Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Minggu, 05 April 2015

#2. Untukmu Yang Masih Entah




Aku kerap menanak malam dengan tanya, "Adakah kau di sana menenung sunyi dengan mata yang basah sepertiku malam ini? Kapan dan di jalan mana garis tangan menyatukan kita?"

Dua puluh lima tahun degup jantung. Dua kali mencecapi yang orang-orang namai cinta. Dua kali pula hancur lebur. Menyisa perih. Menggelar sunyi yang panjang.

Kini, degup jantung menginjak angka 28 tahun. Aku merindui rumah di pelataran hati. Rumah yang akan merumahi aku dan kau. Rumah dimana kau dan aku menjadi kita. Rumah tempat kita berpulang melepas segala lelah, membagi keluh, menggenggam tangan saling menguatkan dan memberi sandaran saat dunia terasa begitu kejam.

"Kapan dan di jalan mana garis tangan menyatukan kita?"

Untukmu yang masih entah, aku merindukan rumah. Rumah kita. Bagaimana denganmu? Adakah rasa yang sama menelusup di dadamu?

"Kapan dan di jalan mana garis tangan menyatukan kita?"

Mataku kian membasah. Berlingkar-lingkar kilau menetes. Remah-remah perih menyelinap. Mengisi penuh-penuh rongga dada.

Untukmu yang masih entah, malamku malam ini, seperti malam-malam yang berkesudah.

-Vinny Erika Putri, 05.04.15

Sabtu, 07 Maret 2015

#1. Untukmu Yang Masih Entah



Untukmu yang masih entah, aku mencarimu... terus mencarimu. Dengan menggenggam harapan. Semakin aku mencari semakin erat kugenggam harapan. Namun, yang kudapati harapan menjelma butir-butir pasir. Luruh. Menyisakan lelah.

Lalu, aku berhenti mencari. Untukmu yang masih entah, aku memilih menanti. Menantimu sembari kembali mengumpulkan remah-remah harap yang tercecer.

Kulewati hari-hari dengan tangguh. Tertawa-tawa bersama malaikat-malaikat kecil milik orang lain saat mentari menggagah hingga senja menjelang. Dan mengakrabi sunyi dengan aksara-aksara kala rembulan melipat mentari.

Aku terus menantimu. Sembari melawan mimpi tentang luka-luka masa lalu yang terkadang menghampiri tanpa kuingini. Mimpi yang kerap nyalang menantang tangguh yang kubangun berpayah-payah.

Aku terus menantimu. Sembari aku menyulam senyum kepada orang-orang yang menanyakan kapan separuh menjadi satu yang genap. Pula turut mengucap bahagia kepada mereka yang telah menggenap layaknya rembulan purnama.

Aku terus menantimu. Sembari menggapai depa demi depa mimpi-mimpiku tanpa melupakan bahwa aku masih menantimu. Menantimu untuk kau jadikan aku tujuan. Ya. Tujuan. Bukan persinggahan seperti manusia dari jenismu yang berkesudah.

Untukmu yang masih entah, aku terus menantimu. Dengan harap yang mulai berdarah.

-Vinny Erika Putri, 07.03.15

Kata-kata, Ayo Berkata!



Ke mana hilangnya kata-kata malam ini?
Mengapa aku sampai di titik bisu meski sesak mengisi penuh-penuh rongga dada?
Sedemikian sulitkah untuk mengurai benang-benang pikiran yang masai di kepala menjadi rentetan aksara?
Kata-kata, ayo berkata!

-Vinny Erika Putri, 07.03.15

Tanah Lahir


Di sini, kunamai rumah
Tempat rindu yang selalu dahaga berlabuh
Tempat jiwa berpulang melepas lelah

Di sini, kunamai rumah
Yang selalu memanggilku dari jauh
Untuk kembali menjangkarkan sauh

Di sini, yang erat-erat hatiku terpiuh
Pada yang dinamai rumah

-Vinny Erika Putri, 07.03.15