Mulanya,
tangis Kiran acap pecah. Sebab, suara keributan menjentikkan ketakutan di
hatinya. Pelan-pelan, Kiran menjadi terbiasa. Kini, suara keributan itu bagai
kidung pembuka pagi baginya.
Kiran
seolah telah dipahamkan oleh waktu. Bahwa ketenangan akan kembali menimangnya.
Setelah terdengar bunyi gesekan pintu gerbang dan deru mesin mobil menjauh.
Lalu,
seperti pagi yang berkesudah. Kirana datang membuka jendela kamar Kiran.
Bersamaan dengan jendela yang terkuak, udara pagi melesak masuk. Lantas, Kirana
menghampiri Kiran di pembaringan dan memberinya kecupan.
“Sudah
bangun, Nak.”
Kiran
memandang Kirana sejenak. Bibir Kirana melengkungkan senyum. Tangannya membelai
kepala Kiran. Sedang matanya menghangat. Hangat menjelma sebulir kilau. Jatuh
mengenai wajah Kiran
Ujar
Kirana, “Ayo, kita pergi ke taman, Nak. Sambil bunda suapi Kiran makan, kita berjemur
di sana.”
Kirana
menggendong Kiran. Dalam gendongannya, tulang-tulang Kiran terasa kaku. Tak luwes
menyatu dengan pinggangnya. Keluar dari kamar, ia bersama Kiran berjalan melewati
ruang makan.
Di
sana, serpihan-serpihan beling berserakan di lantai. Tampak berkilau. Tak
sekali-dua kali lantai menampa serakan beling. Serpihan yang mengilau itu terlihat
menarik di mata Kiran. Namun, karena serpihan-serpihan itu juga Kirana pernah meneriakinya.
“JANGAN
KIRAAAN!!! BERHENTIIIII!!!”
Kiran
abai dengan teriakan Kirana saat itu. Ia terus merangkak. Beberapa jengkal lagi,
seserpih beling nyaris menyayat kulit Kiran. Dengan gegas berlari Kirana menghampirinya.
“Maaf, Nak. Benda ini berbahaya untuk Kiran. Kiran
bisa terluka.”
Kirana
melembutkan suara sembari menatap Kiran. Kiran hanya membalasnya dengan
pandangan kosong.
*
Sinar mentari tampak lurus menjuntai
dari balik gumpalan-gumpalan awan putih. Sebagian sinarnya menyorot bumi. Meresapkan
perlahan sisa-sisa embun di pucuk dedaunan dan rerumputan ke udara. Lainnya,
membagi hangat pada atap-atap rumah
Taman
telah ramai oleh beberapa anak-anak seusia Kiran. Kebanyakan dari mereka dalam
gendongan entah sang ibu atau baby sister-nya.
Sisanya, para manula yang tengah menyambut kehangatan pagi dengan olah tubuh
atau duduk-duduk.
“Kiran sudah tak
sabar ingin segera berjalan, Nak,” ucap Kirana saat merasakan kaki Kiran
melonjak-lonjak dalam gendongannya.
Kirana
menurunkan Kiran. Kedua tangannya menggenggam jemari Kiran. Lantas menuntun langkah
kecil Kiran. Baru beberapa depa kaki menjejak tanah, jejaring pandang Kiran mendapati
sepasang burung kecil terbang merendah sambil berputar-putar. Gerakannya
membesarkan kegembiraan Kiran.
Kiran
tertawa senang. Langkah kakinya menjadi serampangan. Sepasang burung itu terburu
ingin dijangkaunya. Namun, begitu Kiran mendekat, sepasang burung itu terbang kian
tinggi.
Kiran
menangis sejadinya. Tangisnya bercampur dengan letupan amarah. Tangan Kirana
tak siap dengan amukan yang terjadi tiba-tiba. Jemari Kiran terlepas dari
genggamannya. Kiran menggelusurkan diri ke tanah. Ia membenturkan kepalanya.
Dengan tangis yang masih kencang.
Tangis Kiran menyeret kaki Kirana ke bangku
taman. Kirana mendudukkan Kiran di pangkuannya. Tangannya mengusap-ngusap
punggung Kiran. Pun bibirnya mengecup kepala Kiran lama.
Selama
ini, amarah adalah cara Kiran berbicara bila keinginannya tak terpenuhi. Amarahnya
adalah amukan yang menyakiti diri sendiri. Tak hanya ketika berada di luar. Di
rumah, lantai juga tak jarang menerima hantaman dari kepalanya.
Setelah tangis Kiran reda, Kirana menghadapkan
wajah Kiran ke wajahnya. Dilihatnya mata Kiran sembari berkata, “Nak, burung
itu bersayap. Sayap membawa mereka terbang tinggi. Kiran tak bisa-”
Kalimat
Kirana terpangkas oleh ulah Kiran. Kiran menundukkan kepalanya. Tubuhnya
berontak menggeliat. Tangis kembali pecah setelahnya. Kirana tak lagi
berbicara. Hanya dekap hangat dan belai lembut pada Kiran yang ditumpahkan
Kirana dalam diam.
Kirana
paham. Betapa Kiran sulit mengendalikan diri. Pun memusatkan perhatian pada
satu titik tertetu dalam jangka waktu lama. Bertatapan mata dengan Kiran lebih
dari lima detik adalah hal yang musykil.
“Kita
pulang sekarang, Nak. Mentari sudah semakin panas. Sudah bukan waktunya lagi
untuk Kiran berjemur.”
*
Rembulan menyabit di angkasa. Kirana
hanyut meresapi termaramnya. Bersama sunyi yang mengepung hatinya, Kirana
merenungkan keganjilan-keganjilan. Akan perubahan lelaki yang menikahinya empat
tahun silam.
Selain
keributan yang kini kerap mewarnai pagi, didapatinya lelaki itu kian
menghambar. Rumah tak lebih dari sebuah wahana penenggat lelah sekehendak suaminya
datang. Kesibukan lebih sering melarutkan suaminya di luar kota.
Sewaktu
ranjang menjadi tempat peraduan bersama, seringkali hanya kebekuan yang
menyelimuti. Rengkuhan telah jarang didapatinya. Perbincangan hangat begitu
sulit mengalir. Masih tanak dalam ingatan Kirana tentang percakapan lalu. Ketika
di atas ranjang, punggung sang suami membelakanginya.
“Adakah
wanita lain yang memalingkanmu dariku, Mas?”
“Aku
bosan. Sudah berapa kali pertanyaan itu aku dengar dari mulutmu!"
“Aku
merasakan perubahan itu. Kapan terakhir kali kita berbicara dengan hati, Mas?
Kamu lebih sering memilih amarah untuk menghindari perbincangan.”
“Aku
hanya lelah! Pekerjaan-pekerjaanku sudah terlampau menyita pikiran! Pahamilah!”
Tempias
menampa rinai gerimis. Rinai gerimis menciptakan suara gemericik. Gemericik
menderas. Menyadarkan Kirana dari kelana waktu lampau. Dipandanginya Kiran yang
tertidur pulas. Tepukan tangannya telah mengantarkan Kiran pada bunga tidur.
Lirih
terdengar ujar, “Bunda menyayangimu. Lebih dari bunda menyayangi diri sendiri,
Kiran.”
*
Waktu terus menumbuh-kembangkan Kiran. Tak
terasa, usianya telah menapaki empat tahun. Jalan kehidupan Kirana kian berliku
dan cadas berbatu seiring pertambahan usia Kiran. Kiran tumbuh menjadi anak yang
“istimewa”. Lainnya, bahtera rumah tangganya semakin dirasainya oleng.
“Kamu
berkelahi lagi?! Berapa pot bunga tetangga yang kamu pecahkan?! Haaah?!!!”
“Tapi
ayah-”
“Kamu
ini!! Selalu saja menyusahkan! Berapa kali ayah menerima keluhan dari orangtua
teman-temanmu! Pagi ini, tak cuma pot bunga yang hancur. Kamu juga melukai
temanmu! Lagi dan lagi!”
“Tapi
ayah-,” sebuah tamparan mendarat di pipi Kiran. Dari seorang lelaki yang Kiran panggil
ayah.
“Bundaaaaaa!”
Mendengar
teriak kesakitan Kiran, perih menikam-nikam hati Kirana. Pun memanaskan matanya.
Kirana kekang setengah mati agar panas di matanya tak leleh melinang. Bukan
keluhan-keluhan tentang Kiran yang memerihkan hatinya. Tetapi apa yang barusan
dilakukan oleh suaminya.
Bagi
Kirana, keluhan-keluhan dari bibir para tetangga tak lagi dirasainya tajam menusuk.
Keluhan yang baru saja didapati atau keluhan lainnya serupa itu sudah sering Kirana
reguk.
Semenjak
Kiran berusia dua tahun, keluhan demi keluhan telah berguliran. Mereka katakan,
Kiran acap tak terkendali saat bermain dengan teman seusianya. Kiran menjambak,
mendorong, memukul dan mengigit anak-anak mereka.
Semasa
itu, Kirana kerap menghaturkan maaf atas tingkah polah buah hatinya. Selaju
aliran waktu, keluhan-keluhan yang melahirkan cemoohan dari banyak bibir,
menempa Kirana menjadi kebal. Cemoohan-cemoohan telah membentuk antibodi di
hatinya.
Kirana mendekati Kiran, “Kiran, pergi ke kamar
dulu, Nak. Dan tolong tutup pintunya,” titah Kirana sembari menatap Kiran.
Kiran
tak bergeming sampai Kirana mengulang perintah dan menegaskannya dengan isyarat
tangan, “Ayo, Nak. Kiran pergi ke kamar duluan. Tutup pintunya. Nanti bunda
susul.”
Kiran
berlalu dari hadapan mereka. Seiring pintu kamar melesapkan punggung Kiran dari
pandangan Kirana, adu mulut pun dimulai.
“Tak
seharusnya kamu lakukan itu! Kamu tak pernah memberinya kesempatan untuk
menjelaskan! Cobalah memahami Kiran!” cetus Kirana.
“Kamu
selalu membelanya!” nada suara suaminya tidak kalah tinggi.
“Lalu,
kamu? Bisakah mencoba sedikit saja bersabar menghadapi Kiran?”
“Anak
itu hanya membawa keluh-kesah para tetangga ke sini! Dia terlalu nakal.”
Pecah
sudah wadah hati Kirana menampung kesabaran. “Kamu bahkan tak tahu seberapa
istimewanya anakmu sendiri! Dan kamu sendiri? Terlalu tempramental,” balas
Kirana dengan sengit lantas meninggalkan suaminya
Kirana
melangkahkan kaki ke kamar Kiran. Di dalam kamar Kiran, kertas-kertas dengan bermacam
coretan warna berselirak di lantai. Gambar-gambar buatan Kiran menempeli dinding
kamarnya penuh-penuh. Itulah Kiran. Gambar adalah caranya membahasakan rasa.
Kiran terlahir dengan anugerah berdaya imaginasi tajam, melebihi anak
seusianya.
Di
sisi pembaringan, Kiran duduk menelungkupkan kepala di atas kedua kakinya yang
menekuk. Badannya berguncang-guncang. Sengguk tetas bersama guncangan.
“Kiran....”
Kirana
mengangkat kepala Kiran. Didapatinya airmata Kiran menganak sungai. Dahinya masih
melelerkan darah.
“Mengapa
ayah selalu marah pada Kiran, Bunda? Ayah juga selalu bilang Kiran anak nakal. Kiran
nakal, ya, Bunda?” tanya Kiran.
Kirana
menatap Kiran dalam-dalam, “Kiran tidak nakal, Nak.”
“Mereka
mendorong Kiran duluan, Bunda. Mereka marah karena bola yang Kiran lempar kena
muka mereka. Kiran sudah bilang tidak mau main bola. Tapi mereka paksa Kiran.”
Kirana
mengerti. Benda apa pun yang dilemparkan Kiran, jarang sekali tepat mengenai
sasaran. Kejanggalan itu telah dirasai Kirana. Kala Kiran mulai berjalan di
usianya yang menginjak dua tahun. Saat
berjalan, Kiran kerap menabrak apa-apa yang ada di hadapannya. Otaknya seolah
tak bisa memperkirakan adanya aral yang merintangi langkahnya. Kiran tak bisa
mengira-ngira jarak dan kecepatan. Sepanjang usianya, Kiran tak pernah bermain bola.
“Mereka
bilang, ‘Kiran bodoh’.”
Kirana
menghapus airmata Kiran. Lalu membersihkan luka di dahi Kiran. Ucapnya, “Biarkan
saja mereka berkata begitu pada Kiran. Apa pun yang mereka katakan, Kiran tetap
anak bunda. Bunda selalu sayang Kiran. Kiran tidak bodoh, Nak. Dengan belajar dan berlatih,
Kiran bisa pintar.”
Kirana
mendekap Kiran. Lama. Hingga Kirana meneteskan airmata. Sejauh ini, selancarnya
Kiran berbicara, Kirana dapati dengan perjuangan dan gumam doa-doa di sepertiga
malam-Nya. Masih tertanam ingatan dalam Kepala Kirana. Ketika Kirana
mengajarkan satu kata “meja” kepada Kiran. Saat itu, Kiran berusia dua tahun.
“MEJA.
M-E-J-A,” eja Kirana dengan mata yang tak lepas menatap Kiran. Pula sembari tangannya
menunjuk benda yang dinamai meja.
Bagi
anak seusianya, mengeja benda bersuku kata minimal dua, tak begitu sulit
diucapkan. Sedang bagi Kiran, adalah teramat kerja keras untuk rahangnya
bergerak dan matanya berkonsentrasi.
Hari-hari
milik Kirana tercurah habis untuk menerapi Kiran. Kirana merutinkan terapi
bicara untuk Kiran. Selama empat jam per hari. Berbagai kosakata Kirana
kenalkan pada Kiran.
Buku
bergambar tanpa huruf-huruf atau angka-angka memperkaya isi kepala Kiran akan
kosakata dan imaginasi. Gambar dengan warna terang mencolok lebih menarik di mata Kiran
daripada deretan huruf-huruf atau angka-angka. Kirana melakukannya sepanjang dua
tahun.
*
Kiran mendapati tubuh Kirana tak
tertangkap rabaannya. Matanya membuka sesaat. Dilihatnya Kirana tengah telimpuh
di atas sajadah. Selebihnya, kantuk berat melelapkan Kiran kembali.
Sesungguhnya,
batin Kirana tengah menjerit. Katarsis perih dilepaskannya bersama reratap yang
lirih sepanjang sujud. Tetas sudah keganjilan yang selama ini direnunginya.
Terkuak sudah bangkai yang suaminya pendam.
Di
suatu siang, mata kepalanya mendapati sang suami mematahkan setia. Suami Kirana
bermain api dengan wanita yang dikenalnya. Sembilu melumat pertahanan Kirana
dengan sempurna. Hatinya remuk-redam. Mumur tak bersisa.
Kirana
menghujani-Nya bertubi-tubi ampun dalam sujud panjangnya. Sisi manusia Kirana
tak sanggup untuk menambal sulam mahligai rumah tangganya. Komitmen tanpa
setia, baginya terasa percuma. Luka telah mengoyak parah hatinya.
Usai
kucuran reratap memberinya kelegaan, ia rebah di pembaringan. Direngkuhnya
Kiran dengan perasaan bersalah yang mendalam. Matanya masih saja basah. Pun hatinya
berdarah. Batinnya menggemakan permohonan maaf. Atas apa yang akan diberikannya
kepada Kiran: sebuah keluarga yang tercerai-berai.
Dari
sebalik jendela, lengkung rembulan membentuk parang yang terang. Lingkarnya tak
lagi penuh. Seperti hati Kirana yang tak lagi utuh.
*
Perubahan status memaksa Kiran
membanting tulang demi menjaga asap dapur tetap mengepul. Pun membiayai sekolah
Kiran. Kiran telah bersekolah di Taman Kanak-Kanak tak jauh dari kantor Kirana
bekerja.
Sejauh
Kirana telah mengambil pilihan, Kiran tak pernah mempersalahkan dirinya. Meski
tak bisa disangkal, hati kecil Kirana tetap merasai, anak adalah korban terbesar
perceraian.
“Kiran
baik-baik saja, Bunda. Selama ada bunda bersama Kiran,” ujar Kiran ketika
Kirana menjelaskan perpisahannya dengan sang ayah.
Kiran
tak pernah mengeluhkan apa-apa di depannya. Sampai suatu ketika, Kirana
mendapati keluhan dari salah satu guru di sekolah Kiran.
“Anak
Anda sulit untuk diarahkan membaca dan menulis. Ia cenderung memilih bermain
sendiri atau berulah saat kami menegaskan sikap padanya. Kiran sering
menunjukkan pengulangan kesalahan yang sama dalam menulis. Entah dia sengaja
melakukannya atau tidak.”
“Kesalahan
bagaimana, Bu?” tanya Kirana.
“Contoh:
Huruf ‘b’ dan ‘d’ sering tertukar. Lalu, angka 7 ditulis terbalik ke bawah
seperti gambar hidung. Kiran juga masih kesulitan memegang pensil dengan benar
di lima tahun usianya.”
Keluhan
yang sampai ke telinga Kirana membuka pembicaraan antara dirinya dan Kiran di
suatu malam.
“Kiran...
Kiran tidak suka dengan pelajaran baca tulis di sekolah?”
Kiran
mendadak kaget. Kekagetan membisukan mulutnya cukup lama. Sepanjang kebisuan Kiran,
hening meraja.
“Bunda
tidak marah, Nak. Bunda hanya ingin tahu mengapa Kiran tak suka dengan
pelajaran baca tulis,” Kirana memecah hening dengan suara lembutnya.
“Angka-angka
dan huruf-huruf itu seperti menari-nari di mata Kiran, Bunda. Kepala Kiran
pusing.” Kiran akhirnya bersuara.
Kirana
terdiam sesaat. Kepalanya mengail bermacam kotak ingatan dan mencocokkan dengan
beragam kemungkinan. Kemudian melepaskan senyum pada Kiran. Kirana melihat
ketegangan teraut di wajah Kiran.
Setelah
wajah Kiran mencair, Kirana menatapnya, “Kiran, tolong letakkan tas bunda di
kamarmu, Nak. Lalu, tolong ambilkan minum untuk bunda, sama piring untuk wadah
kue brownies yang bunda beli. Nanti kita makan bersama-sama di sini. Tapi, setelah
piring dan minumnya diletakkan di sini, Kiran ambil buku PR Kiran dulu.”
Kiran
mematung sesaat. Lantas, mengangguk. Kiran menyambar tas yang disodorkan Kirana
dan pergi ke kamarnya. Beberapa menit kemudian, Kiran kembali hanya membawa
piring. Tanpa minum dan buku PR di tangannya.
“Terima
kasih, Nak. Bagaimana kalau kita bercerita tentang teman-teman Kiran di sekolah.
Siapa saja teman-teman Kiran?”
“Teman-teman
Kiran banyak, Bunda. Yang paling lucu itu teman laki-laki Kiran. Orangnya
berkepala bulat dan berpipi gemuk. Kiran paling suka dengan teman perempuan yang
kulitnya putih. Rambutnya juga hitam lurus,” celoteh Kiran antusias.
Dari
celotehan yang mengalir, tak satu pun terucap sebuah nama. Kiran hanya
menyebutkan teman-temannya dengan karakteristik tertentu. Padahal, Kiran sudah
setengah tahun bersekolah. Cukup sudah analisa yang dilakukan Kirana.
Huruf-huruf
dan angka-angka membuat Kiran tertekan. Kiran tak bisa mengingat nama-nama
temannya. Kiran kebingungan menerima empat perintah dalam satu kalimat panjang.
Latar belakang keilmuan yang pernah dicecap Kirana, mengarahkannya pada sebuah
indikasi: Kiran mengidap disleksia.
*
Segala cara Kirana tempuh. Sepagi-pagi
Kirana bangun, disiapkannya makanan berbentuk huruf atau angka untuk Kiran. Kirana
melafalkan bunyi huruf atau angka itu sebelum Kiran menyantapnya.
Kirana
menjejali buku cerita bergambar yang menarik perhatian Kiran. Bila Kiran merasa
bosan, Kirana membiarkan Kiran berkutat dengan game di notebook-nya. Kiran
tak memainkan sembarang game. Kirana
menyuguhkan game ketangkasan yang
melatih Kiran membedakan kanan-kiri, atas-bawah.
Pasir
dan playdough juga tak luput dari
bidikan Kirana sebagai media belajar. Kirana menuntun jemari Kiran menuliskan huruf-huruf
dan angka-angka di atas pasir. Sedangkan ketika bermain playdough, Kirana mengajari Kiran cara membentuk huruf-huruf dan
angka-angka. Lalu, dari huruf-huruf yang terbentuk, disusunnya menjadi beberapa
kata.
Lainnya,
Kirana memakai media yang paling disukai Kiran. Mereka melukis bersama. Usai
melukis, Kiran akan menceritakan apa yang dilukisnya. Setelahnya, dengan kuas
berpoles warna dalam genggaman, Kiran menggoreskan judul pendek di atas lukisan
kanvasnya.
*
Tanggal merah meliburkan Kirana dari
pekerjaan. Ketika tanggal memerah, Kirana kerap mengajak Kiran pergi ke taman.
Di sana, sebelum terik menyengat kulit, mereka melakukan ritual: lari-lari
kecil dan bermain bola.
Lepas
mengolah si kulit bundar, Kiran belajar berhitung sambil bermain. Anak tangga yang
dinaungi pepohonan menjadi alatnya. Kirana menuliskan angka-angka di setiap
undakan anak tangga. Mulai dari nol sampai
sepuluh. Kirana meminta Kiran berdiri di undakan anak tangga yang bertuliskan
angka nol.
“Kiran,
Kalau bunda bilang tambah, berarti Kiran naik. Kalau bunda bilang kurang,
berarti Kiran turun.”
“Tambah-naik.
Kurang-turun. Begitu, ya, Bunda?” Kiran mencoba mengingat dan mengulang perintah.
“Ya,
Nak. Mulutnya juga ikut menghitung.”
“Siap,
Bunda.”
“Sekarang,
mulai dari nol ditambah dua.”
Kiran
menghitung langkah. Kakinya menaiki anak tangga sebanyak dua. Berhenti tepat di
anak tangga yang bertuliskan angka dua.
“Ditambah
lagi lima.”
Kiran
kembali naik. Sebanyak lima anak tangga.
“Jadi
berapa sekarang, Kiran?”
Kiran
terdiam. Dalam diam, ia memperhatikan lama angka yang tertera. Kepalanya menggali-gali
ingatan dari ragam angka yang pernah dikenalnya, “Tujuh, Bunda.”
“Hebat.
Sekarang, dikurangi tiga.”
Kiran
turun tiga langkah. Berhenti tepat di anak tangga bertuliskan angka empat. Ketika
Kirana menanyainya, Kiran menjawab dengan benar angka yang tertera di anak
tangga tempatnya berdiri. Berulang-ulang mereka melakukan permainan itu. Hingga
Dahaga Kiran menghentikan permainan. Pula dirasai Kirana matahari kian terik.
Terik
dan dahaga menyeret langkah kaki mereka menuju bangku taman. Kerumunan
orang-orang terkumpul di sana. Termasuk penjaja makanan dan minuman.
Semilir angin sejuk menyapu kulit.
Tiupannya menggemerisikkan dedaunan. Gemerisik dedaunan mengiringi perbincangan
dua bibir.
“Bunda....
Kiran mau sekolah lagi. Kiran mau lanjut ke Sekolah Dasar.”
Lidah
Kirana kelu kebas. Hatinya mengharu-biru. Kirana tersenyum. Lantas memberikan
anggukan sebagai jawaban.
*
Kirana merasai kegelisahan erat meringkusnya.
Pikirnya, ujian masuk SD yang tengah dihadapi Kiran adalah musabab
kegelisahannya. Sebanyak ayunan kaki membawa Kirana ke tempat kerja, hatinya
tak henti menabur doa-doa. Kegelisahan membuatnya pikun. Bahwa kantornya akan
kedatangan karyawan baru hari ini.
Sesampainya
di kantor, karyawan baru tengah memperkenalkan diri kepada seluruh karyawan, “Perkenalkan,
nama saya...,”
Mendadak,
dunia tak berjalan normal bagi Kirana. Adanya wanita itu menghempaskan Kirana pada
tilas yang basah dan berdarah. Wanita itu bekas temannya. Yang pernah menjadi
onak dalam rumah tangganya. Yang akhirnya meluluh-lantakkan rumah tangganya. Yang
telah bersuamikan mantan suaminya.
Sekejap,
Kirana tak tahu bagaimana menamai keadaan. Juga bagaimana ia membahasakan rasa
dengan kata. Lidahnya kaku beku. Kepalanya bagai terhantam godam besar.
Melayang berputar. Lemas melunglai. Hati Kirana tercabik-cabik. Lagi. Ah,
betapa....
*
Pintu gerbang menyangga tubuh Kirana
yang berdiri. Entah berapa menit Kirana habiskan untuk menanti Kiran.
Penantiannya tetas setelah ia melihat Kiran. Kiran berlari ke arahnya. Senyum
riang terukir di sana. Sedang Kirana memalsukan senyum untuk menirai sebatan perih
yang memecut hatinya.
“Bagaimana
tesnya, Nak?”
“Guru
laki-laki dan perempuan di ruangan itu bilang, Kiran bisa sekolah di sini,
Bunda,” ujar Kiran sambil terlonjak-lonjak.
Hati
Kirana gerimis. Dalam satu waktu, didapatinya getir-duka dan riang-bahagia
datang bersamaan. Kirana melingkarkan tubuh Kiran dalam rengkuhannya. Erat-erat.
Seolah tengah menyadap kekuatan darinya.
“Mengapa
bunda menangis?” tanya Kiran ketika mendapati sealir linang di sudut mata
Kirana.
“Bunda senang, Nak. Bunda terharu,” Kirana menyeka
wajahnya yang basah, “kita pulang sekarang, Nak,” lanjut Kirana.
Seiring
anggukan Kiran, dua pasang kaki berjalan. Hati Kirana menelan entah pada
keadaan esok. Di atas bayang luka yang kembali koyak menganga, Kirana membajakan
hati untuk bertahan. Demi Kiran yang dititipkan-Nya. Dan Sang Kuasa tak pernah
salah memilihkan Kirana suratan: Kiran untuk Kirana.
*
Cerpen ini masuk 35 besar dari 500-an naskah cerpen yang masuk di cyberdakwah.com