Aku tak ingin senja menadir dengan
segera. Sebab, begitu senja memurna, enam huruf mengetuk-ngetuk talu hatiku
melebihi degupnya tatkala pagi. Dan sudah berbulan-bulan lamanya jelma enam
huruf menggenggamku. Ia –enam huruf– telah bersenyawa dengan malam-malam yang
kuseduh bersama kesunyian.
Mengapa menggurat luka jika itu
cinta?
Gegulut
tanya yang kerap menelusup kala bongkah-bongkah enam huruf itu mengental dan
menggumpali dada hingga membuat peparuku lupa bagaimana cara merasai udara.
Namun, semencekik apa pun sesak yang tercipta, pertanyaan itu tetap menguap tiada jawab. Enam
huruf kurasai kian tumbuh meriap; mengakar kuat.
*
Malam-Malam
Kesunyian
Malam yang sama seperti malam yang
berkesudah. Bebayang wajahnya mengada di dinding-dinding kamar; di pintu; di
langit-langit atap; di cermin; di jalanan; di mana-mana, seolah hologram yang
memantul dari tiap-tiap serpihan ingatanku. Sekalipun bola mata itu maya, tetap
saja pandangannya menelanjangi perihku.
Tatapan nyalangnya serupa hunus berkali-kali
sebilah pedang beracun tepat di lukaku yang tak kunjung mengatup. Anyir.
Menanah darah. Lantas, racun itu mengalir melalui nganga luka hingga
saraf-sarafku sekarat. Racun yang menjalari saraf-saraf itu umpama enam huruf
yang erat membebati hati.
Malam telah tanggal separuh waktunya. Melelap
sebagian insan di atas bantal-bantal lapuk yang mengerang bosan tertindih
kepala-kepala mereka. Seluruh badan mereka melemah seketika oleh sebab mati
sementara.
Di
tengah kelengahan yang mendulang senyap, binatang malam mengikrik tanpa henti.
Kikrikannya adalah pesta pora kesunyian yang kunikmati bersama tetangis perih
yang lirih. Sampai tubuhku melelah dengan sendirinya dan pada akhirnya turut
membau mimpi dengan enam huruf yang tak pernah memejam.
*
Tilas
Kenangan
Dahulu, sebelum berkawan kesunyian,
kunamai malam-malam adalah aroma kembang gula. Yang kecap manisnya tiada tara. Ketika
jaringan nirkabel memendekkan lipatan jarak dengan menghantarkan suaranya, *amigdala-ku memeka. Bergerak
membuka sekumpulan memorabilia semasa kebersamaan raga masih didapatiku.
Lalu, kusatukan kepingan-kepingan
wajah lelaki terkasih hingga merupa sosoknya di jejaring retinaku. Halwa
suaranya kuserap menjadi sebentuk bayang yang kian menguliti rinduku. Suara
lelaki penenun cinta yang eja namanya terajut di hatiku.
Janji-janji
berekat temu laksana rinai hujan yang membasahi tanah kering kerontang ketika
rinduku padanya haus mendahaga. Kuar segala petilasan kenangan yang lesat
berhamburan menarik segaris senyum. Ungkap cinta dari kejauhan merupa rengkuh
lengannya yang sanggup menghangatkan diri dari hawa dingin angin malam yang
menusuk tulang-belulang. Puisi-puisi bernapaskan cinta umpama serunai kidung
pengantar tidur yang menyenyakkan.
*
Awal
Mula Enam Huruf
Detik waktu terus berjingkat, cinta
pun ikut dalam putarannya. Putarannya berbanding terbalik dengan waktu, sebanding
dengan jarak. Cinta sang lelaki pudar seiring bertambahnya bilangan waktu. Dan
jarak berkilo-kilo meter menjadi musabab perkara alasannya memunggungiku. Jauh
sebelum meng-alibi-kan perkara jarak, sebenarnya, diam-diam sang lelaki telah
bermain api dengan rekan sekantornya nun jauh di sana. Petakanya, dia
benar-benar terbakar.
Laku sang lelaki ibarat mengubur
bangkai namun lupa akan aroma busuknya. Aroma busuk yang mampu kuendus walau keberadaan
jarak memisah raga dan membatasi jangkau pandang. Ia tak menyadari, telah lama
intuisiku menggetap; merasai geliat gelagat yang tak biasa.
Gelagat pudarnya cinta kian memarah
dan sang lelaki terlalu pengecut untuk menggali bangkai yang dipendamnya. Yang
dinamai kejujuran nurani memilih bersembunyi. Membuatnya tetap bersilat lidah ketika
bangkai kutunjukkan. Bersikukuh mengaburkan kehadiran wanita yang mengonak
sekalipun jelma suaranya terang menohokku.
Sang lelaki pergi. Menyisakan luka
sembilu. Cinta meremuk. Repih berkecai-kecai. Tak usah lisan mengurai seberapa
dalam sakitnya saat onak itu berhasil meretas jalinan yang berbilang dua tahun.
Lidah terlalu kelu kebas untuk mengucap kata. Sejak itulah, kukaribi kesunyian
dengan hati hitam beku digenggam racun enam huruf.
Mengapa menggurat luka jika itu
cinta?
Tetanya ini, bermula di sini pula.
Bermula bersamaan dengan muasal enam huruf.
*
Rapal
Kutuk dan Doa Malam Kesunyian
Di
malam-malam kesunyian, ketika enam huruf menggeletar hatiku, diri ini serupa
setan. Tangan menengadah. Mengatasnamakan ‘orang yang teraniaya’, kepada
Tuhanku, merapal doa umpama mantra-mantra kutukan teruntuk mereka para
penera luka. Berharap-harap berlakunya yang kuyakini ‘karma’ menimpa
mereka. Setelahnya, aku kembali luruh dalam tetangis. Lalu, kendali enam huruf
menyeringai gembira.
*
Petuah
dan Jawaban
Di suatu pagi, peram perihku tetas
dari wadahnya: hati. Tegar yang semalam-malam kupunguti dan kususun payah dari
tetes-tetes airmata untuk menjamu rekah fajar, luluh lantak menjadi puing-puing
berserakan. Akhirnya, butir-butir yang mengilap itu tak mampu lagi menyamar.
Sebab, pagi tak seperti malam yang berkemampuan melindapkan mataku yang basah.
Kepalaku rebah dalam pangkuan seorang
wanita berusia setengah abad. Wanita yang sebenarnya telah memahami tanpa
banyak mendengar kata berlesakan dari bibirku. Ia mematrikan diriku sebagai belahan
jiwa. Tersebab batinnya dan batinku saling menyimpul berikatan. Dialah ibu.
“Kau hanya memenjarakan dirimu sendiri
dengan siksa. Sedang lelaki yang membuat kau tersiksa telah berbulan silam meniadakan
tentangmu dalam lekap ingatannya.”
Hening. Ibu terdiam. Embun di bola mataku
berulang kali menggenang dan berlinang mencumbui kulit wajahku. Tangan hangat
ibu mengusap lembut kepalaku. Mulutnya kembali mengirap petuah.
“Sia-sia waktu yang kau hidupi.
Berjalan dengan kekosongan tanpa menorehkan apa pun.”
Pakaian ibu basah diruahi airmata. Ia
masih berbicara. Kali ini, kurasai getar berpadu dengan nada suaranya. Menandai
hatinya turut tercambuk pedih.
“Hapus rasa yang mengkarati hatimu
itu, Nak. Biarkan hatimu bernapas lega.”
Kumenyatukan kata seraya menegakkan
kepala. Sekelumit kalimat yang menjadi tetanya batinku selama ini bergulir.
“Mengapa menggurat luka jika itu cinta,
Bu?” semburku sembari memandang matanya lekat-lekat.
“Cinta itu selalu putih, Nak. Cinta tak
pernah melukai. Yang salah adalah manusianya.”
Beberapa jenak ibu membisu. Membiarkan
udara mengisi peparunya dengan teratur.
“Cinta pula yang akan mengobati luka.
Cinta Sang Maha Agung dari cinta yang teragung. Cinta Sang Maha Penyayang.
Ingat itu, Nak. Dan berdo’alah untuk kebahagiaanmu.”
Airmataku
masih kehilangan tali kekangnya. Mengalir menganak sungai. Lebih deras dari
yang sudah.
*
Hapus
Enam Huruf
Perlahan-lahan, kuhapus enam huruf.
Ketika langit mewarna hitam, hatiku berserah dalam genggaman-Nya. Malam-malam
kesunyian, kupagut bersama doa dan kepasrahan. Kudapati sadar.
Sesadar-sesadarnya.
DENDAM.
Telah berhasil mengendalikan pikiranku hingga hari-hari yang kurasai adalah
siksa derita. Berharap-harap kutukan dan rapal doaku kepada mereka menyata.
Berharap-harap ketersungkuran mereka dalam derita serupa deritaku mewujud.
Hingga sadarku lelap bahwa usiaku semakin menua dengan sia-sia dilahap gulir
waktu yang tak pernah bergerak mundur. Dendam pula yang memaku kakiku di satu
tempat. Mengunci langkahku seperti terpuruk tanpa bangun.
*
Jiwa
Baru
Aku tengah bangkit. Bangkit dan terus
melangkah. Menebus waktu yang pernah tersia-sia. Luka itu membekas. Tapi, tak
kuizinkan dendam mengekor luka. Aku tak ingin meriapinya kembali umpama jamur
di musim hujan. Biarlah Tuhan yang bergerak dengan keadilan-Nya dan
perhitungan-Nya. Rapal doa, cukup kudecap tuk permohonan ampunku kepada-Nya dan
sebentuk kebahagiaanku yang kuyakini cecapnya ada.
Dan
goresan-goresan pena yang kutoreh ini, merupa kebangkitanku. Pun terapi bagiku
menuju jiwa yang baru. Dalam goresan-goresan pena jua kudapati mimpi-mimpi
besar yang keberadaannya kuamini sebagai jalan sukses untukku dari-Nya.
*
Keterangan:
*amigdala: salah satu komponen sistem limbik (sistem di otak tengah) yang yang
paling menonjol, merupakan pusat utama pengumpulan data sensoris dan
pengatur informasi emosi