saya merasakan secercah perasaan tenang, damai dan semacamnya yang membekas dalam-dalam.
Dan sekarang, mengetahui kebiasaan berbagi “emak” saya ini, membangkitkan saya pada sebuah kerinduan. Kerinduan bersentuhan dengan orang-orang kurang beruntung semacam mereka di saat orang-orang terbuai dengan kenyamanan peristirahatan malam. Pada saat itu, pada momen itu, konsep rasa syukur akan terasa sekali dan menjadi alarm disaat hati terasa sempit.
-V.E.P, dalam rasa syukur yang tak terkira