Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Senin, 31 Desember 2018

Selamat Datang 2019



Aku tahu, aku tidak bisa mendapatkan semua yang aku inginkan.
Maka, aku ingin terus belajar untuk senantiasa bersyukur dengan apa yang kumiliki.

Aku tahu, aku tidak bisa mencapai banyak hal yang aku cita-citakan dalam waktu sekejap.
Maka, aku ingin terus belajar untuk senantiasa pantang menyerah dan gigih meski terpatahkan berkali-kali.

Aku tahu, aku tidak bisa menghentikan duka dan air mata yang singgah dalam kehidupanku.
Maka, aku ingin terus berlajar untuk senantiasa bersabar dan berlapang dada menerimanya.

Aku tahu, hidup tidak akan berjalan semudah yang aku inginkan.
Maka, aku ingin terus belajar untuk semakin tegar menghadapi hidup yang  tak mudah.

Aku tahu, aku tidak bisa menghindari tantangan yang selalu ada dalam kehidupan.
Maka, aku ingin terus belajar untuk semakin kuat menaklukkan tantangan yang ada.

2019.
Aku tak berhenti di sini
Menatap nyalang langit yang berbeda
Meneruskan asa dan cita yang tertunda
Berjalan sepasti matahari
Dengan langkah kaki yang tegas

2019.
Selamat Datang.

-Vinny Erika Putri, 01.01.19

Kamis, 27 Desember 2018

Tsunami Tanjung Lesung Banten



Minggu. Alam membisikkan pertanda kepada orang-orang yang dipercayainya. Bahwa ia harus menjalankan titah dari Sang Kuasa untuk memuntahkan material anak krakatau, mengguncang Tanjung Lesung dan mengayunkan gelombang pasang air laut. Lalu, dalam sekejap, sebagian kecil kehidupan dunia, di belahan bumi Banten lintang-pukang. Sebagian orang-orang terhempas air dan meregang nyawa seketika itu juga. Sebagian lagi berlari menyelamatkan diri dengan menggegam erat hal paling berharga yang ada di tangannya dalam arus ganas: anak-anak, sanak saudara, ataupun jiwa yang masih memiliki nyawa. Harta menjadi tidak lagi berharga. Bahkan nyawa sendiri pun tak mampu lagi terjamin.

Dalam diam, aku melihat banyak watak manusia dan sudut pandangnya. Mereka terpecah menjadi beberapa golongan. Sebagian, yang bergerak dengan empati, segera memberikan bantuannya. Sebagian, yang memandang hubungan secara vertikal dengan Tuhan, merujuk pada azab dan dosa, memperingatkan manusia untuk bertaubat secara halus mendamaikan maupun keras menusuk. Sebagian, berkutat dengan penelitian ilmiah yang bisa dijadikan rujukan sebagai penyebab dan ciri yang dibawanya untuk bisa dijadikan kuda-kuda pertahanan di masa depan.

Bagaimana dengan diriku?
Untuk mengatakan itu adalah azab, terlalu mengerikan, meski itu (mungkin) benar sekalipun. Jauh di lubuk hati mengatakan, kata-kata itu tak tepat untuk diungkapkan saat ini. Kata-kata itu bagai belati yang semakin mengoyak hati orang-orang yang tengah dirundung bencana dan masih berjuang dengan pedihnya rasa kehilangan orang-orang yang mereka sayangi. Terlepas persoalan azab, yang perlu dipahami adalah bahwa itu sudah merupakan kehendak-Nya untuk dijadikan pelajaran bagi manusia. Ia menyisakan manusia yang hidup untuk menjadi saksi dan berpikir. Bukan untuk saling berselisih atau mengotori pikiran dan hati tentang kelayakan mereka menerima azab, yang pada akhirnya menjadi ruang bagi iblis untuk menggoda kita dengan pandangan bahwa mereka tidak lebih beriman dari kita.

Ambillah makna azab itu untuk peringatan diri sendiri bukan untuk menilai orang lain atau bahkan menghakimi suatu penduduk daerah. Jadilah manusia yang berpikir dengan akal dan hati bukan nafsu yang menjerumuskan diri secara tak sadar dalam penghakiman yang tak adil terhadap manusia lainnya. Berbuatlah suatu kebaikan yang mampu menciptakan perubahan yang lebih baik dengan ilmu ataupun bentuk kepedulian lainnya. Kalaupun belum bisa melakukan itu semua, cukuplah berdoa dalam diam dan merenungkan segala khilaf dan dosa yang telah dilakukan diri sendiri lalu mulai memperbaiki diri.

-Vinny Erika Putri, 28.12.18, masih dalam mendung duka Tanjung Lesung Banten.

Rabu, 26 Desember 2018

Sepasang Mata Ini




Sepasang mata ini 
Menyingkap wajah-wajah palsu memuakkan
Pula maksud di sebalik gula-gula manis yang dibawanya

Sepasang mata ini... tersembunyi
Letaknya di bawah permukaan yang tampak tenang
Dia, diam-diam menelisik wajah-wajah di sekitarnya

Sepasang mata ini... siaga
Di sebalik air mata
Di sebalik kerapuhan
Di sebalik keriangan
Di sebalik kelembutan
Di sebalik kehangatan
Di sebalik kerelaan berkorban
Bahkan di sebalik ketenangan

Sepasang mata ini
Merupa kegigihan sekeras baja
Merupa keberanian semerah saga
Merupa pemikir yang kukuh
Merupa kemarahan yang tak terduga
Merupa samudera yang dalam


Sepasang mata ini berkata
: bersahabatlah dengan ketulusan,
berhati-hatilah dengan pengkhianatan dan kepalsuan.

-Vinny Erika Putri, 26.12.18

Rabu, 19 Desember 2018

Selamat Berlibur, Kawan-Kawan.



Lima semester kita melangkah.

Adakalanya kita menyatu dalam riuh tawa canda renyah. Ada kalanya kita menyelisihi perbedaan sudut pandang dan kebiasaan.

Lima semester kita melangkah.

Adakalanya, aku merasa bahu ini tidak terlalu kokoh untuk memikul amanah yang kalian percayakan padaku. Adakalanya, aku merasakan amarah ketika merasakan bahuku nyaris retak dengan pikulan itu hingga tak mampu menciptakan humor apapun yang biasanya kuciptakan untuk menghidupkan suasana. Adakalanya, aku begitu jengkel dengan perbedaan nilai dan prinsip yang kupegang soal tanggung jawab dan totalitas pekerjaan. Adakalanya, aku ingin menyerah mundur ketika aku tak bisa menemukan konfigurasi dan harmoni yang pas untuk menyeiringkan langkah semua individu. Puncaknya, semester ini, ketika ritme emosi begitu banyak mengalami pasang-surut.

Lima semester kita melangkah.

Kita semakin mengenal satu sama lain. Kelemahan dan kekuatan, pola kebiasaan dan karakter masing-masing. Sampai di titik ini ... mungkin, kita telah saling menerima dan paham bagaimana harus menyikapi perbedaan-perbedaan itu.

Lima semester kita melangkah.

Aku tidak bisa menjamin ke depannya gesekan-gesekan kecil itu akan hilang bahkan kepada diriku sendiri. Juga tak bisa menjamin fase-fase yang sama tidak akan terulang. Fase pasang-surut emosi, jatuh-bangun, berselisih-berdamai, tangis-tawa. Semakin ke depan, langkah kita semakin diuji dengan tantangan yang lebih dari sebelumnya. Yang bisa kukatakan, sebanyak apapun gesekan dan fase-fase itu terjadi berulang, selama dalam hati kita masing-masing memiliki “rumah” yang sama, kita akan menemukan tempat ternyaman untuk pulang dan saling memberi kekuatan. Bukankah begitu yang dinamai fase hidup manusia?

Lima semester kita melangkah.

Semoga tidak berhenti sampai di sini. Meski dengan langkah tertatih ataupun bergegas, tangis dan tawa yang saling berselang, jatuh dan bangkit yang silih berganti ... semoga, kaki-kaki kita tetap sanggup untuk terus melangkah mencapai garis finish yang menunggu di depan sana.

Lima semester kita melangkah.

Semoga ... kita tetap bisa menjalankan semuanya sebaik mungkin semampu yang kita bisa. Bangkit sebanyak kita terjatuh. Tertawa lebih keras dari isak tangis yang pecah. Gigih lebih kuat dari tantangan yang terkadang mematahkan cita dan harapan.

Lima semester kita melangkah.

Jangan berhenti di sini. Apa yang telah kita mulai, selesaikanlah. Kesulitan akan takluk pada kegigihan yang dibalut dengan doa-doa.

Malam ini, dalam jeda yang tengah kunikmati... kuucapkan, “Selamat berlibur, Kawan-kawan.”

-Teruntuk, PIAUD V C

Sabtu, 15 Desember 2018

Hai diriku... Dengarlah Suara Terjernih Ini




Hai diriku... dengarlah suara terjernih ini.

Aku tahu, tiga minggu terakhir ini, kau merasakan kekacauan dalam menjalani hari-harimu. Harga dirimu terasa terlukai. Kau merasa terintimidasi. Kau melangkah dengan kaki setengah tertatih juga hati yang berdarah. Apa yang tadinya samar, kini kian terlihat bagaimana orang-orang di sekelilingmu. Dan pandanganmu semakin jelas menyingkap segala motif pikiran dan keaslian wajah yang disembunyikan orang-orang itu. Kau melihat onggokan sampah kehidupan dalam bentuk senioritas dan berbagai tabrakan kepentingan yang saling menekan satu sama lain. Halus, tapi menyayat bagai serpihan beling. Kau ingin marah. Tapi hanya sengguk tangis yang pecah dari kedua matamu.
Tapi... cobalah kau keluar dari kepungan perasaan itu. Selamilah kembali suara hati terjernih dari jiwamu agar kau mampu keluar dari kungkungan yang sempit ke luas dan dalamnya laut samudera. Berkacalah, mungkin ada perilaku dan tutur katamu yang terlebih dahulu menciptakan kekacauan ini. Pahamilah, bahwa semua yang kau hadapi adalah suatu warna hidup memang yang disuguhkan wajah dunia. Belajarlah diam untuk lebih banyak mendengarkan dan melihat masalah dengan lebih jernih. Belajarlah keluar dari sudut pandangmu untuk menyelami sudut pandang orang lain agar kau mampu berlapang dada dan memetik hikmah darinya.
Hai diriku... dengarlah suara terjernih ini.

Aku tahu, tiga minggu terakhir, di satu waktu kemampuanmu diremehkan. Kau dikerdilkan. Persaingan ditunjukkan melalui perbandingan dan sekat-sekat yang jelas meski kau sendiri mawas diri untuk tak membalas perbandingan yang tidak pada tempatnya.
Tapi... cobalah keluar dari prasangka negatif. Berjalanlah dengan langkah yang tegap dan hati yang tetap merunduk. Bekerjalah dengan niat beribadah kepada-Nya. Tetaplah melakukan usaha terbaik yang kau mampu.
Hai diriku... dengarlah suara terjernih ini.
Jiwamu merindukan berdekatan kembali dengan Tuhan-Mu dalam sunyi yang tenang. Jiwamu dahaga akan doa-doa yang lama tak bergema. Simpullah jiwamu dan jiwa orang-orang itu dengan simpul ketulusan doa-doa karena doa-doa yang baik akan memperbaiki segala kekacauan yang terjadi.

-Vinny Erika Putri, 15.12.18 

Sabtu, 08 Desember 2018

Siapa Kau?



Keganjilan begitu mengganggu
Puncaknya, tetas di malam ini
Hingga memaksa jemari meretas aksara

Berkali-kali kubertanya, pada diri sendiri
Siapa kau?
Pesan apa yang hendak kau sampaikan?
Mengapa begitu memerih hati
Seperti kidung kesedihan
Yang sayup-sayup memanggil dari kejauhan

Siapa kau?
Dari belahan bumi mana suara itu memanggil?
Mengapa sampai meletikkan resah yang bergemuruh dalam diam?
Hingga akhirnya melahirkan katarsis lirih berujung embun di mata?

Siapa kau?
Di kepalaku satu per satu bayangan samar berkelebat
Dari tiap rekam jejak emosi yang kuat dalam ingatan hidupku
Tapi... tak kutemukan satu pun titik pangkal makna dari pertanda dalam bentuk rupa wajah

Siapa kau?
Apakah kau mengenalku?

-Vinny Erika Putri, 08.12.18

Selasa, 13 November 2018

Untuk 32 Tahun Ini... Terima Kasih



Ya Rahiim...
Untuk 32 tahun ini ... terima kasih
Terima kasih atas nikmat dan karunia-Mu yang tak terhingga
Terima kasih atas cahaya-Mu yang selalu menerangiku saat tersaruk dan terjatuh dalam lubang gelap
Terima kasih tak berpaling dariku meski khilaf dan dosa kerap menggodaku hingga memunggungi-Mu
Terima kasih atas sandaran abadi yang Kau beri saat diri bagaikan senoktah kecil di dunia yang terlampau luas dan buas

Ibu...
Untuk 32 tahun ini ... terima kasih
Terima kasih atas telaga kasih sayangmu yang tak pernah mengering
Terima kasih atas semua doa-doa yang selalu kau panjatkan untukku
Terima kasih atas semua pengorbanan dan perjuanganmu
Terima kasih selalu menjadi rumah terhangat dan ternyaman bagiku 
Terima kasih telah melalui hari-hari sulitmu sebagai seorang istri dan ibu dengan kuat

Bapak...
Untuk 32 tahun ini ... terima kasih
Terima kasih atas pintu maaf yang selalu terbuka sebanyak kita berdebat dan berselisih

Wahai, diriku...
Untuk 32 tahun ini ... terima kasih
Terima kasih telah berusaha sekuat jiwa raga bertahan menghadapi hidup 
Terima kasih atas segala perjuanganmu menaklukan masa-masa berdarah dalam hidupmu
Terima kasih atas kesediaanmu memahami dan berdamai dengan sisi gelap juga kelemahan dirimu
Terima kasih telah bertahan menjadi diri sendiri sampai sejauh ini

Untuk 32 Tahun ini ... terima kasih.
Tak ada rangkaian cerita panjang yang tergelar malam ini
Embun yang rebak di sepasang bola mata mewakilinya

Untuk 32 tahun ini ... terima kasih
Tetaplah hidup dengan baik secerah mentari seperti yang berkesudah sekalipun hatimu koyak dan ada bekas luka-luka di sana
Tetaplah tersenyum seindah pelangi meski mendung terkadang menghampiri hidupmu
Genggamlah selalu rasa syukur meski harapan dan cita-citamu terasa sekarat 
Karena waktu yang terus berjalan akan semakin mendekatkanmu pada gerbang kematian

Sabtu, 29 September 2018

Semesta berbisik: Doa untuk Donggala




Hari berdiam di Jum’at 
Kala itu siang terasa ganjil
Seperti kesedihan yang entah
Dan rasa tak keruan yang tak bisa terukir kata-kata

Semesta tengah berbisik
Pada jiwa-jiwa yang peka
Ia memberi pertanda 
Samar ataupun jelas

Sore
Langit meneja, bermandikan semburat senja
Dengan keganjilan yang belum beranjak pergi
Dan kata-kata yang masih tak mampu berbicara padanya

Di sudut langit yang lain, petaka bersiap tiba
Tanah-tanah kejang bergetar
Laut bergemuruh, ombak mengganas
Lalu, sekejap, tumpah ruah menyapu apapun tanpa pandang bulu

Lintang pukang kehidupan terjadi
Teriakan minta tolong
Bibir-bibir yang merapal doa
Aroma kematian yang menguar tajam

Di belahan bumi lain, berjiwa-jiwa menyaksikan dari berita-berita
Ngilu terasa, perih menyayat, duka mengoyak

Seseorang, dalam ruang sunyi, yang menyembunyikan sengguk,
dengan mata yang basah, batinnya berkata,
“Siang itu, semesta tengah berbisik:
Doa untuk Donggala.”

Matanya kian sembab, batinnya kembali berkata,
“Ini adalah pelajaran bagimu agar tetap hidup dengan rasa syukur. Kau tidak tahu, bagaimana akhir hidupmu dan mudah bagi Tuhan mencabut segala nikmat yang telah diberikannya dalam waktu sekejap.”

Sengguk lirihnya kian tak beraturan, napasnya makin tersengal,  batinnya tak juga berhenti berkata-kata, “Sekalipun masalah mengeruhkan pikiranmu hingga membuat hidup kadang terasa bagai onggokan sampah... tetaplah cari rasa syukur itu agar kau tak kehilangan iman.”

Siang itu, semesta berbisik:
“Doa untuk Donggala”
“Doa untuk Donggala”
“Doa untuk Donggala”

Juga... peringatan baginya, untuk tetap mensyukuri hidup bagaimana pun keadaannya.

-Vinny Erika Putri, 30.09.18

Rabu, 19 September 2018

#1. Mbah, Bagaimana Kabarmu?



Mbah, bagaimana kabarmu di sana?
Mengapa kau tak sekalipun berkunjung menemuiku?
Aku menunggu hadirmu dalam mimpi-mimpiku
Apa yang kau tengah dapatkan di sana?
Kuberdoa... semoga nikmat kubur dari-Nya selalu melimpahimu

Mbah, bagaimana kabarmu di sana?
Bagaimana kehidupan alam di sana?
Hal apa saja yang kau lakukan di sana?
Apakah kau bisa melihat kami di sini dari sana?
Adakah pesan kebaikan dari-Nya untukku yang bisa kau sampaikan?

Mbah, bagaimana kabarmu di sana?
Pasak hidupku telah berkurang satu seiring kepergianmu
Kini, tersisa satu
Ialah ibuku, anakmu
Yang menjadi sumber teladanku
Sumber semangat hidupku untuk tetap menyala
Sumber ketegaranku dengan semua tanggung jawab yang kupikul beserta masa-masa sulit yang menyertainya

Mbah, bagaimana kabarmu di sana?
Aku rindu... sangat.

-V.E.P, Cirebon, 19.09.18

Minggu, 26 Agustus 2018

#5. Untukmu Yang Masih Entah


Untukmu yang masih entah...
Ada sebuah puisi yang ingin kugelar malam ini
Lihat dan bacalah!
Aku melihat jiwaku di matanya
Ia melihat jiwaku di mataku
Aku merasakan perasaannya
Ia merasakan perasaanku
Aku mengerti apa yang ada di pikirannya
Ia mengerti apa yang ada di pikiranku 
Saat aku merasakan kenyamanan, aku memeluknya
Saat ia merasakan kenyamanan, ia memelukku
Saat aku menyelamatkan hidupnya, ia memelukku
Saat ia menyelamatkan hidupku, aku memeluknya
Saat aku marah dan bertengkar dengannya, ia memelukku
Saat ia marah dan bertengkar denganku, aku memeluknya 
Bahasa tubuhnya adalah bahasa tubuhku
Bahasa tubuhku adalah bahasa tubuhnya
Jiwa kami berada di frekuensi yang sama 
Aku menangis, menggila, tertawa terbahak dan menjadi diriku sendiri di depannya
Ia menangis, menggila dan tertawa terbahak menjadi dirinya sendiri di depanku
Satu sama lain tidak pernah mencoba saling menjadi hakim untuk menuntut kesempurnaan
Satu sama lain adalah paruhan bulan yang bergabung menjadi purnama saat gelap malam membutuhkan cahaya 
Waktu yang berjalan
Badai yang berkali-kali datang
Semakin mengikat erat jiwanya dan jiwaku 
Saat dunia terasa kejam
Hatiku adalah rumah untuknya berlindung dan menenangkan diri
Hatinya adalah rumah untukku berlindung dan menenangkan diri
Jiwaku dan jiwanya saling bergenggaman memberi kekuatan 
Aku adalah pasangan hidup, keluarga, sahabat, teman baginya
Ia adalah pasangan hidup, keluarga, sahabat, teman bagiku
Aku menamainya belahan jiwa
Ia menamaiku belahan jiwa
 
Untukmu yang masih entah...
Apakah aku terlalu bermimpi muluk?
Bagaimana denganmu?
Bisakah aku mempunyai hubungan semacam itu?
Aku merapal doa kepada-Nya untuk bisa memiliki hubungan semacam itu.

-Vinny Erika Putri, 27.08.18

Tentang Pengorbanan Yang Tak Butuh Dipahami Dan Dimengerti


Terkadang, kita harus bisa melupakan pengorbanan kita terhadap seseorang atau banyak orang agar tidak tumbuh harapan di hati kepada orang tersebut untuk memahami dan mengerti diri kita. Dengan begitu, kita tidak akan menelan pahitnya rasa kecewa. Berat? Sulit? Sakit hati? Memang. Itulah harga mahal yang membentuk ketulusan diri.
Pada sudut sunyi yang telah lama berlalu, di mana kau duduk termenung dalam kondisi yang teramat sangat jenuh, kau pernah bertanya soal ini. Soal pengorbanan.

Saat itu, kau diamanahi mengelola sebuah lembaga pendidikan memasuki tahun ketiga masa kerjamu di lembaga tersebut. Kau mengorbankan banyak waktu, tenaga dan pikiran lebih dari sebelumnya. Pengorbanan yang juga menguras emosi dan jiwamu karena banyak orang yang menjadikanmu tumpuan. Yang seringnya pengorbanan itu kurang dihargai oleh garis komando teratas. 

Dan titik menyakitkan yang pernah kau alami adalah ketika pengorbanan itu tidak bisa dipahami dan dimengerti oleh sesiapa pun, bahkan oleh orang yang kau sayangi dan pedulikan.

Kekecewaan yang terlahir dari perasaan semacam ini lebih menyakitkan daripada dikecewakan oleh orang yang sangat kau percaya dan andalkan.

Dikecewakan oleh orang yang kau andalkan mengajarimu untuk tidak bergantung pada orang lain dan berusaha tidak mengecewakan orang lain.

Tapi... ketika pengorbananmu tidak dipahami dan dimengerti... butuh berkali-kali jatuh bangun untukmu menerima pemahaman diri bahwa ITULAH PROSES PEMBENTUKAN KETULUSAN DIRI. 
Pengorbanan yang tulus adalah pengorbanan yang tak butuh dipahami dan dimengerti.
Sulit?
Berat?
Sakit?
Memang.

Hingga kini... proses itu masih terus berlangsung. Proses yang perjalanannya bukan tanpa air mata.

Tapi, setidaknya, proses sebelumnya yang pernah kau alami bisa membuatmu berdamai dengan diri sendiri melalui pemahaman tersebut.

Bahwa pengorbananmu sebagai bentuk kepedulian untuk memajukan sebuah tim kerja atau tim apapun, tak mesti dipahami dan dimengerti oleh sesiapa pun.

Bahwa pengorbananmu sebagai bentuk rasa sayangmu yang ingin melihat orang yang kau sayangi maju dan berubah lebih baik lagi, tak mesti dipahami dan dimengerti oleh orang tersebut.

Bahwa setiap orang memiliki sudut pandangnya sendiri tentang makna pengorbanan dalam kehidupan mereka masing-masing.

Malam ini.... di titik yang berbeda... kau kembali memikirkan hal yang sama. Tentang pengorbanan yang tak butuh dipahami dan dimengerti.

Kau mengingat pertemuan dengan seorang teman dekat siang tadi, dan bertanya kepada batinmu sendiri, "Mungkinkah beliau yang akhirnya membuat jarak dengan teman dekatku merasakan semacam pengorbanan yang tak butuh dipahami dan dimengerti? Atau malah, keduanya, tengah merasakan hal yang sama dari sudut pandang yang berbeda. Beliau sebagai guru merasakan pengorbanan yang gagal untuk membentuk teman dekatku menjadi orang yang taat pada ajaran agama menurut versinya. Sementara teman dekatku merasakan pengorbanan yang gagal setelah ia menunjukkan sikap kepedulian dan rasa sayangnya terhadap beliau."

Kau pun menelan entah. Kau tak ingin menjadikan tebakanmu sebagai Tuhan hingga membuatmu merasa menjadi seorang yang serba tahu.

Tapi, saat kau memikirkan itu, ada sesak yang sempat menghimpitmu. Dan berubah menjadi nyeri yang menjalar di hatimu. Karena kau sangat tahu benar, bagaimana rasanya. Tentang pengorbanan yang tak butuh dipahami dan dimengerti. Yang bahkan hingga kini kau masih mengalaminya. Yang kadang masih saja bisa membuat matamu menghangat dan melahirkan basah di sudut mata.


Saat itu... berulang-ulang, kau harus kembali memahamkan satu hal pada diri sendiri bahwa
Pengorbanan yang tulus adalah pengorbanan yang tak butuh dipahami dan dimengerti. Dan kau tidak merasakan kecewa karenanya.

*Poin of View (sudut pandang cerita) menggunakan orang kedua sebagai tokoh "aku".

-Vinny Erika Putri, 26.08.18

Kehilangan Dan Hati Yang Lapang




Percaya sama Allah, kalau memang beliau dikirimkan untuk hidup kamu, waktu akan tetap membuat kalian bersama dalam ikatan ukhuwah yang dekat terikat. Tapi, kalau Allah menakdirkan beliau sebagai orang yang singgah, bukan menetap tinggal... jarak dan waktu akan memudarkan ikatan itu. Yang terpenting, apapun dan sebagai apa ia ditakdirkan untuk kamu, jadikan ia sebagai orang baik yang pernah menginspirasi banyak kebaikan untuk kamu. Kenang kebaikannya, balas kebaikannya dengan menjadikan nasehat kebaikannya itu sebagai amal jariyah beliau dengan cara kamu melaksanakan nasehatnya yang baik.
Kadang, dalam hidup, kita harus bisa menyediakan hati yang lapang untuk menerima bahwa orang yang sangat baik pada kita dan begitu kita sayangi hanya ditakdirkan menjadi orang yang sekadar singgah. Bukan menetap tinggal. Yang bisa dilakukan ketika seseorang itu memilih menjauh adalah tetap mendoakannya. Mengingat kebaikannya.

Ia menyimpan dengan baik kata-kata yang pernah aku tuliskan untuknya. Kata-kata yang sejatinya pada waktu itu kutujukan untuk diri sendiri karena pernah mengalami hal yang sama dengan yang dirasakannya pada saat itu.

Aku telah banyak belajar memahami kehilangan. Bukan kehilangan secara fisik. Tapi secara ikatan jiwa. Kehilangan yang sanggup membuat air mataku menganak sungai. Kehilangan yang bisa terbaca dan terasa olehku bahkan sebelum orang tersebut mengatakannya atau menghilang tiba-tiba dari hidupku atau "membuat jarak" denganku. Kehilangan yang menancapkan rasa sakit mendalam sekaligus pembelajaran hidup.

Kehilangan orang-orang yang sangat baik padaku atau seseorang yang kusayangi (yang bukan dalam ikatan darah), mengajariku bahwa aku tak memiliki kekuatan untuk mengikat jiwa seseorang tanpa izin-Nya. 

Kehilangan mereka mengajariku bahwa orang-orang yang hadir dalam hidupku adalah milik-Nya yang dititipkan-Nya padaku agar aku tak menjadi sebatang kara. Dan Allah berhak mengambilnya kapan saja. Bukan dalam bentuk kematian saja... tetapi juga lepasnya ikatan jiwa sehingga masing-masing saling menjauh.

Kehilangan mereka mengajariku sebuah pemahaman bahwa bisa jadi aku sendiri adalah seseorang yang juga ditakdirkan hanya sekadar singgah dalam kehidupan orang lain.

Sesakit apapun rasa kehilangan itu... aku memang harus bisa menyediakan hati yang lapang untuk menerima bahwa orang-orang tersebut hanya ditakdirkan sebagai orang yang sekadar singgah. Bukan untuk menetap tinggal menemani hidupku hingga akhir hayat.

Dan ketika aku ditakdirkan menjadi seseorang yang hanya sekedar singgah dalam kehidupan orang lain... aku harap bukan ingatan menyakitkan yang kutinggalkan di memori orang-orang tersebut.

Doaku, semoga dalam kehidupanmu... aku bukan ditakdirkan sebagai orang yang singgah dan menyisakan air mata dalam ingatanmu, Adik Kecilku.

-Vinny Erika Putri, 26.08.18

Kamis, 09 Agustus 2018

Mengapa Aku Harus Tetap Hidup?



Malam ini, aku mendengar gema, tentang sebuah pertanyaan, dari seorang wanita, yang sangat kukenal dan kupahami. Begini, katanya:
Beritahu aku...

Mengapa aku harus tetap hidup?

Bahkan ketika aku jatuh tersungkur hingga ke titik nadir dan remuk-redam oleh pukulan-pukulan hidup.
Beritahu aku...

Mengapa aku harus tetap hidup?

Bahkan ketika aku tak yakin dengan diriku sendiri untuk harapan-harapan yang ditumpukan padaku.
Beritahu aku...

Mengapa aku harus tetap hidup?

Bahkan ketika aku sampai di titik menyerah untuk memikul semua harapan dan tanggung jawab sendirian.
Beritahu aku...

Mengapa aku harus tetap hidup?

Bahkan ketika lumbung air mataku sudah terlampau kering untuk menerjemahkan rasa marah, sakit dan pedih yang kupendam.
Beritahu aku...

Mengapa aku harus tetap hidup?

Bahkan ketika aku merasa bahwa hidup tak lebih dari onggokan sampah.
Beritahu aku...

Mengapa aku harus tetap hidup?

Bahkan ketika aku merasa tak ada yang mampu kulakukan lagi untuk kehidupan.
Beritahu aku...

Mengapa aku harus tetap hidup?

Bahkan ketika aku sampai di titik tak ingin hidup.
Beritahu aku...

Mengapa aku harus tetap hidup?
Mengapa aku harus tetap hidup?
Mengapa?
Aku tidak tahu, bagaimana harus menjawabnya
Kurasakan sepasang bola mataku menghangat
Kepedihan miliknya menjelma pisau yang mendaras lumbung air mataku

Aku memeluknya erat
Lantas membisikinya sesuatu
Tetaplah hidup, meski hidup terasa seperti onggokan sampah
Tetaplah hidup, meski kau sampai di titik tak ingin hidup sekalipun
Tetaplah hidup, bahkan ketika kau tak menemukan alasannya sekalipun
Tetaplah hidup untuk tetap mensyukuri nikmat-Nya
Tetaplah hidup sampai tiba saatnya kau kembali ke pangkuan-Nya

Sengguk wanita itu akhirnya pecah kian kencang
Aku pun mengalihkan pandangan pada cermin yang ada di hadapan wanita itu

Aku, melihat diriku, tengah mendekap erat diri sendiri
Anak sungai mengalir deras di sudut mata

-Vinny Erika Putri, 09.08.18

Sabtu, 07 Juli 2018

Untukmu, Seorang Sahabat Pena




Rizkian.
Begitulah kamu memanggil nama anak itu.

Lalu, kamu?
Reisha, itulah namamu.

Aku?
Vinny, sahabat pena yang pernah berada satu antologi denganmu.

Aku ingin menuliskan sepenggal kisah tentang Rizkian, yang kamu ceritakan. Pula, aku ingin menggambarkan tiga sudut pandang dalam satu tokoh "aku".

Singkat cerita, tuturmu, Rizkian adalah seorang anak yang diperkirakan autis hiperaktif. Kadang ia bersikap apatis terhadap sekelilingnya dan lebih memilih larut dalam dunianya sendiri. Dunia yang hanya dipahami dirinya seorang. Tapi juga bisa bertindak impulsif ketika seseorang mengganggunya. Ia belum bisa mengendalikan dan mengelola emosinya dengan baik. Seringkali bertindak sekehendak hatinya. Teman sebayanya, kerap mengatainya, orang gila. Meskipun begitu, ia adalah orang yang pantang menyerah.


POV (Point of View) atau sudut pandang aku sebagai Rizkian:

Aku melihat seseorang dari kejauhan berjalan menghampiriku. Ia tampaknya seseorang yang ingin melihat-lihat duniaku. Ia seorang perempuan, yang menatapku dengan pandangan entah ketika sampai di depanku. Sepertinya, ia ingin menjadi temanku. Ia tidak berbahaya seperti yang lainnya. Matanya tulus. Tapi, benarkah? Atau jangan-jangan ia sama dengan wanita-wanita dewasa lainnya yang enggan mendekatiku atau kerap menghadiahkanku sentakan atau hardikan keras ketika aku tak bisa mengendalikan tubuhku untuk diam?

Waktu terus berjalan, perempuan itu telah berhasil masuk ke dalam duniaku. Entah bagaimana bisa ia berada di sini, bersamaku. Aku lupa. Mungkin, sejak aku mulai merasakan ia tidak seperti yang lainnya. Ia mau mengerti bagaimana diriku. Ia tidak melarangku untuk banyak bergerak yang merupakan salah satu caraku untuk menghabiskan energiku yang berlebih. 

Dari matanya, aku bisa melihat pintu dunia lain yang selama ini tak kulihat. Aku mulai tertarik untuk menjulurkan kepala perlahan melihat apa yang ada di luar duniaku. Ia mengajariku rupa-rupa. Nada-nada indah. Kata-kata yang pada mulanya sulit untuk kuungkapkan dan kupahami maknanya. Ia mengajari semuanya tanpa memaksaku dengan keras. 

Dalam satu waktu, aku melihatnya dengan banyak ekspresi ketika memandangku. Kadang kudapati ada basah yang rebak di matanya. Kadang ia terlihat jengkel dengan ulahku. Kadang ia tertawa-tawa melihatku. Kadang, ia melihatku dengan tatapan yang aku tidak mengerti maknanya. Entah apa yang dipikirkannya. Aku masih terlalu kanak-kanak untuk memahami pikiran orang dewasa sepertinya.

Tapi, apapun ekspresi yang ditampakkannya, mengapa selalu terdengar seperti ungkapan kasih sayang? Dan setiap kali ia memandangku, ujungnya akan berakhir di tatapan yang sama. Tatapan yang hangat bersahabat.

Karena itu... aku merasa aman bersamanya. Aku nyaman ia berada di sekitarku. Aku percaya kepadanya.

Perempuan itu, bernama Reisha. Nama yang seringkali kudengar namun belum bisa kuucapkan dengan baik.


POV (Point of View) atau sudut pandang aku sebagai Reisha:

Aku melihat seorang anak kecil yang berbeda dari anak-anak lainnya. Ia seorang minoritas. Tidak umum dari keumuman yang ada di sekelilingnya. Ia memiliki dunianya sendiri.

Aku tidak tahu, apa yang menggerakkanku tetap mendekatinya ketika ia begitu terasa menjengkelkan dan menguras emosi bagi rekan-rekan lainnya. Yang kutahu, melihatnya menjadi bahan ejekan teman-temannya atau sekelilingnya, hatiku seperti tersayat perih. Aku ingin mengenalnya lebih dalam. Aku ingin tahu apa yang ada dalam dunianya. Rasa penasaranku lebih dahaga daripada sikap menjengkelkan yang kerapkali ditunjukkannya.

Waktu terus berjalan. Telah banyak tenaga, pikiran dan emosiku yang terkuras demi memahami apa yang ada di dunianya. Tapi, aku tetap memilih tinggal membersamai dunianya dan semakin ingin memberikan yang terbaik bagi dirinya. Aku melihat apa yang orang lain tidak bisa lihat dari dirinya. Aku ingin mengenalkan dunia luar tanpa menghapus dunianya.

Aku... menyayanginya bagai saudara kandung. Aku ingin mengisi dunianya dengan warna jingga yang hangat. Melalui kedekatan emosi yang tengah kubangun, aku ingin mengatakan padanya, ia tidak sendirian. Ada orang-orang yang peduli dengan keunikan yang dimilikinya.

Anak itu, bernama Rizkian.


POV (Point of View) atau sudut pandang aku sebagai Vinny:

Aku pernah merasakan berada di posisimu, Reisha. Pernah menangani anak setipe Rizkian juga. Bedanya, ia anak perempuan. Karena itu, aku sedikit memahami kalian. Apa yang membuat Rizkian merasakan frekuensi yang sama adalah perasaan kasih sayang yang tulus. Tulusnya perasaan kasih sayang, akan mengembalikan semua kejengkelan, amarah dan kesedihanmu menghadapi Rizkian kembali pada kehangatan hubungan manusia.

Ketika kamu pertama kali melihat Rizkian, yang kamu rasakan adalah perasaan kasih sayang yang bersumber dari inti dirimu. Lalu terpancar keluar, terlihat oleh Rizkian. 

Itulah unikmu. Kamu melihat perasaan "aku" dalam diri orang lain. Kamu menggunakan perasaan "aku" untuk menolong orang-orang minoritas yang tertindas. Kamu sudah bisa mengidentifikasi perasaanmu sendiri sedari awal bertemu dengan orang lain bagaimanapun wajah, pemikiran dan perasaan orang tersebut.

Sementara, ketika aku di posisimu, yang kurasakan adalah perasaan anak tersebut yang memantul dan diserap ke dalam inti diriku. Lalu, baru kupahami makna perasaan itu dan bagaimana aku harus menampilkan sikap kepada orang tersebut. 

Itulah aku. Punya banyak wajah, pemikiran dan perasaan dalam satu diri ketika bertemu orang-orang di luar lingkaranku. Aku melihat perasaan "orang lain" di dalam diriku. Aku mengadaptasi banyak sikap, bergantung dari apa yang dipantulkan oleh orang-orang kepadaku. Aku membutuhkan kesunyian untuk mengidentifikasi perasaan dan pemikiranku sendiri serta memisahkannya dari perasaan dan pemikiran orang lain yang terbaca oleh inti diriku. Pula aku membutuhkan waktu untuk memperlihatkan keaslianku pada orang-orang.

-----------

Untuk adik ketemu gede sekaligus sahabat penaku, tetaplah menjadi dirimu sendiri. Berusahalah untuk tidak menyalahkan dirimu dengan "ke-akuan-mu" yang kadang-kadang kamu benci. Diri kita dengan segala kekurangan dan kelebihan, kelemahan dan kekuatan, keburukan dan kebaikannya adalah paketan yang tidak bisa dipisahkan.

Eh, ngomong-ngomong... sajak yang kamu share di timeline facebook bersamaan dengan hilangnya tautan tulisan blogmu, itu oke punya loh. Diksinya bagus. 


And for the last... i'm sorry for taking your picture from your facebook to put on here without permission. Haha!

------------

V.E.P, 08.07.2018

Semua Itu Tentang Pilihan Masing-Masing



Berawal dari sebuah tayangan video yang dishare di timeline facebook seorang sahabat pena sore tadi, aku tertarik untuk membahasnya di sini.

Link video bisa dilihat di sini untuk cerita selengkapnya:

Video yang berjudul "Ternyata Suamiku Tak Mencintaiku Lagi" tersebut dibawakan dengan apik oleh Oki Setiana Dewi sebagai narator. Oki dengan nada, ekspresi dan mimik sempurna mampu membawa pendengarnya untuk turut merasakan perasaan tokoh Rima sebagai tokoh aku sekaligus tokoh utama dalam cerita tersebut.

Cerita ini berpusat pada tiga tokoh utama yaitu, Rima, Mario (Suami Rima) dan Meisya. Singkat cerita, sepanjang perjalanan rumah tangga Rima dan Mario, Mario tidak mencintai Rima. Ia masih memendam cintanya untuk Meisya, seorang teman lamanya. Sampai, suatu hari, di kantornya, Mario kembali bertemu dengan cinta lamanya. Sejak pertemuannya dengan Meisya, justru Mario memperlakukan Rima dengan baik dan romantis. Rima belum menyadari situasi-kondisinya rumah tangganya saat itu.

Hingga, suatu ketika, suaminya sakit dan masuk rumah sakit. Di titik ini, ia mulai melihat kehadiran Meisya sebagai "perempuan lain". Ia menyadari tatapan suaminya kepada Meisya. Itu tatapan cinta, tatapan yang tidak pernah ia dapatkan selama pernikahannya dengan Mario. Puncak kesadarannya adalah ketika Mario lebih memilih disuapi Meisya ketika Rima berusaha menyuapinya. Meisya sendiri telah berkeluarga dan pernah mejenguk Mario bersama suami dan anaknya.

Kesakitan Rima bertambah-tambah ketika mengetahui Mario kerap mengirim email kepada Meisya dan mengutarakan perasaan yang dipendamnya. Kemudian, berdasarkan cerita, dari email selanjutnya yang dikirimkan oleh Mario, Mario mengatakan pada Meisya bahwa ia telah memperlakukan Rima dengan baik seperti yang dipinta Meisya. 

Kian hancurlah hati Rima. Tapi, ia memilih untuk tetap tinggal di sisi Mario dan berubah lebih baik lagi untuk memperjuangkan cintanya. Ia memenangkan hati Mario, suaminya. Mario mengatakan pada Meisya, bahwa ia mulai jatuh cinta pada Rima. 

Namun... ketika cinta mulai datang menghinggapi hatinya, kecelakaan merenggut nyawa Rima. Endingnya.... bisa ditebak. Penyesalan di hati Mario.

--------------

Sekarang, mari bicara tentang pemikiran dan perasaan dari setiap tokohnya.

Pertama, bicara tentang pemikiran dan perasaan Mario, aku tidak membenarkan perselingkuhan  yang dilakukan Mario. Meskipun tidak terjadi kontak fisik, perselingkuhan pikiran dan perasaan tetaplah perselingkuhan. Tapi, cobalah telisik perasaannya. 

Andai saja, narator tidak membuatnya dipertemukan dengan Rima, ia akan terus berjuang memendam perasaannya agar tidak menyakiti orang yang mencintainya. Berpura-pura mencintai orang yang tidak kita cintai sama lelahnya dengan mencintai orang yang tidak mencintai kita. Di tengah perasaannya yang demikian kacau, ia tetap MEMILIH menjalankan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga meski belum bisa memberikan hatinya untuk Rima. 

Ketika bertemu Meisya pun Mario MEMILIH bersetia dan bertanggung dengan ikatan pernikahannya meski awalnya adalah dorongan dari Meisya yang memintanya agar tetap memperlakukan istrinya dengan baik. Dan pada akhirnya, Mario MEMILIH membuka hatinya demi cinta yang memang seharusnya tumbuh untuk Rima (istrinya) sedari awal mereka menikah. 

Kedua, tentang Meisya. Tokoh ini dihadirkan 'agak sepintasan', tapi menjadi benang merah yang kuat atas sebab-akibat luka hati Rima. Perasaan Meisya kurang dijelaskan secara detail. Tapi, dari perhatian yang ditunjukkan melalui perbuatannya selama menjenguk Mario di rumah sakit, keberaniannya meminta izin pada Rima untuk dirinya menyuapi Mario pula email balasan untuk Mario yang diceritakan lewat penuturan cerita Mario, sudah cukup tergambar bagimana perasaan Meisya. 

Meisya sendiri telah mengambil pilihan bijak di situasi-kondisi perasaannya yang lebih rumit dari Mario. Meisya sadar sesadar-sadarnya bagaimana posisinya, posisi Mario dan Rima. Meisya, sadar dirinya adalah kunci yang akan membuat semuanya (rumah tangganya dan rumah tangga Mario) berantakan atau tetap pada tempat yang seharusnya. Meisya MEMILIH untuk membuat semuanya tetap pada tempat yang seharusnya. Meisya meminta Mario tetap tinggal di sisi Rima dan berusaha mencintai Rima.

Ketiga, soal Rima. Tokoh Rima dijadikan sebagai sudut pandang "aku" oleh narator. Rima adalah tokoh yang digambarkan menderita luka hati yang paling parah. Perselingkuhan meremukkan hatinya berkeping-keping. Aku bisa memahami, bagaimana luka itu mengoyak hatinya hingga lumat. Dari ketiga tokoh, bila itu terjadi di lingkaranku, aku pasti akan berdiri untuk Rima, untuk menariknya keluar dari ceruk kesedihan mendalam yang membuat dunianya terasa gelap pada saat itu. 

Tapi, kalau menganggap Rima adalah pihak terlemah dari luka yang didapatinya, itu tidak benar. Justru, ia adalah tokoh terkuat yang pada akhirnya mengalahkan tokoh-tokoh yang memberinya luka-luka. Di atas luka-luka itu, Rima MEMILIH untuk lebih kuat berjuang memenangkan suaminya, memenangkan cintanya. Ia tidak meninggalkan suaminya dan percaya bahwa perjuangannya akan membuahkan hasil. Apa yang diyakininya pun terjadi. Suaminya akhirnya mencintainya.

Namun, ketika suaminya telah jatuh cinta pada Rima, kecelakaan justru merenggut nyawa Rima. Kematiannya menyisakan penyesalan dan perasaan bersalah seumur hidup pada suaminya dan Meisya. Meskipun itu bukan merupakan sebuah pembalasan dendam, tapi, bukankah siksaan penyesalan yang diakibatkan setelah Rima tiada lebih mengerikan daripada sebuah perceraian yang bisa saja dipilihnya saat itu? Tak salah bukan, bila kukatakan, justru Rimalah tokoh terkuat diantara ketiganya? Kadang, tokoh yang tampak paling menyedihkan, lemah dan banyak ditangisi orang-orang, justru tokoh tersebut adalah tokoh yang paling kuat. 

-----------------

Dari kisah tersebut, yang menjadi titik beratku bukan soal siapa yang benar dan siapa yang salah. Tapi, semua itu tentang pilihan masing-masing tokoh. Apakah akan tetap mencari "kebenaran" dalam situasi-kondisi yang salah untuk membuat keputusan yang "benar" dan "tepat" atau menjadikannya tetap dalam situasi-kondisi "salah" dan membiarkan keadaan "semakin gelap-kelam".

Tuhan tidak akan mengubah keadaan kaumnya sampai ia sendiri yang mengubahnya, bukan?

Di situlah fungsi sebuah PILIHAN.

V.E.P. 07.07.2018