Peristiwa beberapa tahun silam. Masa putih abu-abu. Di mana
'ke-cupu-an' melekat padaku. Hanya mengenal rumah-sekolah-belajar.
Memiliki geng senasib-sepenanggungan: tidak terlalu suka jalan-jalan,
tidak bisa bersolek, kurang fashionable, orang-orang sederhana, pembelajar yang gila belajar.
Terkumpul
tujuh orang yang kerap mengulik angka dan pelajaran lainnya di rumahku
saat-saat pengayaan didengung-dengungkan. Semasa itu, bibir-bibir
mengkhayalkan masa depan. Tentang pernikahan hingga cita-cita. Seperti
permainan 'cap-cip-cup', mengira-ngira siapa yang mendapat kehormatan
lebih dulu mendapat pasangan hidup di antara kami.
"Hei, yang kecil nikahnya belakangan," celutuk Si E dengan nada canda kepada Si A yang berbadan paling kecil diantara kami.
Kami
berbicara tentang pernikahan, padahal kami termasuk kelompok yang tak
terjamah kata 'pacaran' dan sekedar 'naksir-naksir terpendam'. Kemudian
perbincangan beralih ke cita-cita.
"Waah, Si A cocok banget jadi guru. Orangnya penyabar." Si D berujar.
"Kalau
Si B jadi guru kacau. Pas kelaparan nanti murid-muridnya dimarahin.
Tahu sendiri kalau dia lagi lapar. Bawaannya pusing, gak bisa konsen,
marah-marah pula." Teman lainnya menimpali.
"Vinny apalagi, bisa-bisa murid-muridnya ketakutan. Papan tulis jadi sering kena getok penggaris kayu yang panjang," tukas Si C.
"Ha ha ha. Iya. Dia, di kelasnya, kan, terkenal dengan panggilan KAMRA," sambung Si F.
Kutersenyum memamerkan gigi. Pasrah. Tak ada keinginan untuk berkilah. Sedikit berat hati mengiyakan. Sebab dalam
struktur organisasi kelas tertera nama Vinny Erika Putri sebagai Sie.
Keamanan. Hiks! Walaupun sebenarnya, aku tak segarang itu. Kalau ada pilihan nama lain dari Sie. Keamanan, aku agaknya akan memilih nama Sie. Keseimbangan. Hahaha!
Lepas SMA, kami semua masih berhubungan
baik meski terpisah-pisah sebab pilihan hidup. Pilihan hidup untuk
menimba ilmu atau bekerja baik di kota rantau maupun di kota domisili.
Beberapa kali mengadakan pertemuan, tak tampak kekakuan atau canggung
walau komunikasi tak terjalin intens selama mata tak bertaut pandang.
Usai
menggenggam ijazah sarjana, kukembali ke kota domisili dan kerap
bertemu dengan mereka yang masih menetap di sini. Teringat 'cap-cip-cup'
dahulu, kami dibuat takzim dengan kenyataan. Orang yang paling kecil di antara kami, pada akhirnya 'yang mendahului' menggenapkan
separuh agama. Kami tertawa-tawa mengenang masa-masa putih abu-abu.
Lebih terpingkal-pingkal lagi dengan apa yang sedang kujalani.
Sungguh-sungguh metamorfosa.
"KAMRA sudah lepas seragam
sejak dunia yang dihuninya tak lagi putih abu-abu. Sekarang pakai
seragam 'Ibu Peri'," tandasku sekenanya dengan tawa lebar.
Tapi, tahukah Kalian? Aku benar-benar jatuh cinta pada anak-anak. Dunia mereka seperti susunan pelangi dengan warna 'mejikuhibiniu' dan rasa permen 'nano-nano'. Mereka membawa hidup yang kujalani terasa bagai roller coaster!