Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Selasa, 07 Juni 2016

#1. Memoar Bulan keenam



Bulan keenam. Kesulitan demi kesulitan yang lebih dari tahun-tahun sebelumnya, kau lewati dengan tersaruk-jatuh-bangun dan bangkit-berdiri-melangkah. Masih tanak dalam ingatanmu, di awal waktu, kau bingung, dari mana dan bagaimana harus memulai semuanya. Semuanya serba baru. Pengalaman yang pernah kau dapatkan sebelumnya terasa hanya sedikit membantu. Kau tetap melihat keburaman di sana, bahkan hingga detik ini. Dalam keburaman, kau hanya mengandalkan intuisimu untuk merangsek maju.

Entah kapan waktu, kau pernah sampai di sebuah titik, di mana kau merasa, tidak ada seorang pun yang benar-benar bisa mengerti bagaimana rasanya berada di posisi ini dengan segala kepelikannya. Kau merasa, tidak seorang pun bisa kau percaya sebagai sandaran saat kepala terlalu berat untuk tegak. Bahkan, lebih parah dari itu, kau sempat kehilangan kepercayaan pada sosok yang kau harapkan (dan kau pikir semestinya) bisa menjadi "The Role of Model". Juga kau kerap melempar tanya pada diri sendiri, apakah dirimu bisa menjadi "The Role of Model" yang layak bagi yang lainnya. 

Acapkali kau "mundur" atau "menepi sejenak" dari ingar-bingar kerumitan yang ada. Menjauh dari rengkuh keakraban. Memagut waktu dengan sunyi. Atau memilih tenggelam dalam geliat ramai yang asing di mana kau bisa melihat bermacam detak kehidupan dari belakang layar layaknya sutradara.

Tak hanya itu, dalam diam, sebuah pertanyaan tentang makna passion, dedikasi, profesionalitas dan komitmen kerap kau pertanyakan. Untukmu sendiri dan terkadang untuk yang lainnya. Sampai kau coba mengosongkan pikiran, menikmati pergerakan hidup di sekitarmu yang bergulir begitu saja dan keluar dari lingkar kerumitan yang membosankan.

Lalu, kau mulai tak peduli dengan apapun yang kau hadapi dan melepaskannya untuk sesaat agar kau bisa "bernapas". Saat itu, kau lebih bisa mendengar suara-suara di dalam hatimu. Suara yang paling kentara berulangkali menguatkan dengan sentakan, "Bersandarlah pada penciptamu! Cukup DIA dan dirimu saja! DIA dan diri sendirilah sahabat terbaik yang selalu ada bagaimanapun dan apapun kondisimu!"

Saat itu, sebenarnya, kau berusaha keras untuk tidak kehilangan dirimu. Atau dengan kata lain, kau tengah berdamai dengan dirimu sendiri. Hingga dirimu sendiri berkata, "Sesulit apapun, berjuanglah untuk tidak bergantung pada orang lain! Bahkan tidak untuk dikasihani sekalipun! Mandirilah! Dan tak usah cari tameng siapapun! Tamengmu adalah dirimu sendiri! Bukan orang lain!" 

Di titik yang lain juga, saat masa-masa sulit, terkadang dalam sebuah tim, kau menemukan kehangatan yang kau rasakan bagai berada dalam keluarga sendiri. Kehangatan yang kerap menurunkan kekeras-kepalaanmu. Kehangatan yang memancingmu turut meramaikan tawa dengan lelucon-lelucon dan tingkah polahmu. Kehangatan tanpa memandang angka usia. Kehangatan yang membuatmu sesaat membuang letak posisimu dalam “garis struktural”. Kehangatan yang membebaskan semuanya menjadi diri sendiri. Kehangatan yang membersitkan kepercayaan bahwa kau tidak menjalani kesulitan-kesulitan itu sendiri. Kehangatan yang bisa melipat-gandakan keyakinanmu untuk melangkah dan tumbuh bersama mereka lebih besar dari sebelumnya. Kehangatan yang terkadang, secara natural, memunculkan sifatmu yang ingin melindungi semuanya.

Namun juga, bersamaan dengan kehangatan itu, kau menjadi lebih waspada untuk sebuah kepahitan: sebuah kehilangan seperti kehilangan-kehilangan sebelumnya. Entah kau sendiri atau yang lainnya yang akan pergi di suatu waktu. Dan semua yang datang dan pergi, selalu mengajarimu hal yang sama: tetaplah mengandalkan dirimu sendiri agar kau bisa hidup dengan baik di mana pun kau berpijak.

Sejauh ini, kau bisa melakukan semua tanggung jawabmu bukanlah sebuah kebanggaan. Tapi pengorbanan dan kerja keras semua yang mendampingimu sepanjang kau melangkah. Kemudian, ketika kau atau yang lain pergi, denyut kehidupan tidak hanya berhenti sampai di situ bukan?

Dan untukmu? Pikulan yang lebih berat menunggumu. Pikulan yang mungkin saja bisa meremuk-redamkan seluruh dirimu, meledakkan emosimu, menuntutmu untuk tetap bangkit-berdiri-melangkah sebanyak kau tersaruk-jatuh-tersungkur dan memintamu berdamai dengan diri sendiri lebih sering. Bahkan, bukan tidak mungkin, fase yang sama akan berulang.

Bulan keenam. Seharusnya, yang kau tulis bisa lebih panjang dari ini. Mungkin saja, nanti, bisa kau jadikan semacam memoar. Atau suatu arsip buku hidupmu. Yang ketika kau membacanya, kau akan menemukan bermacam rasa. Mungkin tawa, mungkin tangis, bahkan mungkin suatu ketakjuban.

Sebuah pergumulan yang akhirnya pecah di malam ini. Lama pena tak menjelmakan kata-kata. Entah berapa lama kata-kata membeku di kepala.

-Vinny Erika Putri, Monolog Diri-