Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Sabtu, 29 Desember 2012

Setahun Silam



Setahun silam...
Sepasang kaki melangkah
Melewati bayang demi bayang kenangan
Yang terserak menjadi pecahan beling

Setahun silam...
Sepasang kaki melangkah
Mencecapi luka-luka
Menanah darah
Tertatih terjatuh
Bangkit mengurai pilu

Hati tak lagi memerah jambu
Telah koyak moyak 
Tercabik pengkhianatan
Menyisakan luka-luka

Keperihan mempertanyakan
: inikah yang dinamai cinta?

-Vinny Erika Putri, 29.12.12

Selasa, 18 Desember 2012

Ksatria


Rentang jarak mengada
Raga terhalang temu
Rindu tercipta berkali-kali
Penantian temu serupa siksaan di atas waktu dan jarak

Seberapa lama bertahan?
Perlahan, setia kau tunggangi

Api kau mainkan
Terbakar kau dengan gelora

Bangkai kau kubur
Bangkai kugali
Karena matamu tak ingin ditemui
Kutunjukkan pada sepasang telingamu

Lidahmu bermain-main
Berkilah

Majulah biang onak penggoda
Mencabik-cabik hatiku dalam rupa suara
Dan kau?
Berlindung di sebalik punggungnya
Ah, itukah yang kau namai ksatria?

-Vinny Erika Putri, Cirebon, 181212.

Sabtu, 15 Desember 2012

Diamlah!



Selengkung tanya dari bibirmu
Kembali menabur garam
Pada hati yang masih koyak moyak

Seberapa peluh kuterjaga
Dari perih yang meremasi dada
Kau tak akan menelan pemahaman

Aku telah mengemas rapat segala
: Kidung-kidung hidupku
Tak usah halwa senandungnya
Berembus hingga ke telingamu

Atau kau menggali-gali
Pada apa yang telah kupusarakan

Kau tahu?
Bahkan, aromanya tak setitik pun 
Kau beroleh restu menghirupnya
Maka diamlah!
: lumurilah mulutmu dengan perekat

-Vinny Erika Putri, 15.12.12

Senin, 26 November 2012

Sarung



Sarung itu ia dekap erat-erat dengan kedua lengannya. Lalu, ia benamkan wajahnya pada sarung itu. Dua lubang udara menghirup dalam-dalam aroma yang tertinggal di tiap serat-serat kainnya. Dari situlah ia mengeja kenangan.

Matanya membasah. Ada kerinduan yang mengental dan menggumpal di dada. Kerinduan yang musykil mengecupi pertemuan. Kerinduan yang terbaca jelas oleh airmata.

Pada sarung itu, tertinggal aroma. Aroma ibunya. Dari situlah ia mengeja kenangan. Ia dan ibunya telah lama terpisah oleh satu batas: kematian.

-Vinny Erika Putri, Cirebon, 26.11.12.

Sabtu, 10 November 2012

Tangis Gadis di Atas Sajadah



Sesak yang mencekik itu mencipta luruhan bulir-bulir embun di sudut mata sang gadis. Dalam telimpuh di atas sajadahnya, ia kembali menundukkan kepala kepada Sang Maha Penyayang bersama sengguk perih yang lirih. Sekuat tenaga ia hempas dendamnya.

"Aku tak perlu menghitung-hitung dan menakar seberapa adil, sebab Engkau Maha Mengetahui, Maha Adil lagi Maha Perhitungan. Cukup kumohonkan cahaya-Mu terus meneran
giku," bisik gadis itu dalam hati dengan tangan menengadah.

Kilat-kilat ingatannya berkelebat. Lalu, terhenti pada titik ketika wanita yang menjadi onak itu mencabik-cabik hatinya.


"Aku bersyukur, dia adalah lelaki yang Tuhan kirimkan untukku, walau dengan cara yang menurut kamu menyakitkan. Dan dalam waktu dekat ini, kupastikan akan menikah dengannya. Kamu, hanya masa silam yang tidak penting sama sekali."


Ada senyum sinis bercampur perih tergambar pada bibir gadis itu mengingat tulisan-tulisan yang tertera pada sebuah layar kotak. Kata-kata wanita onak itu seperti sebuah anekdot lucu. Bagaimana tidak? Yang menjadi masa silam tak pernah sama sekali mengusik mereka yang telah menera luka. Tapi, wanita onak itu sendirilah yang menghadirkan gadis itu sebagai bayang-bayang mereka.


Gadis itu masih di atas sajadah. Entah telah berapa lama ia mengadu pada Tuhan-Nya dengan linang airmata yang masih saja meruah. Dan Tuhan memang selalu romantis, Dia membelai hati sang gadis dan memberinya ketenangan.


-Vinny Erika Putri, 10.11.12.

Kamis, 01 November 2012

Mengadu Pada Aksara



Aksaraku lebih liar dari yang sudah
Menelanjangi rasa yang sembunyi
Di sudut hati tanpa ampun
Gurat lekukannya selaju riak jiwa
Yang lama memeram rusuh dalam diam
Ah, lagi-lagi aku mengadu pada aksara

-Vinny Erika Putri, 01.11.12

Kau dan Sahabat



Jikalau sahabat-sahabat terdekatmu tak memberitahukan permasalahannya, bukan berarti dirimu tak penting lagi baginya. Terkadang, setiap manusia ada saatnya membutuhkan ruang untuk dirinya sendiri merenung. Pun ada kalanya mereka harus memilih mana yang perlu dibagi dan mana yang tidak.

Jikalau sahabat-sahabat terdekatmu tak membagi kabar bahagianya padamu, bukan berarti mereka melupakan atau sengaja menyembunyikannya darimu. Justru mungkin, mereka tak ingin menyakitimu dengan kabar bahagia itu lantaran mereka mengerti betul dengan kondisimu. Yah ... mengerti betul sebab pernah berjuang bersamamu untuk mendapatkan kebahagiaan yang sama itu.

Perjalanan kebersamaan yang tak singkat, cukup membuatmu mengerti bahwa tanpa mereka menceritakan seluruh hidupnya kepadamu, sahabat tetap sahabat. Menghargai seperti mereka menghargaimu ketika kau memilih tidak melulu membagi apa yang tengah kau rasa. Ingatlah riuh canda serta suka duka yang pernah dilewati bersama, bukankah itu sudah cukup menghadirkan lengkung senyum di bibirmu?

Vinny Erika Putri, 01.11.12. 

Wanita di Panti Wreda



Ingin kembali mengunjungi sebuah Panti Wreda dimana aku bertemu seorang wanita "depresi" berkerudung. Usianya kuterka kira-kira sekitar 3 tahun di atasku.

Menurut ibu-ibu yang sepanti dengannya, ia mengalami depresi berat -yang menurut keluarganya- karena beban pekerjaan dan diselingkuhi oleh tunangannya kemudian ditinggalkan. Dan ketika wanita itu mengamuk di luar kamarnya acapkali diiringi ocehan-ocehan mengenai pekerjaan dan laki-laki itu. Ia tidak pernah memukul ataupun menyakiti penghuni panti lainnya, hanya mengoceh dan membanting barang-barangnya sendiri ketika mengamuk.

Tapi, satu hal yang membuatku terenyuh dan menggelitik penasaranku adalah pernyataan dari salah satu penghuni panti itu bahwa, "Setiap keluar kamar, wanita itu selalu mengenakan jilbabnya. Ia tak pernah melepas jilbabnya kecuali saat di kamar dan dalam posisi sendiri."

Keluarganya telah menyerah dan tak tahu harus berbuat apa kepadanya. Duhai Ar-Rahiim ... berilah ia kebahagiaan, kesembuhan dan kesadaran. Izinkan suatu waktu aku bisa merengkuh ia tuk mengerti isi hatinya. Berbicara dari hati ke hati dengan mengedepankan kesamaan perasaan sebagai wanita. Aku begitu ingin mengenalnya.

Entah ... sekalipun tak ada darah yang sama mengalir di tubuh kami. Ada pedih yang turut kurasakan mendengar kisahnya. Dan tak terbesit rasa takut wanita itu akan menyakitiku ketika kumendekat. Mungkin karena aku memahami bagaimana ia mengeja perih dengan hatinya yang digenggam luka tanpa bisa ia bagi pada sekelilingnya. Atau mungkin belum menemukan orang yang sanggup memahami gelung lara hatinya.

Vinny Erika Putri, Cirebon, 011112.

Air Mata



Kumerebah tanpa pejam di jantung malam
luruh melarut dalam pekat riang kesunyian
Ringkih tersenyum menggenggam luka
Menghela udara yang ejan napasya perih
Lalu, aku merahim pada airmata

Entah telah seberapa hitam legam
Hatiku yang ditikami luka serupa
Oleh dua insan berbeda jelma wajah
Pada pintal masa yang tak satu detak waktu

Ketika cinta tak lagi satu tapi dibagi
Hingga membatalkan janji-janji seorang lelaki
Yang kunamai kepercayaan luluh lantak
Hancur menjadi serpihan beling pengkhianatan
Yang menancapkan luka-luka di hatiku

Ketika simpul cinta yang kukira erat
Menyisakan akhir kisah yang sama
Membuatku paham siapa tulang rusuk cinta
: ialah airmata

-Vinny Erika Putri, 01.11.12

Rembulan yang Separuh



Ada berlaksa-laksa kata tertahan. Mengental dan menggumpal dalam dada. Hingga menjadi bongkah-bongkah yang menyempitkan celah bagi udara tuk mengisi peparu. Sesak. Mencekik.

Jerat matanya terus mengarah ke langit malam. Didapatinya rupa rembulan yang separuh, dan akan tetap separuh dalam jejaring pandangnya. Ia telah lupa, bagaimana cara merefleksikan jelma purnama. Sebab, hati gadis itu tak lagi utuh. Kembali separuh, seperti rembulan itu, dengan nganga luka yang tak kunjung mengatup. Luka itu mencabik-cabik hatinya yang dulu memerahjambu oleh cinta bertuak.


-Vinny Erika Putri, 01.11.12

Selasa, 30 Oktober 2012

Hapus Enam Huruf




Genggaman Enam Huruf
Aku tak ingin senja menadir dengan segera. Sebab, begitu senja memurna, enam huruf mengetuk-ngetuk talu hatiku melebihi degupnya tatkala pagi. Dan sudah berbulan-bulan lamanya jelma enam huruf menggenggamku. Ia –enam huruf– telah bersenyawa dengan malam-malam yang kuseduh bersama kesunyian.
Mengapa menggurat luka jika itu cinta?
Gegulut tanya yang kerap menelusup kala bongkah-bongkah enam huruf itu mengental dan menggumpali dada hingga membuat peparuku lupa bagaimana cara merasai udara. Namun, semencekik apa pun sesak yang tercipta, pertanyaan itu tetap menguap tiada jawab. Enam huruf kurasai kian tumbuh meriap; mengakar kuat.
*
Malam-Malam Kesunyian
Malam yang sama seperti malam yang berkesudah. Bebayang wajahnya mengada di dinding-dinding kamar; di pintu; di langit-langit atap; di cermin; di jalanan; di mana-mana, seolah hologram yang memantul dari tiap-tiap serpihan ingatanku. Sekalipun bola mata itu maya, tetap saja pandangannya menelanjangi perihku.
Tatapan nyalangnya serupa hunus berkali-kali sebilah pedang beracun tepat di lukaku yang tak kunjung mengatup. Anyir. Menanah darah. Lantas, racun itu mengalir melalui nganga luka hingga saraf-sarafku sekarat. Racun yang menjalari saraf-saraf itu umpama enam huruf yang erat membebati hati.
Malam telah tanggal separuh waktunya. Melelap sebagian insan di atas bantal-bantal lapuk yang mengerang bosan tertindih kepala-kepala mereka. Seluruh badan mereka melemah seketika oleh sebab mati sementara.
Di tengah kelengahan yang mendulang senyap, binatang malam mengikrik tanpa henti. Kikrikannya adalah pesta pora kesunyian yang kunikmati bersama tetangis perih yang lirih. Sampai tubuhku melelah dengan sendirinya dan pada akhirnya turut membau mimpi dengan enam huruf yang tak pernah memejam.
*
Tilas Kenangan
Dahulu, sebelum berkawan kesunyian, kunamai malam-malam adalah aroma kembang gula. Yang kecap manisnya tiada tara. Ketika jaringan nirkabel memendekkan lipatan jarak dengan menghantarkan suaranya, *amigdala-ku memeka. Bergerak membuka sekumpulan memorabilia semasa kebersamaan raga masih didapatiku.
Lalu, kusatukan kepingan-kepingan wajah lelaki terkasih hingga merupa sosoknya di jejaring retinaku. Halwa suaranya kuserap menjadi sebentuk bayang yang kian menguliti rinduku. Suara lelaki penenun cinta yang eja namanya terajut di hatiku.
Janji-janji berekat temu laksana rinai hujan yang membasahi tanah kering kerontang ketika rinduku padanya haus mendahaga. Kuar segala petilasan kenangan yang lesat berhamburan menarik segaris senyum. Ungkap cinta dari kejauhan merupa rengkuh lengannya yang sanggup menghangatkan diri dari hawa dingin angin malam yang menusuk tulang-belulang. Puisi-puisi bernapaskan cinta umpama serunai kidung pengantar tidur yang menyenyakkan.
*
Awal Mula Enam Huruf
Detik waktu terus berjingkat, cinta pun ikut dalam putarannya. Putarannya berbanding terbalik dengan waktu, sebanding dengan jarak. Cinta sang lelaki pudar seiring bertambahnya bilangan waktu. Dan jarak berkilo-kilo meter menjadi musabab perkara alasannya memunggungiku. Jauh sebelum meng-alibi-kan perkara jarak, sebenarnya, diam-diam sang lelaki telah bermain api dengan rekan sekantornya nun jauh di sana. Petakanya, dia benar-benar terbakar.
Laku sang lelaki ibarat mengubur bangkai namun lupa akan aroma busuknya. Aroma busuk yang mampu kuendus walau keberadaan jarak memisah raga dan membatasi jangkau pandang. Ia tak menyadari, telah lama intuisiku menggetap; merasai geliat gelagat yang tak biasa.
Gelagat pudarnya cinta kian memarah dan sang lelaki terlalu pengecut untuk menggali bangkai yang dipendamnya. Yang dinamai kejujuran nurani memilih bersembunyi. Membuatnya tetap bersilat lidah ketika bangkai kutunjukkan. Bersikukuh mengaburkan kehadiran wanita yang mengonak sekalipun jelma suaranya terang menohokku.
Sang lelaki pergi. Menyisakan luka sembilu. Cinta meremuk. Repih berkecai-kecai. Tak usah lisan mengurai seberapa dalam sakitnya saat onak itu berhasil meretas jalinan yang berbilang dua tahun. Lidah terlalu kelu kebas untuk mengucap kata. Sejak itulah, kukaribi kesunyian dengan hati hitam beku digenggam racun enam huruf.
Mengapa menggurat luka jika itu cinta?
Tetanya ini, bermula di sini pula. Bermula bersamaan dengan muasal enam huruf.
* 
Rapal Kutuk dan Doa Malam Kesunyian
Di malam-malam kesunyian, ketika enam huruf menggeletar hatiku, diri ini serupa setan. Tangan menengadah. Mengatasnamakan ‘orang yang teraniaya’, kepada Tuhanku, merapal doa umpama mantra-mantra kutukan teruntuk mereka para penera  luka. Berharap-harap berlakunya yang kuyakini ‘karma’ menimpa mereka. Setelahnya, aku kembali luruh dalam tetangis. Lalu, kendali enam huruf menyeringai gembira.
*
Petuah dan Jawaban
Di suatu pagi, peram perihku tetas dari wadahnya: hati. Tegar yang semalam-malam kupunguti dan kususun payah dari tetes-tetes airmata untuk menjamu rekah fajar, luluh lantak menjadi puing-puing berserakan. Akhirnya, butir-butir yang mengilap itu tak mampu lagi menyamar. Sebab, pagi tak seperti malam yang berkemampuan melindapkan mataku yang basah.
Kepalaku rebah dalam pangkuan seorang wanita berusia setengah abad. Wanita yang sebenarnya telah memahami tanpa banyak mendengar kata berlesakan dari bibirku. Ia mematrikan diriku sebagai belahan jiwa. Tersebab batinnya dan batinku saling menyimpul berikatan. Dialah ibu.
“Kau hanya memenjarakan dirimu sendiri dengan siksa. Sedang lelaki yang membuat kau tersiksa telah berbulan silam meniadakan tentangmu dalam lekap ingatannya.”
Hening. Ibu terdiam. Embun di bola mataku berulang kali menggenang dan berlinang mencumbui kulit wajahku. Tangan hangat ibu mengusap lembut kepalaku. Mulutnya kembali mengirap petuah.
“Sia-sia waktu yang kau hidupi. Berjalan dengan kekosongan tanpa menorehkan apa pun.”
Pakaian ibu basah diruahi airmata. Ia masih berbicara. Kali ini, kurasai getar berpadu dengan nada suaranya. Menandai hatinya turut tercambuk pedih.
“Hapus rasa yang mengkarati hatimu itu, Nak. Biarkan hatimu bernapas lega.”
Kumenyatukan kata seraya menegakkan kepala. Sekelumit kalimat yang menjadi tetanya batinku selama ini bergulir.
“Mengapa menggurat luka jika itu cinta, Bu?”  semburku sembari memandang matanya lekat-lekat.
“Cinta itu selalu putih, Nak. Cinta tak pernah melukai. Yang salah adalah manusianya.”
Beberapa jenak ibu membisu. Membiarkan udara mengisi peparunya dengan teratur.
“Cinta pula yang akan mengobati luka. Cinta Sang Maha Agung dari cinta yang teragung. Cinta Sang Maha Penyayang. Ingat itu, Nak. Dan berdo’alah untuk kebahagiaanmu.”
Airmataku masih kehilangan tali kekangnya. Mengalir menganak sungai. Lebih deras dari yang sudah.
*
Hapus Enam Huruf
Perlahan-lahan, kuhapus enam huruf. Ketika langit mewarna hitam, hatiku berserah dalam genggaman-Nya. Malam-malam kesunyian, kupagut bersama doa dan kepasrahan. Kudapati sadar. Sesadar-sesadarnya.
DENDAM. Telah berhasil mengendalikan pikiranku hingga hari-hari yang kurasai adalah siksa derita. Berharap-harap kutukan dan rapal doaku kepada mereka menyata. Berharap-harap ketersungkuran mereka dalam derita serupa deritaku mewujud. Hingga sadarku lelap bahwa usiaku semakin menua dengan sia-sia dilahap gulir waktu yang tak pernah bergerak mundur. Dendam pula yang memaku kakiku di satu tempat. Mengunci langkahku seperti terpuruk tanpa bangun.
*
Jiwa Baru
Aku tengah bangkit. Bangkit dan terus melangkah. Menebus waktu yang pernah tersia-sia. Luka itu membekas. Tapi, tak kuizinkan dendam mengekor luka. Aku tak ingin meriapinya kembali umpama jamur di musim hujan. Biarlah Tuhan yang bergerak dengan keadilan-Nya dan perhitungan-Nya. Rapal doa, cukup kudecap tuk permohonan ampunku kepada-Nya dan sebentuk kebahagiaanku yang kuyakini cecapnya ada.
Dan goresan-goresan pena yang kutoreh ini, merupa kebangkitanku. Pun terapi bagiku menuju jiwa yang baru. Dalam goresan-goresan pena jua kudapati mimpi-mimpi besar yang keberadaannya kuamini sebagai jalan sukses untukku dari-Nya.
*
Keterangan:
*amigdala: salah satu komponen sistem limbik (sistem di otak tengah) yang yang paling menonjol, merupakan pusat utama pengumpulan data sensoris dan pengatur informasi emosi

Perempuan yang Mencari Degupnya Sendiri



Degupnya tak lagi mengada. Perempuan itu sudah cukup lama hidup dengan bergantung pada degup lain di jantungnya. 

Dahulu, degup itu terasa begitu manis merekah. Keberadaanya beriringan dengan ketukan-ketukan rindu di dada. Ketukan rindu yang perlahan menjelma bayangan lelakinya. Ya. Hanya bayang. Kala itu, pekerjaan lelakinya menempatkan mereka pada keterpisahan dimensi ruang dan jarak.

Itu dulu. Setahun silam. Sebelum yang dinamai kekasih, menikmati dan melumat gincu lain yang sehadapan raga lalu menyisakan sembilu di hatinya. 

Kini, degupan itu, tak ubahnya siksaan bagi sang perempuan. Setiap lenting degupnya bagaikan cemeti yang dicambukkan berulang kali. Menera luka lebam hingga mengalirkan darah. Memaksanya kembali mencari degupnya sendiri.

-Vinny Erika Putri, 30.10.12.