Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Sabtu, 23 Februari 2013

Kenangan



Ada yang mengayun bersama silir sendalu
Lantas menarikku menghela waktu
Yang udaranya masa lalu
Kurasai kembali sembilu
Pada degup perih yang tertinggal di sana 
: Kenangan 

-Vinny Erika Putri, 24.02.13

Selasa, 19 Februari 2013

Metamorfosa KAMRA



Peristiwa beberapa tahun silam. Masa putih abu-abu. Di mana 'ke-cupu-an' melekat padaku. Hanya mengenal rumah-sekolah-belajar. Memiliki geng senasib-sepenanggungan: tidak terlalu suka jalan-jalan, tidak bisa bersolek, kurang fashionable, orang-orang sederhana, pembelajar yang gila belajar.

Terkumpul tujuh orang yang kerap mengulik angka dan pelajaran lainnya di rumahku saat-saat pengayaan didengung-dengungkan. Semasa itu, bibir-bibir mengkhayalkan masa depan. Tentang pernikahan hingga cita-cita. Seperti permainan 'cap-cip-cup', mengira-ngira siapa yang mendapat kehormatan lebih dulu mendapat pasangan hidup di antara kami.

"Hei, yang kecil nikahnya belakangan," celutuk Si E dengan nada canda kepada Si A yang berbadan paling kecil diantara kami.

Kami berbicara tentang pernikahan, padahal kami termasuk kelompok yang tak terjamah kata 'pacaran' dan sekedar 'naksir-naksir terpendam'. Kemudian perbincangan beralih ke cita-cita.

"Waah, Si A cocok banget jadi guru. Orangnya penyabar." Si D berujar.

"Kalau Si B jadi guru kacau. Pas kelaparan nanti murid-muridnya dimarahin. Tahu sendiri kalau dia lagi lapar. Bawaannya pusing, gak bisa konsen, marah-marah pula." Teman lainnya menimpali.

"Vinny apalagi, bisa-bisa murid-muridnya ketakutan. Papan tulis jadi sering kena getok penggaris kayu yang panjang," tukas Si C.

"Ha ha ha. Iya. Dia, di kelasnya, kan, terkenal dengan panggilan KAMRA," sambung Si F.

Kutersenyum memamerkan gigi. Pasrah. Tak ada keinginan untuk berkilah. Sedikit berat hati mengiyakan. Sebab dalam struktur organisasi kelas tertera nama Vinny Erika Putri sebagai Sie. Keamanan. Hiks! Walaupun sebenarnya, aku tak segarang itu. Kalau ada pilihan nama lain dari Sie. Keamanan, aku agaknya akan memilih nama Sie. Keseimbangan. Hahaha!

Lepas SMA, kami semua masih berhubungan baik meski terpisah-pisah sebab pilihan hidup. Pilihan hidup untuk menimba ilmu atau bekerja baik di kota rantau maupun di kota domisili. Beberapa kali mengadakan pertemuan, tak tampak kekakuan atau canggung walau komunikasi tak terjalin intens selama mata tak bertaut pandang.

Usai menggenggam ijazah sarjana, kukembali ke kota domisili dan kerap bertemu dengan mereka yang masih menetap di sini. Teringat 'cap-cip-cup' dahulu, kami dibuat takzim dengan kenyataan. Orang yang paling kecil di antara kami, pada akhirnya 'yang mendahului' menggenapkan separuh agama. Kami tertawa-tawa mengenang masa-masa putih abu-abu. Lebih terpingkal-pingkal lagi dengan apa yang sedang kujalani. Sungguh-sungguh metamorfosa.

"KAMRA sudah lepas seragam sejak dunia yang dihuninya tak lagi putih abu-abu. Sekarang pakai seragam 'Ibu Peri'," tandasku sekenanya dengan tawa lebar.

Tapi, tahukah Kalian? Aku benar-benar jatuh cinta pada anak-anak. Dunia mereka seperti susunan pelangi dengan warna 'mejikuhibiniu' dan rasa permen 'nano-nano'. Mereka membawa hidup yang kujalani terasa bagai roller coaster!

Sabtu, 16 Februari 2013

Simbah Putri

Nanar kamboja terkecap
Menyisakan kehilangan
Melekat pada Jum'at
Kala langit masih menggelap
Dan pagi belum bertemu kilau embun
Sabtu malam
Tubuh renta meringkuk lelah
Terdiam di balik selimut

Hatinya telah pergi separuh
Seiring kepergian belahan jiwanya
Mataku basah
Terhampar bayang sepi
Mengepung hari-harinya

Kini, hari telah di angka tujuh
Jarak membatasi jala pandang
Menciptakan rindu dan tangis
Tanya berulang menjeratiku
: "Apakah kau tengah menggenggam sepi di balik selimutmu, Simbah?"

-Vinny Erika Putri, 16.02.13

Selasa, 12 Februari 2013

Untukmu yang Ditinggalkan



Tak hanya pagi yang berembun, sepasang bola mataku juga. Di sampingku, simbah putri berkata-kata dalam sengguk kepada ibu. Tangan berkerut keriput menyeka pipi yang basah. Pilu menggeriak di tiga hati. Tiga perempuan.

Tanganku melingkar di punggungnya. Lantas, mengusap-usap kepalanya. Menyentuhi keningnya dengan bibirku. Aku mengutuki jarak dan waktu. Keduanya, mulai pagi ini akan kembali merengkuhi kami. Pula merajakan penantian: 40 hari.

"Mbah, nek sampun 40 dinten, mangkin tinggal ning Cirebon ae. Nek bosen, gantosan teng Malang, ben simbah mboten kesepian. Mbah usah mikirna werna-werna ben sehat awake."

Suara perempuan ibu bercampur serak. Sedang simbah putri hanya membisu. Matanya basah.

"Mbah, Sabtu-Minggu kula prei. Insya Allah, mangkin kula piyambek teng riki malih. Sing sehat-sehat nggih, Mbah."

Lima punggung berlalu. Sepasang kakiku seolah dibanduli beban hitungan kilo. Terasa berat untuk melangkah menjauhi simbah putri.

"Titip simbah ya, Dek Tari," ujar ibu diiringi sedu sedan kepada iparnya.

Berlaksa-laksa kata yang kukumpulkan tercekat di kerongkonan. Pada akhirnya aku hanya menyalami punggung tanggan mereka satu per satu. Lalu, mobil bergerak membelah jalanan. Membentangkan jarak yang kian panjang. Tapi, tidak dengan hati ini. Hati ini tak berjarak untukmu.

*Teruntukmu, Mbah Putri...
Vinny Erika Putri, Wonosobo-Cirebon, 100213.

Untukmu yang Berpulang



Saat itu, rentang jarak dan waktu sangat ingin kupendekkan. Bukan karena ingin menjamu temu untuk menuntaskan dahaga rindu. Tapi menetaskan gelegak hati yang tak keruan. Ibu menggenggam ponsel dengan mata tergenang linang. Suaranya serak. Tertimbun sengguk.

Layar ponsel mati. Lantas berpindah tangan padaku. Setelahnya, bibirku berkomat-kamit merapal doa: kesempatan masih terengkuhi.

"Sudah diputuskan, jam satu. Kami menunggu sampai kalian datang."

Pesan singkat tertera di layar ponsel, mencacah sedikit bongkah-bongkah yang sedari tadi menyumpali dada. Pesan itu bagai asupan oksigen yang membuat kami bisa sedikit bernapas tenang.

Namun, tetap saja jalan terasa panjang. Ibarat tanpa ujung. Sungguh, aku muak pada jarak dan waktu yang melahirkan penantian.

Tiba ketika jarum jam seluruhnya bertengger di angka 12. Pipi ibu kembali basah. Hangat merebak di sepasang bola mata. Terpecah menjadi bulir-bulir yang mengumpul di sudut. Jatuh menetes.

Langkah kakiku mendekati tubuh renta. Serba putih kecuali kepala. Bibirku menyentuh keningnya. Dingin. Tanpa napas. Jala pandangku lekat menatap wajahnya. Bersih. Tersenyum.

Jum'at mubarak. Menunggu hingga para lelaki kembali dari masjid. Setengah jam lamanya. Setelahnya,  iring-iringan perkabungan berjalan. Menabur doa sepanjang langkah.

Lingkar mataku terus menatap keranda di hadapanku. Airmata masih mengalir. Jenazah diturunkan. Adzan menggema di galian berukuran 2m x 1m. Setelahnya, menjadi gundukan bertelekan bunga-bunga. Tangan menanam doa-doa.

Lantas, manusia-manusia pengarak keranda meninggalkan tanah pekuburan. Seiring tapak kaki, kuhirup nanar kamboja dengan kepala mengurai jejaring lelabah. Satu tarikan napas, menghela 26 tahun degup kenangan. Menyisakan pilu kehilangan.

Vinny Erika Putri, Wonosobo, Berpulangnya Simbah Kakung Wonosobo, 090213.