Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Senin, 28 Juni 2021

Melangkah Berselaras Dengan Kehendak-Mu

 


Duhai Rabb Penguasa Alam Semesta,
Aku kerapkali mempertanyakan segala keinginanku, apakah ini bercampur dengan hawa nafsu yang buruk dalam diriku ataukah memang menuju kepada kehendak-Mu.
Maka, kumohon pada-Mu ... jagalah kesadaran hati, jiwa dan akal pikiranku dari segala bentuk kejahatan hawa nafsuku.
Agar aku bisa melihat dengan jernih kehendak-kehendak yang membawaku menuju kehendak-Mu.

Duhai Rabb Penguasa Alam Semesta,
Aku belajar menghubungkan dinamika ke-diri-anku yang hidup kepada kehendak-Mu, termasuk segala hukum kausalitas yang kujalani.
Maka, kumohon pada-Mu ... tetapkanlah keyakinanku kuat-kuat bahwa Kau adalah kausalitas tertinggi dimana segala akhir daya upaya diletakkan.
Agar aku bisa tetap melabuhkan imanku berserah pada kehendak-Mu.

Duhai Rabb Penguasa Alam Semesta,
Aku menggantungkan arah kehendak-kehendakku pada tali kehendak-Mu.
Maka, kumohon pada-Mu ... janganlah Kau putuskan tali-Mu.
Agar aku bisa tetap memahami kehendak-kehendak-Mu atas diriku.

Duhai Rabb Penguasa Alam Semesta,
Kuayunkan gerak kehendak diriku, melangkah berselaras dengan kehendak-Mu.
Agar ketika masa perjalananku di dunia ini telah habis, aku bisa berpulang kembali pada-Mu dengan jiwa yang tenang.

-Vinny Erika Putri, 29.6.21

Jumat, 25 Juni 2021

#1. Tentang Selesai Dengan Diriku Sendiri

 


Tentang selesai dengan diriku sendiri
Aku bertanya pada diriku sendiri ketika kalimat ini terlintas di benakku. Aku mengajukan pertanyaan, atau malah terdengar seperti mempertanyakan diriku sendiri mengenai sebuah kalimat yang berbunyi, "Apakah aku telah benar-benar selesai dengan diriku sendiri?"

Tentang selesai dengan diriku sendiri
Aku menjelajahi kotak demi kotak ingatanku untuk menemukan makna melalui realita pengalamanku dan orang-orang di lingkungan sekitarku.
Aku, mengingat-ingat, banyak sosok di lingkungan sekitarku yang bisa dibilang mereka tampak sangat humanis dengan berbagai pola perilaku mereka yang kuamati. Pula, aku merefleksikan pengalaman diriku sendiri tentang memori yang berkaitan dengan kata kunci rela berkorban dan suka menolong. Sebabnya, banyak orang yang menjadikan kedua sikap tersebut sebagai parameter seseorang telah selesai dengan dirinya ataukah belum.

Tentang selesai dengan diriku sendiri
Aku menemukan tiga pola mereka yang awalnya kukira telah selesai dengan dirinya sendiri karena sikap rela berkorban dan suka menolong tampak menjadi laku hidup mereka. Tiga pola yang kuuraikan ini berada diluar konteks dorongan bakat bawaan empati yang dianugerahi-Nya pada orang-orang semacam "caretaker" atau profesi yang berhubungan dengan kemanusiaan.
Pola pertama, mudah mengiyakan ketika membantu orang lain tapi abai dengan kebutuhan mereka sendiri. Sederhananya, mereka timpang dengan diri sendiri. Mereka menolong orang lain dan mengorbankan diri habis-habisan sampai mereka "bingung" dengan diri mereka sendiri. Bingung tentang kesesuaian diri mereka dengan apa yang mereka korbankan untuk kehidupan orang-orang diluar diri mereka. Lebih jelasnya, mereka bisa tampak selaras dengan orang lain, tapi tidak bisa selaras dengan suara diri mereka.
Pola kedua, antusias dengan semangat rela berkorban untuk melayani hidup orang lain, menjelajahi banyak tempat untuk menolong dan membersamai orang-orang yang membutuhkan bantuan "caretaker" ini. Tapi, begitu "caretaker" dalam kesendirian, waktu tak bisa lagi mereka nikmati karena dera kesepian yang menikam-nikam hati mereka.
Pola ketiga, ironikal dimana banyak "caretaker" yang berhasil membantu orang-orang diluar sana, tapi jiwa mereka begitu rumit saat menghadapi masalah mereka sendiri. Sehingga makna hidup "caretaker" menjadi bias, antara seorang relawan yang melarikan diri dari kompleksitas masalah mereka sendiri dengan seorang relawan yang murni mengabdikan diri untuk menolong orang-orang.
Ketiga pola ini, pada akhirnya hanya menyisakan lubang kekosongan di hati mereka seperti juga mungkin lubang kosong yang sesekali kurasakan.

Tentang selesai dengan diriku sendiri
Aku pun bertanya-tanya, tentang mereka, juga tentangku yang (kata banyak orang) tampak dari luar sebagai manusia humanis yang sangat mudah untuk dimintai pertolongan.
Apakah mereka benar-benar sudah selesai dengan diri mereka sendiri? 
Apakah aku termasuk bagian dari orang-orang yang belum selesai dengan diriku sendiri?
Tentang selesai dengan diriku sendiri
Kubiarkan hati dan pikiran saling melengkapi, bersuara memberikan jawaban.

Ketika aku telah "selesai" dengan diriku sendiri, aku telah selesai dengan egoku, yang artinya egoku berada di tanganku, bukan di hati dan kepalaku.

Ketika aku telah "selesai" dengan diriku sendiri, artinya, aku sangat mudah memaafkan dan menerima diriku sebagai manusia dengan segala kemanusiawiannya. Sederhananya, aku telah mampu memanusiakan diri secara utuh dan penuh.

Ketika aku telah "selesai" dengan diriku sendiri, artinya, aku sudah sembuh dari luka-luka batin atau luka emosional lainnya sehingga aku tidak terjebak pada lingkaran setan yang kerapkali melampiaskan atau memproyeksikan luka pribadiku dalam bentuk perilaku menyalahkan orang lain atas ketidaknyamanan perasaan yang kurasakan atau kesalahan yang kulakukan. Aku sudah sanggup bertanggung jawab pada diriku sendiri atas bentuk-bentuk emosi yang kualami atau tindakan-tindakan yang kulakukan.

Ketika aku telah "selesai" dengan diriku sendiri, artinya aku mudah memaafkan orang-orang yang menciderai hati dan jiwaku semudah aku memaafkan kesalahan diriku serta mampu menghormati orang-orang yang tidak selaras dengan hati, jiwa dan akal pikiranku sendiri sebagai manusia.

Ketika aku telah "selesai" dengan diriku sendiri, artinya, aku sudah tidak terpengaruh oleh penilaian atau tingkah laku orang yang merupakan proyeksi mereka terhadap dirinya sendiri dari pancaran luka batin mereka yang belum selesai atau oleh sebab pola asuh yang ditemurunkan. Sederhananya, pujian atau hinaan dari orang lain, tidak mengurangi sedikit pun mentalitas dan karakter diriku.

Ketika aku telah "selesai" dengan diriku sendiri, artinya aku sudah cukup mencintai diriku dengan segala sikap hormatnya tanpa tapi, tanpa syarat, dan mampu mensyukuri apapun pemberian-Nya kepada diriku.

Ketika aku telah "selesai" dengan diriku sendiri, artinya, aku tidak mudah menjadi orang yang tendensius pada perkara apapun dan melihat persoalan dari titik keseimbangan dan kenetralan.

Ketika aku telah "selesai" dengan diriku sendiri, hidup bukan lagi tentang bagaimana aku hidup menghidupi hidupku. Tapi tentang bagaimana aku meninggalkan jejak makna dalam kehidupan orang-orang melalui laku hidup dan kebaikan-kebaikan diri yang terus kuberusahakan ada sebagai bentuk penghambaanku kepada-Nya.

 

Tentang selesai dengan diriku sendiri
Aku bertanya kembali pada diriku, "Apakah aku telah benar-benar selesai dengan diriku sendiri?" Aku diam, mengatur napas, mengambil jeda. Lantas, sesak menjelanak. Hangat merebak di sepasang mataku. Ada sesuatu yang membuatku terasa ingin menangis. Entah apa. Sesuatu yang ingin terus kucari dan kukenali untuk kuselesaikan dengan pemaafan.
Aku belum "selesai" dengan diriku sendiri. Ada pemberian-Nya yang mungkin saja masih berproses dalam penerimaan. Ya, berproses, belum benar-benar diterima dengan ikhlas. Atau ada bagian dari diri yang belum kumaafkan sepenuhnya. Aku ingin "selesai" dengan hal-hal yang belum selesai dalam diriku. Oleh sebab itu, Duhai Rabb Penguasa Alam Semesta, kulakukan perjalanan diri dengan memohon bimbingan-Mu di setiap depa langkah hidupku.

 

-Vinny Erika Putri, 25.06.21 

Rabu, 16 Juni 2021

#1. Prolog-Menikah-Perempuan Dalam Rumah Tangga

 


Tentang menikah sebagai prolog Perempuan dalam Rumah Tangga.

Wahai, Vinny Erika Putri, kumulai dari pertanyaan-pertanyaan dasar untuk membantumu menemukan alasan dan tujuanmu menikah.

Apa alasanmu berkeinginan menikah? Melegitimasikan rasa cinta terhadap seorang manusia yang kau impikan untuk menjadi pasangan sehidupmu sesurgamukah? Idealisme keindahan cita-cita berkeluarga yang akan kau rancang-bangun dalam rumah tanggakah? Desakan, tuntutan atau harapan dari lingkungan keluarga dan sosialkah? Egomu yang terlukakah melihat perempuan seusiamu telah menikah dan dikaruniai anak sehingga terburu ingin menyamai fase hidup mereka? Renungilah pertanyaan ini benar-benar, rasakanlah rasa dalam batinmu, sejujur-jujurnya, barulah kau menjawabnya.

Aku berulang-ulang menarik napas panjang-panjang lalu mengembuskannya pelan-pelan. Sejenak, kuberdiam untuk benar-benar merasakan seluruh bagian diriku. Seutuhnya. Sepenuhnya. Aku mulai memundurkan ingatanku ke masa lalu. Kunapak-tilasi perjalanan diri masa demi masa untuk mencari titik awal dimana konsep pernikahan hinggap di benakku. Lantas, ingatanku mendiami masa mudaku. Lama. Sampai aku menyadari. Bahwa keinginan akan sebuah pernikahan bermula ketika usia menapaki kepala 2. Masa dimana  untuk pertama kalinya kehidupan mengenaliku pada rasa cinta, mencintai dan dicintai oleh lawan jenis. Konsep pernikahan dalam kepalaku pun masihlah sesederhana rasa cinta yang kurasakan pada saat itu. Aku masih terlalu utopis. Ya. Utopis muda yang belum bisa berkaca dari realita rumah tangga bapak-ibuku tentang perjalanan pasca menikah.
Lalu, apa yang kau dapati?
Aku mendapatkan kekecewaan. Cinta pertamaku semasa perkuliahan mengenaliku pada rasa sakit akan pengkhianatan. Aku terluka. Dia, meluluh-lantakkan perasaanku sebelum aku sampai pada pernikahan itu sendiri. Ah, mungkin, aku belum mengerti sesoal jatuh cinta semasa itu. Kemudian, mataku perlahan-lahan terbuka. Aku mulai mampu menghubungkan dan memaknai cinta dengan melihat realita rumah tangga ibu-bapakku sendiri dan mencerna banyak hal dari perjalanan mereka berdua. Aku menyaksikan perjuangan ibu sebagai wanita yang menjalani kehidupan perempuan dalam rumah tangga. Pula bapakku yang menjalani kehidupan lelaki dalam rumah tangga. Dari jatuh-bangunnya mereka berdua sebagai pasangan yang menjaga dan menghidupi keberlangsungan rumah tangga, aku mulai bisa memahami bahwa rumah tangga tak sesederhana rasa cinta yang dipunyai masing-masing individu. Aku pun bertanya pada diriku sendiri, saat itu, cukupkah rasa cinta mengikat suatu pernikahan tetap utuh?
Lalu, apa yang terjadi selanjutnya? Apakah kau telah menemukan jawaban tentang alasanmu berkeinginan menikah? 
Pasca gagal di hubungan pertama, membuatku berpikir bahwa suatu hubungan tidak selalu akan berujung pada pernikahan. Luka-luka memberikanku pembelajaran dan pendewasaan dalam mengenali karakter lawan jenis. Luka-luka pula yang membuatku semakin memperhatikan, memikirkan dan mencerna hubungan ibu-bapak sebagai pasangan dalam rumah tangga. Sampai, datanglah seseorang yang sanggup membuat luka-lukaku merasa terobati dan membangunkan kembali konsep pernikahan yang sempat mati suri. Harapan-harapan datang bersamaan dengan kehadiran dan keseriusannya yang tampak ia tunjukkan pada orang tuaku. Kemudian, cita-cita, cinta dan idealisme diri tentang rumah tangga mulai kurancang-bangun dalam hatiku. Tapi, lagi-lagi, cinta sendirilah yang membuktikan, bahwa cinta tak cukup kuat mengikat dua jiwa yang menjalin hubungan cinta. Bentang jarak mematahkan kesetiaan. Lagi, aku dikhianati dan mendapatkan luka yang tikamannya lebih dalam dari sebelumnya, di tempat yang sama, dengan orang yang berbeda. Tapi, aku berterima kasih pada perjalanan hidupku di bagian ini. Sebab, di titik inilah perjalananku mencari, mengenali dan memahami kepingan-kepingan diriku dimulai. I'm on my healing journey to find who i am as a person, and life as God wants me to live. 
Kutanya lagi, apakah kau telah menemukan jawaban tentang alasanmu berkeinginan menikah setelah luka hati terhebatmu yang kedua? 
Belum. Tapi, aku memahami satu hal. Bahwa mencintai (dan dicintai) seseorang beserta idealisme sebuah cita-cita pernikahan yang ditanamkan didalamnya, tak cukup kuat mengantarkan manusia untuk mempertahankan keberlangsungan suatu hubungan. Bahkan sangat bisa layu, kering dan hancur lebih dulu sebelum pernikahan itu terjadi.
Kini, sudahkah kau menemukan jawaban tentang alasanmu berkeinginan menikah? 
Masih belum. Bahkan, perjalanan menemukan jawaban itu baru saja kumulai di kala usiaku genap kepala 3. Tapi, tahukah kau? Aku menjadi lebih peka terhadap keinginan menikah yang muncul dari dalam diriku. Tak jarang pula aku mempertanyakan keinginan itu. Aku sempat terjebak pada egoku yang terluka seperti yang tadi kau tanyakan di awal kalimat pertanyaan pembuka. Hatiku perih tersayat saat melihat teman-teman seusiaku telah menikah, dikaruniai anak yang lucu-lucu dan kuanggap telah menjalani fase normal dari siklus kehidupan manusia. Mereka bukanlah penyebab mendung pekat di hatiku. Tapi akulah yang belum menerima kondisi diriku bahwa Tuhan memberikanku fase pengalaman hidup yang berbeda dengan mereka. Aku, lagi-lagi, belajar menerima dan berdamai dengan diri sendiri di fase yang tengah aku jalani. Bersyukurnya, aku memiliki ibu-bapak yang tidak menuntut aku untuk segera menikah dan melindungiku dengan jawaban yang bijaksana dalam menanggapi pertanyaan keluarga besar atau teman-teman mereka yang rajin menanyakan "kapan nikah?" di kala kami berkumpul atau mereka bertamu. Ibu-Bapak tidak terganggu sama sekali dengan ocehan orang-orang. Dalam diam, yang mungkin sama menyayatnya bagi mereka, mereka sangat mengerti dan menerima kondisiku saat ini.
Dari kepekaanku atas kondisi diriku pulalah, saat menghadiri pernikahan teman-temanku  atau ketika mendengar kabar bahagia kelahiran anak-anak mereka membangkitkan keinginanku untuk menikah, aku telah menyadari dan mampu merasakan kehadiran egoku yang terluka karena adanya keinginan diri yang belum terpenuhi. Kini, aku bertanya balik padamu, apa alasan dan tujuan manusia menikah sebenarnya? Ajang pamer perubahan status sosial dalam society? Alat untuk beregenerasi atau memperbaiki keturunan? Sarana penguat hubungan diplomatik sosial, ekonomi, ideologi dan politik? Mendapatkan tempat yang tepat lagi halal untuk pemuasan syahwat manusia? Tempat melarikan diri dari kerumitan keluarga yang kurang harmonis? Sandaran bagi diri yang kesepian? Memenuhi desakan keluarga sebagai bentuk bakti kepada mereka? Mematuhi anjuran ajaran tokoh-tokoh agama? Dan mengapa kebanyakan orang yang ingin menikah banyak termanipulasi oleh pandangan diluar dirinya tentang alasan dan tujuan mereka menikah? Yang pada akhirnya, memburamkan pandangan jujur diri sendiri tentang alasan dan tujuan yang mendorong mereka menikah. 
Apakah pertanyaan-pertanyaan itu menunjukkan kemarahanmu? Atau malah keputusasaanmu atas keadaanmu? Jangan bilang, kau sudah tidak berkeinginan menikah. 
Kau tidak menjawab. Malah bertanya lagi. Kujawab pertanyaanmu. Aku tidak putus asa. Aku tetap berkeinginan menikah. Hanya saja, aku sedang berpikir sembari berkaca pada kegagalanku menjalin hubungan dan melihat pernikahan banyak orang di masa kini. Dari kalangan manapun  dengan strata sosial, pendidikan dan profesi apapun.
Banyak orang yang menikah untuk menguatkan status sosial-politik-ekonomi kedua belah pihak atau melindungi hierarki keluarga mereka dalam society. 
Banyak orang produk broken home (yang tidak sehat jiwanya) memandang bahwa pernikahan akan menyelamatkan mereka dari rasa kesepian dan membayangkan adanya tempat bersandar bagi jiwa mereka yang "sakit", lalu kenyataan yang mereka dapatkan justru mengkhianati ekspektasi mereka sendiri. Padahal yang menjadi penyebabnya adalah mereka sendiri yang belum selesai dengan luka batin mereka, namun dengan bodohnya menggantungkan penuh kebahagiaannya pada pasangan. 
Banyak orang yang saling mencintai memutuskan menikah. Lantas, dalam perjalanannya mereka tak dikaruniai anak atau dititipkan-Nya anak yang tidak sesuai dengan harapan mereka, berujung pada keributan yang mewarnai rumah tangga mereka dengan banyak campur tangan keluarga dari kedua belah pihak dan lambat laun merasakan pernikahan mereka tak lagi bermakna bahkan entah kemana visi misi yang sempat mereka bangun, yakini, amini dan hidupi bersama. 
Banyak orang yang dengan khidmat dan khusyu menjalankan pernikahan sebagai perintah agama yang mereka pahami setengah-setengah. Sehingga, khususnya perempuan, banyak yang termanipulasi dan bertahan dalam siksaan oleh dominasi suaminya sendiri yang kerap menggunakan ajaran agama sebagai kedok nafsu dan kontrolnya atas diri perempuan. Padahal, suaminya sudah berkata-kata kasar, memiliki istri lain selain dirinya dan bertindak tidak adil terhadapnya. 
Hei, yang kau terangkan menggambarkan kemarahanmu dengan sangat jelas. Kau tidak memandang pernikahan segelap dan sekelam itu bukan? 
Ya, aku memang marah, di bagian penindasan terhadap perempuan. Tapi, aku tidak memandang pernikahan segelap dan sekelam itu. Aku akan melanjutkan bagian positif lainnya dari pernikahan orang-orang yang REAL, jauh dari PENCITRAAN. Aku melihat mereka adalah orang-orang yang autentik. Mereka telah menemukan diri asli mereka dimana dalam perjalanan rumah tangganya tetap memanusiakan diri layaknya manusia biasa. Mereka merasa aman untuk "berbagi borok"-nya satu sama lain dengan pasangannya. Berani mengakui kesalahan masing-masing. Tidak merasa turun harga dirinya ketika meminta maaf. Bersetia dan bertanggung jawab terhadap komitmen yang dibuat. Saling menerima, menghargai dan memberikan ruang untuk pertumbuhan masing-masing individu. Di depan layar ataupun dibalik layar, mereka tetaplah individu yang jujur. Aku belajar dan mempelajari sebagian sikap-sikap tersebut dari contoh terdekat pertama: ibu-bapakku. Rumah tangga mereka tidak sempurna dan memang tidak akan sempurna. Tapi, mereka terus bertumbuh untuk saling memahami melalui sesi pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi hingga usia mereka menua dengan inner child masing-masing yang mungkin saja mereka juga tidak sadari. Lainnya, aku melihat pola yang sama pada rumah tangga teman-teman dekatku yang kerap bertukar cerita denganku perihal kelanggengan rumah tangganya. Kau tahu? Dari sampel yang belum berhasil (menurut pandanganku) pastinya ada sampel yang sudah berhasil yang bisa kupelajari bukan? Dan, hei, pertanyaanku belum kau jawab?!
Baiklah. Kujawab, dengan jawaban yang banyak kau dengar dari mulut orang-orang, bahkan dari ibumu sendiri. Alasan dan tujuan menikah adalah KARENA ALLAH. 
Benarkah? Haha! Maaf, aku ingin tertawa. Karena aku sudah sampai pada makna itu entah kapan tepatnya bahkan sebelum ibuku mengatakannya. Makna yang orang-orang menyebutnya dengan kata lillah. Tapi belum bisa kuamalkan sepenuhnya menjadi laku hidup. Aku masih berada pada spektrum manusia biasa. Kata yang masih sering kupertanyakan dengan melihat realita perasaan para perempuan yang mengatakan lillah. Jika manusia sudah mencapai laku hidup lillah, apapun pemberian-Nya pasti bisa diterima. Individu tersebut tidak akan terpengaruh dengan apa yang ada diluar dirinya karena ia bergantung dan yakin sepenuhnya pada Allah semata. 
Ketika berada di fase perang batin karena mendapati kenyataan berhadapan dengan mertua yang cerewet, berlidah tajam, bermuka masam setiap kali berusaha didekati; atau ketika suami adalah anak sulung yang menjadi tumpuan keluarga sehingga mau tidak mau mesti belajar menerima bahwa waktunya bukan hanya untuk pasangan; atau ketika perekonomian keluarga inti berada pada masa-masa sulit dan ditimpa kepailitan; atau ketika rumah tangga ditakdirkan tidak dikaruniai anak; atau ketika pasutri dikaruniai anak yang tidak sesuai harapan; atau ketika anak tumbuh menjadi individu yang dianggap keluar jalur; atau ketika mendapati suami yang ternyata berselingkuh dengan segala bentuk perselingkuhannya; atau ketika anak mendewasa dan mulai sibuk menghidupi kehidupannya sehingga diri kembali menghabiskan sisa waktu hidup dengan pasangan; atau ketika pasangan lebih dulu meninggal lantas satu lainnya hidup sendirian tanpa anak-anaknya karena anak-anak mereka pun sudah berkeluarga dan tinggal berjauhan. Melewati fase demi fase tersebut, tidak munafik bahwa setiap individu dengan beragam perjalanan hidup yang diberi-Nya sempat kehilangan makna lillah itu sendiri bukan? Bahkan, dari fase-fase yang telah kusebutkan di atas, kuyakin, mereka yang telah menikah akan mempertanyakan arti pernikahan mereka sendiri entah saat mereka berada di fase mana. Mengapa aku sedemikian yakin? Karena hidup tak sesempurna kisah negeri dongeng ala putri kerajaan. Life is not a perfect fairytale. Dan apa yang ditampilkan perempuan-perempuan di depan publik tidak semuanya mewakili realita kehidupan mereka di belakang layar. Sederhananya, dunia ini adalah ladang ujian.
Jadi, apa alasan dan tujuan menikah bagimu? 
Aku menikah karena diriku adalah manusia ciptaan-Nya. Tujuanku menikah adalah menjadi manusia utuh yang sanggup memanusiakan diri dan orang-orang sekitar.
Kalau begitu, kau tidak memiliki pedoman yang jelas dan akan lebih mudah berantakan jika kau tak menyandarkan alasan dan tujuan menikah karena lillah? 
Aku bertanya balik padamu, apakah lillah mengajarkan manusia menerima begitu saja dogma atau doktrin yang tidak masuk akal lagi tidak dipercayai hati untuk diimani? Apakah lillah mengiyakan manusia untuk tidak melawan kezholiman atas diri perempuan? Apakah lillah membatasimu untuk melakukan perubahan apapun pada sesuatu yang memang perlu suatu gerakan perubahan? Apakah lillah menyebabkan perempuan kehilangan hak-haknya mendapatkan kasih sayang utuh, kebebasan bersuara, sikap respect dan keamanan dalam mengekspresikan ragam bentuk aktualisasi diri? Bagaimana seorang manusia bisa memaknai lillah jika ia tidak bisa melihat dirinya sebagai manusia ciptaan-Nya? Lillah adalah bagian dari perjalanan manusia untuk mendekatkan diri dan terhubung dengan-Nya ketika manusia telah memahami, meresapi serta mengamalkan laku hidup memanusiakan diri dan orang-orang di sekitarnya. Lillah bukanlah kata-kata pemanis yang hanya berhenti di bibir. Kau, perlu menjadi manusia yang mengenali dirimu dan orang-orang sekitarmu secara utuh untuk sampai pada laku hidup lillah. 

Jadi ... wahai perempuan yang tengah mempersiapkan diri dalam fase pernikahan. Sadarilah, sesadar-sadarnya, kau manusia. Kau menikah karena kau manusia ciptaan-Nya. Tujuanmu menikah adalah memanusiakan dirimu dan orang-orang di sekitarmu melalui babak demi babak kehidupan pernikahan yang kau jalani. Sehingga kelak ketika bahtera rumah tanggamu terombang-ambing gulungan ombak yang mengerikan, dirimu bisa tetap kukuh menjaga kapalmu dari karam. Kau tidak kehilangan navigasi batinmu sendiri sebagai manusia dan kau tidak kehilangan kemanusiaan dalam dirimu. Kau akan lebih mudah berproses untuk menerima dirimu seasli-aslinya (tanpa tapi, tanpa syarat) dan berani mengambil keputusan apapun di setiap ketidakpastian dan ketidaknyamanan hidup atau bahkan ketika dalam situasi kondisi asing yang sama sekali tak kau kenali petunjuk apapun di sana. Makna lillah akan kau temukan dalam manifestasi yang beragam bersamaan dengan pengalaman yang kau rasakan selama kau tidak kehilangan kemanusiaan dalam dirimu. Pula, kau tidak akan kehilangan jiwamu atau menempatkan jiwa manusia lain untuk menggantikan diri aslimu ketika kau telah berhasil memanusiakan dirimu sebelum kau memanusiakan orang-orang di sekitarmu.

-Vinny Erika Putri, 16.06.21-

Jumat, 11 Juni 2021

#9. Tentang Makna Menjadi Orang Tua

 


Tentang makna menjadi orang tua ...

Apakah untuk menjadi orang tua mesti selalu terkait dengan pernikahan atau memiliki keturunan yang disebut anak?

Tahukah, wahai Dunia? Aku mulai mempertanyakan makna menjadi orang tua ketika aku masih baru-barunya mengenakan seragam putih-merah dimana aku telah memiliki adik laki-laki yang berbeda sekitar tiga tahun dari usiaku. Pada saat itu, aku berbagi peran dengan ibuku yang memilih berhenti bekerja ketika adik laki-lakiku sakit-sakitan. 

Aku bertugas menjaga adik laki-lakiku dan melakukan beberapa pekerjaan rumah tangga lainnya yang mampu dikerjakan anak seusiaku seperti mengelap debu-debu perabotan rumah, mencuci piring, menyapu pekarangan, menyapu dan mengepel lantai rumah, membersihkan kamar mandi. Bahkan, ketika adikku masuk di SD yang sama denganku, aku hampir setiap jam istirahat berkunjung ke kelas adikku untuk melihat dan memastikannya dalam kondisi aman. Terutama di awal-awal dia masuk sekolah, masa dimana cukup sulit untuknya beradaptasi dengan teman-temannya.

Semasa aku SD, kondisi perekonomian orang tuaku Alhamdulillah kami katakan cukup. Cukup ada sesuai kebutuhan saat itu. Kami diajari untuk tidak boros menggunakan uang. Menabung adalah kata-kata yang sering digaungkan ibu. Pernah suatu ketika, aku berkeinginan mendapatkan uang jajan lebih, dan membelikan adikku mainan yang banyak diminati anak-anak di SD-ku waktu itu. Apa yang kulakukan? Aku mengamati barang apa yang dijual oleh pedagang yang mudah aku tiru. Lantas, tercetuslah ide dari pikiranku untuk membuat gambar di kertas HVS dengan mencontoh gambar-gambar Mickey Mouse yang kudapatkan dari majalah anak. Gambar itu dijual kepada teman-teman yang sedang gemar-gemarnya mewarnai gambar. Hasilnya, lumayan, bisa untuk menambah jajan untukku dan membelikan adikku mainan.

Ibu, kerap memberikan petuah-petuah tentang tugas seorang sulung. Bahwa, sulunglah yang nanti akan menjaga adik-adiknya. Dan saat itu, pemikiranku masih sesederhana usiaku. Yang artinya, menjaga adikku adalah melindungi dia dari orang-orang yang berniat menjahatinya.

Ibu, dalam kondisi tertentu, kadang memintaku mengalah saat aku dan adik laki-lakiku bertengkar. Kadang juga, ibu tidak memihak pada siapapun. Pernah suatu ketika, entah karena berebut apa, kami berseteru. Lantas, ibu mengurung kami berdua di kamar sampai kami berbaikan kembali, barulah kami boleh keluar dari kamar. Yang kulakukan saat itu untuk bisa keluar dari kamar, mengatakan pada ibu dari balik pintu bahwa kami sudah bermaaf-maafan dan tidak lagi berselisih dengan adikku.

 *

Di usia SD pulalah, aku mulai melihat pertengkaran ibu-bapak di hadapanku. Perang mulut. Beradu argumentasi. Tapi aku tidak mendengar isi kandang binatang terlepas dari mulut mereka saat mereka berselisih. Hanya lengkingan-lengkingan nada tinggi yang saling bersahutan. Pertengkaran sering terjadi di masa usia pernikahan mereka yang mungkin masihlah muda dan penuh ujian yang belum bisa kucerna.

Pertengkaran hebat yang paling kuingat adalah ketika aku dari dalam kamar mendengarkan mereka ribut, lantas ibu mengetuk kamarku dan mengatakan ingin pergi kembali ke Wonosobo meninggalkan kami. Aku keluar kamar dan melihat bapak sudah memecahkan meja kaca hingga tangannya berdarah. Tuhan masih melindungi adikku saat itu. Adikku tidur pulas hingga pertengkaran mereka tak terdengar.

Saat itu, aku menangis, sambil berujar "Sudah, jangan bertengkar lagi. Ibu jangan pergi. Nanti Puput sama siapa?" Dan mereka terdiam. Kemudian saling mendiamkan entah berapa hari meski ibu tetap melaksanakan pekerjaan rumah tangganya. Dimasa-masa mereka "perang dingin", akulah yang mengasuh adikku dan menyiapkan beberapa kebutuhannya.

Lalu, aku pun mulai bertanya-tanya tentang makna menjadi orang tua ...

Usiaku saat itu memasuki tahun pertama berseragam putih-biru. Aku mulai menjadi remaja dewasa yang kerap dijadikan teman curhat ibuku tentang perjalanan rumah tangga beliau termasuk perlakukan-perlakuan adik-adik iparnya. Aku tahu benar, ibuku tidak memiliki teman curhat siapapun selain diriku. Entah mengapa ibu mulai menceritakan biduk rumah tangganya kepadaku. Mungkin, ibu menganggap aku sudah mulai bisa mengerti banyak hal dengan cukup dewasa.

Aku mulai merasakan hidup semakin rumit sejak aku menjadi tempat yang ibu percaya untuk bercerita. Perlahan-lahan, diriku "dipaksa" tumbuh mendewasa dalam menengahi pertengkaran ibu-bapak ketika ibu dalam kondisi manusiawinya yang tidak lagi sanggup menanggung beban perasaan karena kekurangdewasaannya bapak dalam menyikapi masalah.  

Kemudian, adik perempuanku lahir. Masih di masa aku mengenakan seragam putih-biru. Kuterima kehadirannya dengan suka cita. Setiap kali ibu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, aku tanpa disuruh ibu, akan menjaga adik perempuanku atau mengeloninya sampai tidur. Kadang, diam-diam, tanpa sepengetahuan ibu, aku kerap menggendongnya. Padahal waktu itu, ibu sudah melarangku karena khawatir aku salah posisi dalam menggendong adik perempuanku yang bisa membahayakannya.

Waktu terus berjalan. Kami terus bertumbuh. Aku mulai bisa melihat kejanggalan pada adikku. Tatapan matanya berbeda dengan anak-anak lainnya. Polos dan terasa kosong. Tapi, pemahamanku belum sampai sejauh yang sudah ibu pahami saat itu.

Tumbuh kembang adik perempuanku tidak seperti anak normal lainnya. Ia mengalami keterlambatan bicara juga gerak motoriknya. Terlepas dari apapun kondisi adikku, aku masih merasakan semuanya terasa biasa saja dan bisa diterima. Sebab, tidak ada beban yang dipikulkan padaku kala itu.

Ada satu hal yang membuatku haru dari perjalanan adik perempuanku. Aku adalah orang yang pertama kali melihatnya bisa berjalan dengan tertatih-tatih. Saat aku mengajaknya bermain di luar rumah, di setapak jalan perumahan yang sepi dari lalu lalang orang, aku dengan berani melepaskan gandenganku dari tangannya. Lalu, aku berjongkok beberapa depa di hadapannya. Kurentangkan tangan sambil berkata, "Adek, ayo sini, Jalan." Pelan-pelan, adikku berjalan dengan langkah kaki yang belum seimbang. Ya, dia mulai bisa berjalan di usia yang terlambat jika melihat acuan tingkat pencapaian perkembangan anak seusianya. Mungkin sekitar 3 tahunan usianya pada saat itu, dimana bicaranya pun belum jelas sama sekali.

Kupeluk dirinya saat dia berhasil menggapai tanganku. Lalu kami pun pulang ke rumah. Aku menyampaikan kabar ini dengan gembira kepada ibu-bapak. Mereka pun bersuka cita. Sejak kelahiran adik perempuanku, pertengkaran ibu-bapak sudah tidak seintens dulu.

Pada akhirnya, aku mulai menemukan tentang makna menjadi orang tua ...

Menginjak usia kepala 2, aku mulai merasakan tanggung jawab yang kupikul dalam keluarga ini begitu besar.

Adik-adikku memasuki usia remaja kecil. Kompleksitas masalah semakin bertambah. Adik laki-laki yang mulai nakal layaknya kenakalan remaja yang membolos sekolah, sempat mendapat lingkungan pergaulan yang tidak baik, dijerumuskan pada obat-obatan level ringan oleh temannya sampai tidak lulus SMA dan akhirnya kejar paket C untuk mendapatkan ijazah. Saat adik laki-lakiku putus asa, akulah yang diminta orang tua untuk merangkul dan menyemangatinya.

Ya, aku yang saat itu tengah menempuh pendidikan S1 Teknik Sipil, sudah mulai merasakan pikulan-pikulan sebagai sulung perempuan dan mampu melihat kenyataan bahwa adikku bukan orang yang sanggup mematahkan badai di sekitarnya. Mereka membutuhkan pertolongan orang selain dirinya untuk keluar dari badai itu sendiri. Adik-adikku bukan orang berotak cerdas yang bisa bertahan dan memiliki ketahanan dalam menghadapi lingkungan sosialnya. Adik-adikku bukan orang yang berdaya nalar tinggi dalam menyerap ilmu pengetahuan sehingga sedemikian sulit bagi mereka untuk bisa menyelesaikan pendidikan akademiknya. Dan kami semua bukanlah anak-anak yang mendapat pengasuhan yang tepat dari seorang bapak dimana bapak sendiri juga anak yang mengalami kecacatan pola asuh dari orang tuanya. Di saat aku masih menempuh pendidikan S1 Teknik Sipil di Purwokerto pulalah, bapakku terkena serangan jantung, mengalami masa kritis dan sempat dirahasiakan ibu jika saja adik laki-lakiku tidak membocorkan kabar bapak padaku. Bapakku menderita lemah jantung.

Kemudian, tahun 2010, aku lulus kuliah S1 Teknik Sipil. Adik laki-lakiku dikuliahkan di sebuah sekolah tinggi di Cirebon (STTC) dengan mengambil program profesi D1 broadcasting dimana aku banyak terlibat membantunya mengerjakan tugas-tugas yang tidak dia mampu juga melobi dosennya untuk meminta kebijakan dalam bentuk tugas-tugas perkuliahan macam apa yang bisa dipenuhi agar adikku bisa lulus. Ibu-bapak menguliahkannya di kota domisili dengan harapan, dunia perkuliahan mampu sedikit memberikannya pengalaman hidup.

Bagaimana dengan adik perempuanku? Adik perempuanku saat itu sudah berseragam putih-biru. Suatu anugerah bukan? Bahwa anak berkebutuhan khusus bisa bersekolah di sekolah umum swasta sampai dengan SMP? Yang tentunya ibu-bapak tidak menyekolahkan adik perempuanku di sekolah swasta yang berkualitas baik karena sadar diri. Tapi tahukah, meskipun begitu, untuk sampai di sana, didalamnya ada perjuangan ibu, bapak dan aku. Terutama sejak SD, dimana ibu (yang lebih sabar dariku ketika mengajari adik-adik) membekalinya dengan kemampuan membaca, menulis dan berhitung dasar. Kami mesti menerima kenyataan pahit saat tes IQ menetapkan bilangan 50 sebagai nilai IQ adik perempuanku yang baru aku tahu sekarang artinya adik perempuanku mengalami Distabilitas Intelektual atau retardasi mental tingkat ringan.

Semasa adik perempuanku SMP, bapaklah yang mengantar jemputnya bersekolah disela-sela waktu kerjanya. Dulu, sebelum aku lulus kuliah, saat aku bisa mudik ke rumah di waktu-waktu libur semester perkuliahan, aku yang menggantikan tugas bapak mengantar jemput adik perempuanku. Sementara ibu, mengurus pekerjaan rumah tangga lainnya.

Setelah aku lulus kuliah S1 Teknik Sipil, tugas mengantar jemput adik perempuanku beralih ke tanganku. Bahkan, ketika adikku mogok sekolah, atau mengamuk di sekolah karena teman-temannya meledek dan mengejeknya dengan kata-kata "idiot". Aku yang menghadap gurunya untuk menjelaskan kondisi adikku dan meminta pemaklumannya. Bersyukurnya aku, pada saat itu, gurunya memahami. Dan adikku masih dikelilingi beberapa teman yang cukup bisa menerima kekurangannya. 

Lantas, pendidikan adik perempuanku hanya berhenti sampai dengan SMP. Adik perempuanku tidak lagi melanjutkan sekolah. Ibu tidak mau memaksakan sesuatu yang tidak dia mampu. Hidupnya sampai dengan sekarang hanya di rumah saja bersama kami. Adik perempuanku mempelajari pekerjaan-pekerjaan rumah yang bisa dia kerjakan sesuai dengan kemampuan motoriknya dan belajar hal-hal yang bisa dijamah sesuai kapasitas nalarnya. Satu-satunya pembelajaran yang bisa dia ikuti adalah bermain alat musik gitar dan keyboard.

Bagaimana kelanjutan hidup adik laki-lakiku? Lulus dari pendidikan D1-nya dia sempat bekerja di outlet kebab. Berangkat jam 12 siang, pulang jam 12 malam. Diantar jemput bapak. Sampai akhirnya, dia keluar dari tempat kerjanya karena tidak sanggup lagi bekerja. Entah berapa kali dia dibodohi tentang keuangan yang tidak dia mengerti. Mengurus kembalian saja masih bingung. Apalagi perhitungan uang yang jumlahnya besar. Sekarang? Dia hanya menjadi pengangguran yang berdiam diri di rumah. 

Lalu, apakah ibu pernah mengeluh? Tidak. Ibulah yang paling sabar dan menerima kondisi anak-anaknya; menerima bapak sebagai suaminya meski pertengkaran terkadang masih terjadi; dan, tetap berbuat baik pada adik-adik bapak yang dulu kerap bertindak semena-mena kepadanya. Ibu berbeda denganku dimana aku sempat mengalami fase "tidak menerima" ketika aku telah memahami kompleksitas masalah dan beban-beban hidup yang kuhadapi sebelum aku bisa berproses untuk menerima. 

Ya. Aku sempat pada fase tidak menerima dan menyalahkan keadaan. Dimulai saat aku belajar dan menempuh keilmuan bidang pendidikan. Tepatnya, ketika aku mulai mempelajari banyak hal yang membuka mataku akan luka batin yang selama ini tidak kusadari dari perilaku diriku.

Aku mengoreksi kesalahan pola asuh bapakku yang tidak mampu membangun bonding dengan anak-anaknya. Bahkan untuk mengelola emosinya sendiri (terutama dalam hal kekecewaan dan kemarahan) pun masih terbata-bata. Bapakku belum selesai dengan dirinya sendiri. 

Aku memeram jengkel atas diri ibu yang banyak mengalah terhadap keegoisan bapak dan terlalu baik pada keluarga bapak yang dulu sering menyakitinya. Aku memendam kebencian ketika ibu-bapak tengkar beradu kata-kata seperti anak kecil dan aku mesti berdiri menjadi penengah dengan hati yang tersayat. Juga hal-hal lainnya yang pada akhirnya menuntun jiwaku mencari makna tentang menjadi orang tua.

Aku telah menjadi orang tua ...

Seiring perjalanan hidupku, aku terus bertumbuh dan berkembang menjadi manusia yang mendewasakan diri dengan segala luka batin yang berusaha kusembuhkan. Kepala 3 usiaku kini. Adik-adikku pun memasuki usia quarter crisis of life. Bapak-ibu semakin menua. Kompleksitas masalah kami semakin besar. Pikulanku semakin terasa berat.

Tapi ... aku telah menemukan jawaban. Bahwa menjadi orang tua bukan terbentuk dari sebuah ikatan pernikahan ataupun dihasilkannya anak dari rahim seorang wanita. Bahwa aku telah menjadi orang tua sejak aku dikaruniai adik laki-laki hingga usiaku kini.

Aku, telah menjadi orang tua bagi diriku sendiri. Yaitu, ketika aku belajar menerima, mencintai dan mengasihi diriku sendiri dengan segala pemberian Tuhan yang dilekatkan-Nya padaku. Termasuk takdir terlahir di keluarga seperti ini. Juga luka-luka batin yang masih terus kurangkul, kuterima, kupahami, dan kuobati.

Aku, telah menjadi orang tua bagi adik-adikku. Yaitu, ketika aku sadar bahwa aku adalah orang yang mereka tuakan saat ibu-bapak berselisih. Pula ketika aku sadar bahwa mereka memiliki keterbatasan kecerdasan dan pengalaman yang mempengaruhi kemampuan mereka dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup.

Aku, telah menjadi orang tua bagi orang tuaku. Yaitu, ketika aku menengahi perseteruan mereka dan berusaha berdiri di posisi netral tidak memihak salah satunya. Juga ketika bapak-ibu selalu melibatkan pertimbanganku dalam setiap keputusan keluarga.

Hai, Vinny Erika Putri, peluk sayang dariku, diri yang ada didalam hatimu ... yang telah menjadi orang tua.


-Vinny Erika Putri, 11.06.21