Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Kamis, 28 Desember 2017

#3. Untukmu Yang Masih Entah



Untukmu yang masih entah...

Surat ketiga untukmu
Bagaimana keadaanmu sekarang?
Sejauh mana impian-impianmu telah kau genggam?
Apakah langkahmu semakin dekat menujuku?

Aku masih di sini
Menunggumu
Kali ini, dengan kepala tegak
Dan harap yang tak lagi berdarah
Aku telah berpasrah pada waktu dan takdir yang ditetapkan-Nya untukku

Lalu, bagaimana denganku sekarang?
Aku sekarang?
Masih sama: merindukanmu
Impianku?
Jelang akhir tahun ini, aku membulatkan sebuah tekad
: melahirkan sebuah buku
Tentang anak-anak di mana dunia mereka menjadi salah satu kebahagiaanku
Tentang dunia saat-saat diriku larut bersama mereka

Tapi... mengapa rasanya sesulit ini?
Kerapkali aku merasa bagai pejuang yang kalah sebelum berperang atau mundur sebelum perang selesai
Aku melihat jauh di dalam sanasalah satu pecahanku terkungkung kekhawatiran
Kepercayaan diri yang biasanya melekat padaku seolah-olah mendebu
Yang bahkan debunya tak berani mendekati kungkungan itu 

Dalam kungkungan kekhawatiran, kudapati kegelisahan acap meletik-letik 
Hingga, kadang kegelisahan memaksa jeda yang terlalu lama untukku membekukan kata-kata
Mungkin, ada benarnya sebuah ungkapan: mengawali sesuatu membutuhkan keberanian besar, sementara menjaga keberanian dan tekad tetap menyala ketika kita telah berhasil memulai butuh keyakinan yang kuat.

Aku telah memulai
Tapi masih jatuh bangun membangun keyakinan untuk mempercayai diriku sendiri
Terkadang... disaat-saat seperti ini
Aku membutuhkan cermin yang mampu memperlihatkan pancaran sinarku lebih terang dari cerminku sendiri
Saat-saat seperti ini, memaksa rinduku pecah begitu saja
Rindu akan berakhirnya penantian ini
Hingga tak terasa pandangan mata ini mengabur
Ada hangat yang mengembun di sana 
Dan luruh tanpa bisa kukekang

-Vinny Erika Putri, 28.12.17

Minggu, 29 Oktober 2017

Cinta



Apa yang menundukkan harta, tahta, wanita, pria?
Cinta

Apa yang membuat hati manusia terluka?
Cinta

Apa yang mengobati luka hati?
Cinta

Apa yang membuat manusia bahagia?
Cinta

Apa yang membuat manusia bersedih?
Cinta

Apa yang membuat manusia merasakan kesepian?
Cinta

Apa yang menghangatkan hati manusia?
Cinta

Apa yang membuat manusia bertahan pada penantian?
Cinta

Apa yang membuat manusia memutuskan berhenti menanti?
Cinta 

Benarkah itu?

Manusia dengan mata yang basah, kerap mempertanyakan 'apa itu cinta?' atau 'inikah yang dinamai cinta?'

Aku pun bertanya, "Apa itu cinta? Mengapa cinta begini? Mengapa cinta begitu?"

Aku bertanya dengan melihat kepedihan orang-orang juga kebahagiaannya secara bersamaan. Aku mempertanyakan cinta secara utuh dan universal.

Cinta. Semurninya cinta.

Dan jawabannya, pada akhirnya akan kembali lagi kepada-Nya, Sang Pencipta yang menciptakan manusia dengan cinta. Sang Pencipta dengan cinta murni, utuh, dan universal yang dimiliki-Nya.

-Vinny Erika Putri, 20.10.17

Rabu, 25 Oktober 2017

Penghuni Trotoar Malam



Paling tidak, setiap sebulan sekali, beliau menembus dinginnya malam hanya karena sebuah alasan: rasa iba terhadap sesama yang kurang beruntung di jalanan sana. Beliau mencari-cari gelandangan, orang gila dan penghuni jalanan semacamnya untuk berbagi makanan terbaik yang dibuat dengan tangannya sendiri dari harta yang ia punya. Orang gila mendapat prioritas utama dibandingkan gelandangan yang sehat dan masih bisa mencari makan sendiri. Karena orang gila lebih sering terusir dengan kejijikan dan ketakukan dari orang-orang yang didatanginya.

Pada awalnya, beliau melakukannya hanya berdua dengan saudara setianya. Sampai akhirnya menginspirasi orang-orang di sekitarnya termasuk perkumpulan ibu-ibu haji di mana ia menjadi anggota akhirnya tergerak ikut membantu. Hingga saat ini, pekerjaan itu sudah beliau lakukan selama 9 tahun. Sebuah perjuangan dan keistiqomahan yang luar biasa yang belum tentu saya sanggup bertahan sejauh itu.

Beliau adalah "emak" luar biasa yang terlihat "biasa", "heboh", polahnya jenaka tanpa mengurangi kadar kebijaksanaannya, kadang sedikit "rada-rada" (seperti saya, yang "rada-rada"-nya lebih banyak). Beliau adalah rekan baru saya yang sifatnya "ke-emak-an" (kalau keibuan, cukup satu, ibu saya yang tak akan bisa tergantikan dengan ibu manapun) Haha!

Apa yang dilakukan beliau mengingatkan saya pada momen yang masih begitu tanak terasa sampai resap ke hati. Saya pernah melakukan apa yang beliau lakukan saat saya berkuliah di Purwokerto. Sekali bersama dengan teman-teman dalam kondisi emosi stabil (baca: perasaan bahagia, akal-pikiran berjalan jernih) dan emosi kurang stabil (baca: hati yang remuk, akal-pikiran keruh). Bedanya, kami tidak memasak sendiri. Kami urunan membeli nasi bungkus untuk dibagikan kepada "para penghuni trotoar malam".

Apa yang paling membekas adalah momen ketika saya dan seorang sahabat yang sama-sama dalam kondisi emosi kurang stabil melakukan ini tanpa saya rencanakan sebelumnya. Kami menggila, menyusuri jalanan dengan pikiran masing-masing yang masih karut-marut. Kami mencari para gelandangan. Diantara para gelandangan, saya menemukan satu orang gila perempuan dan tidak ada rasa takut sama sekali dalam diri saya untuk mendekatinya saat itu. Mungkin karena kala itu, saya benar-benar tengah melepaskan pikiran juga perasaan saya yang sedemikian keruh. Ketika saya memberikan bungkusan makanan itu, dan menatapnya lama, di titik ini, hati saya terasa sesak. Mata saya memanas. Lalu, ada hangat yang menetes. Entah saat itu, apakah rasa sakit yang sedang saya alami yang bekerja menciptakan tetesan air atau keperihan saya melihat orang gila tersebut.

Setelah saya dan sahabat saya rampung membagikan makanan bungkus itu, kami masih menahan kepulangan ke kosan masing-masing. Saya sebelumnya sudah izin pada ibu kos bahwa saya akan pulang larut malam.

Kami duduk di trotoar alun-alun kota cukup lama. Duduk menatap nanar jalanan yang tetap hidup meski malam nyaris tanggal separuh waktunya. Sesekali lingkar mata beralih tatap ke arah langit-Nya. Kadang kami dikepung hening. Kadang sahabat saya berbicara entah apa yang saya tak begitu hirau. Saya terlalu sibuk dengan pikiran dan perasaan sendiri. Apa yang saya lakukan saat itu bukanlah yang pertama kali. Saya pernah melakukannya (dua kali) bersama teman-teman saat kondisi riang gembira (baca: kondisi emosi stabil, lapang hati) dan begitu antusias dengan ide yang digagas seorang teman perempuan saya. Tapi, perasaan yang sampai pada saat itu, tak seperti saat saya hanya melakukannya berdua saja bersama seorang sahabat perempuan dalam kondisi “sempit hati”. Saya merasakan secercah perasaan tenang, damai dan semacamnya yang membekas dalam-dalam.

Dan sekarang, mengetahui kebiasaan berbagi “emak” saya ini, membangkitkan saya pada sebuah kerinduan. Kerinduan bersentuhan dengan orang-orang kurang beruntung semacam mereka di saat orang-orang terbuai dengan kenyamanan peristirahatan malam. Pada saat itu, pada momen itu, konsep rasa syukur akan terasa sekali dan menjadi alarm disaat hati terasa sempit.

-V.E.P, dalam rasa syukur yang tak terkira

Jumat, 06 Oktober 2017

Rasa Syukur dan Kepedihan Orang-Orang



Kau melihat dirimu, menerobos isi kepalamu dan tenggelam dalam perasaanmu. Lalu, kau dapati di sana benang-benang masalah yang masai. Hingga menyentuh titik terparah, kau bisa terhempas ke sebuah lubang persembunyian yang dalam, gelap dan tidak ingin sesiapapun melihatmu atau besertamu.

Sekali waktu, kau menangis sejadinya. Tangisan yang tak terdengar bising di luar tapi bergemuruh di pelataran sunyi. Oversensitif? Sentimental? Berlebihan? Mungkin, orang-orang yang tak mengenalimu dengan baik berkata begitu. Tak apa. Tak penting. Karena memang tak semua orang bisa memahami itu, dan tidak pula kau harus menuntut untuk dipahami. Setiap orang punya sudut pandang yang berbeda soal masalah. Setiap orang punya caranya sendiri untuk berdamai dengan keadaan dan keluar dari masalah. Termasuk, kau.

Kau kerap berdamai dengan dirimu sendiri melalui “rasa sakit”. Dan kerapkali terasa bertumpang-tindih, antara kepunyaanmu sendiri dan sekelilingmu. Ya. Bertumpang tindih. Dalam lautan kepedihan, kau banyak melihat dan mendengar kepedihan-kepedihan lain. Yang lebih pedih. Yang lebih mendaras air matamu.

Terkadang, kau mendapati hidupmu ironi. Atau mungkin sebuah paradoksal rasa. Kau hidup melalui masalah orang-orang. Kau bercermin dari kepedihan orang-orang untuk bisa menguatkanmu berdamai dengan keadaan dan memenangkan rasa syukur atas takdirmu sendiri. 

Kau tahu? Apapun itu, entah ironi atau paradoksal hidup, ada gema suara yang harus kau pegang kuat-kuat: Tuhan mempunyai cara-Nya sendiri untuk menguatkanmu. Ia menghadirkan kepedihan-kepedihan orang lain untuk mengecilkan masalahmu. Ia membawakan masalah-masalah orang lain padamu untuk memberimu banyak sudut pandang hingga kau bisa mengurai kekusutanmu itu dengan sabar.

Sampai akhirnya, kau katakan sesuatu pada dirimu sendiri di suatu malam, “Terkadang, dari kepedihan orang-orang, terlahir rasa syukur terhadap situasi kondisi diri sendiri.”

-V.E.P, Refleksi Seorang Aku dalam Sunyi

Sabtu, 09 September 2017

Di Sudut Sebuah Desa Bernama Tuk



Orang-orang menamainya Tuk. Saya baru sebulan berada di sana. Tidak lebih dari 2,5 jam setiap harinya.

Saya belum bisa mendeskripsikan Tuk secara detail. Saya baru melihat gambaran globalnya saja dari arus informasi yang masuk sepotong-sepotong dalam memori saya. Bila saya berada lebih lama di situ, informasi yang masuk ke dalam kepala saya tentunya akan terintegrasi dengan lebih baik dari global hingga ke detail. 

Di sini, saya melihat, tidak ada kesan “pinggiran” atau “terpinggirkan” walaupun suasana khas desa masih terasa. Di pagi hari, saya masih melihat beberapa ibu-ibu mencuci baju di kubangan (mungkin) bekas sungai atau semacam saluran air yang diperuntukkan sebagai tempat mencuci. Rumah-rumah kebanyakan sudah bertembok. Di beberapa tepi jalan perumahan, banyak ditemukan para pedagang makanan yang didominasi oleh ibu-ibu; lalu lalang anak-anak maupun remaja berangkat ke sekolah; hiruk-pikuk para pekerja bersliweran mengendarai motor ke tempat kerja mereka.

Perbedaan intelektualitas antara kaum perkotaan dan kaum pedesaaan yang digambarkan dalam teori-teori kaum urban, bisa saya lihat dan rasakan. Tapi, karena saya tidak tahu pasti fakta dan data valid soal sebaran karakteristik pendidikan orang-orang di situ, saya tidak akan menjustifikasi mereka dan mengambil kesimpulan yang merujuk pada sebuah label “tidak berpendidikan tinggi”. Lain halnya, kalau sudah dihubungkan dengan intuisi, saya akan berkata dengan kacamata yang berbeda.

Saya mengajar anak-anak di sebuah TKQ di daerah tersebut. Anak-anak yang bersekolah di situ, sebagian besar didampingi orang tuanya. Orang tua mereka sebagian menunggu di luar sekolah hingga jam sekolah berakhir dan beberapa ikut berdiam di kelas selama pelajaran sedang berlangsung. 

Saat mengamati dan menatap para orang tua yang terjaring lingkar mata, saya tahu dengan sendirinya sampai di level mana pendidikan mereka. Saya membacanya melalui penampilan, gestur tubuh, ekspresi, tutur kata, atau ciri lainnya yang mereka pancarkan. Dalam diri saya sepertinya bisa memindai “secara otomatis” latar belakang pendidikan atau kehidupan secara umum para orang tua yang ada di situ. Entah bagaimana caranya “mesin peminda” itu berproses sampai memunculkan sebuah kata “tahu”.

Berada di lingkungan baru, sekuat apapun saya menyiapkan mental dengan bermacam prediksinya, tetap saja, dibutuhkan perjuangan beradaptasi. Rasa berdebar-debar tak keruan, kacau-balau sempat mewarnai isi kepala dan hati sekalipun sudah ada pengalaman yang saya punya sebelumnya. Sebabnya, saya belum mengenali betul karakteristik dan seluk-beluk medan yang saya tapaki sekarang. 

Namun, setidaknya, keberanian saya tidak sampai menghilang. Karena keberanian (yang terkadang didorong kenekatan) adalah modal dasar untuk melangkah di tempat baru. Dan bagusnya, saya punya proteksi otomatis dalam diri saat berada di tempat baru yang mengarahkan pada apa-apa saja yang “perlu, tidak perlu, harus, tidak harus” saya tunjukkan dan membimbing bagaimana saya harus bersikap. Seperti insting yang siap melindungi diri ini kapan pun dibutuhkan.

Kesan pertama awal saya mengajar, yang terkecap adalah perasaan tidak nyaman. Apa pasal? Saya tidak nyaman dengan orang tua yang berada di dalam kelas menemani anak-anaknya belajar. Masalahnya bukan karena saya tidak percaya diri atau merasa takut karena adanya mereka. Saya tidak suka melihat orang tua yang berada di dalam kelas membantu mengerjakan pekerjaan anak-anaknya. 

Di tempat kerja sebelumnya, saya dan anggota tim guru lainnya mendidik anak dengan membangun nilai-nilai kemandirian dan nilai-nilai positif lainnya dari konsep diri sang anak. Saya akui, secara sosial emosi, kondisi anak-anak di sini cukup jauh berbeda dengan kondisi anak-anak di tempat kerja saya sebelumnya. Juga pola asuh yang diterapkan para orang tua anak-anak tersebut.

Kemudian, saat pelajaran berlangsung, orang tua yang tadinya hanya memperhatikan dari jendela di luar kelas, sebagian mendadak masuk membantu anak-anaknya ada yang salah dari tulisan mereka. Telinga saya kadang panas mendengar beberapa orang tua yang memarahi anaknya dengan “lengkingan nada sopran” karena tulisannya belum rapih atau tidak sesuai dengan yang diinginkan orang tua atau tidak seperti yang diinstruksikan guru. Sungguh jauh berbeda dengan metode yang sebelumnya pernah saya terapkan ke anak-anak. 

Kalimat negatif banyak berterbangan dari mulut mereka. Pada saat itu terjadi, yang saya lakukan adalah mengimbanginya dengan bahasa positif kepada anak dengan tetap mengontrol emosi saya sendiri. Dan terkadang “mengusir” secara halus para orang tua ketika kelas mulai terasa sesak dengan adanya mereka.

Ada perasaan kasihan yang muncul dari dalam diri saya melihat anak-anak yang setiap hari dijejali dengan baca-tulis. Tidak ada sentuhan permainan sebagai bungkus metode baca-tulis. Hanya diselingi beberapa metode nyanyian yang lumayan terdengar seperti angin segar. Saya melihat kebutuhan main mereka terkikis oleh ritme baca tulis yang terlampau kaku: bertumpu dan mengandalkan sebuah “buku teks panduan pintar membaca”. Dan sistem yang berlaku di situ, penjadwalannya... sudah terkondisikan demikian: Senin-Kamis jadwal baca-tulis.

Dari segala kondisi ketidak-nyamanan yang saya anggap bagian dari proses adaptasi, saya masih beruntung. Bersyukur saya memiliki rekan kerja yang toleran, mampu menjadi tim yang baik bagi saya dan secara pemikiran (baik dalam pendekatan ke anak dan orang tua) tidak banyak bertentangan dengan isi kepala saya. Disamping itu, seluruh anggota tim saling membantu di setiap pekerjaan yang ada. Tidak ada kesan individualistik. Sama seperti nilai-nilai yang saya dapat ketika bekerja di tempat sebelumnya. 

Daaan... yang paling saya suka, saya bisa lebih bersantai! Ha ha ha! Pekerjaan di situ tidak (atau mungkin belum) serumit, sebanyak dan sekompleks yang saya alami di tempat kerja sebelumnya. Ibaratnya, saya yang sebelumnya terbiasa dengan ritme “bak-bik-buk” sibuknya sedari pagi hingga sore, juga harus bisa menyelesaikan banyak masalah dengan cepat-tepat dalam satu waktu bersamaan serta potensial masalah-masalah lainnya yang menguras emosi, pikiran dan ketahanan fisik-mental... kini dihadapkan pada ritme “lengang”. 

Ritme lengang membuat saya bisa melakukan banyak hal variatif, dari mulai menjalankan hobi membaca-menulis yang sebelumnya kerapkali bertabrakan dengan kepadatan rutinitas kerja; mengembangkan dan mengasah ketajaman potensi-potensi lainnya yang saya punya; yang terpenting memberi banyak waktu dan ruang untuk berpikir, merasakan, menganalisa setiap kejadian dari sudut pandang orang lain maupun diri saya, termasuk ketidak-nyamanan yang tengah terjadi. Saya adalah orang yang bisa bosan bila terlalu lama dalam zona nyaman tapi juga tidak ingin berlarut-larut dalam zona tidak nyaman. Pengalaman-pengalaman terdahulu mengajari saya kapan waktu yang tepat dan bagaimana caranya “berpindah zona”. 

Selama seminggu bekerja, saya banyak menginternalisasi segala ketidak-nyamanan yang bersumber dari luar diri saya. Di sinilah, saya menyadari satu hal: saya tengah membandingkan kondisi yang baru dengan kondisi sebelumnya. Saya masih membawa nilai-nilai yang saya pegang dari tempat sebelumnya sebagai suatu nilai keharusan di tempat yang baru. Kondisi yang berbeda pastinya akan menimbulkan tumbukan yang diakibatkan karena adanya beberapa ketidak-sesuaian antara nilai-nilai eksternal yang sekarang dan nilai-nilai yang saya dapat sebelumnya -yang sudah melekat pada diri saya. 

Saya juga mengingat kembali cerita beberapa teman, yang sebenarnya masuk dalam prediksi saya selama mempersiapkan mental. Walaupun pada kenyataannya, ketika berada di lapangan, membesarkan keberanian diri menghadapi realita lebih membutuhkan energi ketimbang persiapan kondisi mental terhadap segala problematika yang sudah bisa saya perkirakan sebelumnya. 

Keberlakuan di TK/RA secara umum, baca-tulis menjadi suatu kebutuhan para orang tua yang perlu diakomodir oleh lembaga satuan pendidikan tersebut. Kalau tidak, TK/RA umum tersebut, apalagi bila keberadaannya di lingkungan pedesaan, maka tidak akan “laku”. Sebab, pola pikir kebanyakan konsumen di daerah tersebut masih menilai kepandaian seorang anak mutlak dari kemampuan “baca-tulis”. Dan anggaplah itu bagian dari proses menuju inovasi pendidikan yang lebih baik di mana lembaga satuan pendidikan setingkat TK/RA harus bisa mengakomodir kebutuhan konsumen tanpa mengabaikan prinsip-prinsip kebutuhan dasar anak-anak.

Berangkat dari sudut pandang ini, saya bisa lebih lunak menghadapi dan menundukkan ketidak-nyamanan tersebut tanpa harus menggadaikan prinsip-prinsip yang saya genggam erat. Lantas, bersamaan saya telah bisa berdamai dengan keadaan, saya semakin bisa melihat “lapangan yang lebih luas” dan “sisi-sisi lain” yang awalnya luput saya amati di situ. Dan di setiap kebaruan tentunya selalu ada tantangan yang juga menarik untuk ditaklukan. 

Mendekati akhir minggu kedua, ketika rekan kerja saya tidak masuk, dan ada satu anggota tim di kelas lainnya yang tidak masuk, saya mulai berani mengkondisikan kelas sendirian memanaje 34 anak. Bersyukurnya, peristiwa itu terjadi setelah target saya terhadap diri saya terpenuhi. Saya menetapkan target atas diri saya sendiri: dalam waktu maksimal 2 minggu sudah bisa menguasai pengkondisian pembelajaran yang ada di situ dan hafal seluruh nama anak-anak di kelas yang saya pegang.

Semakin hari, saya menikmati waktu-waktu membersamai anak-anak. Beberapa anak-anak pun mulai “memilih” saya dalam kepala mereka saat dibebaskan kepada siapa mereka akan mengaji dan membaca. Saya juga mulai melihat sebuah perubahan pada anak-anak. Wajah mereka mulai mau tersenyum ketika membaca dan mengaji. Saya selalu mengajak mereka “toss!” dan mengatakan “senyuuuuum” setelah mereka selesai mengaji dan membaca. Saya melakukan itu sedari awal saya mengajar mereka untuk menghilangkan jarak antara anak-anak dan saya (yang pada saat itu masih orang baru bagi mereka).

Diantara mereka, ada satu anak perempuan yang begitu terlihat tertekan -lebih parah dari kondisi anak lainnya- karena selalu dituntut orang tuanya untuk sempurna. Ia seringkali dimarahi ketika melakukan hal yang salah (menurut kacamata orang tua) sehingga saat ia membaca dan mengaji, kemurungan tergambar jelas di wajahnya. Suaranya nyaris tak terdengar dan memaksa saya sering mendekatkan telinga ke bibirnya. Ia juga sulit berkonsentrasi. Dan terlihat mengalami krisis kepercayaan diri.

Ketika saya mengetahui kondisi tak beres itu, dalam beberapa kesempatan saya kebagian memegang anak tersebut untuk membaca mengaji, saya selalu berkata padanya, “Suaranya yang keras, ya, Sayang. Salah juga gak apa-apa. Bu Guru gak marah, kok. Namanya juga lagi belajar. Kalau salah nanti kita benerin bareng-bareng.”

Kemudian, saya dapati anak tersebut setiap kali hendak mengaji, selalu mengantri pada barisan di mana saya berada. Artinya, saya berhasil menarik dirinya untuk mendekat. Hari ini, saya sudah melihat kemajuan dari dirinya yang sangat membahagiakan bagi saya. Suaranya terdengar lebih keras. Perlahan konsentrasinya sedikit membaik dan kepercayaan dirinya mulai tumbuh.

Lainnya, saya amati, dari rata-rata anak-anak yang ada, kebanyakan mereka lebih cepat paham dalam hal mengaji dibandingkan membaca huruf alfabet. Fakta ini sempat diungkapkan oleh rekan kerja saya bahwa memang anak-anak Tuk lebih sering didaras mengaji daripada membaca alfabet oleh orang tua mereka. Bahkan, ada beberapa penduduknya yang merupakan lulusan mahasiswa dari Universitas Cairo Mesir. 

Fakta ini menarik bagi saya karena menimbulkan sebuah pertanyaan: kalau ada beberapa penduduknya yang lulusan Universitas Cairo Mesir, tapi mengapa para orang tua di TKQ saya mengajar masih belum memahami pentingnya pendidikan parenting untuk orang tua? bukankah pendidikan islam juga tidak menganjurkan pola asuh yang sekarang mereka sedang terapkan pada anak-anak?

Saya gagal paham. Tapi begitu menyadari bahwa nilai-nilai di dunia ini tidak selalu idealis karena ketidak-mungkinan keseragaman karakter atau personalitas manusia juga pengalaman hidup yang dilaluinya, pertanyaan ini menyediakan banyak kemungkinan jawaban dalam kepala saya. Mungkin karena faktor ini, faktor itu. Begitulah pikiran saya bekerja mengolah informasi yang masuk. Setelahnya, saya merefleksi diri sendiri.

Saya yang awalnya sempat kesal dengan orang tua yang memarahi anaknya saat mereka mendapati anaknya salah menulis, kini saya membalikkan diri saya sendiri ke masa sebelum saya berkecimpung di dunia pendidikan dan berkaca diri bahwa saya pun mungkin akan melakukan hal yang sama dengan mereka. Lalu saya berterima kasih kepada-Nya yang telah memberi saya kesempatan untuk mengenyam ilmu yang sekarang sedang saya pelajari. 

Akhirnya, saya memandang mereka dengan pikiran yang lebih fleksibel. Ini memudahkan saya untuk membangun kedekatan emosi secara perlahan dengan mereka (para orang tua). Dan yang saya kagumi, saya mulai merasakan, para pendidik di sini... hidup dengan sederhana dan bersahaja.

Sejauh ini, saya masih ingin menetap di sana. Sampai dengan saat ini, suara dari dalam diri saya mengatakan, so far so good. Keep moving and do something there. 

I wanna do something there. Ya. Ada yang ingin saya lakukan di situ. Saya ingin mempelajari lebih dalam metode yang efektif dan ramah anak soal baca-tulis. Saya ingin pelan-pelan menerapkan metode baca-tulis melalui permainan yang menyenangkan bagi anak-anak dari pengalaman yang saya dapat sebelumnya maupun pengetahuan-pengetahuan yang tengah saya pelajari. 

Saya sempat mencari referensi mengenai “keabsahan” pengenalan baca-tulis kepada anak-anak apakah ini benar atau salah. Saya membaca beberapa artikel dan buku. Dari satu buku yang saya punya tentang meningkatkan kemapuan baca-tulis anak, ada suatu fakta statistik yang menunjukkan perbedaan pola pikir negara-negara yang penduduknya dikenalkan pada baca-tulis sedari dini. 
Dan lebih religius lagi, termaktub pula dalam Alquran Q.S Al-Alaq yang diawali dengan kata “Iqra” yang artinya “bacalah!” sebagai ayat yang pertama kali diterima Nabi Muhammad S.A.W. Yang secara tersirat, Allah menegaskan betapa membaca sangatlah penting. Terutama membaca tanda-tanda kebesaran-Nya.
Saya juga mengiyakan jawaban diri saya sendiri mengenai “benar-salah” mengajarkan baca-tulis kepada anak. Bahwa benar-salah atau boleh-tidaknya, sebenarnya, bukan terletak pada pengenalan baca-tulisnya itu sendiri. Tapi lebih kepada proses dan metodenya. Karena zaman terus berkembang, kita tidak mungkin melarang “baca-tulis” diperkenalkan kepada anak-anak setingkat TK atau usia di bawahnya. Yang bisa kita lakukan adalah mengimbanginya. Mengimbangi tuntutan tersebut dengan metode yang ramah anak, memanusiakan anak-anak dan sesuai dengan tahapan perkembangannya. 

I wanna do something there. Ya. Ada yang ingin saya warnai. Dengan warna yang berbeda dari yang sudah ada, warna yang lebih ceria khas anak-anak, warna baca-tulis yang juga mampu merangkul semua aspek perkembangan mereka. Bukan hanya mesin pencetak generasi baca-tulis yang seperti mayat hidup.

Saya punya peta mimpi. Di mana sekarang ada Tuk di dalam peta yang entah untuk berapa lama tinggal dalam peta tersebut. Seorang pemimpi, selalu hidup dengan impiannya. Dan mungkin menjadi sebuah alasan untuknya berjuang. Atau lebih tepatnya lagi, alasan untuk hidup.

Ada gema doa dari dalam bilik hati yang kudengar: semoga, keberadaan diri ini di manapun berpijak ... bisa membawa kebermanfaatan untuk sesama. Terutama bagi dunia anak-anak.

Senin, 28 Agustus 2017

Tentangmu: Pagi, Malam dan Hujan?



Apa yang kau suka dari malam? 
Sunyi; kata-kata; keterbukaan dan kejujuran atas segala yang dirasakan hati pada diri sendiri dan pengaduan paling syahdu kepada-Nya.

Apa yang kau suka dari pagi?
Hidup baru, reinkarnasi harapan, kehangatan mentari, luka batin manusia yang acapkali secara sembunyi-sembunyi kuamati dan kuanalisa, ingar-bingar tawa yang akrab bersama orang-orang, keterhubungan dengan kehidupan banyak manusia. 

Apa yang kau suka dari malam dan hujan? 
Kedamaian jiwa, sunyi yang lebih tenang dari biasanya, penglihatan gambaran kehidupan yang dititipkan-Nya padaku untuk kumaknai. 

Apa yang kau suka dari pagi dan hujan? 
Keteduhan, rasa menepi sejenak dari ramai yang akrab, sunyi sesaat yang bisa kunikmati ketika menyingkir dari bising kepala, harapan akan terlihatnya sebuah pelangi. 

Dan apa yang paling kau suka diantara semuanya? 
Waktu disaat aku bersama diriku sendiri. Waktu di mana aku bisa melihat cermin diriku sendiri hingga ke relung hati terdalam dan paham apa saja yang disembunyikan di sana. Entah sebuah luka, ketakutan, kerapuhan, kebahagiaan, keberanian, kekuatan, harapan maupun doa-doa. Yang kesemuanya itu membawa segala pemikiran, perenungan, perasaanku pada kesimpulan sekaligus pengingat bahwa aku benar-benar membutuhkan uluran tangan-Nya. Aku menginginkan-Nya selalu bersamaku. 

Pagikah itu? Malamkah itu? Malam yang berkawan hujankah itu? Pagi yang berkarib hujankah itu? Atau hujankah itu? 

-Vinny Erika Putri, 20.07.17

Minggu, 27 Agustus 2017

Sebuah Rumah



Aku memimpikan sebuah rumah, yang ketika berada di sana, diri ini utuh terhubung dengan segala kealamian alam. Kealamian alam yang tak pernah membosankan untuk dinikmati dan diakrabi.

Aku memimpikan sebuah rumah, yang ketika kuterbangun, kesejukan udara dari hijau pegunungan atau perbukitan menjadi napas pertama yang kuhirup. Yang ketika kuberanjak keluar menyambut mentari pagi, kaki-kaki ini bisa merasakan lembutnya bulir-bulir embun. Yang ketika kumelangkah keluar depa demi depa darinya, kutemukan hijau persawahan terbentang luas sejauh mata memandang. Yang ketika kumemejam mata, kurasai debur aliran sungai jernih dan kicau burung terdengar serupa melodi. Melodi terbaik yang mengalahkan karya seni terbaik bentukan manusia.

Aku memimpikan sebuah rumah, yang ketika berada di sana, tak kutemui kebisingan atau hiruk-piruk metropolitan, tapi keheningan yang menjernihkan. Yang ketika berada di sana, tak kurasakan sesaknya tempat dengan gedung-gedung pongah yang saling berkompetisi menawarkan berbagai macam etalase gaya hidup untuk manusia-manusia urban. Atau sibuknya manusia-manusia dengan berbagai kepentingan dunianya hingga kehangatan tak lebih dari sekedar rutinitas senyum-sapa.

Aku memimpikan sebuah rumah, yang ketika aku tak berada di sana, aku tahu ke mana aku harus kembali. Yang ketika aku membutuhkan ruang untuk "menepi sejenak", tempat itu menjadi tempat yang pertama kali kuingat dan kuinginkan. Yang ketika aku tak berada di sana dan tengah menghadapi dunia dengan segala kepenatannya, aku tahu ke mana aku harus pulang.

Aku memimpikan sebuah rumah. Lalu kusadari, ternyata, aku tengah didera kerinduan yang amat sangat pada tanah lahir.

Semoga, beberapa puluh tahun ke depan, bahkan seterusnya, rupamu tetaplah sama: hijau alami nan menyejukkan. Usah menjelma gedung-gedung pongah yang saling bersaing menunjukkan kehebatannya.

-Vinny Erika Putri, 13.06.16

Satu Jam, Rasa Menepi Sejenak



Duduk, "menepi sejenak". Mengamati lalu-lalang orang-orang, merasai gerak halus semesta, menghubungkan diri secara utuh dengan keadaan sekitar dan tak berpikir apapun selain menikmati waktu bergulir begitu saja.

Duduk, "menepi sejenak", keluar dari "arena kehidupan" dalam sebuah lintasan waktu. Dan diam menyaksikan pergerakan hidup dari belakang layar. Bersama diri sendiri sebagai sahabat setia.

Duduk, "menepi sejenak", melepaskan apa yang terlalu diinginkan pikiran. Terbang dari sempitnya kotak-kotak pikiran ke lingkaran yang lebih luas dan meleburkan diri dengan keadaan sekitar.

Sesederhana itu. Untuk menemukan perspektif baru.

Sesederhana itu. Untuk tetap mensyukuri segalanya.

Sesederhana itu. Untuk memulihkan kekuatan diri hingga siap kembali ke "arena kehidupan" dalam sebuah lintasan waktu.

-Vinny Erika Putri, 27.05.2016

Selasa, 22 Agustus 2017

Harapan, Ruang Kosong dan Kesunyian


Harapan datang
Meyakinkanmu akan kebahagiaan sekaligus menyelipkan keraguan
Akankah berakhir di ujung yang sama?
Seberapa lama harapan ini bisa bertahan untuk tidak mati?

Harapan datang
Bersamaan dengan ruang kosong yang dibawanya
Ruang kosong dimana kau berpikir kembali tentang sebuah harapan itu sendiri
Ruang kosong dimana kau merasakan keraguan yang begitu menyesakkan dan memedihkan
Ruang kosong dimana kau bertanya-tanya tentang apa yang membuat harapan tetap hidup
Ruang kosong ketika kau bertanya pada dirimu sendiri: berhenti di sini atau tetap melangkah? Benarkah ini yang kuinginkan?
Ruang kosong yang akrab dengan cecap asin air mata sekaligus gema doa-doa
Ruang kosong tempat kau mengambil jeda, suri dari keramaian hidup dan membebaskan segala isi kepalamu juga perasaanmu

Hingga ketika kau berada di ruang kosong ini, kau menyadari sesuatu
Bahwa kau tidak bisa berlari dari kesunyian dan akan selalu membutuhkannya untuk menemukan makna.
Kesunyian adalah pecahanmu, bagian dari dirimu, tempat kau bertanya banyak hal, menyenandungkan luka-luka, kerapuhan sekaligus mengumpulkan keping-keping kekuatan untuk sembuh darinya
Dan dalam kesunyianlah, kau bisa merasakan harapan juga ruang kosong yang dibawanya untuk menyadarkanmu akan realita

-Vinny Erika Putri 22.08.17

Rabu, 19 Juli 2017

#2. Anak-anak?



Anak-anak?
Hai, apa kabarnya, kalian? Bagaimana 3 hari ini dengan suasana baru? Apakah guru-guru yang baru juga menyenangkan? Apakah kalian bertanya tentangku yang tak lagi terlihat di tempat kalian bermain? Ah, mungkin kalian menanyakan hal itu. Mungkin juga keheranan. Tapi... kurasa ini tidak akan lama. Karena seiring berjalannya waktu, kalian mampu beradaptasi dengan sendirinya melalui bimbingan orang-orang dewasa di sekitar kalian.

Anak-anak?
Ketika aku masih merindukan kalian, masih mengingat kalian... aku tidak tahu, apakah di kepala kalian masih menyimpan memori tentangku. Karena dunia kalian sangatlah unik. Kalian tidak akan berlarut-larut dalam kesedihan. Pertengkaran yang menimbulkan kemarahan mampu kalian lupakan begitu saja ketika telah mendapat penyelesaian. Dan tidak ada kehilangan secara mendalam selama dekapan hangat orang tua masih melindungi kalian.

Anak-anak?
Ketika bahkan aku meridukan kalian hingga detik ini dan merasakan ada rongga kosong di dadaku, kalian tetap anak-anak yang tak pernah hilang keceriaannya. Kalian tetaplah akan baik-baik saja karena dunia kalian tetaplah dunia anak-anak. Bukan dunia orang dewasa yang begitu dalam merekam kehilangan karena telah mengerti rasa dan makna kehilangan.

Anak-anak?
Meski kalian tidak terlahir dari rahimku, membersamai kalian adalah anugerah yang tak bisa kunilai dengan apapun. Dan karena itu, aku bersyukur kepada-Nya. Tapi, seberapa lama pun aku di sisi kalian, aku menyadari satu hal: kalian tidak terlahir dari rahimku. Hak asuh kalian bukan padaku. Darahku tidak mengalir dalam darah kalian. Pada akhirnya, kalian akan pergi dan menjadi potongan kenangan dalam kepalaku.

Anak-anak?
Aku pergi dengan langkah yang begitu berat. Aku tidak bisa lagi bertahan di atap yang sama bersama kalian karena beberapa hal. Beberapa hal yang merupakan urusan dunia orang dewasa. Urusan di mana tumbukan-tumbukan yang terjadi di dunia orang dewasa tidak sesederhana dunia kalian, dunia anak-anak.

Anak-anak?
Malam ini tak seperti malam kemarin. Saat mengingat kalian, kubiarkan bulir-bulir di mataku meluruh. 

Anak-anak?
Aku hanya perlu waktu, untuk terbiasa tanpa kalian. Aku hanya perlu waktu untuk membuka hati bagi anak-anak lainnya di tempat yang baru. Aku hanya perlu waktu, untuk mengingat kalian tanpa sebuah tangis ketika rindu ini mendera hati. Kita tidak bisa bertemu setiap hari di atap yang sama. Tapi, ketika kalian keluar, melihat langit yang memayungi bumi, kalian akan menemukanku. Karena aku akan selalu menatap langit yang sama dengan kalian. Kalian akan selalu mendapatkan tempat dalam duniaku.

VEP, Cirebon, 190717



#1. Anak-anak?



Anak-anak?
Menyenangkan. Sekalipun ada kejengkelan-kejengkelan saat membersamai mereka, tetap tak mengubah kata itu: menyenangkan. Karena, saat tak ada mereka di sisi kita, kejengkelan-kejengkelan itu menjadi sesuatu yang dirindukan.

Anak-anak?
Meskipun kita bisa bermain bersama-sama mereka ... ada bagian dunia yang tetap menjadi milik mereka. Dunia yang tidak bisa orang dewasa masuki sepenuhnya. Mungkin, kita hanya melihatnya di ambang pintu atau berada di sekitarnya tanpa bisa meraih dunia mereka, sekalipun kita telah membuat diri kita menjadi kekanakkan. Mengapa? Karena dunia kita adalah dunia orang dewasa. Tapi, setidaknya, kesediaan kita meluangkan waktu untuk bermain bersama mereka, memahami mereka dan memberikan mereka kasih sayang tulus... telah membuat mereka menempatkan kita dalam dunianya, dalam kepalanya.

Anak-anak?
Setiap babak yang mereka lewati, semuanya mampu melemparkan ingatan kita pada fase-fase yang melahirkan kerinduan. Ketika mereka masih begitu bergantung pada kita, betapa kita merasakan keberadaan kita sangat berarti dan begitu penting. Ketika mereka mulai tumbuh dewasa, betapa kita merasakan, ada air mata dan tumbukan-tumbukan emosi yang entah berapa banyak bergulir dalam perjuangan membersamai mereka.

Anak-anak?
Mereka alasan orang tua untuk tidak menyerah menghadapi hidup yang tak selalu manis. Mereka satu paket yang mengharuskan para orang tua mengambilnya sekaligus: air mata dan tawa.

Anak-anak?
Terlahir dari rahim seorang wanita ataupun tidak, wanita yang tulus menyanyanginya akan berterima kasih. Karena merekalah yang mendewasakannya. Karena merekalah yang mengajarinya banyak hal. Karena merekalah hidupnya menjadi bermakna. Karena merekalah keberadaan dirinya menjadi berharga dan penting.

Anak-anak?
Terima kasih, untuk waktu 4,5 tahun. Waktu yang berharga. Dan menjadi kotak ingatan yang kusimpan dan kujaga baik-baik.

Anak-anak?
Aku tidak bisa berhenti untuk memahami dunia kalian. Daya tarik kalian terlalu kuat untukku menjauh. Meski tak lagi di atap yang sama, langit kita tetaplah sama.

Anak-anak?
Aku tak bisa lagi berkata-kata. Mataku terasa memanas. Seperti ada yang akan jatuh. Sebelum luas merebak lalu menyudut di ujung mata, kututup. Pergi merebahkan diri.

VEP, Cirebon, Dini Hari, 190717

Sabtu, 08 April 2017

Hujan yang Luruh di Penghujung Usiamu



Kubuka layar smartphone. SMS dari omku.

Sudah sampai mana, Put?

Kukirim SMS balasan. Gagal terkirim. Padahal, jaringan sinyal ada, pulsa masih memenuhi untuk mengirim SMS. Pesan kukirim ulang. Gagal lagi. Dengus kesal keluar bersamaan embus napas. Ku-restart smartphone. Pesan kukirim kembali. Berkali-kali. Tetap nihil. Pesan tidak ada yang terkirim satu pun. Entah apa yang bermasalah.

Jengkel karena pengiriman pesan berkali-kali gagal, aku pun berhenti mengirim SMS. Dengan menggunakan HP "pinjaman kantor" yang kebetulan kubawa, aku meng-SMS rekanku untuk memintanya mengisikan pulsa ke nomorku. Sembari menunggu pulsa masuk, aku menghabiskan makanan yang sudah dipesan. Selesai makan, pulsa yang dikirim rekanku berhasil masuk. Bergegas kumenelpon omku.

"Assalamu'alaikum. Om, Puput udah ngelewatin Sawangan. Ini lagi pada makan dulu. Ruang kamar tempat simbah dirawat namanya apa sama nomornya berapa, Om?"

"Nanti kalau udah sampe, om dikabarin. Om nunggu di parkiran rumah sakit. Ke ruangannya nanti diantar sama om," jawabnya.

"Oh. Ya wis. Nanti tak kabari kalau udah di situ."

"He eh, Put. Ati-ati di jalan, ya."

"Iya, Om. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Telepon ditutup. Kumembuang napas keras-keras serupa mengurai pikiran yang mulai kalut. Di langit, mendung kian memekat. Lalu, pecah menjelma rintik gerimis. Jalanan perlahan membasah. Selintas, lingkar mataku menatap ibu yang diam membisu. Kami seolah merasakan hal yang sama dalam keheningan.

"Istirahatnya udah cukup. Kita berangkat lagi sekarang," kata Bapak selang beberapa menit aku menelepon omku.

Ibu menuju kasir. Setelahnya, kami masuk ke dalam mobil. Seiring mobil melaju, teleponku berdering. Panggilan dari omku.

"Udah sampai mana, Put?" tanyanya.

"Sampe Kelerang, Om," jawabku.

"Ya sudah. Cepet, ya. Ditunggu di rumah sakit."

"Ya, Om."

*

Sekitar pukul 14.30 WIB, kami tiba di R.S PKU Wonosobo. Tampak sepupuku menunggu di situ. Aku turun dari mobil diikuti ibu dan adik perempuanku. Sementara adik laki-lakiku menemani bapak mencari tempat parkir untuk mobil.

Tadinya, sepanjang perjalanan, aku optimis dengan membayangkan kejadian serupa setahun silam: aku menginap di rumah sakit menemani simbah, kondisi simbah perlahan membaik lalu aku kembali ke Cirebon dengan membawa keyakinan simbah juga akan kembali ke rumah dan keyakinan itu pun terwujud. Tapi, semenjak omku meminta kami datang secepatnya ke rumah sakit dan dari cara sepupuku menyambut kami di pintu masuk rumah sakit, aku hanya berusaha untuk mengendalikan emosi yang mulai bergolak.

"Simbah gimana?" tanyaku pada Mas Aris, sepupuku, sambil kami berjalan menelusuri koridor rumah sakit.

Raut mukanya serius. Ia tak menjawab pertanyaanku. Ia hanya menyentuh punggungku yang bisa kuartikan "berjalanlah terus, segera temui simbah".

"Simbah kritis? Dari kapan?" cecarku meminta jawaban.

"Pagi tadi," akhirnya ia menjawab.

Aku membisu. Dan sepanjang langkah berderap, dengan perasaan tak keruan, berulang-ulang kupinta pada diriku sendiri: tolong tenang, tolong kendalikan dirimu.

Kami sampai di sebuah ruangan. Begitu kubuka pintu, kurasai penyangga tubuhku seperti tercabut. Tubuh ringkih dalam keadaan setengah koma terbujur pasrah di pembaringan. Di tubuhnya, terpasang beberapa selang yang terhubung pada alat deteksi tubuh.

"Jangan nangis. Jangan nangis. Kasihan simbah," ujar beberapa saudara begitu mereka melihatku mulai kesulitan mengendalikan perasaan.

Kata-kata mereka, justru membuatku hatiku makin rusuh. Sesak menjalar. Kupunggungi simbah untuk menyembunyikan sengguk. Pula, dalam hati, kusentak diri ini lebih keras lagi untuk tenang. Kuatur napas sembari menyeka basah mata dan mendongakkan kepala untuk menghentikan bulir air yang menetes.

Setelah rusuh gemuruh di dada mereda, kubalikkan badan dan berjalan mendekati sisi pembaringan diiringi ibu di belakangku. Tak terpikirkan olehku untuk menyapa sesiapa saja yang ada di situ. Penglihatanku hanya tertuju pada satu orang. Tangan kananku memegang tangannya. Sementara tangan kiriku membelai rambutnya. Dan bibirku mencium keningnya. 

Kupendekkan jarak bibirku dan telinga simbah, lalu berbisik, "Mbah... ini Puput. Puput dateng. Lengkap sekeluarga."

Ia sudah tidak bisa berkata-kata. Tapi, aku bisa merasakan, ia melihatku dengan mata kanannya yang terbuka lebih lebar dari mata kirinya.

"Puput minta maaf, ya, Mbah. Maaf kalau sudah banyak bikin simbah sedih. Puput sayang simbah."

Setelah aku, bergantian ibu yang membisiki -mungkin- kata-kata serupa di telinganya. Ada rasa nyeri yang mengoyak hatiku pada saat itu. Kakinya sudah sangat dingin. Begitu juga tangannya. Aku bisa melihat lebih rinci selang-selang yang terpasang di tubuhnya. Selang-selang tersebut bermuara ke sebuah monitor pendeteksi detak jantung, pernapasan dan tekanan darah.

"Dibacain dzikir, Put. Dzikirnya jangan lepas," ujar seorang saudara.

Aku mengangguk. Bergantian dengan ibu, aku membisiki simbah kalimat syahadat. Sementara bapak meminta Al-Quran dan mengaji di sudut yang lain lalu keluar ruangan setelah adzan ashar berkumandang.

Tiba-tiba, aku teringat murotal yang ada di smartphone-ku. Sedari tadi aku berdiri di situ, tidak ada yang menyetel ayat-ayat Al-Quran. Hanya bacaan dzikir yang dilantunkan di telinga simbah secara bergiliran. Kadang-kadang, bacaan dzikir terhenti karena para tamu silih berganti datang berkunjung.

Aku sempat menyetel Q.S Yaseen sekali. Setelahnya, tak kusetel lagi karena ada beberapa ayat yang rusak sehingga terdengar meleot. Kuganti dengan menyetel Q.S Ar-Rahman berulang-ulang. 

Tidak ada pengkhususan atau kesengajaan aku menyetel dua surat ini. Aku menyetel apa yang ada di smartphone-ku dan bertujuan agar telinga simbah tidak kosong, agar kalimat-kalimat-Nya tetap berdengung di telinganya. Karena yang kutahu, pada saat demikian, kita tengah beradu dengan setan yang terus membujuk orang yang berada dalam kondisi sakaratul maut untuk ikut dengannya.

Tiba-tiba, murotal terhenti. Teleponku berdering, kuangkat telepon sembari keluar kamar. Aku menarik napas panjang. Pekerjaan tak pernah memandang bagaimana kondisi kita. Dan kita kerap harus memaksakan diri berpura-pura baik-baik saja dalam keadaan bagaimana pun bila sudah berhubungan dengan pekerjaan. 

Orang tua yang kukira tidak jadi memasukkan anaknya ke lembaga tempat kubekerja dan lama tak berkabar mendadak meminta anaknya untuk diizinkan masuk hari Senin. Aku berbicara dengannya, bla bla bla... yang ujungnya... sepakat hari Senin setelah aku berkoordinasi dengan rekanku di sana.

Kututup telepon. Lalu, masuk kembali ke dalam ruangan. Dan murotal Q.S Ar-Rahman kuputar kembali.

*

Aku menyentuh leher simbah. Masih terasa hangat. Beralih kuraba bagian perut simbah dari balik selimut yang menutupinya. Tidak sepanas saat awal aku memegangnya. Panasnya mulai turun. Kubuka perut simbah. Kudapati tonjolan besar di perutnya. Istri sepupuku yang berada di sampingku memberitahuku.

"Tumor ganas?"

Aku tercenung. Karena sebelumnya, simbah tidak punya riwayat tumor ganas.

"Iya, tumor itu kedeteksi 3 hari yang lalu. Harusnya, hari ini jadwal operasi. Keluarga optimis simbah bisa sembuh, karna kemauan simbah untuk sembuh sangat kuat. Tapi... ngeliat kondisinya yang drop tadi pagi, semua udah pasrah," ungkapnya dengan mata berkilap.

Kumengalihkan titik emosi. Kuambil tissue. Kubersihkan cairan yang keluar dari hidung simbah. Di hidung simbah, terpasang dua selang. Selang oksigen dan selang yang terhubung dari hidung ke lambungnya. Hidung simbah mengeluarkan cairan yang warnanya seperti betadin. Mereka bilang itu cairan asam lambung. Beberapa hari yang lalu, sebelum selang tersebut dipasang, simbah bolak-balik muntah karena asam lambungnya meningkat. Aku melihat kantong buangan asam lambung dari selang sudah mencapai separuh isi kantong.

Kubelai kepalanya sembari berbisik, "Puput sayang simbah." 

Simbah tetap tak berkata-kata. Lekat-lekat kupandangi wajahnya. Ada basah yang menggenangi pelupuk matanya.

Kusapu pelan-pelan dengan tissue lantas kubisiki di telinganya, "Aku rela Allah Tuhanku. Aku rela Islam agamaku. Aku rela Muhammad nabi dan rasulku. Aku rela Alquran sebagai petunjuk dan hukum."

Lanjutku, "Ya Allah, ampunilah segala dosa-dosaku. Terimalah segala amal ibadahku. Aku rela menghadap-Mu. Aku ikhlas menghadap-Mu. Terimalah aku di sisi-Mu."

Kepalaku terasa berputar saat kutegakkan. Kupejamkan mata sesaat untuk mengembalikan keseimbangan. Lalu berjalan perlahan menjauhi pembaringan.

*

Aku duduk dan menyandarkan kepala di sofa yang tak jauh dari pembaringan tempat simbah rebah. Aku butuh tenggat untuk menata kekuatan diri agar tidak limbung. Dalam jeda mengumpulkan kekuatan, jejaring mataku tak lepas menatap monitor yang menunjukkan detak jantung. Tiba-tiba, alat deteksi jantung berbunyi 3 kali lantas detak jantung simbah menghilang 

Spontan aku berseru, "Simbah! Simbah!" sembari bangun diiringi orang-orang mendekat serentak ke pembaringan begitu mendengar seruanku.

Detak jantungnya kembali. Kakiku melemas. Aku dan ibuku berdiri bersehadap. Aku di sisi pembaringan sebelah kiri, ibu di sebelah kanan.

"Bu, barangkali simbah nunggu Om Par. Tinggal Om Par yang belum dateng. Coba dihubungi," ujarku pada ibu.

Ibu berbicara dengan adiknya yang kedua, "Yon, deke hubungi Parkiyo. Ben ngendika karo simbah. Mboan simbah ngenteni Parkiyo,"1

"Iya, iki Mas Par jarene agi wae pelatihan ning Jakarta. Sesuk jarene arep mrene. Iki arep tak hubungi meneh."2

Om Yono menghubungi Om Par.

"Mas, sampeyan esih ning Jakarta? Iki mas, tolong, sampeyan ngendika karo simbah. Kondisine simbah makin kritis."3

Telepon pun diserahkan kepadaku. Kuletakkan telepon tepat di telinga kanan simbah. Dan aku bisa mendengar jelas suara di seberang sana.

"Mbah, kulo Parkiyo. Kulo badhe ngendika sareng simbah. Kulo nyuwun ngapurane nggih. Insya Allah, sesuk kulo wangsul teng riku. Simbah ngucap niruake kulo nggih."4

Om Parkiyo mengucapkan dua kalimat syahadat. Dua kali. Pertama, kalimat syahadat masih terlantun dengan tabah. Sama tabahnya saat beliau ngendika. Kedua kalinya, kalimat syahadat yang diucapkannya terdengar pelan dan makin menipis di ujungnya. 

Segera kuberikan telepon kepada Om Yono untuk melanjutkan pembicaraan dengan Om Par. Aku sempat melihat simbah merespon setelah Om Par menelepon. Simbah mengembuskan napas sembari melontarkan kata "aaaaah" dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya. Dan itu adalah suara terakhir yang kudengar darinya.

Sejak detak jantungnya sempat menghilang, orang-orang bersiaga penuh. Dan aku tak beranjak dari sisi simbah. Dari monitor, detak jantung mulai menyentuh angka 86. Sebelumnya, hanya berkisar diantara 91-92.

"Put, dzikir lagi," titah omku.

Bacaan dzikir pun kembali bersahut-sahutan. Disamping murotal yang tidak berhenti diputar, aku mulai mentalqin kembali kalimat syahadat di telinga kanannya. Sementara di sisi kirinya, orang-orang mengucapkan kata "Allah" berulang-ulang.

Omku terus memantau detak jantung lewat monitor pendeteksi detak jantung. Sekilas, di tengah-tengah mentalqin, aku melirik monitor. Detak jantung konsisten di angka 86. Aku berhenti mentalqin sejenak untuk mengendalikan sesak dan mengusap genangan yang mulai rebak di mata.

Konsentrasiku mulai oleng. Aku mulai mengucapkan kata "Allah" mengikuti yang orang-orang ucapkan. 

Sampai Om Yono mengatakan dengan nada tegas, "Syahadat lagi, Put."

Mungkin, sudah cukup beliau memberikan kesempatan pada orang-orang berdzikir menyebut kata "Allah" atau berdzikir dengan cara yang diyakini masing-masing. Secara tidak langsung, beliau menginginkan satu bacaan yang sama yang diucapkan orang-orang dalam ruangan itu. Dan apa yang ibu dan aku lakukan sedari tadi, sepemahaman dengannya.

Aku kembali mentalqinkan kalimat syahadat. Dan diikuti yang lainnya setelah omku berkata demikian. Masih dalam keadaan terus mentalqin simbah, kulihat liurnya pelan-pelan mulai keluar. Kerongkonannya sudah tidak bisa menelan liurnya sendiri. Atau mungkin tanda penarikan ruh itu mulai mencapai kerongkonan. Di sudut mata kanannya, keluar setitik embun. Aku mengepalkan tangan untuk menekan gemuruh di dada.

Tante Tari, yang berada di belakangku, menyentuh punggungku agar aku tidak berhenti mentalqin ketika dilihatnya aku mulai kepayahan menjaga ritme emosi. Ia juga mengusap-usap punggungguku dan memintaku untuk tabah di sela-sela syahadat yang juga diucapkannya tanpa putus.

Ekor mataku melirik alat deteksi detak jantung. Kali ini, tidak ada angka yang menunjukkan kisaran detak jantung. Hanya grafik yang menunjukkan detak jantung kian melemah mendekati garis lurus. Tubuhku gemetar. Omku terus mengingatkanku untuk mengucapkan kalimat syahadat dengan kuat. Sikapnya yang demikian bermaksud membantuku dalam menjaga konsentrasi selama aku mentalqin.

Tubuh simbah tidak memperlihatkan gerakan apapun yang mengindikasikan penolakan atau kesakitan yang teramat sangat. Tubuh itu begitu pasrah, tenang, dan tabah meski dari bibirnya, liur yang mengandung asam lambung terus mengalir. Sampai kemudian, liur yang tadinya hanya keluar sedikit-sedikit, mulai menggelontor banyak. 

Kurasai sekujur tubuhku memanas. Tante Tari membersihkan liur simbah yang menetes dengan tissue. Kalimat syahadat yang terucap dari bibirnya mulai bergetar. Ruangan pun mendadak berhiruk-pikuk. Orang-orang sebagian sudah bersiap-siap menghubungi pihak rumah sakit dan mungkin rumah duka untuk penangangan jenazah. Aroma kematian kental tercium.

Muntahan liur kedua keluar lebih banyak dari liur pertama. Tante Tari mulai terisak. Aku semakin kacau. Kupejamkan mata dan kian mengencangkan kepalan tangan. Kutekan kuat-kuat kalimat talqin yang kuucapkan agar tidak tetas menjadi sengguk. Kalimat syahadat, murotal surat Ar-Rahman, kumandang adzan magrib bercampur aduk dalam satu waktu. Dalam hati, kumemohon pada-Nya: permudah, ampuni segala dosanya dan berikan ia tempat terbaik di sisi-Mu.

Muntahan liur ketiga keluar bersamaan dengan selesainya iqomat maghrib. Kalimat syahadat yang kuucapkan semakin terdengar meninggi. Lalu lenyap seketika seiring berhentinya liur mengalir, dan menutupnya mulut serta mata simbah. Muntahan terakhir, seperti kelegaan bagi simbah. 

Bersamaan dengan itu pula, pertahananku runtuh total. Aku terduduk lemas di kursi dekat pembaringan. Lalu, kuberbalik badan dan membenamkan muka di perut tanteku. Kami berpelukan. Tangis kami tumpah berbarengan.

Dan masih saja ada yang mengatakan, "Sudah. Sudah. Jangan nangis. Kasihan simbah," meski mata mereka sendiri juga berembun.

Ingin kuberkata, Ini hati. Bukan baja. Ada perasaan di dalamnya. Kami sudah mengekangnya untuk tidak melepas tangis kencang sepanjang pergulatan perasaan tadi. Tidak bisakah untuk melepaskan setitik emosi tangis barang sebentar. 

Tapi kata-kata seperti kehilangan suara, terbungkam kelu-kebas.

Kami mundur dari sisi pembaringan. Di sofa, kami duduk seperti orang linglung. Dan pada saat yang bersamaan, kami merasakan mual yang amat sangat. Lantas muntah berbarengan.

*

Para lelaki sibuk mengurus persiapan jenazah untuk dibawa ke rumah duka. Aku duduk untuk menetralkan lambungku yang masih terasa mual dan kepala yang terasa berat untuk tegak. Sementara, kulihat kondisi Tante Tari lebih kepayahan dariku. Fisik dan psikis. Ia amat terpukul, karena sehari-hari beliaulah yang mengurus simbah. Beliau menantu yang tinggal serumah dengan simbah. Ibu sebagai anak perempuan simbah, tidak bisa terus berada di dekat simbah karena semenjak menikah, ibu tinggal bersama bapak di kota kelahiran bapak.

Smartphone-ku berbunyi. Nomor asing. Kukira dari sanak-keluarga Wonosobo. Kuangkat seraya keluar dari ruangan. Ternyata, orang tua calon murid baru yang sebelumnya sempat meneleponku.

"Bu, setelah saya diskusi dengan keluarga, gimana kalau saya masukkan anak saya hari Kamis besok. Kita coba setengah hari dulu. Takutnya nanti kalau masuk Senin langsung full day, anaknya nangis."

Rasanya aku ingin marah. Ingin kuberkata, aku tidak ingin pekerjaan menggangguku sementara ini! Tapi, sekali lagi, bukankah pekerjaan kebanyakan begitu? Meminta kita tetap berpura-pura baik-baik saja bagaimana pun kondisi kita? Siapa yang salah? Aku yang hanya manusia biasa dengan segala emosi yang kupunya saat situasi menempatku pada posisi seperti ini? Atau ia yang tidak tahu situasi yang terjadi ketika dia menelepon? Tidak ada yang salah... yang ada pemakluman atas bentrokan situasi dan kepentingan.

Aku menarik napas dalam-dalam, dengan nada ditekan, kujawab, "Bunda, maaf. Kalau minggu ini saya belum bisa mengizinkan anak bunda untuk masuk. Butuh satu orang untuk menyamankan anak baru. Kondisi tidak memungkinkan kalau minggu ini. Saya masih di luar kota. Kalau hari Senin, Insya Allah bisa. Nanti saya yang pegang."

"Oh, gak bisa, ya, Bu? Saya khawatir anaknya nangis," eyelnya.

"Tenang aja, Bun. Anak yang baru pertama masuk sekolah atau berada di lingkungan baru dengan orang asing yang belum dia kenal, biasanya memang seperti itu. Paling nangisnya di awal-awal. Kita sudah biasa menghadapi kondisi seperti itu," eyelku tidak mau kalah.

"Jadi Senin ya, Bu, bisanya?"

"Iya, Bun. Senin Insya Allah saya yang pegang. Sekarang sayanya lagi di luar kota. Lagi di rumah sakit," ujarku dengan nada yang agak menajam.

"Oh. Maaf, Bu. Lagi di rumah sakit, ya? Maaf ya, Bu. Maaf, jadi mengganggu."

"Gak apa-apa, Bu. Santai aja. Besok ibu bisa ketemu langsung dengan rekan saya untuk informasi lebih lanjut. Atau soal biaya, boleh langsung bertanya dengan pihak yayasan," ujarku dengan nada yang mulai melunak.

Setelah mengucapkan terima kasih dan berbalasan salam, telepon pun ditutup. Aku masuk kembali ke dalam ruangan. Dari celah tirai yang menutup area tempat tidur, aku melihat jenazah simbah sudah ditutupi kain. Tepat lurus dari pandanganku, tampak biji-biji air merayap turun di kaca jendela. Hujan yang turun sedari tadi belum juga berhenti.

Aku menghampiri Tante Tari yang masih terduduk lemas di sofa. Ibu berbicara dengan Om Asih, adik bungsunya. Yang juga suami dari Tante Tari.

"Dek Tari ke sini naik apa?"

"Motor," jawab Om Asih.

"Dek Tari pulangnya ikut kita aja. Kondisinya udah kecapean. Terus juga perlu ada orang yang nunggu di sana sampe jenazahnya simbah dibawa ke rumah," kata ibuku.

Ibu juga mengajak orang tua tanteku untuk ikut bersama mobil yang kami tumpangi. Aku merasakan ketegaran di nada bicara ibu. Ibu pasti menitikkan air mata. Tapi tidak dengan lengking ratapan. Ibu lebih bisa menguasai diri di hadapan banyak orang. Entah saat ia sendirian.

Aku, ibu dan orang tua tanteku memapah tanteku menuju mobil. Tapi begitu aku menyarankan untuk naik lift, ibuku mendadak takut. Lift identik dengan naik atau turun dari ketinggian. Ibu lebih memilih turun lewat anak tangga. Akhirnya, aku dan orang tua tanteku yang memapah tanteku. Sementara ibu, menunggu di lantai pertama. 

Sampai di lantai pertama, tanteku mulai mengeluhkan kakinya yang kram. Pun asmanya kambuh. Ia limbung. Pingsan. Lantas, dilarikan ke IGD untuk mendapatkan oksigen. Ibu meminta saudara perempuan yang lain untuk menemani tanteku beserta ibunya. Karena aku sekeluarga akan pulang duluan untuk persiapan jenazah di rumah duka.

Seusai situasi lintang-pukang itu berlalu, kami keluar dari rumah sakit. Aku mengekor di belakang ibu. Bapak sudah menunggu di mobil. Di luar rumah sakit, hujan menghantarkan dingin yang menggigilkan tubuh.
Hujan luruh di penghujung usiamu. Hujan ini membawa satu ingatan yang lain pada kotak kenangan dalam hidupku: rumah sakit, kalimat syahadat, waktu magrib dan detik-detik terakhir bersamamu.
Mobil melaju menjauhi rumah sakit. Hangat rebak di sepasang bola mata. Menjelma bulir air. Jatuh menitik. Lalu hilang tersamarkan gelap.

*

R.S PKU Wonosobo, 05.04.2017

____________________________

1. "Yon, coba kamu hubungi Parkiyo. Biar ngomong sama simbah. Barangkali simbah nungguin Parkiyo.
2. "Iya. Mas Par katanya lagi pelatihan di Jakarta. Besok katanya mau ke sini. Ini mau tak hubungi lagi."
3. "Mas, kamu masih di Jakarta? Ini mas, tolong, kamu ngomong sama simbah. Kondisinya simbah makin kritis.
4. "Mbah, saya Parkiyo. Saya mau ngomong sama simbah. Saya minta maaf, ya, Mbah. Insya Allah, besok saya pulang ke situ. Simbah ngucap niruin saya, ya."