Tanyamu padaku, pada suatu waktu, di ruang sunyi, ketika terkepung bingung atas rasa yang hadir di hatimu,
Apakah kau pernah merasakan jatuh cinta?
Lama aku termenung, membuka satu persatu lembar ingatan dalam buku kisah pengalaman hidupku.
Aku bertanya balik,
Cinta? Cinta seperti apa yang kau maksud? Cinta sepasang wanita dan pria? Entahlah.
Sampai sekarang, ketika kau menanyakan sesoal cinta, aku sendiri masih tergagap-gagap mencernanya. Aku mempertanyakan diriku sendiri. Apakah aku memang pernah benar-benar mencintai seseorang? Benarkah perasaan di masa lalu yang sempat kucecap adalah cinta? Cinta semestinya tidak menyisakan bekas luka pengkhianatan yang gelap. Cinta seharusnya bisa meninggalkan kebaikan didalamnya sekalipun takdir-Nya tidak mengizinkan dua orang pecinta bertaut dalam jiwa-raga untuk mengarungi hidup bersama sepanjang usia. Ah, tapi, aku lagi-lagi berkata seharusnya. Tentang idealisme kesetiaan, loyalitas dan komitmen yang lebih mungkin terdengar menyuarakan personal values diriku.
Belum juga kutemukan jawaban untuk diriku sendiri, kau masih bertanya mencari ketegasan dari sekadar jawaban keentahan yang kuberikan, lebih jelas dari pertanyaan sebelumnya,
Apakah kau pernah merasakan jatuh cinta pada seorang pria?
Sejenak, aku membisu. Aku mencari jawaban aman untukmu agar tak melewati garis batas sekaligus menemukan jawaban yang sebenarnya untuk diriku sendiri.
Kata-kata meluncur dariku,
Dulu, mungkin. Sekarang, tidak sedang merasakan perasaan apapun dengan siapapun.
Setelahnya, kau terdiam. Tahukah kau? Bahkan, untuk mengatakan kata "mungkin" pun terbesit keraguan yang besar dalam hati dan kepalaku. Aku masih mengurai segenap rasa yang pernah singgah dalam kisah usang masa silam.
Kukira, kau tak akan lagi bertanya. Tapi, tampaknya, kau belum puas menggali diriku lebih jauh lagi,
Lalu, pria seperti apa yang bisa membuatmu jatuh cinta?
Aku mulai meradang. Kujawab sekenanya,
Jika aku mencintai seseorang secara terang-terangan sebanyak 100 persen, maka orang tersebut pun harus mencintai diriku dengan persentase yang sama. Sayangnya, belum kutemukan manusia yang bisa menghadapi wanita sinting sejenis aku. Kecuali jika aku mencintai seseorang dalam diam, tak perlu ada persentase didalamnya. Karena cinta semacam itu ... lebih mudah bagiku untuk melepaskannya.
Kau bungkam. Mati kata-kata. Suasana hening. Sementara aku kembali menenggelami hati, jiwa, pikiranku sendiri. Jawabanku, mungkin lebih terdengar menyiratkan kekecewaan. Tapi benarkah aku telah banyak menelan kecewa sesoal cinta? Ah, bukan itu pertanyaan utamanya. Tarikan pertanyaan yang lebih mendasar lagi dari pertanyaan sebelumnya adalah, benarkah aku pernah benar-benar merasakan jatuh cinta? Atau yang kukecap selama ini hanyalah obsesi kepemilikan dari dua orang yang masing-masing saling mengikrarkan diri terikat pada suatu hubungan asmara?
Apakah kau pernah merasakan jatuh cinta?
Pertanyaan darinya membuatku menelisik diriku sendiri lebih dalam. Aku merunut hubunganku di masa lalu dengan 2 orang pria sepantaran usiaku, yang kini malah membuatku sangsi dan mempertanyakan kebenaran rasa yang dulu kunamai cinta.
Kurasa dan kupikir, kesemuanya hanyalah racun obsesi kepemilikan yang mengacaukan nalarku dalam berperasaan. Aku mengabaikan hak pemenuhan kesejahteraan mental, jiwa dan hati untuk diriku sendiri. Aku mengorbankan diriku sendiri dalam banyak hal demi sebuah obsesi kepemilikan agar diri mereka tetap erat tergenggam. Pun sebaliknya, obsesi kepemilikan mereka atas diriku sampai mereka menemukan wanita lain yang bisa memenuhi kebutuhan mereka yang tidak bisa kupenuhi. Obsesi kepemilikan yang pada akhirnya, hanya menyisakan hal yang sama: kepergian dan pengkhianatan.
Apakah kau pernah merasakan jatuh cinta?
Pertanyaanmu terngiang-ngiang. Dan aku sudah mampu menjawabnya dengan yakin. Aku belum pernah merasakan jatuh cinta yang sebenar-benarnya cinta. Semuanya hanya fatamorgana yang disuguhkan oleh ilusi perasaan. Bentuk lain dari obsesi kepemilikan manusia atas diri orang lain termasuk obsesi atas kendali hidupnya. Diawali dari rasa kagum yang memproyeksikan gambaran sosok pria ideal dalam angan-angan diri. Atau suatu pengharapan diri yang terlampau tinggi bahwa orang tersebut bisa memenuhi rongga kosong atas luka-luka batin yang tersembunyi dalam hati. Lantas, kesemuanya itu, terus merepetisi diri sehingga perasaan memvalidasinya menjadi sebuah rasa yang dianggap cinta.
Lalu, pria seperti apa yang bisa membuatmu jatuh cinta?
Entahlah. Aku tak membayangkan sosok pria manapun. Bahkan, mencari jawaban ini dalam kepala, rasanya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Hanya menambah-nambah pening hidupku.
Kini, aku, lebih peduli pada diriku sendiri. Diriku adalah sosok yang paling ingin kulindungi sekaligus kusembuhkan dari luka-luka apapun. Termasuk, menjaga diri agar tak terjebak dalam pusaran lingkaran obsesi kepemilikan yang mengkamuflasekan diri atas nama cinta. Jadi, aku akan lebih dulu dan selalu mencintai diriku sendiri secara sadar, utuh dan penuh sebelum aku mencintai makhluk apapun di muka bumi ini.
-Vinny Erika Putri, 13.10.21