Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Sabtu, 25 September 2021

Apakah Kau Pernah Merasakan Jatuh Cinta?

 



Tanyamu padaku, pada suatu waktu, di ruang sunyi, ketika terkepung bingung atas rasa yang hadir di hatimu,
Apakah kau pernah merasakan jatuh cinta?
Lama aku termenung, membuka satu persatu lembar ingatan dalam buku kisah pengalaman hidupku. 

Aku bertanya balik,
Cinta? Cinta seperti apa yang kau maksud? Cinta sepasang wanita dan pria? Entahlah.

Sampai sekarang, ketika kau menanyakan sesoal cinta, aku sendiri masih tergagap-gagap mencernanya. Aku mempertanyakan diriku sendiri. Apakah aku memang pernah benar-benar mencintai seseorang? Benarkah perasaan di masa lalu yang sempat kucecap adalah cinta? Cinta semestinya tidak menyisakan bekas luka pengkhianatan yang gelap. Cinta seharusnya bisa meninggalkan kebaikan didalamnya sekalipun takdir-Nya tidak mengizinkan dua orang pecinta bertaut dalam jiwa-raga untuk mengarungi hidup bersama sepanjang usia. Ah, tapi, aku lagi-lagi berkata seharusnya. Tentang idealisme kesetiaan, loyalitas dan komitmen yang lebih mungkin terdengar menyuarakan personal values diriku.

Belum juga kutemukan jawaban untuk diriku sendiri, kau masih bertanya mencari ketegasan dari sekadar jawaban keentahan yang kuberikan, lebih jelas dari pertanyaan sebelumnya,
Apakah kau pernah merasakan jatuh cinta pada seorang pria?
Sejenak, aku membisu. Aku mencari jawaban aman untukmu agar tak melewati garis batas sekaligus menemukan jawaban yang sebenarnya untuk diriku sendiri.

Kata-kata meluncur dariku,
Dulu, mungkin. Sekarang, tidak sedang merasakan perasaan apapun dengan siapapun.
Setelahnya, kau terdiam. Tahukah kau? Bahkan, untuk mengatakan kata "mungkin" pun terbesit keraguan yang besar dalam hati dan kepalaku. Aku masih mengurai segenap rasa yang pernah singgah dalam kisah usang masa silam.

Kukira, kau tak akan lagi bertanya. Tapi, tampaknya, kau belum puas menggali diriku lebih jauh lagi,
Lalu, pria seperti apa yang bisa membuatmu jatuh cinta?

Aku mulai meradang. Kujawab sekenanya,
Jika aku mencintai seseorang secara terang-terangan sebanyak 100 persen, maka orang tersebut pun harus mencintai diriku dengan persentase yang sama. Sayangnya, belum kutemukan manusia yang bisa menghadapi wanita sinting sejenis aku. Kecuali jika aku mencintai seseorang dalam diam, tak perlu ada persentase didalamnya. Karena cinta semacam itu ... lebih mudah bagiku untuk melepaskannya.

Kau bungkam. Mati kata-kata. Suasana hening. Sementara aku kembali menenggelami hati, jiwa, pikiranku sendiri. Jawabanku, mungkin lebih terdengar menyiratkan kekecewaan. Tapi benarkah aku telah banyak menelan kecewa sesoal cinta? Ah, bukan itu pertanyaan utamanya. Tarikan pertanyaan yang lebih mendasar lagi dari pertanyaan sebelumnya adalah, benarkah aku pernah benar-benar merasakan jatuh cinta? Atau yang kukecap selama ini hanyalah obsesi kepemilikan dari dua orang yang masing-masing saling mengikrarkan diri terikat pada suatu hubungan asmara?

Apakah kau pernah merasakan jatuh cinta?

Pertanyaan darinya membuatku menelisik diriku sendiri lebih dalam. Aku merunut hubunganku di masa lalu dengan 2 orang pria sepantaran usiaku, yang kini malah membuatku sangsi dan mempertanyakan kebenaran rasa yang dulu kunamai cinta.

Kurasa dan kupikir, kesemuanya hanyalah racun obsesi kepemilikan yang mengacaukan nalarku dalam berperasaan. Aku mengabaikan hak pemenuhan kesejahteraan mental, jiwa dan hati untuk diriku sendiri. Aku mengorbankan diriku sendiri dalam banyak hal demi sebuah obsesi kepemilikan agar diri mereka tetap erat tergenggam. Pun sebaliknya, obsesi kepemilikan mereka atas diriku sampai mereka menemukan wanita lain yang bisa memenuhi kebutuhan mereka yang tidak bisa kupenuhi. Obsesi kepemilikan yang pada akhirnya, hanya menyisakan hal yang sama: kepergian dan pengkhianatan.

Apakah kau pernah merasakan jatuh cinta?

Pertanyaanmu terngiang-ngiang. Dan aku sudah mampu menjawabnya dengan yakin. Aku belum pernah merasakan jatuh cinta yang sebenar-benarnya cinta. Semuanya hanya fatamorgana yang disuguhkan oleh ilusi perasaan. Bentuk lain dari obsesi kepemilikan manusia atas diri orang lain termasuk obsesi atas kendali hidupnya. Diawali dari rasa kagum yang memproyeksikan gambaran sosok pria ideal dalam angan-angan diri. Atau suatu pengharapan diri yang terlampau tinggi bahwa orang tersebut bisa memenuhi rongga kosong atas luka-luka batin yang tersembunyi dalam hati. Lantas, kesemuanya itu, terus merepetisi diri sehingga perasaan memvalidasinya menjadi sebuah rasa yang dianggap cinta.

Lalu, pria seperti apa yang bisa membuatmu jatuh cinta?

Entahlah. Aku tak membayangkan sosok pria manapun. Bahkan, mencari jawaban ini dalam kepala, rasanya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Hanya menambah-nambah pening hidupku. 

Kini, aku, lebih peduli pada diriku sendiri. Diriku adalah sosok yang paling ingin kulindungi sekaligus kusembuhkan dari luka-luka apapun. Termasuk, menjaga diri agar tak terjebak dalam pusaran lingkaran obsesi kepemilikan yang mengkamuflasekan diri atas nama cinta. Jadi, aku akan lebih dulu dan selalu mencintai diriku sendiri secara sadar, utuh dan penuh sebelum aku mencintai makhluk apapun di muka bumi ini.


-Vinny Erika Putri, 13.10.21

Kamis, 16 September 2021

Yang Kutakutkan Dari Kematian

 


Kematian ... apa yang kutakutkan darinya? Sakitnya sakaratul maut? Tidak bisa lagi melihat orang-orang yang kusayangi karena telah berpindah dunia? Menjalani kehidupan asing yang menakutkan di alam kubur sambil menunggu hari kebangkitan? Siksa kubur karena mati dalam keadaan tercela? Bayangan neraka yang sudah diperlihatkan di alam kubur karena timbangan dosaku lebih berat? 

Bukan. 

Ada banyak hal yang lebih mengerikan daripada itu. Tahukah kau, Wahai Dunia Fatamorgana, apa yang kutakutkan dari kematian?

Adalah kematian dalam beberapa keadaan: 
Mati meninggalkan janji yang belum sempat kupenuhi. Mati tanpa pernah mengetahui di jalan kehidupan mana yang sebenarnya Sang Maha Cahaya inginkan untuk diriku menghaluskan lelaku dan berwelas asih terhadap sesama. Mati dengan kebodohan karena terlambat menyadari bahwa aku telah lama menjadi mayat hidup di tempatmu yang sekarang tengah kupijaki. Mati sebelum berhasil menemukan makna keberadaan diri.

Tapi, lagi-lagi, aku bertanya-tanya, pada diriku yang ada di dalam sana ... benarkah itu adalah hal-hal yang paling kutakutkan dari kematian? Sepertinya bukan.

Ada hal yang paling gelap, hitam dan mengerikan dari sebuah kematian. Lebih dari semua hal yang telah kupikirkan sebelumnya. Dan rasanya bisa menjadi siksaan terberat bagiku ketika aku tahu akan menjalani kehidupan baru yang asing sama sekali kelak di alam sana.

Aku takut. Sangat takut.

Aku, takut mati dalam keadaan amnesia terhadap diriku sendiri. Aku, takut mati dalam keadaan bertengkar dengan seluruh bagian dari diriku. Aku, takut mati dalam keadaan terputus dari diriku sendiri. Aku amat sangat takut kehilangan keterhubungan dengan diriku yang ada didalam sana. Hal semacam itu, lebih membingungkan dan mengerikan dari apapun. Bahkan dari kematian itu sendiri.

Karena ... saat aku terputus dari diriku sendiri, aku tak akan mampu lagi merasakan cinta kasih-Nya yang lebih besar dari murka-Nya. Aku akan kehilangan tali pegangan dan nyala pelita-Nya yang membuat kematian tampak menakutkan dan tak pernah kuingini.

Aku takut ... saat aku terputus dari diriku sendiri, aku tak bisa menemukan jalan pulang kembali menuju-Nya dan hanya berputar-putar dalam labirin tanpa ujung jalan keluar. Siksaan dan hal-hal mengerikan yang para pendogma agama katakan tentang azab dan dosa ... aku tak peduli. Bahkan, penilaian dan timbangan manusia tentangku yang lahir dari labelitas profesi atau penokohan masyarakat setingkat ustadz, kyai atau pemuka agama sekalipun, entah itu baik ataupun buruk ... pahala ataupun dosa ... aku sungguh tak peduli!

Bagiku, asalkan Sang Maha Penyayang masih sudi melihat, mengawasi dan tidak mengabaikanku ... aku tak akan merasakan kematian yang dingin lagi menakutkan.


-Vinny Erika Putri, 16.09.21

C.A.N.D.U

 


Di pelataran sunyi, kumainkan serangkaian melodi yang menjadi detak nadiku. Senandung nadanya melepaskan rasa yang gelap, halus, jujur dan mengharu biru. Lantas, pada suatu malam, kudengar gemerasak reranting terinjak oleh derap lirih sepasang kaki milik seorang pemburu. Suaranya, merambat di udara dan bercampur dengan alunan laguku. Rupa-rupanya, nada-nada diri yang menyenandungkan misteri kehidupan telah menarik langkahmu padaku. 

Kau menemukan sosokku. Cukup lama tubuhmu membeku. Matamu berbinar terpukau. Menyaksikan seorang perempuan dalam balutan gaun hitam dan rambut panjang terurai, berdiri di bawah naungan purnama yang menyinari seluruh penjuru. 

Sirat matamu bertanya-tanya, siapa sesungguhnya diriku. Seseorang yang tak pernah kau temukan dalam gemerlap panggung dunia penuh sorot lampu. Sementara aku, tak acuh dan terus saja memainkan melodiku. Sampai, kau timpali euforia sunyiku dengan riuh tepuk tanganmu.

Lingkar matamu kurasai memburu. Kau, berusaha keras menelisik kehidupan macam apa yang berdenyut didalam diriku. Pun, telingamu terjaga mencari-cari kisahku diantara belantara kisah kehidupan manusia yang terlantun dalam melodiku. Sayangnya, tak ada rasa percaya yang bisa kubagi denganmu. Kau, tak akan bisa membaca kidung tentangku. 

Tapi, kau ... lelaki berkepala batu. Berkali-kali setelahnya, kau muncul mengacaukan malamku. Pula, membuat gaduh irama laguku. 

Hingga pada satu masa, amarahku tetas menggebu-gebu. 
Hei, kau! Apa yang membawamu kerap kali singgah melihatku?! Aku, bukanlah buruanmu!

Katamu padaku,
Kau adalah candu. Yang hadirnya tak bisa kuabaikan dalam tiap degup jantungku. Entah sejak kapan waktu.

Aku diam membisu. Candu sejenis itu pernah membuatku sekarat semasa dahulu. Dan sosokku yang sekarang, tak akan limbung terpanah oleh racun candu yang terlontar dari bibir-bibir manusia sepertimu.

Dalam-dalam kutatap matamu, lantas tersenyum dengan gumam kata-kata yang tak akan pernah kau tahu,
Kau, tidak akan kuat menghirup candu serupa diriku. Aku rumit dan sulit terdefinisikan oleh kepalamu. Kau tak akan bisa sabar untuk menerima dan memahami seluruh bagian dari diriku. Kebosanan akan mengepungmu. Atau bahkan, kengerian yang tak kau sangka bisa saja mengagetkanmu. Hingga pada akhirnya, dirimu akan mundur karena tertelan takut dan ragu.
Kau menunggu jawaban dari bibirku. Namun, kau tak mendengar kalimat apapun selain nada-nada asing yang semakin sukar dimengerti olehmu. Kata-kata hanya menggema dalam semesta batinku.

Aku, kembali memainkan melodiku. Dengan gubahan nada-nada merah, hitam, biru dan ungu. Kini, aku sudah tak lagi peduli, apakah kau masih akan singgah berdiam di sini atau perlahan-lahan pergi memunggungiku. Mataku, sudah tak lagi hirau pada sosokmu. Kita, hanya akan menjadi perulangan kisah tanpa titik temu. Seperti candu di masa lalu.


-Vinny Erika Putri, 16.09.21

Selasa, 07 September 2021

Garis Batas

 



Matanya mendapati sosokmu
Berdiam di belantara sunyi yang tak bisa dicernanya

Dipanggilnya dirimu dengan tiga huruf "H-e-i" 
Lantang dan dipanjangkan, berulang-ulang
Lantas, langkah kakinya memendekkan jarak kalian

Ia menghampirimu dengan wajah riang bagai anak kecil
Yang menemukan teman berpetualang untuk memecahkan teka-teki kehidupan

Lambat laun, sesuatu kau rasakan berbeda
Kau menyadari, jiwa anak-anaknya telah ia tanggalkan pelan-pelan
Ia menujumu dengan perasaan yang sungguh tak ingin kau definisikan

Bibirmu melengkungkan seulas senyum padanya
Sembari memundurkan langkah depa demi depa
Ketika garis batas hendak ia lampaui tanpa sadar

Keningnya berkerut, mata lelakinya seolah bertanya, 
Mengapa aku tak pernah benar-benar tahu bagaimana diriku di dalam dirimu?
Kau hanya memberikan tatapan mata yang tak bisa ia tebak
Di belakang sana, dalam dunianya, seseorang yang terkulai lemah membutuhkannya sebagai pijakan dan topangan
Ah, tak hanya seseorang, tapi berorang-orang yang dalam tubuh mereka mengalir darah dirinya

Diammu membuat alisnya semakin bertaut, hingga kau, lagi-lagi, mengatakan hal yang sama kepadanya,
Pulanglah, aku sedang tak ingin mengurai teka-teki apapun.
Ia pun pergi, memunggungimu untuk pulang
Lalu, kau mengembuskan napas yang terdengar berat

Hatimu tahu, sementara hatinya tidak
Kau, pernah mendapatkan sebuah tikaman luka
Yang rasa sakitnya melekat kuat dalam ingatan
Dan membuatmu berjanji pada dirimu sendiri
Bahwa ... belati itu, tak akan kau tancapkan 
Pada hati yang lain dari jenis yang sama seperti dirimu
Tidak akan pernah!

Ujarmu, padanya, dalam ruang batinmu yang kedap suara,
Kau, tolong ... bantu aku tuk memegang janjiku erat-erat
Kita, tetaplah melihat garis batas sebagai keindahan
Dan cara kita menjaga apa yang semestinya terjaga
Agar semesta tak mengutukku sebagai seorang yang ingkar


-Vinny Erika Putri, 07.09.21

Kamis, 02 September 2021

Melihat Hidup Sebagai Satu-Satunya Pilihan

 


Pukul aku hingga jatuh tersungkur
Injak aku hingga ke titik terendah
Banting aku hingga remuk redam
Cabik aku hingga koyak moyak
Tikam aku hingga darah mengalir
Pecahkan aku hingga menyerpih 
Di bagian manapun dari jiwa dan hatiku

Aku pasti akan merasakan ketakberhargaan diri
Aku pasti akan kehilangan makna hidup dan kehidupan
Aku pasti akan mendengar teriakan dari hati dan jiwa yang kesakitan
Aku pasti akan bertengkar dengan seluruh bagian diriku didalam sana
Aku pasti akan mempertanyakan hidup dan kehidupan yang kujalani

Tapi, tak apa ... silakan saja!
Dorong aku, sampai ke tempat yang paling dasar 
Atau bahkan ke dalam jurang kegelapan yang menakutkan
Hingga seluruh rasa dan kata-kataku lenyap tak berjejak
Lakukanlah, sesuka kalian, Wahai Dunia Fatamorgana

Lakukanlah!
Sampai aku hanya melihat hidup sebagai satu-satunya pilihan
Untukku kembali bangkit memulai perjalanan dari titik nol
Menerangi lubang gelap bekas luka-luka dengan cahaya
Melampaui kegelapan yang paling gelap dari hari-hari gelap
Dan menertawai semua hal yang pada awalnya menyakitkan


-Vinny Erika Putri, 03.09.21

Persinggahan Kisah


Aku kepada kalian:
Aku tak ingin menjadi sebuah penjara
Pula enggan menjadi simpul-simpul tali
Aku bukan majikan, kalian bukan kacung
Aku bukan pemimpin, kalian bukan pengikut
 
Kalian kepadaku:
Janganlah menjelma teralis-teralis besi
Ataupun bermacam jenis rupa tali temali
Aku bukan kacung, kalian bukan majikan
Aku bukan pengikut, kalian bukan pemimpin

Datanglah jika kalian ingin kenal dan mengenali
Pergilah jika kalian tak lagi sanggup memahami

Kita hanyalah persinggahan kisah
Yang bergerak dalam siklus datang dan pergi
Untuk menemukan ujung perjalanan semesta kehidupan


-Vinny Erika Putri, 02.09.21

Rabu, 01 September 2021

Aku Melihatnya, Di Matamu: Sunyi yang Perih

 



Apakah kau merasakan hidupmu benar-benar berbahagia dan terisi penuh? Atau, kau orang yang kerap mengabaikan kebahagiaan dirimu demi menjaga keberlangsungan hidup orang banyak?

Apakah kau merasakan hatimu terisi penuh oleh orang selain dirimu dengan segala perwujudan dari kata "saling"? Atau kau acapkali menjalani segalanya sepihak, satu arah dan sendirian?

Apakah kau pernah berada di titik terentah yang membuatmu merasa ingin menyerah menghidupi hidup? Atau kau seringkali berlari dari perasaan rapuhmu dengan melakukan banyak hal yang kau anggap bisa melupakan semuanya sebagai caramu bertahan hidup?

Apakah kau benar-benar merasa dikelilingi teman-teman yang tulus dan sanggup memahami jiwamu? Atau kau memang tak membutuhkan hubungan semacam itu untuk memperpanjang pelarianmu?

Apakah kau benar-benar tak ingin meneriakkan penat hidupmu sebagaimana yang kerap kau rasakan? Atau, kau tak memiliki ruang katarsis untuk mengatakan pada dunia tentang apa yang kau peram jauh didalam sana?

Ah, betapa sedemikian peliknya hidupmu.

Aku melihatnya, di matamu: sunyi yang perih.

-Vinny Erika Putri, 01.09.21