Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Sabtu, 30 Juni 2018

Pergi Untuk Kembali


Ketika kaki-kaki manusia menginjakmu
Dan kau tetap berada di tempat yang sama
Tumbuhlah kembali sebanyak mereka menginjakmu

Ketika angin meniupmu dengan kencang 
Dan mencerabutmu dengan paksa dari tangkainya
Terbanglah dengan bahagia
Lalu bertumbuhlah di tempat yang baru

Pergilah, untuk kembali menjadi dirimu
Pergilah, untuk memberikan kehidupan di tanah yang baru
Pergilah, untuk kembali menatap matahari yang sama
Pergilah, untuk mengatakan pada dunia bahwa kau kembali

Pergilah untuk kembali!

-V.inny Erika Putri, 01.07.18

#2. Apakah Kau Merindukan Ayah?



Apakah kau merindukan ayah?
Bagaimana rasanya merindukan ayah?

Aku memilikinya
Darahnya mengalir dalam tubuhku
Tapi, jiwa ini terkadang merasa yatim

Aku kepala batu
Yang kadang membencinya dalam diam
Ketika terpaksa mengalah dan mengubur pilihan-pilihanku
Ketika dia menggunakan otoritas kepemimpinannya
Ketika dia selalu merasa paling benar

Aku kepala batu
Yang kadang membencinya dalam diam
Ketika dia melimpahkan amarahnya pada ibu
Bersebab kubantah dan kupatahkan kediktatorannya

Aku kepala batu
Yang tak suka mendengar suara kerasnya meledak-ledak di telingaku
Ketika terjadi pertengkaran antara ibu dan dirinya
Yang terpaksa melunak dan menurunkan egoku
Untuk memadamkan bara yang berkobar-kobar
Ketika melihat kerumitan tercipta di sana

Aku kepala batu
Yang kadang mengasihaninya dalam diam
Seiring tubuhnya yang tak lagi sekuat dulu
Seiring rambut putih di kepalanya kian membanyak
Seiring kulitnya yang kian kerut keriput

Aku kepala batu
Yang kadang mengasihaninya dalam diam
Ketika melihat luka yang dibawanya sedari kecil
Luka yang tak disadarinya menyisakan lubang di hatinya hingga ia menua

Aku kepala batu
Yang kadang berterima kasih padanya dalam diam
Ketika mengingat peras keringatnya menghidupi keluarga ini
Hingga membuat daging-daging dan otot-otot dalam tubuh ini terus tumbuh sehat

Aku kepala batu
Yang kadang mengasihinya
Ketika aku menyadari dia adalah bagian dari takdirku
Takdir bahwa dirinya ikut andil membuatku terlahir ke dunia ini
Takdir bahwa dirinya adalah lelaki yang kusebut ayah

Dia kepala batu
Yang berusaha memenuhi semua kebutuhan keluarganya
Karena orang tuanya tak banyak melakukan itu untuknya

Dia kepala batu
Yang merasa buah hatinya harus selalu dilindungi
Sehingga buah hatinya tak boleh berada terlalu jauh dari jangkauan matanya
Karena orang tuanya tak banyak melakukan itu untuknya

Dia kepala batu
Yang tak merasakan kasih sayang penuh kedua orang tuanya
Karena dia berulang-ulang menjadi kakak di setiap tahun kelahiran adik-adiknya sepanjang sembilan tahun
Sehingga nenek dan kakeknya menjelma perpanjangan tangan kasih sayang

Dia kepala batu
Yang bersandar pada kegigihan di tengah pergumulan sifat pemalunya
Ketika menghadapi lingkungan sosialnya
Ketika darahnya yang masih muda harus menghadapi dunia
Dan merasakan dirinya bukanlah siapa-siapa

Dia kepala batu
Yang memegang teguh kesetiaan pernikahan juga hatinya 
Karena ia mengingat suatu takdirnya yang pahit:
dia melihat ayahnya sebagai orang yang memberi ibunya luka pengkhianatan
Hingga penyakit membawa ibundanya kembali ke tanah
Meninggalkan dirinya di usia yang masih labil
Lalu, ia harus menelan takdir
Perempuan duri itu menjadi ibu tirinya yang baik hati

Aku
Dia
Kami berdua
Kepala batu

Yang kerap berseteru panas dan perang dingin lalu cair dengan sendirinya
Yang kadang menyimpan lukanya masing-masing ketika saling melukainya
Yang saling mengasihani dan mengasihi dalam diam
Pula saling melindungi dengan caranya masing-masing

Apakah kau merindukan ayah?
Bagaimana rasanya merindukan ayah?

Kami, dua kepala batu masih saja sering berselisih untuk bisa saling memahami. Bahkan, di usianya yang semakin menua.

Apakah kau merindukan ayah?
Bagaimana rasanya merindukan ayah?

-Vinny Erika Putri, 01.17.18

Apakah datangnya kerinduan itu harus menunggu salah satu dari kami kembali ke tanah terlebih dahulu?

Kalau memang begitu, maka, wahai Bumi, panggilah aku lebih dulu untuk berbaring di pelataranmu. Aku tak ingin menanggung kerinduan itu.

-V.E.P, 01.07.18-

Jumat, 29 Juni 2018

#2. Hai, Diriku, Dengarlah Suara-Suara Ini


Sisakan ruang hati untuk dilukai agar lebih mudah berdamai dengan luka. Hati yang hidup tak mungkin tak pernah mengalami luka setitik pun. -Yanti, Psikolog.

Malam ini, sebuah catatan lama mengingatkanmu akan seseorang. Ia wanita bemandikan kegetiran sekaligus ketangguhan.

Apa yang dilakukannya adalah mengobati jiwa orang-orang yang sakit, jiwa orang-orang yang terluka. Orang-orang menamainya psikolog.

Apa yang dilakukan Tuhan adalah mengujinya apakah ia bisa mengobati luka-luka pada dirinya sendiri seperti ia mengobati orang lain.

Tuhan memberikannya takdir:

Takdir pertama, anaknya terlahir dengan cahaya bintang berbeda dari cahaya pada umumnya. Tuhan menganugerahinya anak yang mengidap disleksia dan kelemahan otot-otot tangan.

Takdir kedua, sang suami menceraikannya. Lalu, takdir kedua membawanya pada takdir ketiga.

Takdir ketiga, ia menjadi seorang single mother. Ia membesarkan anak lelakinya seorang diri. Anak yang terlahir istimewa ia terima dengan segala warnanya. Kecerdasannya sekaligus kekurangannya. Kesedihan sekaligus kebahagiannya. Cemoohan bibir-bibir tetangga akan anaknya yang hanya larut dengan dunianya sendiri. Cibiran nyinyir orang-orang ketika anaknya berbeda dari keumuman anak-anak lainnya. Sanjungan orang-orang yang terasa bagaikan penjilat kala anaknya pada akhirnya menunjukkan prestasi di balik segala kekurangan. Ia melewati semuanya di fase itu.

Di takdir ketiga yang mengakumulasi takdir-takdir sebelumnya. Ia berhasil memenangkan masa-masa sulit itu. Pun memetik buah kesabarannya.

Hingga ia akhirnya memahami, makna pekerjaan dimana ia begitu hidup didalamnya. Tuhan benar-benar membentuknya menjadi psikolog sejati di takdir ketiganya. Sebab, ia tak hanya melihat rasa sakit dari berpasang-pasang hati yang berusaha ia sembuhkan. Ia juga melihat rasa sakitnya sendiri yang membuatnya menyadari satu hal bahwa untuk bisa menyembuhkan dan benar-benar memahami luka yang orang-orang rasakan, ia harus berdamai dengan lukanya sendiri. Tepatnya berdamai dengan diri sendiri.

Lalu, bagaimana dengan takdir milik wanita itu selanjutnya? Kau tak tahu. Kau tak lagi mendengar kabarnya. Tapi, kau mengingat nama panggilannya: Bu Yanti. Dimana pun beliau berada, kau berterima kasih padanya karena telah meninggalkan pembelajaran berharga bagimu.

Maka, malam ini, ingatlah suara-suara ini, suara dari dalam hatimu, wahai diriku:
Berdamailah dengan luka untuk berdamai dengan dirimu sendiri.
Ketika kau telah mampu berdamai dengan luka, saat kau mengingatnya, luka itu tak lagi terasa tajam. Kau akan menikmatinya itu bagian dari takdirmu. 
Ketika kau telah mampu berdamai dengan luka, kau akan kembali menemukan dirimu. Dan kau akan bisa melanjutkan hidupmu. 
Luka mengajarimu cara untuk sembuh.

-V.E.P, 29.06.18

#3. Kita



----------
People changed, life changed and world changed
But... the hope of me about our friendship it still the same
I hope... the time can't change it

----------

Nia...

Tahun 2018, dua tahun berlalu sejak pertemuan kita di hari pernikahanmu.

Waktu terus berjalan.
Diri kita berubah dengan bertambahnya usia.
Juga kehidupan kita.

Nia, dua tahun lalu, kamu seorang istri. Kini, kamu adalah seorang istri juga seorang ibu. Aku turut bahagia.

Abizard Pradipta Ahza Tsaqib.
Nazran Ghani Dzakiandra Ramadhan.

Dua jagoan kecilmu, yang melengkapi hidupmu sekarang. Nazran lahir kurang lebih setahun setelah Abizard lahir. Dan aku belum sekalipun menjenguknya. Aku memohon pada-Nya, suatu saat, aku bisa melihat dua jagoan kecilmu, memeluk dan membelai kepala mereka. Juga membisikkan kata, jadilah jagoan yang tangguh, lebih tangguh ibumu.

Nia, lepas pertemuan kita di pernikahanmu, bagaimana kamu menjalankan hidup sekarang, aku semakin jarang menanyai kabarmu. Kita jarang bertukar kabar. Kabar terakhir yang kutahu, kelahiran Nazran, membawamu pada keputusan untuk menyerahkan waktumu secara penuh sebagai ibu rumah tangga. Kamu melepaskan pekerjaanmu. Saat kamu mengabarkan itu, aku mengatakan setuju dan sependapat denganmu.

Nia, dunia yang kita jalani, arus kesibukan yang telah menjadi pilihan hidup dan tanggung jawab yang kita pikul masing-masing membuat kita kerap tak memiliki kesempatan untuk memanjang-manjangkan waktu untuk saling bertukar cerita. Bentang jarak kian menambah sulitnya pertemuan. 

Nia, dunia yang kita jalani telah berbeda. Kamu sekarang seorang istri sekaligus ibu. Terkadang, aku ingin menanyakan lebih sering tentang bagaimana hidup yang kamu hadapi di posisimu yang sekarang. Tapi, suara hatiku lebih banyak menahannya. Aku merasakan sebuah dinding pembatas yang mengingatkanku sejauh mana aku bisa melihat hidupmu. Aku tak berani melangkahi apa yang menjadi privasimu. 

Bagiku, selama kamu belum bercerita apapun padaku, artinya kamu lebih memilih menyimpannya sendiri. Kamu terus berusaha untuk tangguh dengan keadaan apapun. Itulah dirimu sedari dulu. Tidak berubah. Dan kamu salah seorang yang mengajari ketangguhan itu padaku.

Saat kita bertukar kabar, akulah yang bercerita. Daridulu memang selalu begitu. Akulah yang pertama memulai bercerita, baru kamu menimpali dengan cerita-cerita serupa tentangmu. Aku bercerita, saat kondisi hatiku di ujung kebingungan tentang seorang lelaki yang tengah melakukan pendekatan denganku. Aku bercerita tentang keluargaku ketika aku tak mampu lagi membendung pendaman amarahku pada bapak yang akhirnya pecah menjadi tangis. Aku mengatakan bahwa kamu seperti kompas bagiku.

Sampai, suatu ketika kamu yang lebih dahulu memberiku kabar duka. Nenekmu meninggal.

Kala itu, dari tempat yang jauh, aku ikut menangis diam-diam. Firasatku telah mendapatkan jawabannya seiring kabar kematian nenekmu. Firasat yang kurasakan adalah kesedihanmu di hari itu. Firasat yang baru kusadari dimulai saat kamu mengunggah foto keluargamu yang menemani nenekmu di rumah sakit. Puncaknya, saat aku melihat foto nenekmu yang tengah terbaring kritis di rumah sakit yang kamu unggah di status whatsapp, ada kesedihan yang menghinggapi hatiku. 

Keadaan nenekmu yang mirip dengan keadaan simbah putriku saat kritis menghempaskanku pada ingatan yang terasa selalu tanak hingga kini. Ingatan tentang kehilangan seseorang yang memiliki ikatan emosi mendalam denganku. Ingatan yang selalu membasahkan mataku saat kumengenangnya. Mataku basah saat aku berterima kasih pada-Nya karena telah memberikan kesempatan padaku ada di saat kondisi kritisnya, menemaninya dan menuntunnya dengan kalimat talqin hingga embus napas terakhirnya. Mataku basah saat aku merindukannya dan meminta-Nya menghadirkannya dalam mimpiku meski hanya sekali.

Apa yang kurasakan, kamu pun menyusul merasakannya. Apakah takdir 11-12 kita masih berlaku, Ni? Entahlah. Kita jarang bertukar kabar. Namun, terkadang, aku merasa kita terhubung oleh semacam firasat-firasat yang saling memperlihatkan kabar masing-masing dari kita. 

Saat aku mengabarimu tentang kecelakaan yang kualami yang menyisakan luka ringan di tangan kananku dan membutuhkan waktu seminggu untuk pemulihannya, katamu, kamu bermimpi mengunjungiku dengan membawa buah pisang. Meski aku tertawa dan bertanya padamu hubungan buah pisang itu dengan kecelakaanku, hatiku mengatakan, itu firasatmu tentangku. Saat aku merasakan kesedihan dan yang terlintas di benakku adalah kamu, lalu kutanyakan kabarmu, kudapati jawaban: Abizard dalam kondisi sakit. Saat perasaan antara bahagia dan kesedihan bercampur tak keruan di hatiku dan yang muncul di hati adalah pertanyaan kapan kehamilanmu jelang HPL, kudapati jawabannya di akun instagramku: foto anak keduamu yang baru lahir yang kamu unggah muncul di kabar berita. Juga firasat lainnya yang tak bisa kuutarakan dengan kata-kata dan kuceritakan di sini.

Firasat-firasat itu, atau apapun namanya, aku berterima kasih pada-Nya. Keberadaan firasat-firasat itu, bagiku, seperti bentuk lain dari jalinan komunikasi tak langsung yang kadang tidak kita sadari.

Dan ketika aku tak merasakannya untuk beberapa waktu yang lama, semoga artinya kamu bisa menaklukkan badai-badai kecil maupun besar dalam hidupmu dan menghadapi hidupmu dengan baik. 

------------------------------------------------

Ida...

Tahun 2018, dua tahun berlalu sejak pertemuan kita di hari pernikahan Nia. Komunikasiku denganmu terjalin lebih intens dibandingkan dengan Nia. Mungkin, sebabnya, dunia yang kita pijaki masih sama. Kita sama-sama masih menunggu satu pintu terbuka. Pintu yang sudah lebih dulu Nia buka.

"Kapan, ya, Vin, bahagia untuk kita akan datang?" tanyamu kala itu.

Pertanyaan yang kupahami maksud dari kata 'bahagia' dari kalimatmu.

"Indah pada waktu-Nya, Da," jawabku terdengar klise.

Ida, saat itu, kita terkadang memandang indah pintu menuju dunia baru yang kini tengah dijalani Nia. Tapi, terkadang lukamu dan lukaku mempertanyakan kembali takdir tentang siapa lelaki yang mengulurkan tangannya, menggenggam kita dan membawa kita pada pintu itu. 

Lukamu adalah dua kali menjalani hubungan dengan lelaki yang berujung pada kegagalan dan kembali menorehkan luka yang sama padamu. Kau sekarat tiga kali karena cinta. Sementara aku, memilih tak mengulang ketiga kalinya setelah luka terakhir di tujuh tahun lalu sempat meremas hatiku hingga remuk berkeping-keping.

Lukaku adalah masa laluku dan luka orang-orang di sekelilingku yang memantul ke dalam hatiku dan kadang menjelmakan diri menjadi pemikiran-pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan. 

Aku melihat bagaimana potret kehidupan orang-orang yang awalnya menikah dengan bahagia lalu berujung pada pertengkaran yang lebih sering mewarnai hari-hari mereka bahkan hingga di masa tua dan tak sedikit juga yang berujung pada perceraian. Potret di mana bagian kehidupan yang kulihat itu juga menjadi lukamu, lukaku, luka seorang sahabatku yang lainnya. 

Lukamu dan luka seorang sahabatku yang kuanggap bagai adik sendiri adalah luka perceraian. Lukaku adalah ingatan tentang pertengkaran-pertengkaran yang kulihat dimasa kecil dan bagaimana diriku yang dengan gemetar berusaha jadi penengah kala pertengkaran hebat terjadi. Meski tak pernah terjadi kekerasan fisik semasa itu, tapi bising dan tajamnya lidah-lidah yang beradu kata bagai pedang yang menancapkan luka dan menyisakan lubang di sana. Lubang itu masih menganga sekalipun aku telah memahami bahwa saat itu mereka masihlah terlalu muda dan itulah bumbu rumah tangga. Pula lukaku adalah menyaksikan bagaimana ibu harus kerap kali mengalah untuk meredam keegoisan serta kekeras-kepalaan bapak yang kadang sungguh kekanakkan bahkan hingga di usianya yang nyaris menginjak kepala 6 di setiap permasalahan rumah tangga. 

Ibuku mengajariku ketabahan yang kadangkala aku membenci ketabahan itu sendiri dan menerjemahkannya sebagai bentuk penindasan ego lelaki terhadap perempuan. Ketabahan ibu yang kadangkala kubenci dan ingin membuatku lari walaupun kutahu yang dilakukan ibu adalah untuk menjaga biduk rumah tangganya agar tetap bisa berlayar. Ketabahan ibu yang kubenci sekaligus kutelan bahwa tidak ada rumah tangga sesempurna negeri dongeng.

Potret-potret itu memahamkanku bagaimana kehidupan perempuan juga laki-laki setelah menikah. Potret-potret itu memahamkanku bahwa pernikahan itu tidak hanya sekadar kebahagiaan. Pernikahan lebih pelik dari cecap rasa madu yang kebanyakan dibayangkan oleh para lajang. 

Saat pintu itu terbuka, dunia baru pun terbuka. Lalu, kita masuk untuk menempuh perjalanan yang baru pula. Semasa kita menempuh perjalanan itu, kita akan mendapati dalam badai kecil maupun besar bahwa cinta saja tidak cukup kokoh untuk menopang keberlangsungan pernikahan. Ketegaran dalam berjuang dan keyakinan memenangkan masa-masa sulit selama berada dalam pusaran badai-badai itu harus lebih besar dari cinta itu sendiri. Dan badai-badai itu adalah paketan yang Allah sediakan dalam sebuah biduk yang dinamai rumah tangga untuk menguji kesetian pernihakan sekaligus keimanan kita pada-Nya.

Itulah, Da. Yang ada di benakku. 

Kini, aku sudah jarang mempertanyakan kepada diri sendiri kapan waktunya tiba. Mungkin karena semua alasan dan pemikiranku yang kujelaskan sebelumnya. Mungkin karena aku sudah terlampau lelah dengan repetisi pertanyaan dan airmata yang sama. Mungkin juga karena ada kenangan tentang simbah putri didalam pertanyaan itu yang lebih menyakitkan dari luka-luka itu.

Setahun sebelum simbah putriku meninggal dan terkena stroke yang membuatnya hanya bisa duduk dan berbaring di tempat tidur, aku sekeluarga menjenguk beliau di waktu liburku. Diam-diam tanpa sepengetahuanku beliau menanyakan pada ibuku. Soal jodoh. Apa aku sudah mempunyai seseorang atau belum. Bahkan dari cerita saudara ibu, sempat terpikir oleh beliau akan menjodohkanku dengan sepupu yang masih terhitung saudara (meski tak sedarah) dalam silsilah keluarga. Aku tertawa sekaligus terenyuh. Beliau begitu memikirkanku dan ingin melihatku menikah. Doanya tak putus-putus untukku soal itu.

Lalu aku mengingat, jawaban yang kuberi saat berpamitan padanya di akhir kepulanganku, aku membelai rambutnya sembari berkata, "Mbah, yang sehat-sehat. Yang panjang umur. Biar bisa lihat siapa jodohnya, Puput (nama panggilanku di lingkungan keluarga)."

Kenyataannya, takdir tidak menginginkan itu terjadi. Kematian merenggutnya lebih dulu.

*

Ida...

Kita terkadang mengeluhkan hal yang sama. Penat. Jenuh. Dan terasa ingin mati dengan hidup yang kadang begitu memuakkan.

Tapi, diantara dua orang yang tengah berada dalam lautan kebosanan hidup, aku berusaha sekuat mungkin menarikmu untuk keluar bersama-sama dari lubang keputus-asaan. Aku mohon maaf bila terkadang nasehatku terkesan menggurui. Aku sendiri tidak lebih baik dari apa yang kadang kunasehatkan padamu. Terkadang, aku pun membutuhkan nasehatmu, seperti tanganmu yang juga pernah mengulurkan bantuan ketika aku pertama kali terluka.

Sejalan semakin matangnya usia kita, masing-masing dari kita jarang saling memperlihatkan air matanya. Kita telah pandai mencari pengalihan perasaan. Menenggelamkan diri dengan berbagai kesibukan. Menghibur diri dengan berbagai tontonan film atau kesenangan lainnya untuk melupakan sejenak peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita.

Terakhir kali, tangisan yang kudengar adalah ketika kamu mendapati kenyataan firasatku tentang laki-laki bernama B (sebut saja begitu) benar adanya. Kamu akhirnya menjadi orang yang paling terluka. Lelaki sampah itu menambah daftar panjang lukamu. Dan saat itu, aku berharap, hal seperti itu tidak lagi menimpamu. Jangan terjatuh di lubang yang sama. Bisakah? Meski aku paham, terkadang, perasaan perempuan lebih kuat daripada rasionalitasnya, cobalah berjuang dengan rasionalitas itu untuk tidak kembali terluka.

"Berpura-pura kuat sampai kamu kuat dengan sendirinya. Berpura-pura baik-baik saja, jangan menangis di depan lelaki brengsek itu," kataku padamu di saat itu.

"Iya. Aku ketawa-ketawa, padahal hatinya sakit. Kayak gini banget, ya, Vin rasanya. Aku ngeliat B dengan perempuan itu. Aku pengen pindah kerja," balasmu dengan sengguk.

Aku paham situasi sulit yang kamu hadapi saat itu. Dimasa-masa itu, kadang aku menyemangatimu dengan nasehat-nasehat yang mungkin tidak ingin kamu dengar. Kadang tak menasehati apapun saat merasakan kamu lebih butuh didengarkan. Kadang hanya diam saat tak tahu harus mengatakan apalagi. Hingga akhirnya, aku benar-benar diam. Bukan aku tak lagi peduli padamu, tapi aku rasa dan aku pikir, kamulah yang bisa menolong dirimu sendiri.

Dan sekarang, kamu sudah benar-benar bisa melewati masa sulit itu bukan? Kamu mendapatkan pekerjaan baru di tempat yang baru. Sesak yang kamu rasakan saat menatap mentari pagi karena kamu sadar akan kembali menjalani hari dengan rasa sakit berulang kini perlahan lenyap. Meski luka itu masih terasa, setidaknya, kamu tidak akan melihat laki-laki brengsek itu di hari-harimu. 

Ingat-ingat, ini, ya, Da:
Kamu tangguh. Kamu sudah bisa melewati itu. Kamu lebih tangguh dari apa yang kamu kira. Saat tak kuat lagi dengan apa yang harus kau hadapi, tetaplah berpura-pura kuat sampai kuat dengan sendirinya. Bangkit. Dan kembali melangkah. Karena kamu tidak tahu bila ada seberkas cahaya yang menunggumu di ujung lorong perjuanganmu bila kamu memilih berhenti menghadapinya.

Kalau aku terlupa dengan nasehat-nasehatku padamu, tolong kembali ingatkan aku dengan kata-kataku sendiri.
-------------------------------------------------

Sepanjang kurang lebih 15 tahun terakhir, kalian adalah sahabat yang tersimpan kuat dalam ingatan hidupku. 

Kalian... mungkin salah satu alasan keberadaan firasat yang mengingatkanku pada kalian.

Saat kesibukan telah lama membekukan perbincangan kita, firasat hadir untuk mencairkan kebekuan itu dan memintaku, meminta kita untuk tidak saling melupakan satu sama lain.


V.E.P, 06.29.2018

Rabu, 27 Juni 2018

#1. Hai, Diriku, Dengarlah Suara-Suara Ini




Hari ini, dalam buku harianmu, kusampaikan pesan padamu untuk peristiwa-peristiwa yang belum bisa kujelaskan di sini. Ingat-ingatlah pesan ini wahai diriku.
Tuhan terkadang menempatkanmu pada fase-fase dimana kau tak bisa mempercayai dirimu sendiri untuk meruntuhkan kesombonganmu sekaligus mengingatkanmu bahwa Dialah satu-satu-Nya yang bisa kau percaya dan kau andalkan.
Tuhan juga menempatkanmu pada fase-fase di mana kadang orang lain tak bisa kau percaya bahkan meninggalkan kekecewaan di hatimu untuk mengingatkanmu agar tidak menggantungkan harapanmu pada makhluk.
Jalan keluar terbaik dari segala kepenatan dan kejenuhan hidupmu pada akhirnya adalah kembali ke jalan-Nya untuk menemukan kembali rasa syukur. 
Dan doa terbaik dari segala kegetiran adalah meminta-Nya untuk tidak memalingkan pandangan mata-Nya darimu dan tetap mengingatkanmu dengan suara-suara-Nya ketika kau mulai kehilangan arah dan tertatih-tatih mengeja terang dalam gelap.

V.E.P, 20.06.2018

Selasa, 26 Juni 2018

#2. Kita




---------
People changed, life changed and the world changed
But... i'm still have the same feeling for our friendship
It's never ever change
---------

Tahun 2016, setelah enam tahun berlalu, semenjak kelulusanku kita kembali dipertemukan. Lengkap bertiga. kita bertemu dalam momen yang membahagiakan: salah satu dari kita telah genap hatinya. Aku dan Idayu, turut bahagia melihatmu.

Lima bulan sebelum hari pernikahanmu, Allah memberi kesempatan dan kemudahan untuk kita bertemu. Saat itu, aku tengah menjalankan tugas dari lembaga pendidikan tempatku bekerja untuk mengikuti pelatihan di IHF (Indonesian Heritage Foundation) yang berlokasi di Depok selama 10 hari. Ada haru yang memenuhi dadaku dan air mata yang tak bisa kubendung saat kita bisa kembali bertemu. Kamu ditemani calon suamimu waktu itu. 

Kamu sempat memberikanku sebuah kado setelah kita makan malam bersama di mall yang lokasinya berdekatan dengan IHF. Saat itu, aku masih menjalani masa tugas pelatihan. Kemudian, ketika masa pelatihan berakhir, di rumahmulah aku menginap selama satu malam karena jadwal kereta yang kupesan berjeda sehari dari waktu akhir masa pelatihan. Kamu pulalah yang menemaniku dari tempatmu hingga ke Stasiun Gambir jelang kepulanganku. Bahkan kamu membekaliku dengan kue sebagai oleh-oleh untuk keluargaku.

Nia, kita tidak sempat banyak bercerita. Karena, aku dan Idayu datang tepat di H-1 jelang pernikahanmu. Pertukaran cerita lebih banyak terjadi antara aku dan Idayu karena aku menginap di tempatnya setelah selesai menghadiri pernikahanmu. Juga dialah menungguku di Stasiun Bekasi untuk bersama-sama menuju rumahmu. 

Masih tanak dalam ingatan, saat aku turun dari commuter line. Hatiku dipenuhi suatu perasaan takjub serta syukur. Tak terbayangkan aku nyata-nyata bisa berada di sini dan akan bertemu dengan kalian. Aku duduk termenung sampai Ida menghubungiku. Ia menanyakan apakah aku sudah tiba di stasiun atau belum. Aku pun keluar dari peron setelah membalas pesan Ida.

Ida lebih dulu melihatku. Pecahlah rinduku saat aku mendapatinya di depanku. Aku memeluknya. Lantas, kami melangkah sembari berangkulan. Berhubung kami berdua sama-sama kelaparan, kami putuskan untuk makan terlebih dahulu sebelum menuju rumahmu. Sepanjang kami menikmati semangkuk bakso, cerita tentang kehidupan kami masing-masing selama tak pernah bertemu pun bergulir. Sampai, cuaca yang sedari tadi mendung akhirnya tetas menjadi gerimis lalu menjelma hujan yang menahan kami cukup lama berteduh di tempat itu. Kami menunggu hujan reda dengan cerita-cerita yang seolah tiada habisnya.

"Kapan ya, kita bisa menyusul seperti Nia?" tanya Ida persis seperti yang hatiku tanyakan.

Lantas, pertanyaan itu ditutup dengan tawa yang membawa kesadaran ke mana ujung jawaban pertanyaan itu. Bahwa takdir dan waktulah yang akan menjawabnya.

Setelah hujan menipis menyisakan gerimis kecil, aku dan Ida barulah menuju rumahmu dengan angkutan umum. Kita tiba di sana menjelang maghrib. Keluargamu menyambut kita. Dan rumahmu penuh dengan kesibukan. Ada perasaan tak enak hati menelusup di hatiku dan Ida karena merasa asing dan canggung. Juga khawatir kehadiran kita kian merepotkan keluargamu. Kalau saja tempat kost Ida jaraknya dekat dari hotel tempatmu esok hari melakukan akad sekaligus resepsi, mungkin aku dan Ida memilih tidak menginap di rumahmu. Ya. Aku dan Ida sangat ingin melihat prosesi akad nikahmu. Kita berdua tidak ingin terlambat apalagi melewatkan bagian terpenting itu.

Malam itu, kamu pun hilir-mudik disibukkan dengan persiapan untuk esok hari. Sempat terlontar permintaan maaf dari bibirmu karena kamu merasa kurang bisa menyambut kita berdua dengan baik. Sungguh, aku dan Ida memahami kondisimu pada waktu itu. Aku tetap bahagia, karena malam itu, pada akhirnya, kita bertiga tidur di tempat yang sama, merasakan atmosfer perasaan yang sama campur aduknya dengan perasaanmu yang berusaha kamu tutupi. Dan kesempatan itu... momen itu... aku tidak yakin apakah akan terulang kembali.

*

Esoknya, kamu lebih dulu menuju hotel untuk persiapan akad nikah. Sementara aku dan Ida menyusul bersama dengan keluargamu. Sepanjang perjalanan menuju hotel, aku dan Ida tak banyak berkata-kata. Selain memang canggung dengan keluargamu, kami berdua tenggelam dengan pikiran masing-masing.

Aku melihat suasana kota Bekasi dengan berlaksa-laksa rasa yang dibawanya. Ada rasa tak keruan turut menelusup di dada ini. Terlintas kenangan bagaimana persahabatan kita dimulai juga waktu-waktu yang pernah kita lewati bersama. Beberapa peristiwa terjadi dalam hidup kita dengan pola yang mirip. Aku dan kamu menamainya 11-12. Apa yang kamu alami, aku juga mengalami. Entah aku atau kamu yang lebih dulu mengalami itu, salah satu yang lainnya seringkali menyusul mengalami peristiwa serupa.

Pagi itu, 17 Februari 2016.

Seluruh perasaanmu seolah bisa terserap hatiku dan memantul bagaikan cermin. Percaya atau tidak, aku bisa merasakan hati dan pikiranmu dari jauh. Meski sepanjang perjalanan itu aku lebih banyak membisu, diamku saat itu tetaplah sebuah bahasa.

Aku dan Ida tiba di hotel tempatmu melakukan akad nikah. Kami pun berpisah dengan keluargamu yang berada satu mobil dengan kami berdua. Mereka menyebar di penjuru hotel. Aku dan Ida sempat mengambil foto berdua sebelum masuk ke dalam aula hotel. Kami mengabadikan momen pada saat itu.

Masuk ke dalam hotel, kami berdua menunggu beberapa saat. Hingga akhirnya prosesi akad nikah pun dimulai. Aku bisa mendengarkan dengan jelas prosesi itu dari pengeras suara yang memenuhi ruangan. Saat itu, dadaku dipenuhi dengan keharuan. Dan mata turut membasah ketika mendengar suaramu bergetar. Getar suaramu yang akhirnya pecah menjadi isak, menandakan bahwa kamu merasakan sebuah gelegak emosi yang tak terlukiskan kata-kata pada saat itu. Perasaan itu tidak bisa lagi bukan kamu tutupi di depanku dan Ida seperti semalam?

Selesai akad, aku dan Ida masih menunggumu berganti baju untuk acara resepsi di ruangan terpisah. Kami masih ingin melihatmu sampai dengan proses resepsi. Saat prosesi akad nikah, kamu bersama mempelai pria sudah berada di kursi yang diatur untuk prosesi tersebut. Posisimu sudah berada di depan. Berbeda dengan prosesi resepsi, kamu dan mempelai pria akan melewati karpet merah yang terhampar hingga ke pelaminan. Saat itulah, aku dan Ida berkesempatan mengambil kalian berdua.

Momen yang ditunggu pun tiba. Beberapa kali lingkar lensa kamera smartphone-ku membidik momen-momen ketika kamu menggandeng mempelai pria yang telah sah menjadi suamimu dan berjalan bersamanya di atas karpet merah menuju pelaminan. Aku melihat senyummu dari sebalik kerumunan orang-orang yang juga ingin mengabadikan momen itu. Lalu, beberapa saat setelah kamu duduk di pelaminan, orang-orang menunggu antrian untuk mengucapkan selamat padamu, termasuk kami. 

Sampai, tibalah giliran kami. Aku dan Ida pun mengucapkan hal yang senada saat bersalaman denganmu. Ucapan selamat dan doa terbaik untuk keluarga baru yang akan kamu bangun. Pula, dalam hatiku, terdengar sebuah pertanyaan, "Kapan waktu dan kesempatan akan mempertemukan kita kembali?"

"Makasih, Neng. Kita foto dulu, yuk," katamu membalas ucapan selamat dari kami, "kalian makan dulu, sana," lanjutmu usai kita berfoto bersama.

Aku dan Ida mengiyakan. Turun dari panggung pelaminan, kami mencicipi hidangan yang disuguhkan untuk para tamu undangan. Tamu-tamu pun mulai berdatangan. Pengantin pria sempat terlihat hilir-mudik mengobrol bersama tamu ketika kamu kembali berganti baju untuk yang kedua kalinya. Bahkan, ia menyapa kami, menanyakan tentang bagaimana dengan hidangan yang disajikan, mempersilakan kami untuk menikmati hidangan yang lain dan mengucapkan terima kasih atas kehadiran kami di pernikahan kalian.

Usai aku dan Ida puas menikmati hidangan yang ada, kami menunggumu yang masih berganti baju. Cukup lama kami menantimu sebelum akhirnya dengan berat hati kami memutuskan untuk berpamitan pada keluargamu tanpa menunggumu kembali.

Seiring berlalunya kami dari bangunan hotel, ada perasaan entah yang tak bisa kubahasakan dengan kata-kata.
*

Aku masih memiliki satu hari tersisa dengan Ida. Siang itu, usai menghadiri pernikahanmu, aku pergi bersama Ida. Kami berpindah dari satu commuter line ke commuter line lainnya. Aku melihat gedung-gedung pencakar langit layaknya kota megapolitan seperti yang terekam di televisi. Lalu, kami berpindah dari satu busway ke busway lainnya. Sepanjang perjalanan, cerita pun masih bergulir sesekali.

Aku bertanya padanya, "Apa lelaki itu masih menghubungi kamu?"

"Masih," jawabnya.

"Terus, kamu masih ngeladenin?"

"Udah gak," jawab Ida.

Ingatanku melayang pada percakapan kami beberapa bulan lalu via whatsapp. Percakapan yang sungguh mendidihkan amarahku. Percakapan tentang mantan kekasihnya dari masa lalu yang menghubunginya kembali secara diam-diam tanpa sepengetahuan istrinya. Mantan kekasih yang dulu mengkhianatinya.

Mantan kekasihnya dahulu bermain api dengan teman kuliahnya yang juga teman kuliahku. Kemudian, keluarganya yang telah menerima dirinya dengan baik, mendadak turut 'menyingkirkan' sahabatku setelah mengetahui status sosial sang perempuan duri. Keluarga lelaki itu yang tadinya menyetujui hubungan mereka, tiba-tiba meminta sahabatku untuk mundur dari hidup lelaki itu yang telah menjalin cinta dengannya selama dua tahun. Lalu, lelaki dan sang perempuan duri akhirnya menikah.

Aku sungguh tidak peduli dengan kehidupan mereka. Aku paham takdir yang memang mau tidak mau harus sahabatku telan. Sahabatku dan lelaki itu tidak berjodoh. Pula bukan urusanku untuk terlibat dengan mereka. Sahabatku, lelaki pengkhianat dan sang perempuan duri, mereka bertiga adalah teman kuliahku. Aku punya batas dan tahu diri untuk tidak mencampurinya. 

Dulu, aku berusaha bersikap netral terhadap lelaki dan sang perempuan duri sekaligus melindungi Ida yang sedemikian terpuruk. Aku lebih memusatkan perhatianku pada Ida, sahabatku, sebagai orang yang paling terluka parah dan membutuhkan uluran tangan untuk keluar dari ceruk kesedihan yang mengerikan baginya pada saat itu. 

Aku memahami hatinya yang kala itu remuk redam dan hanya mengisi hari-harinya dengan air mata. Aku paham bagaimana rasanya ketika cinta yang tulus dan angan soal orang yang dicintai sebagai masa depan cinta itu sendiri diluluh-lantakan oleh pengkhianatan. Pengkhianatan yang meski sakit pada akhirnya harus kita telan sebagai takdir terbaik. Takdir bahwa orang-orang itu memang tidak ditakdirkan untuk kita.

Tapi, ketika lelaki itu kembali hadir dalam hidup sahabatku, sementara ia telah menjadi pria beristri dan beranak dua, sungguh aku tak bisa mentolelir itu.

"Dia takut aku cerita sama, kamu. Makanya dia kadang tanya, 'Vinny tahu gak kalau aku sering hubungi kamu'," katanya.

Aku merutuk dalam hati. Apa isi kepala laki-laki itu? Terbuat dari apa hatinya? Sudah putuskah urat syaraf malunya? Aku gemertak menahan marah.

"Terus, kamu bilang apa? Memang dia lagi gak sama istrinya?"

"Aku bilang gak cerita sama kamu. Dia, tuh, kerjanya di Cilacap. Ada di Purwokertonya hari Sabtu-Minggu. Dia telepon aku pas lagi gak di rumah, pas lagi gak sama istrinya. Kadang pas di jalan mau pulang ke rumah. Kalau telepon aku, cerita-cerita tentang masa lalu kita. Dan gak ada perasaan bersalah sama sekali. Gila, ya?"

"Terus mau sampai kapan kamu ladenin dia? Apa kamu mau balas dendam?"

"Aku pengen lihat kehidupan dia yang udah nyakitin aku, Vin. Kayaknya, kok, hidupnya enak-enak aja. Aku gak percaya ada karma untuk dia."

"Udahlah. Urusan karma, serahkan aja sama Allah. Apa yang terlihat di mata kamu enak belum tentu didalamnya juga enak. Bisa jadi dia kelihatan hidup enak dari pandangan luar kamu, tapi rumah tangganya carut-marut didalamnya. Gak usah habiskan hidup kamu hanya untuk melihat dia mendapatkan karmanya," gemasku, "kalau dia hubungi kamu lagi, abaikan," lanjutku.

Ida berbeda denganku. Aku tak ingin mengetahui apapun yang hanya akan mengingatkanku pada luka mendalam. Aku menguburnya di pusara masa lalu. Dan seterusnya akan begitu. Sekalipun di masa kini atau masa depan ia kembali muncul. Bila aku sudah memusarakannya di masa lalu, maka aku sudah menganggapnya mati.


*

Lepas ashar, kita berhenti di satu mall untuk melaksanakan shalat sekaligus berjalan-jalan melihat-lihat model-model pakaian yang dijajarkan di sana. Namun, berhubung kakiku sudah terlampau lelah, kami tak terlalu lama menghabiskan waktu berkeliling mall. Kami pulang menuju kosan Ida usai shalat maghrib.

"Tempat kerja kamu di mana, Da? Kita ngelewatin jalur busway ini gak?" tanyaku ketika berada dalam busway.

"Di daerah Kebon Jeruk, Vin. Gak ngelewatin, Vin."

Entah berapa panjang perjalanan kami. Berhenti dari satu busway, melewati jembatan penyeberangan, kembali menaiki busway lainnya. Aku tak mampu mengingat detailnya. Kami tiba di pemberhentian terakhir dan melanjutkan naik angkutan umum untuk sampai di daerah kosan Ida.

"Vin, kita makan nasi goreng dulu, yuk."

"Iya. Aku juga udah lapar."

Kami berhenti di tikungan dekat pos satpam tempat dimana penjual nasi goreng berjualan. Kami pun memesan nasi goreng lantas memilih tempat duduk.

"Kamu kalau makan malam di mana, Da?"

"Ya kadang makan di sini. Kadang cuma makan roti yang dibeli pas di kantor. Di sini agak susah nyari warung makan kalau malam."

"Sama B(1)?" tanyaku.

"Ya. Kadang-kadang. Kadang makan di sini. Kadang pesen terus dimakan di rumah."

"Kamu gimana sama dia?"

"Ya kayak gitu. Gak tahulah, Vin."

Entah harus menamai apa hubungan mereka dari cerita-cerita Ida yang kudengar sebelumnya. Teman dekat? Kekasih? Membingungkan sekaligus menjengkelkan bagiku. Aku kerapkali mengingatkan Ida agar berhati-hati dengan lelaki itu. Terutama dengan perasaannya sendiri.

"Kamu makannya cepet pisan," kata Ida yang melihat nasi gorengku telah lebih dulu tandas.

"Masih seperti dulu, kan? Aku yang makannya paling cepet diantara kamu dan Nia. Kamu terlama," ujarku.

Ida tertawa. Aku menunggunya menghabiskan makanan sambil melanjutkan ceritanya. Sesekali aku menimpali dengan kisahku sendiri.

"Ada lelaki yang lagi dekat sama kamu gak, Vin?"

Aku menggeleng.

"Masa?" tanya Ida seolah tak percaya.

"Iya. Lingkungan kerjaku isinya perempuan semua. Gak ada ruang untuk berinteraksi dengan lelaki. Mungkin itu yang terbaik buatku saat ini."

Lalu, cerita tentang pekerjaanku pun mengalir. Hingga piring di hadapan Ida telah bersih isinya. Kami pun membayar nasi goreng dan pulang menuju kosan Ida.

*

Kami berjalan melewati rumah demi rumah. Di satu titik, kami melihat kerumunan anak-anak tengah bermain. Sisanya, keadaan sekeliling yang sunyi senyap dan sedikit menakutkan lebih banyak mewarnai langkah kami.

"Sepi, ya, Da, daerah sini," ujarku.

"Iya, Vin. Aku sampai pernah mau dianterin satpam yang biasa lihat aku lewat sini. Makanya, kalau gak dianterin B, kerasa pisan, jalan sendirian," ujarnya.

"Kosanmu masih jauh ya, Da?" tanyaku.

"Bentar lagi sampai, Vin."

Kami tiba di sebuah lapangan yang penuh dengan parkir mobil.

"Itu mobil banyak pisan di parkir di situ."

"Iya, mereka bayar untuk sewa tempat di sini," jelas Ida.

Kami berhenti di sebuah rumah. 

"Sudah sampai, Vin."

*

Masuk ke dalam rumah, aku mengedarkan pandang ke sekeliling. Sepi aktivitas.

"Orang-orangnya pada ke mana, Da?"

"Di kamar masing-masing. Ada juga yang kerja shift malam," ujarnya sambil membuka pintu kamar, "masuk, Vin," lanjutnya.

Kamar itu kuperkirakan berukuran 3m x 3m. Tidak terlalu banyak barang didalamnya. Satu lemari, satu tempat tidur ukuran sekitar 2,5m x 1m, satu set meja besar dan kursi, juga kipas angin menggantung di dinding.

"Anggep aja kamar sendiri. Sorry kalau rada berantakan. Kamu nanti mandi duluan, aku ngerendem baju dulu," ujar Ida.

Aku berbenah barang, lantas mandi. Sementara Ida bergulat dengan cucian bajunya. Usai mandi, aku duduk berselonjor kaki.

"Vin, aku mandi dulu ya. Kamu kalau mau nyemil, ini ada roti di sini," ujar Ida begitu masuk kamar.

"Aku mau shalat Isya dulu. Pinjem mukena sama sajadahnya," balasku.

Usai shalat Isya, aku kembali duduk di sisi pembaringan. Ida masih belum selesai mandi. Aku sudah hafal benar dengan sebagian kelakuannya karena kedekatan kami sebagai sahabat. Dulu, semasa kuliah, saat kami hendak pergi bersama, aku kerap menunggunya lama untuk urusan mandi. Ida membutuhkan waktu untuk mandi nyaris selama satu jam. Apalagi bila ditambah kegiatan membilas pakaian yang dicucinya selepas mandi.

Sembari menunggunya di kamar, dalam diam, pikiranku melayang pada semua yang telah kami lewati bersama malam itu. Berpindah dari satu busway ke busway lainnya, disambung naik angkutan umum. Lalu, berjalan lumayan jauh dari komplek perumahan menuju lokasi kosannya dengan kondisi jalan yang sepi. Juga kata-katanya yang tersirat kebergantungannya pada B. Dan terakhir, atsmosfer orang-orang yang begitu dingin yang kurasakan di kosan ini. Kesemuanya membuatku menjadi paham bagaimana perasaan hatinya dalam menghadapi hari-harinya sendirian. 

Ia perempuan. Tanpa kawan sejati. Hanya kawan sebatas rekan kerja yang tak sepenuhnya memahami dirinya. Lebih mudah memahami persaingan antar rekan di tempatnya bekerja daripada persahabatan yang tulus. Lainnya, ia tinggal di kosan yang terkesan cenderung individualis dengan gerak kesibukan masing-masing individu. Masing-masing individu memiliki dunianya sendiri meski mereka berada di tempat yang sama. Ia jauh dari keluarga. Pula, ia tak memiliki fasilitas kendaraan pribadi untuk pergi kesana kemari dengan mudah dalam rangka memenuhi kepetingan pribadinya semisal urusan perut atau urusan lainnya.

Karena itu, rasa kebergantungannya pada B begitu besar. Dan lelaki itu yang memulainya. Hingga rasa kebergantungan itu berubah menjadi benih-benih cinta di hati Ida seiring perjalanan waktu kebersamaan mereka.

Aku berharap, saat itu, semoga lelaki itu tak menyakitinya, meski sebenarnya firasatku terasa tak enak melihat hubungan mereka yang tak tahu harus kunamai apa. Terutama firasatku terhadap lelaki itu. Aku bisa menerka lelaki macam apa dan akan ke mana ujung dari hubungan mereka dari cerita-cerita Ida. Dan karena itulah, aku kerapkali memarahi Ida. Aku benar-benar tak ingin Ida kembali terluka.

*

"Udah selesai nyuci, Neng?" tanyaku begitu Ida telah kembali berada di kamarnya.

"Udah."

Ida mengeluarkan laptop dari dalam lemari.

"Laptopnya masih awet ya, Da? Dari zaman kamu kuliah."

"Ini, tuh, sempat error, Vin. Terus B coba ngebenerin, malah jadi tambah gak beres jadinya."

Kulihat memang cagakan layarnya (atau entah apa namanya) bermasalah. Layarnya tidak bisa berdiri tegak. Harus ada sesuatu yang menyangganya agar tidak terjatuh ke belakang.

"Eh, kamu ada film bagus gak?"

"Ada. Sebentar."

"Besok aku ke stasiunnya naik apa, ya, Da dari sini? Keretaku berangkat sekitar jam 13.40."

"Nanti, kamu berangkat dari sini ke stasiunnya naik gojek aja," kata Ida.

"Di smartphone-ku belum ada aplikasi itu. Di playstore-nya belum ada. Maklum, beda vendor. Smartphone-ku bukan android, tapi windows phone."

"Pake smartphone-nya aku aja. Aku yang pesenin," ujar Ida sembari memilah-milih file film yang ada di laptop. 

Setelahnya, kami menghabiskan malam dengan menonton film yang entah apa judulnya (aku tak bisa mengingatnya). Sampai, akhirnya, lelah membawa kami ke pembaringan. Kami tidur bersama dalam satu tempat tidur.

*

Pagi tiba. Dan tersisa beberapa jam lagi waktu untuk kami bersama.

"Kamu mandi duluan sana, Vin."

Aku mengiyakan. Setelah aku selesai mandi, bergiliran Ida mandi. Lalu, kami keluar mencari warung makan keluar kompleks. Kami menemukan warung yang lumayan jauh dari kosan Ida.

"Bu, dibungkus ya. Dua," pesan Ida, "Kamu lauknya apa, Vin?" tanyanya.

Aku memilih lauk. Pun Ida. Kemudian, kami kembali ke kosannya dan sarapan bersama. 

"Kapan, ya, Da, kita bisa ketemu lagi setelah ini," ujarku.

"Main, Vin, ke sini kalau kamu liburan. Nanti kita jalan-jalan. Sayang, kamu di sini cuma sehari," tanggap Ida.

"Insya Allah. Semoga dikasih rezeki dan kesempatan untuk bisa ke sini lagi," jawabku.

Usai sarapan, kami menyempatkan diri berfoto sembari menunggu gojek yang telah dipesan tiba. Dan akhirnya... perpisahan pun kian mendekat dan tepat di depan mata seiring bunyi bel dari luar ruangan. Gojek yang dipesan sudah datang.

*

Aku berpamitan sekaligus mengucapkan banyak terima kasih padanya. Kami berpelukan. Kejadian ini melemparkan ingatanku pada suatu masa yang telah lama berlalu. Masa ketika aku berpamitan padanya lepas lulus kuliah. Saat itu, tiba hari terakhirku di Purwokerto. Keluarga menjemputku untuk kembali ke tempat domisili di mana aku tinggal.

Sebelum pulang, aku ingin berpamitan pada dua sahabatku. Nia dan Ida. Aku tidak berhasil bertemu dengan Nia karena Nia sedang tidak di tempat. Ia sedang berada di Bekasi untuk suatu kepentingan. 

Berbeda saat aku berpamitan dengan Ida. Ida ada di hadapanku ketika kumenemuinya. Saat itu, mendadak lidahku kelu kebas. Ada rasa sedih yang menikam hatiku. Ada tangis dan sengguk yang pecah cukup lama ketika kami berpelukan. Aku tahu, setelah ini, bentang jarak dan waktu akan cukup mempersulit pertemuan. Kami akan bertekuk lutut pada jarak dan waktu entah berapa lama untuk tetasnya sebuah temu.

Bersamaan dengan itu, aku akhirnya memahami satu hal, ketika aku dan Nia tidak dipertemukan saat aku ingin sekali melihatnya sekaligus berpamitan padanya. Setidaknya, ini bisa mengurangi air mataku juga tak membuat Nia harus menahan air mata. Nia adalah orang yang paling tidak ingin memperlihatkan air matanya sekalipun di depan sahabatnya. Nia adalah sahabat kami yang paling tangguh di antara kami. Nia adalah orang yang paling jarang memperlihatkan perasaan sesungguhnya pada kami. Dan yang terdepan membelaku saat aku di posisi terlemah menghadapi luka-luka pengkhianatan yang dahulu kualami.

"Pamitan kayak kita nanti gak ketemu lagi aja," kata-kata Nia saat aku akhirnya berpamitan via SMS yang masih kuingat.

Dan di titik perpisahanku dengan Ida dan Nia, pertemanan akrab antara mereka berdua pun dimulai.

*

"Aku pulang ya, Da," ujarku yang sudah duduk di belakang pengendara gojek.

"Iya. Hati-hati di jalan, ya. Kabarin aku kalau sudah sampai."

Aku mengangguk. Lalu, aku melambaikan tangan. Perlahan motor pun menjauhi kosan Ida. Dan sosok Ida lenyap dari pandanganku seiring motor melewati tikungan gang perumahan.

Motor melaju membawaku menuju Stasiun Gambir. Tiba di sana, aku menunggu sekitar satu jam hingga kedatangan kereta Cirebon Express.

Terima kasih... untuk perjalanan ini. Rasanya... tak bisa kulukiskan dengan warna apapun. Terlalu banyak warna yang mewakili perasaanku. Mereka bercampur. Hingga aku tak tahu harus menorehkannya dengan warna apa.

Kubuka layar smartphone. Kuunggah fotoku bersama mereka di akun facebook milikku dengan caption, "Never say good bye because there's no the last meet up between us."

Sesudahnya, kulemparkan pandangan ke luar jendela kereta yang tengah melaju. Lalu larut dengan lamunanku sendiri.

*

Bersambung... (to be continue)

---------

Keterangan:
B(1) nama orang yang disamarkan.

Jumat, 22 Juni 2018

#2. Behind The Scene-Jejak Editor Amatir



Bulan ramadhan tinggal satu hari lagi.


Sementara tugas teman-teman lain kuanggap selesai, di depan mataku, terbentang sebuah tanggung jawab yang menentukan akhir dari muara tugas ini. Editing jurnal.

Buka puasa jurnal
Tarawih jurnal
Sahur jurnal
Marhaban ya jurnal

Tulisku pada timeline facebookku saat itu untuk sedikit mencacah bongkah beban yang menggumpali dada.


*

Rabu, 16 Mei 2018.

Puasa hari pertama.

Di mulai hari itu, riak emosiku naik-turun. Bahkan, ketika bapak meminta bantuan untuk diantar ke Toko Gunung Jati membeli bola untuk stok di warung, aku pun menyahutinya dengan nada ketus.

"Nantilah, Puputnya, tuh, lagi pusing! Tugasnya belum selesai. Deadlinenya hari Sabtu."

Setelah itu, bapak terdiam. Dan meski rasa bersalah terbersit di hatiku, aku bergeming tak mengantarnya pada saat itu juga.

Berkali-kali aku 'menepi sejenak' untuk kembali menstabilkan emosiku. Saat 'menepi sejenak', ku bisa mendengar dengan jelas suara-suara menggema dalam batinku. Suara-suara yang lebih mirip pergumulan batin.

Untuk apa kamu repot-repot meneliti kembali kalau hasil dari review dosen sudah keluar begitu. Biarkan saja bagian yang luput dari review tetap salah. Kamu hanya akan menyusahkan dirimu sendiri.

Tapi, itu bukan cara kerjaku. Totalitas tanggung jawab itu penting. Dan itu akan menjadi karya buku.

Hei! Seharusnya itu bukan tugasmu dan tanggung jawabmu. Itu harusnya bagian dari tanggung jawab dosen pengampu. Tak usahlah kamu berbuat maksimal. Turunkan sikap idealismu. Cobalah untuk tak peduli. Lagipula, belum tentu buku itu dibaca orang.

Aku ingin seperti itu. Tapi, prinsipku tidak bisa bersepakat dengan itu. Aku bukan orang seperti itu. Tak penting buku itu dibaca atau tidak. Ini soal tanggung jawab, yang tidak semua orang memahami itu. Ya, Allah, aku lelah! Aku muak!


*

Kamis, 17 Mei 2018.

Puasa hari kedua.

"Assalamu'alaikum. Bagaimana untuk revisi, sudah sampai mana? Siapa yang tidak hadir di foto itu?" tanya Dosen di grup Kesehatan dan Gizi AUD setelah sekian lama grup sepi.

"Alhamdulillah hadir semua, Bu," tanggap Bu Sutiah.

"Editing masih dalam proses," sambungku dengan ekspresi datar bercampur rasa muak saat menuliskannya.

Setelahnya, grup tersebut kembali sepi. Pun grup kelas. Setelah pertemuan hari Selasa, aku menghilang sementara dari aktivitas grup kelas untuk fokus pada proses editing.

*

Jum'at, 18 Mei 2019.

Puasa hari ketiga.

Sejak hari pertama puasa, aku benar-benar melakukan apa yang telah kutulis di timeline facebookku. Aku mengatur waktuku sebaik mungkin untuk pengerjaan editing jurnal juga kegiatan lainnya. Usai tarawih, aku mengerjakan editing jurnal hingga jam 12 malam. Dilanjut lepas subuh hingga jelang dzuhur. Untuk mendinginkan laptop yang panas aku menjedanya 1 jam setiap 4 jam sekali. Aku harus hati-hati menggunakan laptop ini karena laptop yang kupakai bukanlah milikku. Laptop ini milik Bu Sutiah.

Waktu jeda kugunakan untuk merebahkan diri di pembaringan untuk mengurangi punggung yang lelah dan memejamkan mata yang perih. Jelang ashar, aku harus meninggalkan pekerjaan editing sementara waktu untuk membantu ibu menyiapkan menu berbuka puasa. Aku hanya menggunakan 3-4 jam untuk tidur.

Siang itu, tubuhku mulai memberikan sinyal tidak kuat. Aku sempat limbung sesaat. Sebabnya, pikiran dan tenaga terforsir, tubuh kurang istirahat, juga beban emosi yang menghantamku karena ibu dan bapak pun sedang berada dalam kondisi sakit.

Badan ambruk. Jurnal belum selesai. Orang tua sakit. Ya Allah, nikmatnya ujian di awal ramadhan tahun ini, tulisku di status whatsapp.

Satu hari, pengerjaan editing jurnal hanya bisa menyelesaikan 2-3 file. Sampai dengan hari itu, total file terkumpul ada 9 file. Masih tersisa 8 file yang belum disatukan. Mengapa selama itu? Aku tidak hanya menyatukan filenya, tapi juga me-review file yang dikerjakan masing-masing individu (terutama yang belum sempat di-review) yang kupikir tadinya sudah menjadi tanggung jawab dosen pengampu mata kuliah tersebut. Kubenahi bila ada kejanggalan-kejanggalan kalimat hasil terjemahan google translate. Kurapikan tabel, diagram dan bagan yang masih berantakan. Selain itu, ini adalah pertama kalinya aku mengedit file sebanyak 400 halaman. Katakanlah, ini pertama kalinya bagi seorang amatir sepertiku.

Sedari awal mendapat tugas ini, kompas batinku benar. Pekerjaan editing ini tak mungkin selesai dalam waktu seminggu. Dipaksakan tidak tidur sampai dengan hari Sabtu pun tetap tidak akan selesai. Ini bukan soal energi negatif yang kutanamkan pada pikiranku. Justru karena aku mampu mengukur kemampuanku dan mengatur waktu dengan tepat, batinku bisa berkata begitu.

Dukungan dan empati pun mulai berdatangan dari beberapa teman. Mereka bergiliran menanyakan kondisiku secara pribadi. Pun ada yang menyaranku untuk menyerah karena rasa kasihannya padaku.

"Kalau udah gak kuat jangan dipaksakan, Teh. Bilang saja gak sanggup," ujar salah satu teman.

"Iya, Bu. Minta doanya aja biar aku dikasih kesehatan," balasku.

Sebelum dukungan dan empati membajiriku, kata menyerah memang sempat terlintas di benakku. Tapi bersamaan dengan itu, aku mengingat kembali kerelaan Bu Sutiah yang meminjamkan laptop pribadinya. Juga support beliau dari awal proses editing dimulai. Mengingat itu rasanya, sungguh malu untuk menyerah.

Pada teman-teman lainnya yang menanyakan perihal kondisiku, kumeminta doa yang sama: doa agar aku diberikan kesehatan. Dan, atas dukungan dan empati tulus mereka, aku berterima kasih. Saat itu, yang terasa olehku, hikmah adanya tugas ini membuatku semakin tahu, bagaimana hubungan pertemanan kami disaat-saat kondisi sulit. Sejauh mana kepedulian antar sesama teman terjalin. Seerat apa kekompakan terlihat tak hanya di masa-masa senang. Siapa yang benar-benar tulus, siapa yang basa-basi, siapa yang memilih diam karena tidak tahu harus berkata apa atau takut salah bicara, siapa yang tidak peduli sama sekali... semuanya terdeteksi oleh radarku saat itu juga.

Dukungan positif dan empati tulus kian mengukuhkan tekadku untuk tidak menyerah. Aku menghargai empati mereka. Aku tak ingin menyia-nyiakan pengorbanan dan kepercayaan Bu Sutiah yang telah merelakan laptopnya demi terselesaikan tugas ini. Aku memahami makna sebuah totalitas dan tanggung jawab. Kuputuskan, aku akan meminta perpanjangan waktu bila memang Sabtu editing belum selesai.

Malam harinya, usai tarawih, aku total istirahat. Dalam rebah, sebelum memejam mata, aku berterima kasih pada-Nya. Karena aku memiliki seorang ibu berjiwa tangguh yang tak merengek manja dan tak takluk pada rasa sakit. Beliau tetap menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Ibu lebih tangguh dari lelakinya. Lelaki yang kupanggil bapak dan darahnya mengalir di tubuhku.

*

Sabtu. 19 Mei 2018.

Puasa hari keempat.

"Agar disamakan dengan kelas lain. Tanggal 24-5-2018 jam 03.00 sore di perpus kampus, pengumpulan buku. Teh Vinny, jika telah selesai proses edit, dan sudah lengkap isi buku dari cover sampai selesai, kirimkan ke email saya, ya," ujar dosen via whatsapp di grup Kesehatan dan Gizi AUD.

"Bunda, saya minta perpanjangan waktu untuk editing sampai dengan hari Selasa bisa gak, Bun? Masih ada 7 file lagi yang belum disatukan," balasku.

"Selasa tanggal berapa, Teh?"

"Tanggal 22, Bun."

"Boleh, Mangga cantik."

"Makasih, Bun. Saya lagi mengusahakan untuk selesai sesegera mungkin."

"Sama-sama, cantik. Semangat, ya."

"Iya, Bun. Makasih."

Tak lama berselang, Bu Sutiah whatsapp secara pribadi. Beliau kembali menanyakan kondisiku.

"Neng, gimana kondisinya? Saya kepikiran terus dengan tugas jurnal ini. Bener-bener menyita pikiran dan emosi."

"Tenang, Bu. Insya Allah Selasa bisa selesai. Minta doanya aja, Bu. Supaya aku dikasih kesehatan."

"Iya, Neng. Doaku selalu ada untukmu. Uangnya kurang gak, Neng?"

"Kayaknya gak, Bu. Nanti aja itung-itungan pastinya kalau udah selesai semua."

"Inget ya, Neng. kalau butuh apa-apa ngomong. Jangan ditanggung sendiri."

"Iya, Bu. Makasih untuk dukungan dan bantuannya."

Hari itu, segalanya mulai membaik. Tubuhku kembali bugar. Kaki bapak yang bengkak mulai pulih. Keluhan-keluhan sakit dari bibirnya pun lenyap. Bengkak di tangan ibu juga mulai mengempis. Dan aku bisa lebih rileks mengerjakan editing jurnal karena ada perpanjangan waktu yang sesuai dengan ketepatan pengaturan waktuku untuk menyelesaikan tugas tersebut.

*

Selasa, 22 Mei 2018.

Puasa hari keenam. Sore hari. Satu jam jelang waktu berbuka puasa.

Yeah! Selesai! Mission complete! Tantangan berhasil ditaklukan! Teriakku dalam hati.

File kukirim ke grup Kesehatan dan Gizi AUD.

"Assalamu'alaikum. Bunda, ini softfile tugas UAS," tulisku di grup dengan melampirkan file tugas jurnal untuk UAS yang telah selesai.

Belum ada balasan.

Grup kelas pun ramai. Segala ungkapan kelegaan, sanjungan juga pujian untukku pun mengucur dari teman-teman. Aku tertawa. Aku membayangkan bagaimana mereka ketar-ketir menanti kabar perkembangan tugas ini. Karena setelah aku meminta perpanjangan waktu editing pada dosen di grup Kesehatan dan Gizi AUD dan berkomunikasi dengan Bu Sutiah secara pribadi, aku tak muncul di grup kelas.

Satu jam berlalu. Tertera balasan dari dosen pengampu di grup Kesehatan dan Gizi AUD.

"Wa'alaikumsalam cantik. Diterima ya. Saya minta waktu untuk baca (review) full. Terima kasih, ya, cantik."

"Mangga, Bun."

Atmosfer whatsapp grup kelas kembali mendidih.

"Itu orang gimana, sih, Teh. Maunya di-review bae. Pokoknya kita gak terima revisi. Titik!" ujar salah satu teman.

"Paling kalau direvisi balik lagi ke aku, Bu. Makanya aku jengkel dari kemarin-kemarin. Lah kudunya kalau mau direvisi dari kemarin," tanggapku.

"Ya janganlah. Pokoknya kita angkat bareng-bareng, Teh. Kasihan, Teh Vinny," balasnya.

"Iya, Bu. Aku juga udah mual. Nanti mah diiyain aja," jawabku dalam kondisi jengkel.

Apa yang membuatku jengkel hingga semuak ini? Pertama, pemberian tugas terkesan tidak terencana dengan baik, mendadak dan penyediaan waktu terlalu singkat dari proses translate hingga editing. Kedua, review dari dosen tidak dilakukan secara menyeluruh dan teliti sehingga memusingkan editor (tepatnya menambah daftar panjang pekerjaan editor). Ketiga, tidak ada komunikasi intens antara dosen dan editor yang menjadi ujung tombak selesai atau tidaknya karya buku yang diinginkan dosen.

Kemudian, kejengkelan-kejengkelan itu berubah menjadi lelucon-lelucon yang bersahut-sahutan. Lelucon-lelucon yang akhirnya membuat kami tertawa terbahak-bahak. Aku dalam posisi yang sudah lebih rileks sehingga mampu ikut andil menimpali lelucon-lelucon yang memancing tawa. Setidaknya, proses editing telah selesai. Bagian terberat telah terlewati. Kalaupun nanti ada revisi tidak akan seberat proses editing.

*

Jum'at, 25 Mei 2018.

Puasa hari kesembilan.

Tiga hari proses review yang dibutuhkan dosen. Pukul 15.00 sore, akhirnya pecah kabar, ACC, disetujui. Sudah boleh dicetak. Lega hatiku. Lega juga hati seisi kelas. Dosen meminta buku dicetak rangkap dua. Satu untuk perpustakaan. Satu untuk dirinya. Dan beliau meminta dicetak dengan halaman bolak-balik. Aku menyanggupi. Kuperkirakan, butuh sekitar 3 hari untuk proses cetak. Proses cetak pun kutangani sendiri.

*

Sabtu, 26 Mei 2018

Puasa hari kesepuluh.

Proses cetak dilakukan di rumahku sendiri. Aku memiliki printer yang bisa kugunakan. Secara perhitungan biaya pun akan lebih hemat. Lagi-lagi, dalam proses cetak pun, aku mendapatkan pembelajaran soal bagaimana caranya mencetak halaman secara bolak-balik layaknya buku. Awal-awal, aku yang lemah dalam menginterpretasikan perputaran arah bangun ruang, berulang-ulang melakukan kesalahan cetak halaman. Sampai akhirnya, dari kesalahan tersebut, aku memahami cara mencetak halaman buku secara bolak-balik.

"Teh, kurang gak, uangnya?" tanya Bu Mia via whatsapp pribadi di sela-sela proses cetak.

"Insya Allah, gak, Bu. Lebih malah kayaknya. Kalau lebih gimana, Bu?"

"Lebihannya buat Teh Vinny aja. Lebih berapa, Teh?"

"Belum tahu pastinya, Bu. Dua buku akhirnya aku print semua. Kalau fotokopi diitung-itung jatuhnya lebih mahal. Nanti ajalah ya, Bu, itungan pastinya, kalau udah sampai proses jilid."

"Oke. Pokoknya nanti bilang. Kalau kurang, kurangnya berapa. Kalau lebih, lebihnya berapa."

"Oke, Bu."

*

Selasa, 28 Mei 2018

Puasa hari kedua belas.

Tiga hari setelah proses cetak selesai, akhirnya buku pun siap dijilid. Waktu penjilidan sempat mundur tiga hari dari hari yang dijanjikan oleh percetakan. Setelah selesai dijilid, tinggal selangkah lagi tanggung jawabku selesai: menyerahkan tugas tersebut pada dosen.

Kupandangi dua buku tebal yang tergeletak di meja. Tugas ini, sungguh luar biasa. Hampir menyamai kerumitan menggarap skripsi saat aku berkuliah di teknik sipil. Juga tugas perancangan yang pernah kuhadapi dan tebalnya laporan praktikum yang ditulis tangan di tiap semesternya.

Aku tersenyum puas melihat hasil desain cover buku yang kubuat sendiri. Satu-satunya bagian yang kukerjakan dengan hati yang ringan tanpa beban, tanpa keluh kesah. Sementara isi didalamnya adalah hasil dari berpasang-pasang alis yang saling bertaut saat berpikir dan kumpulan hati yang bolak-balik beristighfar saat tersulut emosi.

Ya, Allah. Terima kasih. Tanpa kekuatan dan kemudahan dari-Mu, aku tak bisa melewati tantangan ini.


*


Rabu, 6 Juni 2018.


Puasa hari kedua puluh satu.

Aku meminta Bu Renata untuk menemaniku ke kampus dalam rangka penyerahan tugas UAS yang telah selesai dijilid. Alhamdulillah, Bu Renata bisa menemani.

"Saya ngajak Sheren gak apa-apa, ya, Bun?"

"Iya, gak apa-apa, Bun. Aku malah seneng Sheren diajak."

Kami datang lebih awal dari kesepakatan yang telah dijanjikan oleh dosen untuk mengurus e-campus. Aku ingin menanyakan perihal salah satu mata kuliah yang nilainya masih kosong. Sementara Bu Renata ingin menanyakan e-campus miliknya yang belum bisa dibuka.

Aku dan Bu Renata menunggu dosen tersebut sekitar tiga jam setelah urusan kami selesai sembari bercerita banyak hal. Sampai, dosen yang ditunggu akhirnya datang. Sebelum penyerahan tugas, beliau mengobrol panjang lebar denganku. Dari mulai menanyakan padaku bagaimana rasanya mengerjakan tugas ini, pujian atas hasil kerja cerdas kelasku juga desain cover buku yang menarik, kemudian penjelasan tentang alasan mengapa model tugas seperti ini yang beliau pilih, disambung dengan tukar pikiran mengenai evaluasi dan refleksi tugas ini hingga masalah e-campus yang belum tersistem dengan baik karena baru diuji coba selama satu semester.

Obrolan diakhiri dengan penyerahan tugas. Bu Renata, Sheren (anak Bu Renata), aku dan dosen pengampu mata kuliah Kesehatan Gizi dan AUD, berfoto bersama. Sebagai simbol tugas telah diserahkan, ketika berfoto bersama, aku dan dosen tersebut masing-masing memegang satu buku berjudul Kesehatan Dan Pendidikan Anak Di Awal Masa Kanak-Kanak hasil kerja cerdas kelasku.

"Nanti kirim via whatsapp, ya, Vin," kata dosen tersebut.

"Oke, Bun."

Setelah urusan selesai, Aku dan Bu Renata pun berpamitan. Sementara beliau, masih di kampus untuk menghadiri acara buka puasa bersama dengan dosen-dosen IAI BBC.

*

Satu jam setelah berbuka puasa.

"Alhamdulillah. Serah terima tugas UAS mata kuliah Kesehatan dan Gizi AUD sore tadi di perpustakaan IAI BBC. Terima kasih, Bu, atas bimbingannya. Terima kasih teman-teman atas kerjasamanya. Semoga buku ini bisa bermanfaat untuk orang banyak khususnya untuk civitas akademika IAI BBC," tulisku di grup whatsapp Kesehatan dan Gizi AUD dilengkapi dengan foto.

Dua orang teman mengamini.

"Banyak dosen lain yang pengen ikutan," jawab dosen tersebut.

"Ikutan apa, Bun? Dosen-dosen masih pada bukber di kampus, ya, Bun?" balasku dengan insting yang mencium gelagat tak enak.

"Ikutan petak umpet... hee," jawab Bu Renata dengan maksud mengalihkan.

"Ikutan mau bikin tugas yang menghasilkan karya seperti itu. Tadi ada yang minta dijelaskan bagaimana konsepnya, apa triknya, seperti apa prosesnya dan darimana buku sumbernya didapat? Alhamdulilah, semoga jadi inspirasi positif untuk kemajuan kampus BBC," jelas dosen tersebut.

Ha! Tepat dugaanku. Inilah gelagat tak enak yang langsung dirasakan intuisiku. Setelahnya, obrolanku dengan beliau segera kututup sesopan mungkin. Sementara disaat yang sama, seketika, grup kelas ramai. Setiap jiwa saling mengamini semoga dosen-dosen tidak ada yang tertular seperti itu. Pun aku, yang sangat-sangat terkuras secara tenaga, pikiran dan emosi.

NOOOO!! NO MORE, PLEASE, ENOUGH!!

Kalau kata Dilan, yang berat itu rindu, kataku yang berat itu memikul tanggung jawab 17 file milik 17 orang dengan waktu yang tersedia hanya 3 minggu untuk proses translate-review-editing-printing tanpa komunikasi dua arah yang intens dengan dosen pengampu.


-The End-