Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Rabu, 17 Maret 2021

Kamu (Tanpa) GPS Peta Hidup?


Kamu (tanpa) GPS peta hidup, apa kabarnya?
Aneh, rasanya. Mungkin, ini menandakan, aku sedang berproses keluar dari zona nyaman. Aku, orang yang terbiasa dengan merancang planning hidup secara global-mendetail dan berjalan di track yang hampir-hampir lurus mengikuti rencana dalam menjalani daily activity-nya. Kemudian ingin berputar arah 360 derajat dengan alur yang berbeda dari sebelumnya. Rasa-rasanya, ketika mendengar kalimat ini dari dalam pemikiranku, terasa seperti bukan diriku.
Tapi, aku merefleksi diri, lebih dalam lagi bertanya pada diri sendiri, benarkah ini bukan diriku?
Nyatanya, aku sering merasakan stres yang kuciptakan sendiri dengan GPS peta hidup yang kurancang sedemikian apik, bergerak dengan kecepatan yang terkadang "dipaksakan", memenuhi target satu ke target berikutnya. Sampai, kadang antara merancang impian dengan overachiever terasa seperti tak ada bedanya. 

Kamu (tanpa) GPS peta hidup, apakah karena telah banyak merasakan kekecewaan?
Mungkin, salah satunya. Dan sudah menjadi coping mechanism manusia pada umumnya, untuk tidak lagi merasakan kecewa adalah don't ever expect every dream you plan to come true as you want, just do as best as you can, then let God take the final decision.
I'm really working hard since i was young both in academic and job, dengan segala impian yang ingin kucapai, menetapkan limitasi jangka waktu untuk bisa menyamai kecepatan orang-orang diluar diriku agar tak merasa tertinggal. Sebagian banyak yang berhasil dicapai, dan sebagian lagi tak kalah banyak menelan kekecewaan ketika melewati batas waktu yang kutentukan sendiri atau tidak sesuai ekspektasi.
Lantas, aku semakin ketat dalam limitasi waktu pengerjaan suatu hal yang ingin kucapai. And sometimes, I push myself too hard without taking the rest.
Bukankah yang seperti ini dinamakan menganiaya diri sendiri tanpa kusadari? Sudah berapa lama, aku melakukan ini pada diriku sendiri?
Kukatakan kini dengan tegas-sadar, ya, aku telah cukup lama menganiaya diriku. Dan, diriku yang ada di dalam sana, saat ini, tengah menyampaikan kelelahan dan kejenuhannya.

Kamu (tanpa) GPS peta hidup, apakah tidak takut hilang arah dan hidup sia-sia?
Tidak.
Kurunut ingatanku, mundur kebelakang, di tahun 2011. Disaat aku hidup tanpa GPS Peta Hidup.
Aku, belum lama lulus dari dari sebuah universitas negeri dan mengalami yang dinamakan kegamangan hidup untuk benar-benar memaknai dan mencari kemana tujuan yang benar-benar mewakili inti nilai dari diriku. Di tahun yang sama, aku mengalami luka patah hati, kedua kalinya, dengan penyebab yang sama. Menyembuhkan luka pertama butuh waktu cukup lama, setelah sembuh, kembali dicabik dengan cara yang sama. Tak hanya itu, aku banyak menelan kekecewaan dari orang-orang terdekat. Aku berada pada titik dimana aku mesti berpijak di atas kakiku sendiri (lebih tepatnya sendirian) untuk semua hal yang terjadi dalam hidupku di masa itu. Aku, pada akhirnya, tidak lagi mendikte diriku soal bagaimana aku mesti menjalani hidup. Kubiarkan diriku bersedih dan kecewa dengan hidup untuk bisa memaknai setiap tetes air mata yang jatuh dan rasa sakit yang tertoreh.
Sampai, keadaan ini membawaku pada suatu doa, "Ya Allah, tempatkanlah aku, pada tempat yang membuatku semakin mendekati-Mu."
Doa itulah, yang kurasa mengantarkanku pada titik ini: bekerja di dunia PAUD, kembali menempuh pendidikan kesarjanaan di bidang PAUD dan lulus tepat waktu, menempati posisi kepemimpinan di tempatku bekerja yang tak terpikirkan sama sekali olehku. Lalu, di titik itu, aku mulai menggunakan GPS Peta hidup menjalani tanggung jawab yang dipikulkan di pundak kepemimpinanku. Sampai akhirnya, aku kewalahan. Aku memutuskan keluar dan memulai bekerja lagi dari nol sebelum bahuku retak meremuk parah. Tapi, Tuhan masih memberikanku takdir yang sama, di tempat yang berbeda, kembali berada di titik puncak amanah terberat yang sebelumnya pernah kualami. Juga pola peristiwa yang nyaris mirip saat aku menjalani hidup tanpa berpegang pada rancangan GPS peta hidup beberapa tahun silam.
Kali ini, dengan doa dan alasan yang sama, aku menonaktifkan GPS peta hidupku. Aku ingin lebih ramah kepada diriku sendiri. Aku sanggup mengontrol diri untuk tak menuntut orang lain begitu tajam, tapi kurang bisa fleksibel terhadap diri sendiri soal idealisme hidup yang ingin dibangun.
Bukankah tidak ramah terhadap diri sendiri sama kejamnya dengan seseorang yang menuntut banyak hal kepada orang lain?
Aku mengambil pilihan ini justru untuk kembali menemukan arah.

Kamu (tanpa) GPS peta hidup, akan jadi apa dirimu?
Aku, tanpa GPS peta hidup bukanlah suatu kematian gerak diri untuk berbuat atau seorang makhluk tanpa tujuan hidup. Aku, tanpa GPS peta hidup adalah manusia yang mencoba berlepas diri dari jeruji besi perbudakan bernama ekspektasi dalam hal apapun dari siapapun (diri sendiri ataupun orang lain). Aku, tanpa GPS peta hidup, tetap akan hidup dengan kesadaran, sesadar-sadarnya. GPS peta hidup bukanlah definisi baku gambaran hidupku yang akan menentukan akan menjadi apa diriku. Ada Tuhan di sana, yang menjadi kiblat GPS alam semesta, yang lebih mutlak tepat kebenaran dan kebaikan-Nya dari akurasi GPS peta hidup siapapun.

Kamu (tanpa) GPS peta hidup, akankah kehilangan apa yang selama ini menjadi bagian karakter dari dirimu?
Aku tanpa GPS peta hidup, tidak akan kehilangan diriku. Aku, tanpa GPS peta hidup, tetap akan menjadi aku, seorang Vinny Erika Putri. Karena fase ini, adalah bagian dari perjalanan hidupku, untuk kumaknai sebagai proses penerimaan diri atas perubahan-perubahan yang terjadi.

Dan aku tidak tahu, hal apa yang nanti akan mengaktifkan kembali GPS peta hidup yang tengah dalam kondisi deactivated demi sebuah "perlambatan" untukku bisa lebih ramah terhadap diriku sendiri sekaligus mendidik diri agar bisa lebih lentur terhadap ketidakpastian hidup. Dengan begitu, aku bisa menghayati sesoal kalimat: live here and now.

So, for now, I just want to live without GPS limitations dictate. Freedom to feel the life. Freedom for loving myself and others with a genuine heart. And freedom to feel GOD WILLING more than my dreams that I put on my GPS.

-Vinny Erika Putri, 17.03.21

Senin, 15 Maret 2021

Membingkai Ulang Makna Syukur



Pernah dengar kalimat, "Kamu harusnya bersyukur, masih banyak orang lain yang kurang beruntung dari kamu"?

Pastinya banyak terdengar nasehat atau ceramah semacam ini berserakan di mana-mana. Nasehat tentang rasa syukur dengan model perbandingan.

Misalnya, lebih lanjut dari model kalimat di atas begini bunyinya:

Yang memiliki kekayaan berlimpah mesti bersyukur karena di luar sana masih banyak orang miskin kekurangan harta.

Yang memiliki kelengkapan fisik dan kematangan fungsi intelektual normal, mesti bersyukur karena di luar sana masih banyak orang distabilitas fisik ataupun mental.

Yang lajang dengan karir yang diimpikan orang-orang mesti bersyukur karena di luar sana masih banyak orang yang sulit mencari pekerjaan atau tidak mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.

Yang sudah menikah mesti bersyukur karena banyak lajang yang menginginkan sebuah pernikahan namun tak kunjung tiba.

Yang sudah menikah dan memiliki momongan mesti bersyukur karena banyak lajang yang menginginkan sebuah pernikahan dan pasangan menikah yang belum dikaruniai anak.

Dan masih banyak strata atau tingkatan pembanding lainnya yang menempatkan rasa syukur dengan melihat sesuatu yang derajatnya dinilai lingkungan sosial lebih rendah secara kasat mata. 

Alih-alih bersyukur, tanpa disadari, "pembanding" ini jangan-jangan justru menjadikan manusia yang satu merendahkan manusia lainnya dan merasa aman karena adanya kondisi "di luar diri" yang dianggap lebih buruk?

Dulu, aku pernah berada di titik itu. Bersyukur dengan cara yang demikian. Yang ternyata, bagiku, pada akhirnya, tidak memiliki ruh spiritual sama sekali. Ketidakamananku kembali muncul ketika berada di lingkungan yang orang-orangnya secara tingkat kesejahteraan berada di atasku. Entah secara finansial, mentalitas, ataupun kehidupan pribadi mereka yang tampak sempurna di mata orang-orang. Lantas, aku mencari-cari pembanding untuk bisa bersyukur seperti nasehat-nasehat lama yang terlanjur masuk di kepalaku sedari kanak-kanak hingga dewasa.

Lalu, bagaimana aku memaknai syukur sekarang?

Aku melihat diriku, jauh lebih dalam, secara batin. Bersyukur bukan lagi soal membandingkan kondisi diri dengan kondisi orang lain. Bersyukur bukan lagi perkara melihat apa yang kumiliki dan orang tidak miliki ataupun sebaliknya. Karena segala kepemilikan sejatinya adalah titipan-Nya bukan?

Bersyukur itu urusan diriku sendiri dengan Sang Pencipta.

Aku bersyukur dengan diriku yang tak menjanjikan selalu kuat dan baik-baik saja ketika musibah atau hal-hal yang tidak menyamankan hati datang menghampiri, karena pada saat itu, Tuhan tengah mengajariku untuk merangkul perasaan diriku terlebih dahulu agar aku mampu berempati dengan perasaan orang lain.

Aku bersyukur dengan diriku yang bukan manusia sempurna tanpa kesalahan layaknya malaikat, karena pada saat kesalahan itu terjadi, Tuhan tengah mengajariku untuk memaafkan kesalahan diri dan berbenah lebih baik lagi agar aku tidak mudah menghakimi orang lain dan merengkuh mereka untuk sama-sama bertumbuh mendewasa sebagai dan menjadi manusia utuh.

Aku bersyukur dengan segala bagian dari diriku (tubuhku, jiwaku, akal pikiranku, perasaanku, takdirku) tanpa harus membandingkan dengan perbandingan apapun di luar diriku, karena Tuhan menciptakan setiap makhluk hidup sebagai individu unik dengan tujuan hidupnya masing-masing melalui banyak jalan yang disediakan-Nya.

Aku bersyukur dengan diriku yang terus bertumbuh dari waktu ke waktu melewati belantara suka duka kehidupan dan tidak menyerah menunaikan takdir yang dirancang-Nya untukku dengan tetap berpegang pada jalan kebaikan dimana aku sendiri masih terus berupaya memperbaiki diri.

Aku bersyukur dengan diriku, tanpa atau dengan atribut yang dunia luar labelkan padaku.

Sampai di sini, adakah yang berpikir ini terlalu egosentris?

Aku sendiri menjawab, tidak. Kalaupun orang-orang mengiyakan itu terlalu egosentris, tidak apa, aku tak terganggu sama sekali dengan perbedaan cara pandang mereka.

Untuk apa aku bersyukur dengan cara membandingkan kondisi diri dengan kondisi orang lain yang berada di bawahku jika aku sendiri belum mampu menolong mereka? Bukankah itu menyakitkan mereka yang dipakai sebagai perbandingan? Dan bagi diriku sendiri, itu lebih menyakitkan sebagai manusia yang notabene terlabel sebagai makhluk sosial tapi memiliki keterbatasan menjangkau mereka semua yang dinilai manusia "kurang". Atau yang lebih parah memalukan, ketika yang aku anggap berada di bawah kondisiku ternyata lebih memiliki kapasitas bersyukur kepada dirinya sendiri yang jauh di atasku.

Jadi sekali lagi, 

Bersyukur bukan tentang membandingan kondisi diri dan kondisi orang lain. Bersyukur adalah tentang penerimaan diri secara utuh, penuh, autentik. 

Tahukah, Wahai Dunia? Apa yang menjadikan bersyukur itu terkadang mudah terlupakan dan butuh latihan berulang-ulang untuk dihadirkan dan dirasakan? Pertama, kebanyakan manusia hanya mencari rasa syukur untuk bahagia, bukan kedamaian, sehingga syukur tak lagi tampak saat takaran kehidupan sedang menempatkan manusia dalam masa sulit yang tidak membahagiakan. Kedua, penerimaan diri membutuhkan kesabaran, kesadaran dan perjuangan yang panjang dalam perjalanannya.

Penerimaan diri adalah proses pembelajaran sepanjang hayat, karena itulah Tuhan memerintahkan manusia untuk senantiasa bersyukur selama nyawa belum berpulang. Tuhan, menginginkan agar manusia mensyukuri penciptaan-Nya, dimulai dari memperhatikan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang terdekat dengannya: mengenal, memahami dan menerima diri sendiri.

-Vinny Erika Putri, 15.03.21

Senin, 08 Maret 2021

#5. Aku, Tanpa Atribut Semua Itu?

 



Dunia luar melabeliku.
Seorang Vinny Erika Putri:
Pengertian.
Bertanggung jawab.
Mudah menolong orang. 
Bisa diandalkan. 
Kuat. 
Cerdas.
Jenaka.
Pemimpin.
Serba bisa.
Berani.

Semua kalimat bernada nyaris tanpa cela.

Suatu saat, batas toleransiku tercederai oleh orang-orang dan banyak hal. Lalu, tibalah aku dalam kondisi lelah batin-jiwa-raga untuk melapangkan hati, memanjangkan sabar. 

Aku tak lagi menahan sisi gelapku. Dalam semesta batinku, ombak samudera bergulung-gulung, api menyala-nyala. Mereka keluar dari permukaan air yang tampak tenang terkendali.

Diriku yang berada di dalam berkata,
"Tak apa, alirkan segalanya, apa adanya, saat memang butuh dikeluarkan. Lalu lihatlah, di titik mana penerimaan mereka semua terhadap dirimu? Kamu akan memaknai dan merasakan bagaimana dirimu tanpa atribut semua itu."
Aku, mulai mengurangi persona (topeng) yang menjadi tuntutan lumrah alamiah di lingkungan dan sistem sosial tempatku hidup yang sebenarnya juga banyak digunakan oleh orang-orang sebagai persona mereka.

Setiap bentuk emosi yang tidak menyamankan hati mulai memperlihatkan diri. Emosi-emosi itu dengan tegas memberikan sinyal kebutuhan diri yang terabaikan atau mungkin menyadarkan luka batin yang perlu disembuhkan. 

Dulu seringkali kusangkal. Sekarang, ACCEPTANCE. TERIMA. Saat mesti marah, ya marah. Saat sedang sedih, ya sedih. Saat tengah kecewa, ya kecewa. Butuh waktu sendiri, ya menyendiri. Tidak ingin dinasehati ya tegas bicara untuk diberikan ruang penenangan diri. 

Lebih jauh, aku, memukul keras orang-orang yang menerobos dengan paksa apa yang menjadi batas wilayah otoritas diriku. Mataku, menjelma panah. Membidik sasaran. Isi kepalaku serupa pedang, tajam menebas dengan lisan dan kata-kata.

Kemudian, ketika aku sampai pada titik:
Aku, tak  ingin memahami orang lain .
Aku, tak lagi mengorbankan diri.
Aku, tak lagi mengurusi kebutuhan orang lain.
Aku, tak lagi menjadi orang yang pengertian.
Aku, tak lagi peduli dengan apa yang bukan tanggung jawabku.
Aku, memilih diriku sendiri.
Untuk memulihkan diri dalam beberapa waktu.

Suara dunia luar berubah sebagian.
Seorang Vinny Erika Putri:
Pemarah.
Sombong.
Angkuh.
Keras kepala.
Sensitif.
Sumbu pendek.
Vinny Erika Putri, berubah, bukan lagi orang yang kita kenal.

Lalu, mereka menjauh, menjarak, dan lebih berhati-hati dari sebelumnya. Dan aku? Aku terbiasa, dengan orang yang hanya datang dan pergi berdasarkan atas asas kepentingan dan manfaat. Hingga aku tak lagi peduli dengan datang dan perginya orang-orang.

Aku berdiam, bersama aku yang ada di dalam sana. Yang memahami benar diri ini, dengan tingkat pemahaman mendalam dan pola pikir berbeda dari orang lain yang bahkan mungkin tak semuanya bisa menyelami.

Kataku, "Mereka yang tidak mengenali dan memahamiku benar-benar!"  
Aku yang berada di dalam sana tertawa, sembari menimpali, "Yang mereka kenali tentangmu semuanya adalah atribut. Atribut yang mereka ciptakan sendiri di kepala mereka."

Lalu, AKU, TANPA ATRIBUT SEMUA ITU? 
Tetap VINNY ERIKA PUTRI. Meski dunia luar sebagian HANYA MENERIMA KEBAIKAN/KEKUATANMU dan MENOLAK KEGELAPAN/KELEMAHANMU.
Apa artinya, AKU, TANPA ATRIBUT SEMUA ITU? 
Tetap VINNY ERIKA PUTRI. Yang akan selalu dan selalu berdiri untuk dirimu sendiri sebelum berjuang untuk orang lain. Yang mencintai dirimu sendiri, UTUH, PENUH, sebelum mencintai orang lain. Yang dengan tegas mengutamakan kebutuhanmu sendiri sebelum memenuhi kebutuhan orang lain. Yang tak memerlukan validasi orang lain untuk menjadi dirimu sendiri.
Dan bagaimana, AKU, TANPA ATRIBUT SEMUA ITU? 
Tetap VINNY ERIKA PUTRI. Yang selalu kuterima seluruh bagian dari dirimu sebagaimana Sang Maha Pencipta menciptakanmu dengan segala kebaikan kasih sayang-Nya. Yang Sang Maha Pencipta menciptakanmu bukan dengan sia-sia tanpa maksud dan tujuan. Yang Sang Maha Penyayang inginkan untuk dirimu terus bertumbuh menjadi dan sebagai manusia yang mengutuhkan diri.
Jadi, AKU, TANPA ATRIBUT SEMUA ITU? 
Tetap VINNY ERIKA PUTRI.


-IT'S ME, VINNY ERIKA PUTRI, 08.03.21

Jumat, 05 Maret 2021

#5. Surat Untuk Diriku Tentang Berita Hari ini

 


Hai, Vinny Erika Putri.
Malam ini, cahayamu cerlang memancar. Hangat. Sampai ke relung hati, tempatku bersemayam di sana.
Aku pun turut merasakan kebahagiaan.

Hai, Vinny Erika Putri.
Selamat, telah berhasil menemukan kedamaian dirimu kembali, meski kondisi belum sepenuhnya membaik.
Aku tak salah mempercayaimu. Kamu selalu punya cara untuk kembali menyeimbangkan diri, keluar dari jebakan ilusi kebrutalan hidup yang tak jarang menyeret pemikiran dan perasaan manusia dalam mata rantai kekacauan.

Hai, Vinny Erika Putri.
Selamat. Kamu berhasil menerapkan ilmu pengetahuan yang telah kamu pelajari belakangan ini pada dirimu sendiri.
Live here and now. With us (you and me, the higher self). Dan berproses melakukan tiga hal: menerima-memaafkan-bergerak dengan kesadaran diri

Hai, Vinny Erika Putri.
Hari ini, aku merasakan, kamu berlimpah cinta yang terang benderang. Dari dirimu sendiri. Juga dari orang-orang sekelilingmu yang hidup di semesta yang sama: semesta EMPATI.

Hai, Vinny Erika Putri.
Ketika kamu telah berada di fase menerima bahwa kamu sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja, energi semesta mengubahnya pelan-pelan untukmu menyeimbangkan diri menemukan kedamaian batin. Setelah keseimbangan dirimu tercapai, kamu bisa memandang dengan kenetralan dan mengiyakan kembali bahwa semua eksistensi di luar eksistensi-Nya bersifat tidak kekal. Termasuk dualitas suka duka yang sifatnya temporari. Lantas, badai atas izin-Nya pun berlalu.
Kamu sepakat bukan? 
Meski ini tak menjamin, bahwa kamu bisa selalu dalam kondisi jiwa yang stabil atau menjanjikan selalu menjadi manusia bijak ketika ada badai lain yang datang. Kamu adalah MANUSIA PEMBELAJAR. Manusia pembelajar yang terus belajar menerima dan mempelajari ragam badai yang datang serta bagaimana cara keluar darinya dengan aman, nyaman, tenang, tanpa membahayakan dirimu dan orang-orang sekelilingmu. Manusia pembelajar yang terus berusaha mendidik diri sendiri dengan kesadaran penuh sebagai dan menjadi manusia.

Hai, Vinny Erika Putri.
Malam ini, aku tak merengkuhmu atau memelukmu jiwamu yang meringkuk dalam sudut gelap untuk memaknai pesan-Nya.
Kita, menari bersama. Riang gembira. Menatap semesta hati dengan miliyaran bintang.
Dan, mengatakan dengan penuh syukur:
"Terima kasih, Tuhan. Engkau tak pernah menjadikan altar sunyi tempat yang menakutkan. Tapi tempat itu adalah tempat penyembuh mujarab dan menjadi pelataran terbaik untuk kita (seluruh bagian dari diri) saling terhubung. Terima kasih, Tuhan, yang menghidupkan gelapnya labirin hati dengan cahaya. Yang tak pernah membiarkan kegilaan ilusi pikiran dan perasaan menelan kewarasan kita."
Baik-baik saja atau tidak baik-baik saja keadaanmu, aku, yang berada di dalam sana, ada untukmu. Tuhanlah, yang mengizinkan aku ada membersamaimu. Dan campur tangan Tuhanlah yang membuatmu kembali pada titik keseimbangan.

-Vinny Erika Putri, 05.03.21

Selasa, 02 Maret 2021

#4. Surat Untuk Diriku Tentang Berita Hari Ini

 


Hai, Vinny Erika Putri.
Kamu, kembali pada fase tidak baik-baik saja. Sore tadi, awal mulanya. Dan malam ini, marah, sedih menggabungkan diri menjadi air mata. Tangismu pecah. Kencang, dalam benaman bantal dengan detak jantung yang cepat dan napas yang terasa sesak. Tak apa. Aku tak ingin mengganggu katarsismu sampai kamu benar-benar lega dan datang kepadaku.

Hai, Vinny Erika Putri. 
Aku sudah berjanji, akan selalu ada, membersamaimu, saat kamu bisa menemukan detak jantung yang damai. Kamu sudah berada bersamaku sekarang. Kita sudah bisa bicara dengan lebih tenang.

Hai, Vinny Erika Putri. 
Sebelumnya, biar kupeluk erat dirimu, yang telah menyandang gelar sulung selama 34 tahun dengan versi sabar yang kamu sanggup lakukan. Aku tahu, bukan waktu yang singkat dan mudah bagimu untuk mencerna dan menerima semuanya karena kamu terlahir di keluarga yang "istimewa" dalam hal bonding baik antara pasangan suami istri (kedua orang tuamu) maupun antara anak dan orang tua; riwayat pola asuh orang tua laki-laki yang bermasalah; dan salah satu adik dengan kondisi berkebutuhan khusus. Kesemuanya terasa berdampak pada apa yang kamu pikul mulai di usia 20 tahunan. Lantas, semakin memberat ketika kedua orang tuamu yang berusia nyaris kepala 6, meletakkan penyelesaian masalah demi masalah pada punggung, bahu dan kepalamu. 

Hai Vinny Erika Putri.
Predikat sulung. Suatu waktu, kamu bisa memakluminya dengan hati yang lapang. Predikat sulung juga, membuatmu paham alasan munculnya sebuah arketipe pahlawan, yang menjadi mekanisme perlindungan otomatis bagimu untuk melindungi orang-orang terdekatmu. Tapi, setelah kamu berusia semakin matang, tak jarang juga batas toleransi yang tercederai memaksamu berbicara tegas, bulat, kukuh, tanpa memberikan ruang bantahan meskipun kamu berhadapan dengan orang tuamu sendiri. Jika berada di titik terendah, kamu akan melakukan mekanisme pengabaian dimana kamu benar-benar menjadi tidak peduli dengan semuanya kecuali menyelamatkan dirimu sendiri yang nyaris menadir kepayahan sebelum terjadi kerusakan parah pada dirimu.

Hai, Vinny Erika Putri. 
Matamu masih berembun saat mengingat masa-masa sulit soal predikat sulung yang sudah banyak kamu lalui dan sembuhkan pelan-pelan. Tak apa. Manusiawi. Tak perlu disangkal. Kamu tidak akan bertambah lemah hanya karena mengalirkan sedih atau emosi apapun yang kamu rasakan. Kamu bukan sedang berkompetisi untuk berlaga kuat di hadapan orang lain. Kamu juga tidak meminta dirimu dikasihani atau dimaklumi. Kamu berharga karena kamu menghargai dirimu sendiri. Utuh. Penuh. Perlakuan orang lain tak mengurangi nilai apapun dari dirimu. Kamu independen, merdeka dari validasi orang lain. Hidupmu tak bergantung dan tak terpenjara pada sudut pandang mereka. Hidupmu soal adaptasi, ketahanan dan transformasi dari setiap jalan yang kamu pilih. Pula dari takdir mutlak yang tak bisa kamu perkarakan.

Hai, Vinny Erika Putri. 
Malam ini, kamu bersedih. Esok pun, kamu tak mesti sudah membaik. Sekali lagi tak apa. Meski belum membaik, aku masih berada bersamamu, menggenggammu untuk tetap melihat dirimu menapaki hari. Lalu, bertepuk tangan gembira saat kamu berhasil melewati hari sulitmu.

Hai, Vinny Erika Putri.
Kuberitahukan sesuatu. Salah satu nilai yang aku hargai dan banggakan darimu. Aku bangga padamu, yang ketika berada di luar rumah, apapun masalahnya yang kamu tengah hadapi, kamu masih tetap bisa menjalani aktivitas pekerjaanmu dengan profesional. Tuhan masih membersamaimu dan menjaga kewarasanmu sehingga kamu masih bisa melihat sudut pandang yang jernih terhadap orang-orang yang berada di luar wilayah masalahmu.

Hai, Vinny Erika Putri.
Apapun yang tengah kamu rasakan, tak akan menghalangi langkahmu untuk tetap bergerak bukan? Karena aku tahu, kamu tak semudah itu menyerah.

Peluk sayang, untukmu dariku, bagian dari dirimu.

It is okay not to be okay at one time. I'm always there with you all the time to guide you to find God's message inside of it.

-Vinny Erika Putri, 03.03.21

Aku, Sulung!


Sulung.
Menyentak kata-kata: Baca pesan ini!

Sulung.
Tegas berucap: Saya sudah menemukan nomornya. Sekalian menghubungi yang bersangkutan! 

Laki-laki, kepala yang tak berjiwa pemimpin dan pendidik, diam menekuri pesan di layar telepon, lantas, meminta sulung menyampaikan akhir keputusan.

Perempuan ekor yang kerap mengalah pada kepala, mengatur napas yang mulai terdengar pendek-pendek
Perempuan ekor bicara soal prediksi dari watak si tengah, kekhawatiran ini dan itu, yang kesemuanya sudah sulung pahami tanpa dijabarkan.

Sulung.
Menyodorkan telepon genggam: Bicara, sekarang! Hadapi! Ribut sekalian, hayuk!

Dua-duanya menjauhi telepon genggam.

Sulung.
Marah tak terbedung.
Lagi-lagi, dirinya menjelma tameng.

Sulung.
Menegaskan melalui pesan suara: cukupkan sampai di sini, demi kebaikan keluarga, kalau masih juga belum bisa, mari bertemu, selesaikan!

Sulung.
Melihat kepala dan ekor.
Dua orang tua berusia setengah abad lebih
Yang satu, seorang anak kecil terperangkap dalam tubuh tua laki-laki
Yang satu, terpasung dalam kepasrahan dan kemengalahan sebagai istri

Sulung. 
Bergumam tanpa suara, di ruang batin, "Kalian, Pengecut!"

Sulung.
Sesuatu terbanting dari genggaman tangan
Seketika, terdiam semuanya.

Sulung.
Kalimat penutup, "Tengah, Bungsu, mesti nurut dengan sulung. Jika sulung masih dianggap sulung."

Sulung.
Memecah es batu, menuang kopi
Lalu pergi dari mereka
Pintu kamar ditutup, kunci diputar

Sulung.
Punggung ini menanggung tiga
Atau mungkin malah empat

Sulung.
Diam, memeluk dirinya sendiri
Menelusuri detak jantung yang damai
Untuk bisa menemukan seseorang 
Yang bercahaya jauh di dalam sana
Yang paling menerima dan memahami dirinya
Tanpa atribut apapun

Sulung.
Menyeka pipi yang basah
Menatap dinding dengan mata yang tajam
Membatin, "Kini, sudah tak ada lagi hal-hal di luar diriku yang kutakuti, sejak kumemahami bagaimana caraku bertahan hidup di atas kegagalan fungsi kepala dan ekor."

Sulung.
Kehilangan diri sendiri, lebih menakutkan daripada kehilangan orang-orang
Melepaskan orang-orang, lebih mudah daripada menggadaikan diri sendiri

Sulung.
Mengerikan bukan?
Karenanya, sulung tak memaksa siapapun bisa bertahan disisinya
Untuk menerima dan memahaminya tanpa melihat "siapa sulung"
Atau alasan cara bertahan hidup yang dipilihnya

Sulung.
Telah sangat cukup, dengan dirinya sendiri

Aku, Sulung!


-Vinny Erika Putri, 02.03.21

Senin, 01 Maret 2021

#3. Surat Untuk Diriku Tentang Berita Hari ini

 


Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, dua bulan ini, kamu sudah berjuang melewati hari-hari yang tak selalu cerah. Terkadang, waktu menempatkanmu pada masa-masa yang mempertanyakan relevansi kalimat klise "aku kuat dan baik-baik saja". Tapi, kabar baiknya, kamu sudah tak lagi menyangkal saat lelahmu mematahkan jargon "aku kuat dan baik-baik saja". Kamu membiarkan dirimu memanusiakan diri. Merasa lelah, ya lelah. Ingin menangis, ya menangis. Jenuh melanda, ya diterima. Tak mesti dipaksakan berada di level "aku kuat dan baik-baik saja". Kamu menerima semua paketan perasaan itu bukan untuk diratapi apalagi dilebih-lebihkan. Tapi diakui keberadaannya untuk menyadari dengan kesadaran penuh, sesadar-sadarnya, memaknai pesan yang ingin disampaikan dibalik perasaan itu.

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, dua bulan ini, kamu sudah berusaha untuk berbuat sesuai dengan kapasitasmu menghadapi dan menjalani semuanya. Terkadang, kamu mempertanyakan diri, "Seberapa sanggup untuk tetap mengatur napas dengan tenang dan memanjangkan sabar?", yang sesekali berantakan juga saat kamu begitu kewalahan. Tapi, kabar baiknya, kamu merdeka, dari apa yang dinamakan proyeksi perilaku. Ya, kamu tidak memproyeksikan kekalutan perasaanmu kepada orang lain dalam bentuk perilaku "playing victim", atau "menyalahkan orang lain" atas apa yang terjadi. Kamu telah menerima, jauh sebelum itu, setelah belajar sebuah ilmu "menjeda" atau "mem-pause" ego diri untuk disadarkan dan dididik. 

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, dua bulan ini, kamu banyak belajar, untuk lebih sadar menyadari persepsi mana yang realita dan mana yang ilusi saat perasaanmu kacau balau dan jiwamu sedemikian penat. Terkadang, kamu membutuhkan waktu agak lama untuk berdiam dalam sunyi setelah melawati hari yang terasa rusuh berantakan. Kamu mencerna situasi kondisi ketidaknyamanan tertentu dan berjuang untuk memisahkan diri dari tendensi mekanisme pertahanan diri atau sikap defensif yang bisa semakin merusak diri. Kabar baiknya, kamu pelan-pelan sudah lebih bisa untuk "letting go" dan "let it flow" saat ada hal-hal yang berjalan di luar kendalimu. Kamu juga semakin bisa meluaskan lingkar pandang, berdiri dari berbagai sudut dan posisi, saat memahami apa yang dialami orang-orang di sekitarmu.

Hai Vinny.
Aku sangat paham, bahwa hidup tak selalu menjanjikan kamu akan selalu baik-baik saja. Tapi, kemudahan Allah juga menawarkan kekuatan untuk kamu tidak menyerah pada kesulitan-kesulitan yang hadir. Dan aku, yang jika kamu sentuh dada ini dengan damai, jauh di dalam sana, akan bisa kamu rasakan keberadaannya. Aku, bagian dari dirimu, yang selalu membersamaimu dan menyaksikanmu bertransformasi dari waktu ke waktu.

Hai, Vinny Erika Putri.
Terima kasih, untuk tidak menyerah selama berjuang menikmati "roller coaster"-nya hidup. Aku bersulang untukmu. 

And remember it:
It is okay not to be okay at one time. I'm always there with you all the time to guide you to find God's message inside of it.

-Vinny Erika Putri, Monolog Diri, 01.03.21