Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak
Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua
It Is Okay Not To Be Okay
It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother
Pergi Untuk Kembali
Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu
Dandelion
Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian
#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri
Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri
#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri
Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung
Rabu, 17 Maret 2021
Kamu (Tanpa) GPS Peta Hidup?
Senin, 15 Maret 2021
Membingkai Ulang Makna Syukur
Pernah dengar kalimat, "Kamu harusnya bersyukur, masih banyak orang lain yang kurang beruntung dari kamu"?
Pastinya banyak terdengar nasehat atau ceramah semacam ini berserakan di mana-mana. Nasehat tentang rasa syukur dengan model perbandingan.
Misalnya, lebih lanjut dari model kalimat di atas begini bunyinya:
Yang memiliki kekayaan berlimpah mesti bersyukur karena di luar sana masih banyak orang miskin kekurangan harta.
Yang memiliki kelengkapan fisik dan kematangan fungsi intelektual normal, mesti bersyukur karena di luar sana masih banyak orang distabilitas fisik ataupun mental.
Yang lajang dengan karir yang diimpikan orang-orang mesti bersyukur karena di luar sana masih banyak orang yang sulit mencari pekerjaan atau tidak mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.
Yang sudah menikah mesti bersyukur karena banyak lajang yang menginginkan sebuah pernikahan namun tak kunjung tiba.
Yang sudah menikah dan memiliki momongan mesti bersyukur karena banyak lajang yang menginginkan sebuah pernikahan dan pasangan menikah yang belum dikaruniai anak.
Dan masih banyak strata atau tingkatan pembanding lainnya yang menempatkan rasa syukur dengan melihat sesuatu yang derajatnya dinilai lingkungan sosial lebih rendah secara kasat mata.
Alih-alih bersyukur, tanpa disadari, "pembanding" ini jangan-jangan justru menjadikan manusia yang satu merendahkan manusia lainnya dan merasa aman karena adanya kondisi "di luar diri" yang dianggap lebih buruk?
Dulu, aku pernah berada di titik itu. Bersyukur dengan cara yang demikian. Yang ternyata, bagiku, pada akhirnya, tidak memiliki ruh spiritual sama sekali. Ketidakamananku kembali muncul ketika berada di lingkungan yang orang-orangnya secara tingkat kesejahteraan berada di atasku. Entah secara finansial, mentalitas, ataupun kehidupan pribadi mereka yang tampak sempurna di mata orang-orang. Lantas, aku mencari-cari pembanding untuk bisa bersyukur seperti nasehat-nasehat lama yang terlanjur masuk di kepalaku sedari kanak-kanak hingga dewasa.
Lalu, bagaimana aku memaknai syukur sekarang?
Aku melihat diriku, jauh lebih dalam, secara batin. Bersyukur bukan lagi soal membandingkan kondisi diri dengan kondisi orang lain. Bersyukur bukan lagi perkara melihat apa yang kumiliki dan orang tidak miliki ataupun sebaliknya. Karena segala kepemilikan sejatinya adalah titipan-Nya bukan?
Bersyukur itu urusan diriku sendiri dengan Sang Pencipta.
Aku bersyukur dengan diriku yang tak menjanjikan selalu kuat dan baik-baik saja ketika musibah atau hal-hal yang tidak menyamankan hati datang menghampiri, karena pada saat itu, Tuhan tengah mengajariku untuk merangkul perasaan diriku terlebih dahulu agar aku mampu berempati dengan perasaan orang lain.
Aku bersyukur dengan diriku yang bukan manusia sempurna tanpa kesalahan layaknya malaikat, karena pada saat kesalahan itu terjadi, Tuhan tengah mengajariku untuk memaafkan kesalahan diri dan berbenah lebih baik lagi agar aku tidak mudah menghakimi orang lain dan merengkuh mereka untuk sama-sama bertumbuh mendewasa sebagai dan menjadi manusia utuh.
Aku bersyukur dengan segala bagian dari diriku (tubuhku, jiwaku, akal pikiranku, perasaanku, takdirku) tanpa harus membandingkan dengan perbandingan apapun di luar diriku, karena Tuhan menciptakan setiap makhluk hidup sebagai individu unik dengan tujuan hidupnya masing-masing melalui banyak jalan yang disediakan-Nya.
Aku bersyukur dengan diriku yang terus bertumbuh dari waktu ke waktu melewati belantara suka duka kehidupan dan tidak menyerah menunaikan takdir yang dirancang-Nya untukku dengan tetap berpegang pada jalan kebaikan dimana aku sendiri masih terus berupaya memperbaiki diri.
Aku bersyukur dengan diriku, tanpa atau dengan atribut yang dunia luar labelkan padaku.
Sampai di sini, adakah yang berpikir ini terlalu egosentris?
Aku sendiri menjawab, tidak. Kalaupun orang-orang mengiyakan itu terlalu egosentris, tidak apa, aku tak terganggu sama sekali dengan perbedaan cara pandang mereka.
Untuk apa aku bersyukur dengan cara membandingkan kondisi diri dengan kondisi orang lain yang berada di bawahku jika aku sendiri belum mampu menolong mereka? Bukankah itu menyakitkan mereka yang dipakai sebagai perbandingan? Dan bagi diriku sendiri, itu lebih menyakitkan sebagai manusia yang notabene terlabel sebagai makhluk sosial tapi memiliki keterbatasan menjangkau mereka semua yang dinilai manusia "kurang". Atau yang lebih parah memalukan, ketika yang aku anggap berada di bawah kondisiku ternyata lebih memiliki kapasitas bersyukur kepada dirinya sendiri yang jauh di atasku.
Jadi sekali lagi,
Bersyukur bukan tentang membandingan kondisi diri dan kondisi orang lain. Bersyukur adalah tentang penerimaan diri secara utuh, penuh, autentik.
Tahukah, Wahai Dunia? Apa yang menjadikan bersyukur itu terkadang mudah terlupakan dan butuh latihan berulang-ulang untuk dihadirkan dan dirasakan? Pertama, kebanyakan manusia hanya mencari rasa syukur untuk bahagia, bukan kedamaian, sehingga syukur tak lagi tampak saat takaran kehidupan sedang menempatkan manusia dalam masa sulit yang tidak membahagiakan. Kedua, penerimaan diri membutuhkan kesabaran, kesadaran dan perjuangan yang panjang dalam perjalanannya.
Penerimaan diri adalah proses pembelajaran sepanjang hayat, karena itulah Tuhan memerintahkan manusia untuk senantiasa bersyukur selama nyawa belum berpulang. Tuhan, menginginkan agar manusia mensyukuri penciptaan-Nya, dimulai dari memperhatikan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang terdekat dengannya: mengenal, memahami dan menerima diri sendiri.
-Vinny Erika Putri, 15.03.21
Senin, 08 Maret 2021
#5. Aku, Tanpa Atribut Semua Itu?
"Tak apa, alirkan segalanya, apa adanya, saat memang butuh dikeluarkan. Lalu lihatlah, di titik mana penerimaan mereka semua terhadap dirimu? Kamu akan memaknai dan merasakan bagaimana dirimu tanpa atribut semua itu."
Kataku, "Mereka yang tidak mengenali dan memahamiku benar-benar!"
Aku yang berada di dalam sana tertawa, sembari menimpali, "Yang mereka kenali tentangmu semuanya adalah atribut. Atribut yang mereka ciptakan sendiri di kepala mereka."
Tetap VINNY ERIKA PUTRI. Meski dunia luar sebagian HANYA MENERIMA KEBAIKAN/KEKUATANMU dan MENOLAK KEGELAPAN/KELEMAHANMU.
Tetap VINNY ERIKA PUTRI. Yang akan selalu dan selalu berdiri untuk dirimu sendiri sebelum berjuang untuk orang lain. Yang mencintai dirimu sendiri, UTUH, PENUH, sebelum mencintai orang lain. Yang dengan tegas mengutamakan kebutuhanmu sendiri sebelum memenuhi kebutuhan orang lain. Yang tak memerlukan validasi orang lain untuk menjadi dirimu sendiri.
Tetap VINNY ERIKA PUTRI. Yang selalu kuterima seluruh bagian dari dirimu sebagaimana Sang Maha Pencipta menciptakanmu dengan segala kebaikan kasih sayang-Nya. Yang Sang Maha Pencipta menciptakanmu bukan dengan sia-sia tanpa maksud dan tujuan. Yang Sang Maha Penyayang inginkan untuk dirimu terus bertumbuh menjadi dan sebagai manusia yang mengutuhkan diri.
Tetap VINNY ERIKA PUTRI.
-IT'S ME, VINNY ERIKA PUTRI, 08.03.21
Jumat, 05 Maret 2021
#5. Surat Untuk Diriku Tentang Berita Hari ini
Baik-baik saja atau tidak baik-baik saja keadaanmu, aku, yang berada di dalam sana, ada untukmu. Tuhanlah, yang mengizinkan aku ada membersamaimu. Dan campur tangan Tuhanlah yang membuatmu kembali pada titik keseimbangan.
Selasa, 02 Maret 2021
#4. Surat Untuk Diriku Tentang Berita Hari Ini
Aku, Sulung!
Senin, 01 Maret 2021
#3. Surat Untuk Diriku Tentang Berita Hari ini