Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Minggu, 27 Desember 2020

The Second Graduation


The Second Graduation
Swiss-Belhotel
Wisuda Pascasarjana dan Sarjana Angkatan XIV
Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon
Gelombang 1

Pagi itu, menjadi pagi yang sibuk bagi kami. Hari bersejarah kembali akan kuukir dalam perjalanan hidupku. Pukul 06.30, aku bersama kedua orangtua berangkat dari rumah menuju Swiss-Belhotel. Sepanjang mobil yang kami tumpangi melaju, hatiku dipenuhi rasa syukur. Aku bersyukur, Allah masih memanjangkan umur dan menyehatkan kedua orang tuaku sehingga mereka bisa membersamaiku dalam momen puncak yang paling dinanti oleh para mahasiswa yang berhasil menyelesaikan studinya.

Sekitar pukul 07.00, kami tiba di Swiss-Belhotel. Kondisi Ballroom masih lengang. Hanya tampak para panitia tengah sibuk bertugas dan hilir-mudik beberapa wisudawan/wisudawati yang sudah berada di ballroom. Aku berfoto dengan orang tuaku di dalam dan luar ruangan menggunakan kamera smartphone pribadi. Lalu, aku memisahkan diri dari mereka ketika satu per satu teman-temanku berdatangan. Sembari menunggu acara dimulai, aku dan teman-teman saling menyapa, merangkul, memberikan ucapan selamat juga berfoto bersama.

Pukul 08.30, ruang ballroom sudah terisi oleh para wisudawan/wisudawati  dan para pendamping. Para wisudawan/wisudawati dan para pendamping telah menempati tempat duduknya masing-masing. Acara perayaan kelulusan ini telah mendapat izin, disaksikan dan diawasi oleh satgas COVID-19. Para wisudawan/wisudawati, pendamping wisudawan/wisudawati, panitia acara, jajaran senat dan pejabat yang diundang, hadir dengan mengikuti dan menaati aturan protokoler kesehatan yang berlaku. Pendamping wisudawan/wisudawati yang dibolehkan masuk pun hanya dibatasi untuk dua orang. Sisanya, para pengantar, dikondisikan di luar area ballroom.

Master of Ceremony membuka acara prosesi wisuda. Senat memasuki ruangan. Acara yang telah disusun panita dari mulai pembukaan hingga sambutan pun berjalan sesi demi sesi. Sampai, tibalah waktunya, aku bersama 3 wisudawan/wisudawati lainnya diminta bersiap-siap untuk melaksanakan prosesi pembacaan prasetya (janji alumnus). Kami berempat didapuk sebagai perwakilan wisudawan/wisudawati yang akan membacakan janji alumnus di depan para senatTatkala Wakil Rektor 1 sedang membacakan SK Penetapan Lulusan Terbaik dari setiap Program Studi, kami berdiri di barisan paling belakang dan sudah dalam posisi siap. 

Usai SK Penetapan Lulusan Terbaik diumumkan, prosesi pembacaan prasetya pun dimulai. MC memberikan aba-aba. Kami, didampingi dua pemandu yang membawa bendera di kanan kiri, melangkah sesuai dengan arahan dan latihan singkat yang dilakukan pada saat gladi bersih. Sepanjang kaki mengayun, jantungku berdetak lebih cepat dan kencang dari biasanya. Sepasang kakiku gemetar kecil kala aku berdiri tepat di hadapan para senat dan pejabat penting yang diundang dari mulai anggota DPR-RI hingga Bupati Cirebon. Kami mulai membacakan janji alumnus diikuti para wisudawan lainnya. Pembacaan prasetya selesai. Aku pun bernapas lega. 

Kemudian, panitia memberikan aku setangkai mawar sebelum aku kembali ke tempat duduk. Tidak hanya aku. Tiga wisudawan/wisudawati yang ditetapkan sebagai lulusan terbaik dan beberapa wisudawan/wisudawati lainnya yang sudah diplotkan penyebarannya saat gladi bersih, masing-masing telah memegang bunga yang diberikan panitia. Kami akan memberikan kejutan di sesi acara berikutnya.

Acara selanjutnya adalah acara yang cukup membuat dadaku berdebar. MC memanggil satu per satu nama-nama wisudawan/wisudawati lulusan terbaik. Aku bersama tiga wisudawan terbaik lainnya dari prodi dan strata pendidikan yang berbeda, kembali maju, berdiri di hadapan ratusan pasang mata dalam ballroom. Masing-masing dari kami menerima kain selempang dengan label "terbaik" dan penghargaan lainnya yang disematkan oleh rektor dan pejabat penting yang diundang. Entah ada berapa kamera baik dari pihak kampus maupun media massa yang mengabadikan momen tersebut. 

Saat itu, aku bertanya pada diriku sendiri, "Apakah ini membahagiakan dan membanggakan untuk kedua orang tuaku?". Meski aku tahu, tanpa itu semua, orang tuaku akan tetap bangga padaku karena mereka selalu menjadi support sistem utama dan pertama bagiku.

The second graduation

Perasaan yang kurasakan jauh berbeda dari wisuda yang pertama kali kualami saat mengambil pendidikan sarjana di Program Studi Teknik Sipil, Jurusan Teknik, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Kali ini, aku mendapatkan makna yang lebih luas dan mendalam. Aku tidak mengerdilkan pendidikan kesarjanaan yang pernah kutempuh sebelumnya. Tidak ada yang bisa dibandingkan atau disetarakan diantara keduanya.

Setiap perguruan tinggi memiliki karakteristik dan budaya organisasi yang khas lagi unik baik dari sistem pendidikan maupun kedinamisan civitas akademianya. Aku tetap berterima kasih kepada UNSOED sebagai almamater dan tempat dimana gelar kesarjanaan yang pertama kuperoleh. Darinya, aku telah mendapatkan pondasi yang memudahkanku untuk terus berkembang saat aku kembali menempuh pendidikan sarjana yang kedua dengan latar belakang bidang keilmuan yang berbeda. 

Detik itu, aku berdiri di sana, dengan predikat lulusan terbaik dari Prodi PIAUD. Apa yang kupikirkan saat berdiri disaksikan banyak pasang mata dan lensa kamera? 

Berdiri di sana, serupa estafet janji alumnus yang kuteruskan dari almamater sebelumnya. Berdiri di sana, bukanlah tentang prestasi yang membanggakan atau ajang bergengsi untuk mendapatkan pengakuan dari banyak mata dan mulut manusia atau riuh tepuk tangan dari mereka. Pencapaian ini bukan tentangku. Tapi ... tentang baktiku kepada kedua orang tua. Tentang rasa terima kasih kepada segenap dosen yang telah memberikanku ilmu, dan kepada teman-teman seperjuangan semasa perkuliahan, khususnya PIAUD kelas C, yang banyak memberikanku pembelajaran hidup dimana aku bisa semakin mendewasa bersama-sama mereka. Tentang suatu janji dalam diriku kepada-Nya atas karunia yang dipercayakan-Nya padaku. Pula, kesemogaan yang kusemogakan untuk bisa terus belajar hidup sebagai dan menjadi sebaik-baiknya manusia yang bermanfaat bagi sesama dan lingkungannya.

Prosesi pemberian penghargaan kepada 4 wisudawan/wisudawati lulusan terbaik selesai. Berikutnya, dua orang wisudawan/wisudawati dari strata pendidikan S1 dan S2 bergantian berdiri di podium memberikan pidato. 

Lalu, tibalah pada acara yang bagiku paling menggugah perasaan. Riak emosi dimulai ketika denting piano mengalun syahdu. Seorang mahasiswa dari kelompok paduan suara berjalan dari posisi yang sama dengan posisiku dan perwakilan tiga wisudawan saat bersiap membacakan prasetya. Dari bibirnya, mengalir lagu berjudul "Bunda" karya Melly Goeslaw. Nyanyiannya adalah kode bagi para pemegang bunga mawar untuk menyebarkan diri pada titik-titik yang sudah ditentukan saat gladi bersih.

Aku merentak berdiri. Dadaku menghangat. Sesuatu meledak tak bersuara dalam hatiku. Sekujur tubuhku gemertap. Dengan perasaan yang berkecamuk, aku berjalan, melewati barisan demi barisan di depan, menuju titik dimana bunga ini akan kupersembahkan.

Perempuan paruh baya berkerudung biru dan lelaki berpakaian batik berusia setengah abad lebih, semakin terlihat jelas di mataku. Aku tersenyum kepada mereka. Lalu, setangkai mawar ini kuberikan pada beliau, ibuku. Mata ibu membasah. Pun, hangat merebak di sepasang mataku. Kami berdua berpelukan. Erat. Kubelai lembut kepala beliau. Banyak kata yang tak sanggup kuungkapkan. Kata-kata yang lebih dari sekadar ucapan "Selamat hari ibu". Tangis kami berdua pecah. Dan kuambil waktu sedikit lama untuk ini. 

Bibir ini bungkam seribu bahasa. Tapi batinku berkata-kata. Lirih.

Ibu ... terima kasih atas hidupmu yang kau berikan untuk menghidupi hidupku.
Ibu ... terima kasih, telah menerimaku dengan segala kekuatan, kelemahan, kelebihan, kekurangan dan keterbatasanku sebagai anak maupun makhluk individu.
Ibu ... terima kasih, atas segala kebijaksanaanmu yang mengajariku banyak hal hingga aku bisa terus belajar hidup menghidupi hidupku.
Ibu ... terima kasih, telah menjadi "rumah" yang senantiasa terbuka saat hatiku membutuhkan tempat untuk menguatkan langkah dan menegakkan kembali kepala yang tertunduk lesu.
Ibu ... maafkan atas segala dosa-dosa yang pernah kuperbuat kepadamu.
Ibu ... maafkan aku, maafkan atas semua bagian dari diriku yang pernah mengecewakanmu, menyakitimu dan melukaimu.
Ibu ... detakmu adalah detakku, napasmu adalah napasku, dan duniamu adalah duniaku.

Jika saja aku tak mengingat ada durasi waktu yang perlu diperhatikan, rasanya, pelukan ini tak ingin kulepas sampai semua yang tak mampu kuucapkan teralirkan. Sesudah memeluk ibu, bergantian kurengkuh bapak. Kuusap punggung beliau. Kurasakan kasih sayang beliau yang mungkin selama ini tak bisa beliau utarakan seperti yang bisa dilakukan oleh ibu. Lalu, aku merangkul keduanya.

Batinku masih menggumam lirih.

Bapak ... terima kasih, telah menyayangiku dengan kapasitas dan cara yang engkau mampu sebagai ayah.
Bapak, maafkan untuk kekeras-kepalaanku, yang terkadang menyisakan kejengkelan di hatimu dan membuat kita berselisih paham.
Dan ... Duhai Tuhan, panjangkanlah umur kedua orang tuaku, lindungilah mereka dari segala marabahaya yang tampak maupun tak kasat mata.

Putaran lagu mendekati selesai. Aku izin kepada mereka untuk kembali ke posisiku. Sepanjang berjalan menuju tempat duduk, kurasakan atmosfer ruangan begitu sendu entah untuk berapa jenak. Seolah, di satu titik itu, perasaan kami dibawa pada hawa yang sama.

Setibanya di tempat duduk, kuperhatikan sahabat seperjuanganku yang duduk bersebelahan denganku. Matanya memerah. Seketika, aku menyadari dan memahami satu hal pada saat itu. Mungkin tidak hanya sahabatku, tapi juga para wisudawan/wisudawati yang lainnya tengah mengeja memori sesoal kenangan bersama orang tua mereka yang telah lebih dulu berpulang kepada-Nya.

Dadaku terasa nyeri. Perih menyayat hati. Mungkin saja, dengan melihat momen barusan yang begitu membahagiakan dan mengharukan bagiku, banyak ataupun sedikit, menorehkan kesedihan di hati mereka. Doaku, semoga, sanak keluarga yang telah tiada, menyaksikan para wisudawan/wisudawati dari alam sana dengan haru bahagia. Alfatihah untuk mereka semua. Euforia saat itu, bercampur. Kesedihan dan kebahagiaan saling berpasang. Seperti dua mata pisau yang bersisian. 

Kepalaku sempat tertuduk, memaknai tentang peringkat terbaik ke-1 dari Program Studi PIAUD. Dan saat itu, mataku kembali berkaca-kaca. Andai Allah tak memberikanku predikat itu, aku tak akan mendapatkan kesempatan untuk memahat salah satu momen terbaik dalam hidupku yang baru saja terjadi. Semua ini hadiah dari Allah, kenangan yang diberikan-Nya, yang mungkin suatu saat akan menguatkan langkahku dalam menjalani hidup. Bahwa, aku pernah diberikan-Nya keberuntungan berada di titik ini bersama kedua orang tuaku.

Acara kejutan di Hari Ibu yang bertepatan dengan seremonial wisuda IAI BBC, Institut Pergururan Tinggi Swasta di mana aku menimba ilmu, menjadi momen terbaik bagiku dan (semoga) juga bagi yang lainnya. Momen ini, lebih berharga dari penghargaan predikat terbaik yang disematkan pada hari itu.

Kami pun tiba di sesi acara yang paling ditunggu. Pelantikan wisudawan/wisudawati. Satu per satu wisudawan/wisudawati yang namanya disebutkan naik ke panggung senat mengikuti prosesi pemindahan tali toga oleh Rektor, penyerahan ijazah oleh Wakil Rektor 1 dan diakhiri dengan pemberian cenderamata oleh Kaprodi PIAUD. Aku turut berbahagia untuk semuanya.

Dan, batinku berkata pada diriku sendiri, "Terima kasih, Vinny, untuk tetap keras kepala tak tunduk pada kata menyerah. Terima kasih, telah berjuang sampai di titik ini. Dan ... mari, kita berjuang kembali untuk apapun yang ingin kau raih di langkah selanjutnya dalam hidup."

Terakhir, MC menutup acara dengan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang hadir dan meminta kami untuk membubarkan diri dengan tertib dan tetap mengikuti protokoler kesehatan.

Acara berakhir. Mata kami saling mencari teman-teman yang kami kenal untuk bisa menyempatkan kembali berfoto bersama. Sayangnya, hanya beberapa yang berhasil bertemu dan ditemui. Setelahnya, semua wisudawan/wisudawati sibuk dengan keluarganya masing-masing. Begitu pula denganku.

Dalam momen ini, aku juga berterima kasih kepada dua rekan kerjaku di sekolah yang telah menyempatkan diri menemuiku setelah acara selesai. Mereka juga merupakan support sistem bagiku yang dengan tulus memahami kondisiku saat berkuliah sambil bekerja.

The Second Graduation
Terima kasih
Telah menjadikan belajar dan belajar sebagai napasku.

-Vinny Erika Putri, Memoar 22.12.20

Kamis, 24 Desember 2020

D.E.T.A.K

 



DETAK
Deg!
Rindukah?

DETAK
Deg!
Kehilangankah?

DETAK
Deg!
Cintakah?

DETAK
Deg!
Mengapa aku takut?

DETAK
Deg!
Mengapa aku sedih?

DETAK
Deg!
Mengapa aku benci?

DETAK
Deg!
Mati-matian kupertahankan detakku
Mengenyahkan sesuatu yang bisa melukaiku
Seperti saat dahulu kurasakan detak lain
Yang menghilangkan degup jantungku sendiri
Hingga kurasakan sekarat hati saat dikhianati

DETAK
Deg!
Detak ini, tetap milikku
Bukan miliknya
Meski kuakui, rindu itu ada

-Vinny Erika Putri, 25.12.20

Minggu, 13 Desember 2020

Dengan Pujian, Kepada-Nyalah Kukembalikan Segala Pujian

 



07.12.20

Hari itu, pukul 13.00, adalah giliran Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) dan Program Studi Manajemen Pendidikan Islam (MPI) yang menghadiri yudisium. Pelaksanaan yudisium saat itu, menjadi sesuatu yang biasa saja bagiku karena sebelumnya aku sudah pernah melaksanakannya saat aku menempuh program sarjana dengan bidang studi teknik sipil di Universitas Jenderal Soedirman. Sampai dengan tiba pembacaan 5 lulusan terbaik dari kedua program studi tersebut. Entah mengapa ada debar yang bertalu-talu mengetuk dadaku. Peringkat lima besar mulai dibacakan hingga peringkat kedua. Aku semakin tak keruan.

"Peringkat terbaik pertama Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini Institut Agama Islam Bunga Bangsa diraih oleh .... mari kita tunggu setelah pesan-pesan berikut," canda, Bapak Drs. Sulaiman, wakil rektor 1 lantas melanjutkan kembali perkataannya, "Peringkat terbaik pertama diraih oleh Vinny Erika Putri, S.Pd."

Sesuatu kurasakan meledak tanpa suara di dalam dadaku. Aku berjalan dengan kepala agak tertunduk. Hati tertatih-tatih memaknai semua dari kilas balik perjuangan di tempat ini yang berkelebat sepanjang langkahku mengayun.

Sampai di depan, aku berdiri sejajar dengan lima lulusan terbaik lainnya dari Prodi PIAUD. Satu per satu dari kami berlima menerima piagam penghargaan dan cinderamata dari kampus. Kameramen kampus mendokumentasikan kami. Aku mendapatkan giliran pertama untuk maju menerima piagam dan cinderamata tersebut. Lalu mundur kembali ke barisan sembari menunggu yang lainnya selesai menerima penghargaan. Saat prosesi itu berlangsung, Pak Rektor, yang duduk di belakang kami, di jejeran kursi petinggi kampus, memanggil namaku hingga membuatku menoleh ke belakang.

"Vin ... selamat ya," ucap beliau.

Aku, masih dengan kekagetan yang belum sepenuhnya reda, tersenyum lalu mengangguk halus sebagai bentuk penghormatan sembari mengucapkan terima kasih kepada beliau.

Setelah acara prosesi itu selesai, kami kembali ke bangku masing-masing dengan membawa piagam penghargaan dan cendramata. Aku masih saja tergeragap dengan apa yang baru saja kuterima. Usai acara yudisium, ucapan selamat pun berdatangan dari kolega kampus hingga rekan kerja.

Lantas, saat pulang, aku pun dijemput bapak. Sahabatku, yang kuajak ikut bersamaku menumpang dalam mobil karena jalur mereka menuju terminal searah, memberitahukan soal predikat lulusan terbaik Prodi PIAUD yang kusandang.

Respon bapak, tidak begitu kaget. Bagi beliau, begitulah aku, toh sebelumnya aku sudah pernah berkuliah. Semasa SMA, beliau pun tahu anaknya masuk dalam peringkat 1-5 besar. Kurasa, beliau saat itu, membanggakanku sebagai anak dengan porsi yang wajar. Tidak melebih-lebihkan seperti yang kadang-kadang beliau lakukan saat menceritakan prestasiku kepada orang-orang.

Sesampainya di rumah, aku pun bercerita pada ibu tentang segala prosesi yang kulalui saat yudisium siang tadi. Dan menunjukkan piagam yang kudapatkan. Aku melihat kebanggaan di mata ibu. Pun, bapak, baru menampakkannya saat kita sudah berada di rumah.

Lalu ... setelah usai dengan itu semua, malam itu menjadi malam perenunganku atas sesuatu yang tak kuduga sama sekali. Aku berdialog dengan diriku sendiri dalam hening malam.
Hai, diriku, apa yang kau rasakan saat ini? Harukah? Banggakah? Sedihkah?
Aku ... merasa terharu. Terharu, sebab, dengan begitu banyak perjuangan yang kulakukan, tak kukira hasil yang kudapatkan diluar dugaan. Allah memberikan lebih dari apa yang kuharapkan. Dan, aku mengiyakan, bahwa ketika kita telah memancangkan tekad, menetapkan tujuan, mengerjakan dengan fokus dan tekun, bersetia dengan proses, tak jemu-jemu mengevaluasi hasil dan tak menyerahkan diri pada apa yang dinamai kesulitan ... Allah akan membayarnya dengan sesuatu yang tak kubayangkan sama sekali. 
Aku ... merasa bangga. Bangga membanggakan perjuangan diriku yang telah mendapatkan pencapaian inikah? Bukan sama sekali. Kebanggaanku tak berpusat pada diriku. Aku bangga, bisa membuat orang tuaku merasa bangga. Aku bangga, bahwa dengan prinsipku tentang membantu orang lain untuk sama-sama tumbuh berkembang tak mengurangi nilaiku sedikit pun.

Sekaligus aku ... merasa sedih. Aku tak bisa menunjukkan ini kepada Almarhumah simbah putri. Dan betapa aku merindukan beliau hadir di momen-momen seperti ini.

Benarkah hanya itu yang kaurasakan? Apakah kau begitu terlarut dalam gegap gempita suasana itu? Adakah yang lebih berkilau dari itu? Kau tahu bukan, bahwa perasaan yang tengah memenuhi dadamu, semua itu hanyalah keduniawian yang sifatnya sementara?
Entahlah. Ada sesuatu yang kurasai kosong dalam ruang batinku. Kehadiran penyakit hati mulai teraba saat kebanggaan mulai masuk melebihi batas kewajaran. Dan aku, mulai merasakan ketidaknyamanan. Aku ingin kembali mengnolkan itu semua. 
Kemudian, apa yang bisa membuat batinmu terasa penuh terisi?
Dialah, Sang Maha Kuasa yang memampukan apa yang dulu terasa sulit dan berat bagiku. Dialah, Sang Maha Perkasa, yang menguatkanku bahkan disaat aku tak mempercayai diriku sendiri.  Dialah, Sang Maha Penyayang, yang selalu menemani saat aku merasa sendirian menjalani masa-masa sulit itu. Dialah yang meringankan segalanya. Dialah, Sang Pencipta, satu-satunya tempatku bersandar dan bergantung.
Kupandangai lekat-lekat, piagam penghargaan yang ada di hadapanku. Jika ucapan selamat dari keluarga, sahabat dan para kolega yang berdatangan tak mengisi kekosongan batinku ... maka, yang mesti kupahami adalah hatiku tengah memaknai pujian yang sesungguhnya. Pujian yang sifatnya kekal abadi. Bukan hanya euforia semata. Maka predikat DENGAN PUJIAN kulanjutkan dengan kalimat KEPADANYALAH KUKEMBALIKAN SEGALA PUJIAN. 

Sunyi malam itu ... terasa hidup, menyala dan hangat.

-Vinny Erika Putri, 13.12.20

Selasa, 01 Desember 2020

TITIK DUA

 


Titik dua
Tempat dimana aku tengah berada
Yang di sepanjang narasi kalimat memiliki banyak tanda baca
Dari koma yang memberikan diri ini ruang untuk bernapas dalam jeda
Hingga titik yang mengakhiri sekaligus menjadi awal mula narasi kalimat selanjutnya

Titik dua
Tempat dimana aku tengah meletakkan rasa
Dan menempatkan ragam pikiran di kepala
Dengan tantangan-tantangan yang mesti diterima
Pula pilihan-pilihan yang butuh diputuskan dengan tangan terbuka

Titik dua
Tempat dimana aku tengah memijak dunia
Yang mesti kutuntaskan gelaran tantangan di depan mata
Dan kuhadapi resiko dari pilihan-pilihan yang ada
Dengan hati yang lapang lagi tekad sekeras baja
Agar diri ini tak mudah menyerah begitu saja
Sampai aku mencapai tanda titik dalam satu kalimat narasi kehidupan yang disuguhkan semesta

Titik dua
Meski mungkin aku akan berdiam entah singkat entah panjang di beberapa tanda koma
Langkah ini tak akan terhenti hingga yang terkenang dari itu semua saat menapaki tanda titik adalah haru bahagia
Dan menjadi kekuatan baru untuk keberlanjutan narasi kalimat kehidupan berikutnya

-Vinny Erika Putri, 01.12.20