---------
People changed, life changed and the world changed
But... i'm still have the same feeling for our friendship
It's never ever change
---------
Tahun 2016, setelah enam tahun berlalu, semenjak kelulusanku kita kembali dipertemukan. Lengkap bertiga. kita bertemu dalam momen yang membahagiakan: salah satu dari kita telah genap hatinya. Aku dan Idayu, turut bahagia melihatmu.
Lima bulan sebelum hari pernikahanmu, Allah memberi kesempatan dan kemudahan untuk kita bertemu. Saat itu, aku tengah menjalankan tugas dari lembaga pendidikan tempatku bekerja untuk mengikuti pelatihan di IHF (Indonesian Heritage Foundation) yang berlokasi di Depok selama 10 hari. Ada haru yang memenuhi dadaku dan air mata yang tak bisa kubendung saat kita bisa kembali bertemu. Kamu ditemani calon suamimu waktu itu.
Kamu sempat memberikanku sebuah kado setelah kita makan malam bersama di mall yang lokasinya berdekatan dengan IHF. Saat itu, aku masih menjalani masa tugas pelatihan. Kemudian, ketika masa pelatihan berakhir, di rumahmulah aku menginap selama satu malam karena jadwal kereta yang kupesan berjeda sehari dari waktu akhir masa pelatihan. Kamu pulalah yang menemaniku dari tempatmu hingga ke Stasiun Gambir jelang kepulanganku. Bahkan kamu membekaliku dengan kue sebagai oleh-oleh untuk keluargaku.
Nia, kita tidak sempat banyak bercerita. Karena, aku dan Idayu datang tepat di H-1 jelang pernikahanmu. Pertukaran cerita lebih banyak terjadi antara aku dan Idayu karena aku menginap di tempatnya setelah selesai menghadiri pernikahanmu. Juga dialah menungguku di Stasiun Bekasi untuk bersama-sama menuju rumahmu.
Masih tanak dalam ingatan, saat aku turun dari commuter line. Hatiku dipenuhi suatu perasaan takjub serta syukur. Tak terbayangkan aku nyata-nyata bisa berada di sini dan akan bertemu dengan kalian. Aku duduk termenung sampai Ida menghubungiku. Ia menanyakan apakah aku sudah tiba di stasiun atau belum. Aku pun keluar dari peron setelah membalas pesan Ida.
Ida lebih dulu melihatku. Pecahlah rinduku saat aku mendapatinya di depanku. Aku memeluknya. Lantas, kami melangkah sembari berangkulan. Berhubung kami berdua sama-sama kelaparan, kami putuskan untuk makan terlebih dahulu sebelum menuju rumahmu. Sepanjang kami menikmati semangkuk bakso, cerita tentang kehidupan kami masing-masing selama tak pernah bertemu pun bergulir. Sampai, cuaca yang sedari tadi mendung akhirnya tetas menjadi gerimis lalu menjelma hujan yang menahan kami cukup lama berteduh di tempat itu. Kami menunggu hujan reda dengan cerita-cerita yang seolah tiada habisnya.
"Kapan ya, kita bisa menyusul seperti Nia?" tanya Ida persis seperti yang hatiku tanyakan.
Lantas, pertanyaan itu ditutup dengan tawa yang membawa kesadaran ke mana ujung jawaban pertanyaan itu. Bahwa takdir dan waktulah yang akan menjawabnya.
Setelah hujan menipis menyisakan gerimis kecil, aku dan Ida barulah menuju rumahmu dengan angkutan umum. Kita tiba di sana menjelang maghrib. Keluargamu menyambut kita. Dan rumahmu penuh dengan kesibukan. Ada perasaan tak enak hati menelusup di hatiku dan Ida karena merasa asing dan canggung. Juga khawatir kehadiran kita kian merepotkan keluargamu. Kalau saja tempat kost Ida jaraknya dekat dari hotel tempatmu esok hari melakukan akad sekaligus resepsi, mungkin aku dan Ida memilih tidak menginap di rumahmu. Ya. Aku dan Ida sangat ingin melihat prosesi akad nikahmu. Kita berdua tidak ingin terlambat apalagi melewatkan bagian terpenting itu.
Malam itu, kamu pun hilir-mudik disibukkan dengan persiapan untuk esok hari. Sempat terlontar permintaan maaf dari bibirmu karena kamu merasa kurang bisa menyambut kita berdua dengan baik. Sungguh, aku dan Ida memahami kondisimu pada waktu itu. Aku tetap bahagia, karena malam itu, pada akhirnya, kita bertiga tidur di tempat yang sama, merasakan atmosfer perasaan yang sama campur aduknya dengan perasaanmu yang berusaha kamu tutupi. Dan kesempatan itu... momen itu... aku tidak yakin apakah akan terulang kembali.
*
Esoknya, kamu lebih dulu menuju hotel untuk persiapan akad nikah. Sementara aku dan Ida menyusul bersama dengan keluargamu. Sepanjang perjalanan menuju hotel, aku dan Ida tak banyak berkata-kata. Selain memang canggung dengan keluargamu, kami berdua tenggelam dengan pikiran masing-masing.
Aku melihat suasana kota Bekasi dengan berlaksa-laksa rasa yang dibawanya. Ada rasa tak keruan turut menelusup di dada ini. Terlintas kenangan bagaimana persahabatan kita dimulai juga waktu-waktu yang pernah kita lewati bersama. Beberapa peristiwa terjadi dalam hidup kita dengan pola yang mirip. Aku dan kamu menamainya 11-12. Apa yang kamu alami, aku juga mengalami. Entah aku atau kamu yang lebih dulu mengalami itu, salah satu yang lainnya seringkali menyusul mengalami peristiwa serupa.
Pagi itu, 17 Februari 2016.
Seluruh perasaanmu seolah bisa terserap hatiku dan memantul bagaikan cermin. Percaya atau tidak, aku bisa merasakan hati dan pikiranmu dari jauh. Meski sepanjang perjalanan itu aku lebih banyak membisu, diamku saat itu tetaplah sebuah bahasa.
Aku dan Ida tiba di hotel tempatmu melakukan akad nikah. Kami pun berpisah dengan keluargamu yang berada satu mobil dengan kami berdua. Mereka menyebar di penjuru hotel. Aku dan Ida sempat mengambil foto berdua sebelum masuk ke dalam aula hotel. Kami mengabadikan momen pada saat itu.
Masuk ke dalam hotel, kami berdua menunggu beberapa saat. Hingga akhirnya prosesi akad nikah pun dimulai. Aku bisa mendengarkan dengan jelas prosesi itu dari pengeras suara yang memenuhi ruangan. Saat itu, dadaku dipenuhi dengan keharuan. Dan mata turut membasah ketika mendengar suaramu bergetar. Getar suaramu yang akhirnya pecah menjadi isak, menandakan bahwa kamu merasakan sebuah gelegak emosi yang tak terlukiskan kata-kata pada saat itu. Perasaan itu tidak bisa lagi bukan kamu tutupi di depanku dan Ida seperti semalam?
Selesai akad, aku dan Ida masih menunggumu berganti baju untuk acara resepsi di ruangan terpisah. Kami masih ingin melihatmu sampai dengan proses resepsi. Saat prosesi akad nikah, kamu bersama mempelai pria sudah berada di kursi yang diatur untuk prosesi tersebut. Posisimu sudah berada di depan. Berbeda dengan prosesi resepsi, kamu dan mempelai pria akan melewati karpet merah yang terhampar hingga ke pelaminan. Saat itulah, aku dan Ida berkesempatan mengambil kalian berdua.
Momen yang ditunggu pun tiba. Beberapa kali lingkar lensa kamera smartphone-ku membidik momen-momen ketika kamu menggandeng mempelai pria yang telah sah menjadi suamimu dan berjalan bersamanya di atas karpet merah menuju pelaminan. Aku melihat senyummu dari sebalik kerumunan orang-orang yang juga ingin mengabadikan momen itu. Lalu, beberapa saat setelah kamu duduk di pelaminan, orang-orang menunggu antrian untuk mengucapkan selamat padamu, termasuk kami.
Sampai, tibalah giliran kami. Aku dan Ida pun mengucapkan hal yang senada saat bersalaman denganmu. Ucapan selamat dan doa terbaik untuk keluarga baru yang akan kamu bangun. Pula, dalam hatiku, terdengar sebuah pertanyaan, "Kapan waktu dan kesempatan akan mempertemukan kita kembali?"
"Makasih, Neng. Kita foto dulu, yuk," katamu membalas ucapan selamat dari kami, "kalian makan dulu, sana," lanjutmu usai kita berfoto bersama.
Aku dan Ida mengiyakan. Turun dari panggung pelaminan, kami mencicipi hidangan yang disuguhkan untuk para tamu undangan. Tamu-tamu pun mulai berdatangan. Pengantin pria sempat terlihat hilir-mudik mengobrol bersama tamu ketika kamu kembali berganti baju untuk yang kedua kalinya. Bahkan, ia menyapa kami, menanyakan tentang bagaimana dengan hidangan yang disajikan, mempersilakan kami untuk menikmati hidangan yang lain dan mengucapkan terima kasih atas kehadiran kami di pernikahan kalian.
Usai aku dan Ida puas menikmati hidangan yang ada, kami menunggumu yang masih berganti baju. Cukup lama kami menantimu sebelum akhirnya dengan berat hati kami memutuskan untuk berpamitan pada keluargamu tanpa menunggumu kembali.
Seiring berlalunya kami dari bangunan hotel, ada perasaan entah yang tak bisa kubahasakan dengan kata-kata.
*
Aku masih memiliki satu hari tersisa dengan Ida. Siang itu, usai menghadiri pernikahanmu, aku pergi bersama Ida. Kami berpindah dari satu commuter line ke commuter line lainnya. Aku melihat gedung-gedung pencakar langit layaknya kota megapolitan seperti yang terekam di televisi. Lalu, kami berpindah dari satu busway ke busway lainnya. Sepanjang perjalanan, cerita pun masih bergulir sesekali.
Aku bertanya padanya, "Apa lelaki itu masih menghubungi kamu?"
"Masih," jawabnya.
"Terus, kamu masih ngeladenin?"
"Udah gak," jawab Ida.
Ingatanku melayang pada percakapan kami beberapa bulan lalu via whatsapp. Percakapan yang sungguh mendidihkan amarahku. Percakapan tentang mantan kekasihnya dari masa lalu yang menghubunginya kembali secara diam-diam tanpa sepengetahuan istrinya. Mantan kekasih yang dulu mengkhianatinya.
Mantan kekasihnya dahulu bermain api dengan teman kuliahnya yang juga teman kuliahku. Kemudian, keluarganya yang telah menerima dirinya dengan baik, mendadak turut 'menyingkirkan' sahabatku setelah mengetahui status sosial sang perempuan duri. Keluarga lelaki itu yang tadinya menyetujui hubungan mereka, tiba-tiba meminta sahabatku untuk mundur dari hidup lelaki itu yang telah menjalin cinta dengannya selama dua tahun. Lalu, lelaki dan sang perempuan duri akhirnya menikah.
Aku sungguh tidak peduli dengan kehidupan mereka. Aku paham takdir yang memang mau tidak mau harus sahabatku telan. Sahabatku dan lelaki itu tidak berjodoh. Pula bukan urusanku untuk terlibat dengan mereka. Sahabatku, lelaki pengkhianat dan sang perempuan duri, mereka bertiga adalah teman kuliahku. Aku punya batas dan tahu diri untuk tidak mencampurinya.
Dulu, aku berusaha bersikap netral terhadap lelaki dan sang perempuan duri sekaligus melindungi Ida yang sedemikian terpuruk. Aku lebih memusatkan perhatianku pada Ida, sahabatku, sebagai orang yang paling terluka parah dan membutuhkan uluran tangan untuk keluar dari ceruk kesedihan yang mengerikan baginya pada saat itu.
Aku memahami hatinya yang kala itu remuk redam dan hanya mengisi hari-harinya dengan air mata. Aku paham bagaimana rasanya ketika cinta yang tulus dan angan soal orang yang dicintai sebagai masa depan cinta itu sendiri diluluh-lantakan oleh pengkhianatan. Pengkhianatan yang meski sakit pada akhirnya harus kita telan sebagai takdir terbaik. Takdir bahwa orang-orang itu memang tidak ditakdirkan untuk kita.
Tapi, ketika lelaki itu kembali hadir dalam hidup sahabatku, sementara ia telah menjadi pria beristri dan beranak dua, sungguh aku tak bisa mentolelir itu.
"Dia takut aku cerita sama, kamu. Makanya dia kadang tanya, 'Vinny tahu gak kalau aku sering hubungi kamu'," katanya.
Aku merutuk dalam hati. Apa isi kepala laki-laki itu? Terbuat dari apa hatinya? Sudah putuskah urat syaraf malunya? Aku gemertak menahan marah.
"Terus, kamu bilang apa? Memang dia lagi gak sama istrinya?"
"Aku bilang gak cerita sama kamu. Dia, tuh, kerjanya di Cilacap. Ada di Purwokertonya hari Sabtu-Minggu. Dia telepon aku pas lagi gak di rumah, pas lagi gak sama istrinya. Kadang pas di jalan mau pulang ke rumah. Kalau telepon aku, cerita-cerita tentang masa lalu kita. Dan gak ada perasaan bersalah sama sekali. Gila, ya?"
"Terus mau sampai kapan kamu ladenin dia? Apa kamu mau balas dendam?"
"Aku pengen lihat kehidupan dia yang udah nyakitin aku, Vin. Kayaknya, kok, hidupnya enak-enak aja. Aku gak percaya ada karma untuk dia."
"Udahlah. Urusan karma, serahkan aja sama Allah. Apa yang terlihat di mata kamu enak belum tentu didalamnya juga enak. Bisa jadi dia kelihatan hidup enak dari pandangan luar kamu, tapi rumah tangganya carut-marut didalamnya. Gak usah habiskan hidup kamu hanya untuk melihat dia mendapatkan karmanya," gemasku, "kalau dia hubungi kamu lagi, abaikan," lanjutku.
Ida berbeda denganku. Aku tak ingin mengetahui apapun yang hanya akan mengingatkanku pada luka mendalam. Aku menguburnya di pusara masa lalu. Dan seterusnya akan begitu. Sekalipun di masa kini atau masa depan ia kembali muncul. Bila aku sudah memusarakannya di masa lalu, maka aku sudah menganggapnya mati.
*
Lepas ashar, kita berhenti di satu mall untuk melaksanakan shalat sekaligus berjalan-jalan melihat-lihat model-model pakaian yang dijajarkan di sana. Namun, berhubung kakiku sudah terlampau lelah, kami tak terlalu lama menghabiskan waktu berkeliling mall. Kami pulang menuju kosan Ida usai shalat maghrib.
"Tempat kerja kamu di mana, Da? Kita ngelewatin jalur busway ini gak?" tanyaku ketika berada dalam busway.
"Di daerah Kebon Jeruk, Vin. Gak ngelewatin, Vin."
Entah berapa panjang perjalanan kami. Berhenti dari satu busway, melewati jembatan penyeberangan, kembali menaiki busway lainnya. Aku tak mampu mengingat detailnya. Kami tiba di pemberhentian terakhir dan melanjutkan naik angkutan umum untuk sampai di daerah kosan Ida.
"Vin, kita makan nasi goreng dulu, yuk."
"Iya. Aku juga udah lapar."
Kami berhenti di tikungan dekat pos satpam tempat dimana penjual nasi goreng berjualan. Kami pun memesan nasi goreng lantas memilih tempat duduk.
"Kamu kalau makan malam di mana, Da?"
"Ya kadang makan di sini. Kadang cuma makan roti yang dibeli pas di kantor. Di sini agak susah nyari warung makan kalau malam."
"Sama B(1)?" tanyaku.
"Ya. Kadang-kadang. Kadang makan di sini. Kadang pesen terus dimakan di rumah."
"Kamu gimana sama dia?"
"Ya kayak gitu. Gak tahulah, Vin."
Entah harus menamai apa hubungan mereka dari cerita-cerita Ida yang kudengar sebelumnya. Teman dekat? Kekasih? Membingungkan sekaligus menjengkelkan bagiku. Aku kerapkali mengingatkan Ida agar berhati-hati dengan lelaki itu. Terutama dengan perasaannya sendiri.
"Kamu makannya cepet pisan," kata Ida yang melihat nasi gorengku telah lebih dulu tandas.
"Masih seperti dulu, kan? Aku yang makannya paling cepet diantara kamu dan Nia. Kamu terlama," ujarku.
Ida tertawa. Aku menunggunya menghabiskan makanan sambil melanjutkan ceritanya. Sesekali aku menimpali dengan kisahku sendiri.
"Ada lelaki yang lagi dekat sama kamu gak, Vin?"
Aku menggeleng.
"Masa?" tanya Ida seolah tak percaya.
"Iya. Lingkungan kerjaku isinya perempuan semua. Gak ada ruang untuk berinteraksi dengan lelaki. Mungkin itu yang terbaik buatku saat ini."
Lalu, cerita tentang pekerjaanku pun mengalir. Hingga piring di hadapan Ida telah bersih isinya. Kami pun membayar nasi goreng dan pulang menuju kosan Ida.
*
Kami berjalan melewati rumah demi rumah. Di satu titik, kami melihat kerumunan anak-anak tengah bermain. Sisanya, keadaan sekeliling yang sunyi senyap dan sedikit menakutkan lebih banyak mewarnai langkah kami.
"Sepi, ya, Da, daerah sini," ujarku.
"Iya, Vin. Aku sampai pernah mau dianterin satpam yang biasa lihat aku lewat sini. Makanya, kalau gak dianterin B, kerasa pisan, jalan sendirian," ujarnya.
"Kosanmu masih jauh ya, Da?" tanyaku.
"Bentar lagi sampai, Vin."
Kami tiba di sebuah lapangan yang penuh dengan parkir mobil.
"Itu mobil banyak pisan di parkir di situ."
"Iya, mereka bayar untuk sewa tempat di sini," jelas Ida.
Kami berhenti di sebuah rumah.
"Sudah sampai, Vin."
*
Masuk ke dalam rumah, aku mengedarkan pandang ke sekeliling. Sepi aktivitas.
"Orang-orangnya pada ke mana, Da?"
"Di kamar masing-masing. Ada juga yang kerja shift malam," ujarnya sambil membuka pintu kamar, "masuk, Vin," lanjutnya.
Kamar itu kuperkirakan berukuran 3m x 3m. Tidak terlalu banyak barang didalamnya. Satu lemari, satu tempat tidur ukuran sekitar 2,5m x 1m, satu set meja besar dan kursi, juga kipas angin menggantung di dinding.
"Anggep aja kamar sendiri. Sorry kalau rada berantakan. Kamu nanti mandi duluan, aku ngerendem baju dulu," ujar Ida.
Aku berbenah barang, lantas mandi. Sementara Ida bergulat dengan cucian bajunya. Usai mandi, aku duduk berselonjor kaki.
"Vin, aku mandi dulu ya. Kamu kalau mau nyemil, ini ada roti di sini," ujar Ida begitu masuk kamar.
"Aku mau shalat Isya dulu. Pinjem mukena sama sajadahnya," balasku.
Usai shalat Isya, aku kembali duduk di sisi pembaringan. Ida masih belum selesai mandi. Aku sudah hafal benar dengan sebagian kelakuannya karena kedekatan kami sebagai sahabat. Dulu, semasa kuliah, saat kami hendak pergi bersama, aku kerap menunggunya lama untuk urusan mandi. Ida membutuhkan waktu untuk mandi nyaris selama satu jam. Apalagi bila ditambah kegiatan membilas pakaian yang dicucinya selepas mandi.
Sembari menunggunya di kamar, dalam diam, pikiranku melayang pada semua yang telah kami lewati bersama malam itu. Berpindah dari satu busway ke busway lainnya, disambung naik angkutan umum. Lalu, berjalan lumayan jauh dari komplek perumahan menuju lokasi kosannya dengan kondisi jalan yang sepi. Juga kata-katanya yang tersirat kebergantungannya pada B. Dan terakhir, atsmosfer orang-orang yang begitu dingin yang kurasakan di kosan ini. Kesemuanya membuatku menjadi paham bagaimana perasaan hatinya dalam menghadapi hari-harinya sendirian.
Ia perempuan. Tanpa kawan sejati. Hanya kawan sebatas rekan kerja yang tak sepenuhnya memahami dirinya. Lebih mudah memahami persaingan antar rekan di tempatnya bekerja daripada persahabatan yang tulus. Lainnya, ia tinggal di kosan yang terkesan cenderung individualis dengan gerak kesibukan masing-masing individu. Masing-masing individu memiliki dunianya sendiri meski mereka berada di tempat yang sama. Ia jauh dari keluarga. Pula, ia tak memiliki fasilitas kendaraan pribadi untuk pergi kesana kemari dengan mudah dalam rangka memenuhi kepetingan pribadinya semisal urusan perut atau urusan lainnya.
Karena itu, rasa kebergantungannya pada B begitu besar. Dan lelaki itu yang memulainya. Hingga rasa kebergantungan itu berubah menjadi benih-benih cinta di hati Ida seiring perjalanan waktu kebersamaan mereka.
Aku berharap, saat itu, semoga lelaki itu tak menyakitinya, meski sebenarnya firasatku terasa tak enak melihat hubungan mereka yang tak tahu harus kunamai apa. Terutama firasatku terhadap lelaki itu. Aku bisa menerka lelaki macam apa dan akan ke mana ujung dari hubungan mereka dari cerita-cerita Ida. Dan karena itulah, aku kerapkali memarahi Ida. Aku benar-benar tak ingin Ida kembali terluka.
*
"Udah selesai nyuci, Neng?" tanyaku begitu Ida telah kembali berada di kamarnya.
"Udah."
Ida mengeluarkan laptop dari dalam lemari.
"Laptopnya masih awet ya, Da? Dari zaman kamu kuliah."
"Ini, tuh, sempat error, Vin. Terus B coba ngebenerin, malah jadi tambah gak beres jadinya."
Kulihat memang cagakan layarnya (atau entah apa namanya) bermasalah. Layarnya tidak bisa berdiri tegak. Harus ada sesuatu yang menyangganya agar tidak terjatuh ke belakang.
"Eh, kamu ada film bagus gak?"
"Ada. Sebentar."
"Besok aku ke stasiunnya naik apa, ya, Da dari sini? Keretaku berangkat sekitar jam 13.40."
"Nanti, kamu berangkat dari sini ke stasiunnya naik gojek aja," kata Ida.
"Di smartphone-ku belum ada aplikasi itu. Di playstore-nya belum ada. Maklum, beda vendor. Smartphone-ku bukan android, tapi windows phone."
"Pake smartphone-nya aku aja. Aku yang pesenin," ujar Ida sembari memilah-milih file film yang ada di laptop.
Setelahnya, kami menghabiskan malam dengan menonton film yang entah apa judulnya (aku tak bisa mengingatnya). Sampai, akhirnya, lelah membawa kami ke pembaringan. Kami tidur bersama dalam satu tempat tidur.
*
Pagi tiba. Dan tersisa beberapa jam lagi waktu untuk kami bersama.
"Kamu mandi duluan sana, Vin."
Aku mengiyakan. Setelah aku selesai mandi, bergiliran Ida mandi. Lalu, kami keluar mencari warung makan keluar kompleks. Kami menemukan warung yang lumayan jauh dari kosan Ida.
"Bu, dibungkus ya. Dua," pesan Ida, "Kamu lauknya apa, Vin?" tanyanya.
Aku memilih lauk. Pun Ida. Kemudian, kami kembali ke kosannya dan sarapan bersama.
"Kapan, ya, Da, kita bisa ketemu lagi setelah ini," ujarku.
"Main, Vin, ke sini kalau kamu liburan. Nanti kita jalan-jalan. Sayang, kamu di sini cuma sehari," tanggap Ida.
"Insya Allah. Semoga dikasih rezeki dan kesempatan untuk bisa ke sini lagi," jawabku.
Usai sarapan, kami menyempatkan diri berfoto sembari menunggu gojek yang telah dipesan tiba. Dan akhirnya... perpisahan pun kian mendekat dan tepat di depan mata seiring bunyi bel dari luar ruangan. Gojek yang dipesan sudah datang.
*
Aku berpamitan sekaligus mengucapkan banyak terima kasih padanya. Kami berpelukan. Kejadian ini melemparkan ingatanku pada suatu masa yang telah lama berlalu. Masa ketika aku berpamitan padanya lepas lulus kuliah. Saat itu, tiba hari terakhirku di Purwokerto. Keluarga menjemputku untuk kembali ke tempat domisili di mana aku tinggal.
Sebelum pulang, aku ingin berpamitan pada dua sahabatku. Nia dan Ida. Aku tidak berhasil bertemu dengan Nia karena Nia sedang tidak di tempat. Ia sedang berada di Bekasi untuk suatu kepentingan.
Berbeda saat aku berpamitan dengan Ida. Ida ada di hadapanku ketika kumenemuinya. Saat itu, mendadak lidahku kelu kebas. Ada rasa sedih yang menikam hatiku. Ada tangis dan sengguk yang pecah cukup lama ketika kami berpelukan. Aku tahu, setelah ini, bentang jarak dan waktu akan cukup mempersulit pertemuan. Kami akan bertekuk lutut pada jarak dan waktu entah berapa lama untuk tetasnya sebuah temu.
Bersamaan dengan itu, aku akhirnya memahami satu hal, ketika aku dan Nia tidak dipertemukan saat aku ingin sekali melihatnya sekaligus berpamitan padanya. Setidaknya, ini bisa mengurangi air mataku juga tak membuat Nia harus menahan air mata. Nia adalah orang yang paling tidak ingin memperlihatkan air matanya sekalipun di depan sahabatnya. Nia adalah sahabat kami yang paling tangguh di antara kami. Nia adalah orang yang paling jarang memperlihatkan perasaan sesungguhnya pada kami. Dan yang terdepan membelaku saat aku di posisi terlemah menghadapi luka-luka pengkhianatan yang dahulu kualami.
"Pamitan kayak kita nanti gak ketemu lagi aja," kata-kata Nia saat aku akhirnya berpamitan via SMS yang masih kuingat.
Dan di titik perpisahanku dengan Ida dan Nia, pertemanan akrab antara mereka berdua pun dimulai.
*
"Aku pulang ya, Da," ujarku yang sudah duduk di belakang pengendara gojek.
"Iya. Hati-hati di jalan, ya. Kabarin aku kalau sudah sampai."
Aku mengangguk. Lalu, aku melambaikan tangan. Perlahan motor pun menjauhi kosan Ida. Dan sosok Ida lenyap dari pandanganku seiring motor melewati tikungan gang perumahan.
Motor melaju membawaku menuju Stasiun Gambir. Tiba di sana, aku menunggu sekitar satu jam hingga kedatangan kereta Cirebon Express.
Terima kasih... untuk perjalanan ini. Rasanya... tak bisa kulukiskan dengan warna apapun. Terlalu banyak warna yang mewakili perasaanku. Mereka bercampur. Hingga aku tak tahu harus menorehkannya dengan warna apa.
Kubuka layar smartphone. Kuunggah fotoku bersama mereka di akun facebook milikku dengan caption, "Never say good bye because there's no the last meet up between us."
Sesudahnya, kulemparkan pandangan ke luar jendela kereta yang tengah melaju. Lalu larut dengan lamunanku sendiri.
*
Bersambung... (to be continue)
---------
Keterangan:
B(1) nama orang yang disamarkan.