Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Rabu, 25 September 2013

Kiran untuk Kirana


Suara keributan di luar kamar Kiran telah mengusir lelap tidurnya. Entah sejak kapan keributan itu menembusi gendang telinganya. Kiran tak bisa mengingatnya. Apa yang bisa diingat dari seorang anak seusianya? Usia hanya mengenalinya pada dua bahasa. Tangis dan tawa.

Mulanya, tangis Kiran acap pecah. Sebab, suara keributan menjentikkan ketakutan di hatinya. Pelan-pelan, Kiran menjadi terbiasa. Kini, suara keributan itu bagai kidung pembuka pagi baginya.

Kiran seolah telah dipahamkan oleh waktu. Bahwa ketenangan akan kembali menimangnya. Setelah terdengar bunyi gesekan pintu gerbang dan deru mesin mobil menjauh.

Lalu, seperti pagi yang berkesudah. Kirana datang membuka jendela kamar Kiran. Bersamaan dengan jendela yang terkuak, udara pagi melesak masuk. Lantas, Kirana menghampiri Kiran di pembaringan dan memberinya kecupan.

“Sudah bangun, Nak.”

Kiran memandang Kirana sejenak. Bibir Kirana melengkungkan senyum. Tangannya membelai kepala Kiran. Sedang matanya menghangat. Hangat menjelma sebulir kilau. Jatuh mengenai wajah Kiran

Ujar Kirana, “Ayo, kita pergi ke taman, Nak. Sambil bunda suapi Kiran makan, kita berjemur di sana.”

Kirana menggendong Kiran. Dalam gendongannya, tulang-tulang Kiran terasa kaku. Tak luwes menyatu dengan pinggangnya. Keluar dari kamar, ia bersama Kiran berjalan melewati ruang makan.

Di sana, serpihan-serpihan beling berserakan di lantai. Tampak berkilau. Tak sekali-dua kali lantai menampa serakan beling. Serpihan yang mengilau itu terlihat menarik di mata Kiran. Namun, karena serpihan-serpihan itu juga Kirana pernah meneriakinya.

“JANGAN KIRAAAN!!! BERHENTIIIII!!!”

Kiran abai dengan teriakan Kirana saat itu. Ia terus merangkak. Beberapa jengkal lagi, seserpih beling nyaris menyayat kulit Kiran. Dengan gegas berlari Kirana menghampirinya.

“Maaf, Nak. Benda ini berbahaya untuk Kiran. Kiran bisa terluka.”

Kirana melembutkan suara sembari menatap Kiran. Kiran hanya membalasnya dengan pandangan kosong.

*

Sinar mentari tampak lurus menjuntai dari balik gumpalan-gumpalan awan putih. Sebagian sinarnya menyorot bumi. Meresapkan perlahan sisa-sisa embun di pucuk dedaunan dan rerumputan ke udara. Lainnya, membagi hangat pada atap-atap rumah

Taman telah ramai oleh beberapa anak-anak seusia Kiran. Kebanyakan dari mereka dalam gendongan entah sang ibu atau baby sister-nya. Sisanya, para manula yang tengah menyambut kehangatan pagi dengan olah tubuh atau duduk-duduk.    
  
“Kiran sudah tak sabar ingin segera berjalan, Nak,” ucap Kirana saat merasakan kaki Kiran melonjak-lonjak dalam gendongannya.

Kirana menurunkan Kiran. Kedua tangannya menggenggam jemari Kiran. Lantas menuntun langkah kecil Kiran. Baru beberapa depa kaki menjejak tanah, jejaring pandang Kiran mendapati sepasang burung kecil terbang merendah sambil berputar-putar. Gerakannya membesarkan kegembiraan Kiran. 

Kiran tertawa senang. Langkah kakinya menjadi serampangan. Sepasang burung itu terburu ingin dijangkaunya. Namun, begitu Kiran mendekat, sepasang burung itu terbang kian tinggi.

Kiran menangis sejadinya. Tangisnya bercampur dengan letupan amarah. Tangan Kirana tak siap dengan amukan yang terjadi tiba-tiba. Jemari Kiran terlepas dari genggamannya. Kiran menggelusurkan diri ke tanah. Ia membenturkan kepalanya. Dengan tangis yang masih kencang.

Tangis Kiran menyeret kaki Kirana ke bangku taman. Kirana mendudukkan Kiran di pangkuannya. Tangannya mengusap-ngusap punggung Kiran. Pun bibirnya mengecup kepala Kiran lama.

Selama ini, amarah adalah cara Kiran berbicara bila keinginannya tak terpenuhi. Amarahnya adalah amukan yang menyakiti diri sendiri. Tak hanya ketika berada di luar. Di rumah, lantai juga tak jarang menerima hantaman dari kepalanya.

Setelah tangis Kiran reda, Kirana menghadapkan wajah Kiran ke wajahnya. Dilihatnya mata Kiran sembari berkata, “Nak, burung itu bersayap. Sayap membawa mereka terbang tinggi. Kiran tak bisa-”

Kalimat Kirana terpangkas oleh ulah Kiran. Kiran menundukkan kepalanya. Tubuhnya berontak menggeliat. Tangis kembali pecah setelahnya. Kirana tak lagi berbicara. Hanya dekap hangat dan belai lembut pada Kiran yang ditumpahkan Kirana dalam diam.

Kirana paham. Betapa Kiran sulit mengendalikan diri. Pun memusatkan perhatian pada satu titik tertetu dalam jangka waktu lama. Bertatapan mata dengan Kiran lebih dari lima detik adalah hal yang musykil.

“Kita pulang sekarang, Nak. Mentari sudah semakin panas. Sudah bukan waktunya lagi untuk Kiran berjemur.”

*

Rembulan menyabit di angkasa. Kirana hanyut meresapi termaramnya. Bersama sunyi yang mengepung hatinya, Kirana merenungkan keganjilan-keganjilan. Akan perubahan lelaki yang menikahinya empat tahun silam.

Selain keributan yang kini kerap mewarnai pagi, didapatinya lelaki itu kian menghambar. Rumah tak lebih dari sebuah wahana penenggat lelah sekehendak suaminya datang. Kesibukan lebih sering melarutkan suaminya di luar kota.

Sewaktu ranjang menjadi tempat peraduan bersama, seringkali hanya kebekuan yang menyelimuti. Rengkuhan telah jarang didapatinya. Perbincangan hangat begitu sulit mengalir. Masih tanak dalam ingatan Kirana tentang percakapan lalu. Ketika di atas ranjang, punggung sang suami membelakanginya.

“Adakah wanita lain yang memalingkanmu dariku, Mas?”

“Aku bosan. Sudah berapa kali pertanyaan itu aku dengar dari mulutmu!"

“Aku merasakan perubahan itu. Kapan terakhir kali kita berbicara dengan hati, Mas? Kamu lebih sering memilih amarah untuk menghindari perbincangan.”

“Aku hanya lelah! Pekerjaan-pekerjaanku sudah terlampau menyita pikiran! Pahamilah!”

Tempias menampa rinai gerimis. Rinai gerimis menciptakan suara gemericik. Gemericik menderas. Menyadarkan Kirana dari kelana waktu lampau. Dipandanginya Kiran yang tertidur pulas. Tepukan tangannya telah mengantarkan Kiran pada bunga tidur.

Lirih terdengar ujar, “Bunda menyayangimu. Lebih dari bunda menyayangi diri sendiri, Kiran.”

*


Waktu terus menumbuh-kembangkan Kiran. Tak terasa, usianya telah menapaki empat tahun. Jalan kehidupan Kirana kian berliku dan cadas berbatu seiring pertambahan usia Kiran. Kiran tumbuh menjadi anak yang “istimewa”. Lainnya, bahtera rumah tangganya semakin dirasainya oleng.

“Kamu berkelahi lagi?! Berapa pot bunga tetangga yang kamu pecahkan?! Haaah?!!!”

“Tapi ayah-”

“Kamu ini!! Selalu saja menyusahkan! Berapa kali ayah menerima keluhan dari orangtua teman-temanmu! Pagi ini, tak cuma pot bunga yang hancur. Kamu juga melukai temanmu! Lagi dan lagi!”

“Tapi ayah-,” sebuah tamparan mendarat di pipi Kiran. Dari seorang lelaki yang Kiran panggil ayah.

“Bundaaaaaa!”

Mendengar teriak kesakitan Kiran, perih menikam-nikam hati Kirana. Pun memanaskan matanya. Kirana kekang setengah mati agar panas di matanya tak leleh melinang. Bukan keluhan-keluhan tentang Kiran yang memerihkan hatinya. Tetapi apa yang barusan dilakukan oleh suaminya.

Bagi Kirana, keluhan-keluhan dari bibir para tetangga tak lagi dirasainya tajam menusuk. Keluhan yang baru saja didapati atau keluhan lainnya serupa itu sudah sering Kirana reguk.

Semenjak Kiran berusia dua tahun, keluhan demi keluhan telah berguliran. Mereka katakan, Kiran acap tak terkendali saat bermain dengan teman seusianya. Kiran menjambak, mendorong, memukul dan mengigit anak-anak mereka.

Semasa itu, Kirana kerap menghaturkan maaf atas tingkah polah buah hatinya. Selaju aliran waktu, keluhan-keluhan yang melahirkan cemoohan dari banyak bibir, menempa Kirana menjadi kebal. Cemoohan-cemoohan telah membentuk antibodi di hatinya.

Kirana mendekati Kiran, “Kiran, pergi ke kamar dulu, Nak. Dan tolong tutup pintunya,” titah Kirana sembari menatap Kiran.

Kiran tak bergeming sampai Kirana mengulang perintah dan menegaskannya dengan isyarat tangan, “Ayo, Nak. Kiran pergi ke kamar duluan. Tutup pintunya. Nanti bunda susul.”

Kiran berlalu dari hadapan mereka. Seiring pintu kamar melesapkan punggung Kiran dari pandangan Kirana, adu mulut pun dimulai.

“Tak seharusnya kamu lakukan itu! Kamu tak pernah memberinya kesempatan untuk menjelaskan! Cobalah memahami Kiran!” cetus Kirana.

“Kamu selalu membelanya!” nada suara suaminya tidak kalah tinggi.

“Lalu, kamu? Bisakah mencoba sedikit saja bersabar menghadapi Kiran?”

“Anak itu hanya membawa keluh-kesah para tetangga ke sini! Dia terlalu nakal.”

Pecah sudah wadah hati Kirana menampung kesabaran. “Kamu bahkan tak tahu seberapa istimewanya anakmu sendiri! Dan kamu sendiri? Terlalu tempramental,” balas Kirana dengan sengit lantas meninggalkan suaminya

Kirana melangkahkan kaki ke kamar Kiran. Di dalam kamar Kiran, kertas-kertas dengan bermacam coretan warna berselirak di lantai. Gambar-gambar buatan Kiran menempeli dinding kamarnya penuh-penuh. Itulah Kiran. Gambar adalah caranya membahasakan rasa. Kiran terlahir dengan anugerah berdaya imaginasi tajam, melebihi anak seusianya.

Di sisi pembaringan, Kiran duduk menelungkupkan kepala di atas kedua kakinya yang menekuk. Badannya berguncang-guncang. Sengguk tetas bersama guncangan.

“Kiran....”

Kirana mengangkat kepala Kiran. Didapatinya airmata Kiran menganak sungai. Dahinya masih melelerkan darah.

“Mengapa ayah selalu marah pada Kiran, Bunda? Ayah juga selalu bilang Kiran anak nakal. Kiran nakal, ya, Bunda?” tanya Kiran.

Kirana menatap Kiran dalam-dalam, “Kiran tidak nakal, Nak.”

“Mereka mendorong Kiran duluan, Bunda. Mereka marah karena bola yang Kiran lempar kena muka mereka. Kiran sudah bilang tidak mau main bola. Tapi mereka paksa Kiran.”

Kirana mengerti. Benda apa pun yang dilemparkan Kiran, jarang sekali tepat mengenai sasaran. Kejanggalan itu telah dirasai Kirana. Kala Kiran mulai berjalan di usianya yang menginjak dua tahun. Saat berjalan, Kiran kerap menabrak apa-apa yang ada di hadapannya. Otaknya seolah tak bisa memperkirakan adanya aral yang merintangi langkahnya. Kiran tak bisa mengira-ngira jarak dan kecepatan. Sepanjang usianya, Kiran tak pernah bermain bola.

“Mereka bilang, ‘Kiran bodoh’.”

Kirana menghapus airmata Kiran. Lalu membersihkan luka di dahi Kiran. Ucapnya, “Biarkan saja mereka berkata begitu pada Kiran. Apa pun yang mereka katakan, Kiran tetap anak bunda. Bunda selalu sayang Kiran. Kiran tidak bodoh, Nak. Dengan belajar dan berlatih, Kiran bisa pintar.”

Kirana mendekap Kiran. Lama. Hingga Kirana meneteskan airmata. Sejauh ini, selancarnya Kiran berbicara, Kirana dapati dengan perjuangan dan gumam doa-doa di sepertiga malam-Nya. Masih tertanam ingatan dalam Kepala Kirana. Ketika Kirana mengajarkan satu kata “meja” kepada Kiran. Saat itu, Kiran berusia dua tahun.

“MEJA. M-E-J-A,” eja Kirana dengan mata yang tak lepas menatap Kiran. Pula sembari tangannya menunjuk benda yang dinamai meja.

Bagi anak seusianya, mengeja benda bersuku kata minimal dua, tak begitu sulit diucapkan. Sedang bagi Kiran, adalah teramat kerja keras untuk rahangnya bergerak dan matanya berkonsentrasi.

Hari-hari milik Kirana tercurah habis untuk menerapi Kiran. Kirana merutinkan terapi bicara untuk Kiran. Selama empat jam per hari. Berbagai kosakata Kirana kenalkan pada Kiran.

Buku bergambar tanpa huruf-huruf atau angka-angka memperkaya isi kepala Kiran akan kosakata dan imaginasi. Gambar dengan warna terang mencolok lebih menarik di mata Kiran daripada deretan huruf-huruf atau angka-angka. Kirana melakukannya sepanjang dua tahun.

*


Kiran mendapati tubuh Kirana tak tertangkap rabaannya. Matanya membuka sesaat. Dilihatnya Kirana tengah telimpuh di atas sajadah. Selebihnya, kantuk berat melelapkan Kiran kembali.

Sesungguhnya, batin Kirana tengah menjerit. Katarsis perih dilepaskannya bersama reratap yang lirih sepanjang sujud. Tetas sudah keganjilan yang selama ini direnunginya. Terkuak sudah bangkai yang suaminya pendam.

Di suatu siang, mata kepalanya mendapati sang suami mematahkan setia. Suami Kirana bermain api dengan wanita yang dikenalnya. Sembilu melumat pertahanan Kirana dengan sempurna. Hatinya remuk-redam. Mumur tak bersisa.

Kirana menghujani-Nya bertubi-tubi ampun dalam sujud panjangnya. Sisi manusia Kirana tak sanggup untuk menambal sulam mahligai rumah tangganya. Komitmen tanpa setia, baginya terasa percuma. Luka telah mengoyak parah hatinya.

Usai kucuran reratap memberinya kelegaan, ia rebah di pembaringan. Direngkuhnya Kiran dengan perasaan bersalah yang mendalam. Matanya masih saja basah. Pun hatinya berdarah. Batinnya menggemakan permohonan maaf. Atas apa yang akan diberikannya kepada Kiran: sebuah keluarga yang tercerai-berai.

Dari sebalik jendela, lengkung rembulan membentuk parang yang terang. Lingkarnya tak lagi penuh. Seperti hati Kirana yang tak lagi utuh.

*


Perubahan status memaksa Kiran membanting tulang demi menjaga asap dapur tetap mengepul. Pun membiayai sekolah Kiran. Kiran telah bersekolah di Taman Kanak-Kanak tak jauh dari kantor Kirana bekerja.

Sejauh Kirana telah mengambil pilihan, Kiran tak pernah mempersalahkan dirinya. Meski tak bisa disangkal, hati kecil Kirana tetap merasai, anak adalah korban terbesar perceraian.

“Kiran baik-baik saja, Bunda. Selama ada bunda bersama Kiran,” ujar Kiran ketika Kirana menjelaskan perpisahannya dengan sang ayah.

Kiran tak pernah mengeluhkan apa-apa di depannya. Sampai suatu ketika, Kirana mendapati keluhan dari salah satu guru di sekolah Kiran.

“Anak Anda sulit untuk diarahkan membaca dan menulis. Ia cenderung memilih bermain sendiri atau berulah saat kami menegaskan sikap padanya. Kiran sering menunjukkan pengulangan kesalahan yang sama dalam menulis. Entah dia sengaja melakukannya atau tidak.”

“Kesalahan bagaimana, Bu?” tanya Kirana.

“Contoh: Huruf ‘b’ dan ‘d’ sering tertukar. Lalu, angka 7 ditulis terbalik ke bawah seperti gambar hidung. Kiran juga masih kesulitan memegang pensil dengan benar di lima tahun usianya.”

Keluhan yang sampai ke telinga Kirana membuka pembicaraan antara dirinya dan Kiran di suatu malam.

“Kiran... Kiran tidak suka dengan pelajaran baca tulis di sekolah?”

Kiran mendadak kaget. Kekagetan membisukan mulutnya cukup lama. Sepanjang kebisuan Kiran, hening meraja.

“Bunda tidak marah, Nak. Bunda hanya ingin tahu mengapa Kiran tak suka dengan pelajaran baca tulis,” Kirana memecah hening dengan suara lembutnya.

“Angka-angka dan huruf-huruf itu seperti menari-nari di mata Kiran, Bunda. Kepala Kiran pusing.” Kiran akhirnya bersuara. 

Kirana terdiam sesaat. Kepalanya mengail bermacam kotak ingatan dan mencocokkan dengan beragam kemungkinan. Kemudian melepaskan senyum pada Kiran. Kirana melihat ketegangan teraut di wajah Kiran.

Setelah wajah Kiran mencair, Kirana menatapnya, “Kiran, tolong letakkan tas bunda di kamarmu, Nak. Lalu, tolong ambilkan minum untuk bunda, sama piring untuk wadah kue brownies yang bunda beli. Nanti kita makan bersama-sama di sini. Tapi, setelah piring dan minumnya diletakkan di sini, Kiran ambil buku PR Kiran dulu.”

Kiran mematung sesaat. Lantas, mengangguk. Kiran menyambar tas yang disodorkan Kirana dan pergi ke kamarnya. Beberapa menit kemudian, Kiran kembali hanya membawa piring. Tanpa minum dan buku PR di tangannya.

“Terima kasih, Nak. Bagaimana kalau kita bercerita tentang teman-teman Kiran di sekolah. Siapa saja teman-teman Kiran?”

“Teman-teman Kiran banyak, Bunda. Yang paling lucu itu teman laki-laki Kiran. Orangnya berkepala bulat dan berpipi gemuk. Kiran paling suka dengan teman perempuan yang kulitnya putih. Rambutnya juga hitam lurus,” celoteh Kiran antusias.

Dari celotehan yang mengalir, tak satu pun terucap sebuah nama. Kiran hanya menyebutkan teman-temannya dengan karakteristik tertentu. Padahal, Kiran sudah setengah tahun bersekolah. Cukup sudah analisa yang dilakukan Kirana. 

Huruf-huruf dan angka-angka membuat Kiran tertekan. Kiran tak bisa mengingat nama-nama temannya. Kiran kebingungan menerima empat perintah dalam satu kalimat panjang. Latar belakang keilmuan yang pernah dicecap Kirana, mengarahkannya pada sebuah indikasi: Kiran mengidap disleksia.

*


Segala cara Kirana tempuh. Sepagi-pagi Kirana bangun, disiapkannya makanan berbentuk huruf atau angka untuk Kiran. Kirana melafalkan bunyi huruf atau angka itu sebelum Kiran menyantapnya.

Kirana menjejali buku cerita bergambar yang menarik perhatian Kiran. Bila Kiran merasa bosan, Kirana membiarkan Kiran berkutat dengan game di notebook-nya. Kiran tak memainkan sembarang game. Kirana menyuguhkan game ketangkasan yang melatih Kiran membedakan kanan-kiri, atas-bawah.

Pasir dan playdough juga tak luput dari bidikan Kirana sebagai media belajar. Kirana menuntun jemari Kiran menuliskan huruf-huruf dan angka-angka di atas pasir. Sedangkan ketika bermain playdough, Kirana mengajari Kiran cara membentuk huruf-huruf dan angka-angka. Lalu, dari huruf-huruf yang terbentuk, disusunnya menjadi beberapa kata.

Lainnya, Kirana memakai media yang paling disukai Kiran. Mereka melukis bersama. Usai melukis, Kiran akan menceritakan apa yang dilukisnya. Setelahnya, dengan kuas berpoles warna dalam genggaman, Kiran menggoreskan judul pendek di atas lukisan kanvasnya.

*


Tanggal merah meliburkan Kirana dari pekerjaan. Ketika tanggal memerah, Kirana kerap mengajak Kiran pergi ke taman. Di sana, sebelum terik menyengat kulit, mereka melakukan ritual: lari-lari kecil dan bermain bola.

Lepas mengolah si kulit bundar, Kiran belajar berhitung sambil bermain. Anak tangga yang dinaungi pepohonan menjadi alatnya. Kirana menuliskan angka-angka di setiap undakan anak tangga. Mulai dari nol sampai  sepuluh. Kirana meminta Kiran berdiri di undakan anak tangga yang bertuliskan angka nol.

“Kiran, Kalau bunda bilang tambah, berarti Kiran naik. Kalau bunda bilang kurang, berarti Kiran turun.”

“Tambah-naik. Kurang-turun. Begitu, ya, Bunda?” Kiran mencoba mengingat dan mengulang perintah.

“Ya, Nak. Mulutnya juga ikut menghitung.”

“Siap, Bunda.”

“Sekarang, mulai dari nol ditambah dua.”

Kiran menghitung langkah. Kakinya menaiki anak tangga sebanyak dua. Berhenti tepat di anak tangga yang bertuliskan angka dua.

“Ditambah lagi lima.”

Kiran kembali naik. Sebanyak lima anak tangga.

“Jadi berapa sekarang, Kiran?”

Kiran terdiam. Dalam diam, ia memperhatikan lama angka yang tertera. Kepalanya menggali-gali ingatan dari ragam angka yang pernah dikenalnya, “Tujuh, Bunda.”

“Hebat. Sekarang, dikurangi tiga.”

Kiran turun tiga langkah. Berhenti tepat di anak tangga bertuliskan angka empat. Ketika Kirana menanyainya, Kiran menjawab dengan benar angka yang tertera di anak tangga tempatnya berdiri. Berulang-ulang mereka melakukan permainan itu. Hingga Dahaga Kiran menghentikan permainan. Pula dirasai Kirana matahari kian terik.

Terik dan dahaga menyeret langkah kaki mereka menuju bangku taman. Kerumunan orang-orang terkumpul di sana. Termasuk penjaja makanan dan minuman.

Semilir angin sejuk menyapu kulit. Tiupannya menggemerisikkan dedaunan. Gemerisik dedaunan mengiringi perbincangan dua bibir.

“Bunda.... Kiran mau sekolah lagi. Kiran mau lanjut ke Sekolah Dasar.”

Lidah Kirana kelu kebas. Hatinya mengharu-biru. Kirana tersenyum. Lantas memberikan anggukan sebagai jawaban.

*


Kirana merasai kegelisahan erat meringkusnya. Pikirnya, ujian masuk SD yang tengah dihadapi Kiran adalah musabab kegelisahannya. Sebanyak ayunan kaki membawa Kirana ke tempat kerja, hatinya tak henti menabur doa-doa. Kegelisahan membuatnya pikun. Bahwa kantornya akan kedatangan karyawan baru hari ini.

Sesampainya di kantor, karyawan baru tengah memperkenalkan diri kepada seluruh karyawan, “Perkenalkan, nama saya...,”

Mendadak, dunia tak berjalan normal bagi Kirana. Adanya wanita itu menghempaskan Kirana pada tilas yang basah dan berdarah. Wanita itu bekas temannya. Yang pernah menjadi onak dalam rumah tangganya. Yang akhirnya meluluh-lantakkan rumah tangganya. Yang telah bersuamikan mantan suaminya.

Sekejap, Kirana tak tahu bagaimana menamai keadaan. Juga bagaimana ia membahasakan rasa dengan kata. Lidahnya kaku beku. Kepalanya bagai terhantam godam besar. Melayang berputar. Lemas melunglai. Hati Kirana tercabik-cabik. Lagi. Ah, betapa....

*

Pintu gerbang menyangga tubuh Kirana yang berdiri. Entah berapa menit Kirana habiskan untuk menanti Kiran. Penantiannya tetas setelah ia melihat Kiran. Kiran berlari ke arahnya. Senyum riang terukir di sana. Sedang Kirana memalsukan senyum untuk menirai sebatan perih yang memecut hatinya.

“Bagaimana tesnya, Nak?”

“Guru laki-laki dan perempuan di ruangan itu bilang, Kiran bisa sekolah di sini, Bunda,” ujar Kiran sambil terlonjak-lonjak.

Hati Kirana gerimis. Dalam satu waktu, didapatinya getir-duka dan riang-bahagia datang bersamaan. Kirana melingkarkan tubuh Kiran dalam rengkuhannya. Erat-erat. Seolah tengah menyadap kekuatan darinya.

“Mengapa bunda menangis?” tanya Kiran ketika mendapati sealir linang di sudut mata Kirana.

“Bunda senang, Nak. Bunda terharu,” Kirana menyeka wajahnya yang basah, “kita pulang sekarang, Nak,” lanjut Kirana.

Seiring anggukan Kiran, dua pasang kaki berjalan. Hati Kirana menelan entah pada keadaan esok. Di atas bayang luka yang kembali koyak menganga, Kirana membajakan hati untuk bertahan. Demi Kiran yang dititipkan-Nya. Dan Sang Kuasa tak pernah salah memilihkan Kirana suratan: Kiran untuk Kirana.

*
Cerpen ini masuk 35 besar dari 500-an naskah cerpen yang masuk di cyberdakwah.com

Selasa, 24 September 2013

Hujan Ketika Bulan Tak Memerah



Entah berapa lama Indang terpekur di lincak[1]. Ia melebur bersama sunyi yang sejuk. Matanya menyapu pematang sawah di depannya. Sejauh jala mata memandang, apa-apa dijeratnya.

Seekor bangau mengirap sembari melengking. Lengkingannya terdengar serupa ratapan. Sebab, tanah lumpur kering membentang luas. Tak ada mangsa sejenis katak, ikan atau pun serangga air lainnya.

Seonggok pohon randu, satu-satunya, tegak berdiri di tengah sesawahan. Dedaunan tampak jarang menghuni dahan pohon. Kekekeringan telah menyesap hijau dedaunan menjadi kecoklatan. Beberapa buah kapuk randu menggantung di reranting. Kulitnya yang hitam sebagian masih mengatup. Sebagian lagi telah rekah

Indang memaku pandang pada pohon randu. Didapatinya gumpalan putih meletik dari kulit yang retak. Angin yang berhembus menerbangkannya jauh-jauh. Sedang sisa dedaunan sekarat. Melayang-layang. Jatuh tertampa tanah kering berserabut. Serabut-serabut itu bercabang dan membentuk retakan besar di beberapa ujungnya. 

Masih digenggamnya tilas kenangan semasa kecil. Ketika tanah masih gembur berlumpur. Ia kerap menaiki kerbau yang dipandu ayahnya membajak tanah kala musim tanam. Diserupainya kerbau itu kuda yang siap berpacu di lintasan balap. Lantas, gelengan kepala ayahnya menimpali tingkah Indang.

Atau semasa hijau biji padi mendekati kuning. Acap ia mengusir burung pipit yang mematuk butir-butir padi. Bersama anak-anak seusianya, berlarian menjejak tanah sawah. Lainnya, semasa panen. Tanah sawah dipenuhi orang-orang. Setiap jiwa mendulang gembira.

“Mengenang masa kecil?”

Suara Kelana memecahkan lamunan Indang. Lelaki itu telah berada di sebalik punggungnya. Entah sejak kapan Kelana berdiri di belakangnya. Lelaki itu melangkah mendekat. Lantas, duduk bersejajar di samping Indang.

“Kemarau merenggut hijau hamparan sawah dan nyanyian burung-burung. Dari mana kau?”

“Kantor kepala desa.”

“Kantor kepala desa?”

“Iya. Berbincang tentang sedikit hal untuk kelengkapan penelitianku.”

“Sekaligus berpamitan?”

“Tidak sekarang atau esok. Mungkin... sebulan lagi.”

Hening menjelanak. Hati Indang memeram gundah. Bayang kehilangan menyelinap pelan-pelan.

Tahukah kau, Lelaki? Kau telah menjadikan pandanganku mendamba padamu.

Pekikan burung pipit mencabik hening. Didapatinya alap-alap mengigit kepala burung pipit hingga meregang nyawa. Kematian burung pipit menyadarkan Kelana akan waktu.

“Kita pulang sekarang. Senja akan segera pudar.”

Kelana bangkit dari lincak. Ia mengulurkan tangan kanannya ke arah Indang. Indang terperangah. Kepalanya mendongak. Matanya mencari kesungguhan pada sepasang mata elang milik Kelana. Pandangan lembut yang tercipta di sana bersama anggukan.

Adakah debar yang sama di sebalik hatimu, Lelaki?

Debar memaksa Indang mengambil jalan berlawanan. Batinnya menggeleng. Namun, tangannya pasrah ketika tangan Kelana menariknya. Jemari tangan bergenggaman. Indang menunduk. 

Kebisuan mengepung selama sepasang punggung berjalan. Dirasai Indang, keramaian yang muncul tiba-tiba memutuskan genggaman. Kebingungan meringkus hatinya.

*

Rumah menyambut mereka dengan kelengangan dan aroma singkong tanak. Kelana memasuki kamarnya. Sedang aroma yang berasal dari tungku pawon[2] menyeret Indang ke sana. Ia sembunyikan hatinya yang tak keruan.
Lelaki itu... benar-benar tak kumengerti. Aku terkepung tanya. Apa isi kepalamu.
Tungku pawon lama tak mengepulkan aroma beras. Sepanjang kemarau membelit, ubi-ubian jenis singkong yang ditanam di pekarangan mengisi perut orang-orang Plana. Para-para[3] mengeringkan ubi-ubian sebelum ditanak menjadi nasi tiwul.

Saking pundi sampean, Nduk?[4]

Saking sawah, Mbok.[5]

“Cepat mandi. Waktu magrib hampir tiba.”

“Iya, Mbok.”

*

Kemarau panjang membangkitkan ritual lama yang tertidur. Tiga hari sudah Indang melakukan rialat[6] bersama calon peraga lainnya. Berpuasa adalah rialat yang  Indang pilih sebelum melakukan ritual selanjutnya.

“Siapa yang akan melakukan pencurian irus[7], Nduk?” tanya Mbok Dar, ibu Indang, sembari menyiduk nasi tiwul ke piring Indang.

“Siti, Mbok,” jawab Indang.

Daun telinga Kelana menegak mendengar kata pencurian. Dorongan keingin-tahuan melesatkan tanya, “Mengapa harus dengan mencuri?”

“Anjuran yang ditemurunkan tetua adat, Nak Kelana,” sahut Mbok Dar.

“Rumah siapa yang akan menjadi sasaran, Bu?”

“Rumah Mbok Mar. Janda beranak satu.”

“Maaf atas kelancangan saya. Bagaimana dengan orang yang irusnya tercuri?” 

“Tidak apa-apa, Nak. Soal irus yang tercuri, Mbok Mar akan paham dengan sendirinya.”

Siti akan bergerak ketika matahari menggarang di atas kepala. Mengendap-ngendap masuk ke dalam rumah Mbok Mar. Kala itu rumah sepi penghuhi. Penghuninya tengah meraup rupiah dari singkong-singkong mentah. Rumah Mbok Mar memiliki dua jendela persis di bawah pompok[8]. Rumah yang memenuhi syarat dalam ritual pencurian irus

“Nak Kelana, nanti ikut menyaksikan ritual cowongan, kan?”

“Iya, Bu. Saya ingin melihat ritual ini sampai selesai.”

“Kamu juga, Nduk. Persiapkan dirimu dengan baik.”

Indang mengangguk. Mulutnya masih mengunyah nasi tiwul. Kelana diam-diam mencuri pandang. Sesekali tertangkap basah oleh Indang. Mata mereka beradu. Menambah desir yang berdenyut-denyut di dada Indang. Jengah meningkahi degup.

Telah dikenalnya Kelana dalam hitungan tiga bulan. Lelaki itu mengajarinya jendela luar. Rupa-rupa ilmu. Keberadaannya pelan-pelan memekarkan kuncup merah mawar di hatinya. 

Lelaki itu mahir menjelma bermacam kegembiraan. Mengubah kebosanan menjadi tetawa. Menyairkan puisi yang membiusnya dalam kekaguman. Menawarkan waktu untuk meringankan keluh kesah. 

Lainnya, kadang-kadang ia mendapati lelaki itu mewujud misteri. Tak jarang sunyi melarutkannya dalam kamar. Bersama buku-buku dan lekuk tinta. Atau mendiamkan Indang tanpa sebab.

Kerap Indang rebah dengan hati resah di tengah malam. Bayangannya tertempeli Kelana penuh-penuh. Lalu, batas entah mencabik-cabik angannya. Ia ketakutan. Pada harapan yang terlampau melambung tinggi. Sebab, seringkali isi kepala lelaki itu tak mudah tertebak. 

Indah masihlah berpoles keluguan. Sedang Kelana? Usia lebih dulu mematangkan Kelana. Mereka berjarak lima. Indang tujuh belas. Kelana dua puluh dua.

*

Malam Jum’at kliwon. Malam pengarak ritual. Di tempat perhelatan ritual, sesepuh desa tengah merias irus. Irus hasil curian itu, sebelumnya telah ditancapkan di pelepah pohon pisang raja. Terhitung selama tujuh hari.

Kepala irus dihiasi rumbai-rumbai dari sapu ijuk. Bagian wajah dirias dengan parem dan kunir apu. Kemudian kukusan, kayu dan bambu dirangkai menyerupai orang-orangan sawah. Orang-orang Plana menyebutnya dengan boneka cowongan.

Di halaman rumah tetua adat, beberapa pemuda tengah membersihkan seperangkat gamelan. Sedang warga desa lainnya bersegera membongkar seluruh rangken[9] yang sudah rusak di lingkungan kampung dan sawah. 

Rangken rusak akan menjadi salah satu penghalang turunnya hujan,” petuah tetua adat Desa Plana.

Gelap tak menyurutkan langkah para pembawa rangken. Cahaya obor menemani mereka mengumpulkan bilah-bilah rangken rusak di samping lahan pekuburan. Tanah samping pekuburan merah benderang. Lalu kembali gelap seiring rangken menjadi butir-butir abu.

Malam merambat naik. Lajunya tak sebanding dengan sunyi. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Pelataran rumah tetua adat kian ramai. Padat dengan manusia. Tua-muda, lelaki-perempuan, berjejalan. 

Dari lautan manusia yang ada, tak didapati busana merah membalut tubuh mereka. Mereka percaya. Bahwa merah mengundang murka para arwah.

*

Segala telah siap untuk kelangsungan ritual. Para peraga keluar diiringi belasan wanita dan lelaki paroh baya. Mereka memegang tali stagen yang diikatkan boneka cowongan. Peraga adalah tiga perempuan suci yang tak sedang kedapatan bulan merah. Pun tak bersenggama selama persiapan ritual.

Aroma dupa dan kemenyan mengudara. Boneka cowongan bergerak meliuk-liuk. Liukannya mengikuti kepulan asap dupa dan kemenyan. Tetabuhan gamelan dan tembang jawa mengiringi tarian boneka cowongan. Tetua adat merapal mantra permohonan.

Cowong-cowong penentang, penintange tali gandek, gandek mandek-mandek, midondangi jaluk pitulung marang Nyi Ratu, kanggo njaluk udan, ayuh gagiyan reg-regan rog-rogan

Liukan para peraga semakin tak keruan. Gerakannya menguji seberapa kuat kendali para peraga terhadap dirinya. Boneka cowongan membelah kerumunan. Bergerak kesana kemari. Keringat mengucur dari kening mulus para peraga. Menyiratkan tenaga mereka cukup terkuras dalam ritual ini.

Semalam-malam tembang dan mantra digelar. Namun, lesat cerambuk petir tak juga berpendar. Gemuruh guntur tak juga terdengar. Rembulan dan gemintang sama sekali tak memusuhi langit.

*

Ritual semalam tak berhasil membuat langit memuntahkan hujan. Sepagi-pagi Kelana menghirup udara, keluh-kesah bertebaran. Pula didapatinya wajah-wajah yang lalu lalang menyuguhkan kemasaman.

Namun, sekalipun kemasaman menyergap orang-orang Plana. Mentari tak pernah kehilangan kehangatannya. Pun Kelana. Hatinya tengah menghangat. Kelana melamunkan Indang pagi ini. Betapa tirai kecantikannya tersibak bersama gemulai tarian semalam.

Lamunan mengurai gelora. Lesap seketika seiring kedatangan Indang. Ia membawa sekotak nampan berisi singkong rebus dan teh hangat. Selasar rumah menyaksikan perbincangan dua bibir.

“Hari ini kulihat kekecewaan di mana-mana.”

Diletakkannya nampan itu di meja sembari berkata, “Tanah yang tak juga basah membuat mereka begitu.” Indang duduk bersikuan dengan Kelana. Hati Indang rusuh bergejolak. Rusuh menghalau wajahnya dari tatapan mata Kelana.

Kelana mengail ingatan. Lepas ritual semalam, jala pandangnya mendapati boneka cowongan masih berada di rumah tetua adat.

“Untuk apa boneka cowongan itu disimpan?”

“Masih ada pengulangan ritual.”

“Seberapa banyak pengulangan?”

“Sampai hujan turun.”

“Boneka cowongan itu?”

“Bila hujan tak juga datang hingga tujuh kali pengulangan, boneka cowongan harus diganti dengan boneka yang baru.”

“Kau tahu? Harapku adalah hujan tak datang. Aku masih ingin melihatmu menari. Seperti semalam. Sebelum tenggang waktuku habis.”

Jantung Indang  berdegup kencang. Ia merentak berdiri dan hendak kembali ke dalam rumah. Namun, sepi memberanikan Kelana menarik tangannya. Pandangan mata Kelana menghunus hatinya dalam-dalam. 

“Semalam.... kau cantik. Sangat.”

Mendadak ia kehilangan kata-kata. Indang ingin raib. Saat itu juga.


*


Para peraga duduk memutar. Mengepung nasi berpucuk kerucut. Doa-doa serupa mantra tolak bala mengudara. Keriangan memenuhi kepala orang-orang Plana. Tetas sudah tiga kali pengulangan ritual. Malam Jum’at ketiga. Tanah basah. Langit gelap mengucurkan kilau air.

Pesta pora membunuh lelap berpasang-pasang mata. Bermacam makanan menjadi karib berkumpul mereka. Kemudian, tengah harinya, iring-iringan berjalan menuju sungai Serayu. Boneka cowongan akan dilarungkan. Penanda akhir dari ritual. Sepanjang pelarungan, banyak bibir menggumam doa-doa.

“Apa yang kau harapkan dari pelarungan boneka cowongan itu?”

“Seperti penduduk lainnya. Pelarungan tanda pelenyapan sengkala.”

“Bagiku, hujan dan pelarungan boneka cowongan pertanda habisnya masa singgahku.”

Sesak mencekik Indang. Hatinya tertikam sembilu. Disadarinya kepergian akan menyisakan kehilangan. Batinnya menjeritkan pinta jangan kepada Kelana.

“Kau memuakkan.”

“Aku mencintaimu benar-benar.”

“Apa yang bisa kupercaya dari kata-kata?”

“Janji akan membawaku menjemputmu.”

*
Jejaring pandang Indang tebar ke langit-langit. Kelindan pikirnya melentingkan resah di tengah rebah. Resah yang kian tinggi menjauhkannya dari pembaringan. Ia melangkah menuju tepian jendela. Kaca jendela mengembun. Keburaman terlukis di sana. Beberapa biji air merayap turun. Membentuk segaris lurus.

Kini Indang mengerti. Pada jarak dan waktu yang mengajarkan rindu. Betapa penantian sedemikian menyiksanya. Ia menelan entah untuk suatu jamuan temu.

Lelaki, adakah kau mengerti dera siksa penantian? Kumenahan perih nanar.

Indang menelimpuhi sesal. Betapa mabuk damba membutatulikan mata hati. Kini, ia beroleh pemahaman, sesal selalu menang meski berada di urutan terakhir. Sesal melahirkan keinginan untuk berubah dengan mengulang waktu. Seperti sekarang, saat kepalanya menggali ingatan. Yang membekas sepanjang degup jantung. 

Pada persiapan ritual pertama, Kelana mencuri waktu. Sebelum Indang menari bersama tembang dan mantra, Kelana mengajak Indang dalam gelap. Masih diingatnya, bibir Kelana mengecap di bibirnya. Sedang tangan Kelana mengajarkan rabaan. Perlahan, peluh dan lenguh yang lirih mengenyahkan batas sadar. Getar menggelinjang. Terlahir getir.

Sejak itu, Indang kerap menyembunyikan mual. Nanas muda acap melewati tenggorokannya. Lompatan-lompatan keras merutinkan hari-harinya. Berharap-harap keluarnya leleran darah.

Lelaki... aku ditikam ketakutan. Kau tak berkabar.

Hujan turun bersama bulan yang tak lagi memerah. Perawan Indang telah pecah. Kaca terlahir di sepasang matanya. Jatuh tertampa lantai.

*

Cerpen ini masuk dalam 5 nominasi pemenang unggulan LMCOA (Lomba Menulis Cerpen Obor Award)




[1] Bangku panjang dari bambu
[2] Dapur
[3] Anyaman bambu untuk meletakkan perkakas atau menjemur makanan
[4] Dari mana kamu, Nak?
[5] Dari sawah, Mbok.
[6] Mengurangi makan dan tidur
[7] Alat masak yang terbuat dari tempurung kelapa
[8] Perpotongan segitiga atap rumah
[9] Kerangka atap yang terbuat dari bambu