Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Rabu, 26 Januari 2022

Manusia Tanpa Ekspektasi dan Keinginan


Hai, Vinny Erika Putri.
Tahukah kau? Apa yang seringkali membuat kita menghakimi dan menyalahkan diri sendiri sebegitu kejam?
Ekspektasi dan keinginan diri yang tidak terwujud. Serupa harapan-harapan yang dikhianati oleh realita.

Hai, Vinny Erika Putri.
Tahukah kau? Apa yang acapkali membuat kita merasa sedemikian tersakiti dan terluka entah dengan orang-orang atau situasi-kondisi dunia eksternal kita?
Ekspektasi dan keinginan diri yang tidak terwujud. Serupa harapan-harapan yang dikhianati oleh realita.

Hai, Vinny Erika Putri.
Tahukah kau? Apa yang kerapkali membuat akal pikiran, hati dan jiwa silang sengkarut terlalu lama hingga mengeruh parah dan sulit menemukan titik keseimbangan diri?
Ekspektasi dan keinginan diri yang tidak terwujud. Serupa harapan-harapan yang dikhianati oleh realita.

Hai, Vinny Erika Putri.
Tahukah kau? Apa yang kerapkali membuat kedamaian batin bergejolak tak keruan di kedalaman sana?
Ekspektasi dan keinginan diri yang tidak terwujud. Serupa harapan-harapan yang dikhianati oleh realita.

Hai, Vinny Erika Putri.
Tahukah kau? Apa yang membuat hidup terkadang tak lagi terasa hidup dan kau tak lagi menginginkan nyawa?
Ekspektasi dan keinginan diri yang tidak terwujud. Serupa harapan-harapan yang dikhianati oleh realita. Lalu, aku harus bagaimana menghadapi hidup? Dimana ambisi segala macam keinginan dan ekspekstasi kerap hadir sebagai sesuatu yang manusiawinya manusia. Apakah aku harus mengubah diriku menjadi manusia tanpa ekspektasi dan keinginan? Terdengar seperti putus asa bukan? 

Manusia tanpa ekspektasi dan keinginan? Bagus juga. Menurutku bukan putus asa. Lebih tepatnya, merujuk kepada melebarkan cakrawala batinmu menjadi sesuatu yang tak terukur keluasan dan kedalamannya. Dengan begitu, kau lebih mudah menerima semua pemberian-Nya baik suka cita maupun duka cita. Lainnya, langkahmu akan jauh lebih ringan bersebab tidak merasakan pikulan apapun di pundakmu.
Haha! Manusia tanpa ekspektasi dan keinginan, seolah aku ingin berlari dari kenyataan hidup yang tidak kuharapkan atau menghindar dari pukulan-pukulan yang terkadang membuat jiwaku jatuh dalam keadaan sekarat.

Bukan. Justru, manusia tanpa ekspektasi dan keinginan, tidak merasakan pukulan apapun karena telah mampu berdamai dengan dirinya sendiri dalam menghadapi hidup yang tak selalu terasa ramah. 
Haha! Manusia tanpa ekspektasi dan keinginan, laksana mayat hidup yang berjalan sia-sia di muka bumi tanpa ambisi untuk menghidupi hidup dengan lebih baik.

Bukan. Justru, manusia tanpa ekspektasi dan keinginan, lebih cepat selesai dengan dirinya sendiri dan berlepas diri segala keterikatan dengan orang-orang, situasi dan kondisi dunia diluar dirinya. Akal pikiran, hati dan jiwanya merdeka, berdaulat dan berdiri sendiri. Dia, tidak mudah limbung sekarat merasakan kehilangan bersebab dia sadar sesadar-sadarnya bahwa dia sendiri bahkan tidak memiliki dirinya. Dia tidak berkuasa atas hidupnya. Segala yang dijalani, segetir dan sesakit apapun adalah kehendak-Nya atas dirinya.

Manusia tanpa ekspektasi dan keinginan bukanlah mayat hidup yang berjalan sia-sia di muka bumi ini. Manusia semacam ini, telah paham cara mengendalikan atau melepaskan semuanya. Bahwa, tidak menganiaya dirinya sendiri dengan semua ekspektasi dan keinginan adalah caranya menjadi manusia bagi dirinya. Dan tidak meletakkan semua ekspektasi dan keinginan pada orang-orang diluar dirinya adalah caranya menjadi manusia yang memanusiakan orang lain.

Terakhir. Manusia tanpa ekspektasi dan keinginan, sangat paham bagaimana cara semesta-Nya bekerja dan telah sampai pada titik berserah kepada-Nya atas segala ketidakberdayaannya sebagai manusia yang tak bisa bergerak tanpa beroleh izin kuasa-Nya.

Hai, Vinny Erika Putri.
Apakah kau sudah cukup lega sekarang?
Cukup lega. Meski sebagai manusia, bisa saja aku melupakan kembali nasehat-nasehat ini. Maka dari itu, aku membutuhkanmu. Dirimu, yang berjaga di kedalaman batin sana.

Aku selalu berdiam di sini. Yang selalu menemanimu saat jatuh-hancur-menangis-menjerit hingga kembali bangkit. Aku ada, saat kau bernapas dengan tenang merasakan seluruh bagian dari dirimu sendiri. Saat kau melihat jauh kedalam batinmu tanpa penghakiman apa-apa, baik terhadap dirimu maupun dunia luarmu.


-Vinny Erika Putri, 26.01.22

Jumat, 21 Januari 2022

Siapa, Yang Berjaga di Kedalaman Batin Sana?

 


Kutelisik dalam-dalam sepasang mata ini
Dan melemparkan tanya pada cermin diri
Siapa yang membersamaiku dalam dekapan sunyi?
Diakah kesadaran batin manusia yang berselubung misteri?
Diakah detak jantung alam semesta yang terekam dan tersimpan dalam memori?
Diakah lubang hitam ketidaksadaran luka-luka jiwa manusia yang diwarisi dari generasi ke generasi?
Diakah sumber cahaya terang dan menerangkan yang letaknya tersembunyi?
Diakah siklus abadi kematian dan kebangkitan jiwa yang terus menerus bertransformasi?

Aku lagi-lagi bertanya kepadanya,
Mengapa aku berkemampuan melihat realitas semesta yang tak umum bagi manusia?
Mengapa aku terkadang merasa berada diantara ada dan tiada dalam denyut nadi kehidupan dunia?
Sedemikian sulit dan rumitkah sesuatu yang hidup dengan energi tak terlihat namun terasa nyata keberadaannya?

Aku terdiam memeluk erat diri
Terkadang dikungkung frustasi
Mendapati manusia-manusia menyedihkan yang sungguh ironi
Atau tertawa terbahak-bahak dengan geli
Menertawai seisi dunia yang kerapkali tak satu frekuensi

Hingga kini pun, aku tak henti-hentinya bertanya,
Disebalik lingkar mata yang berkilat menyala-nyala
Siapa, yang selalu membuatku mempertahankan hidup disaat aku tak menginginkan nyawa?

Siapa, dia?
Siapa, yang berjaga di kedalaman batin sana?


-Vinny Erika Putri, 21.01.22, INFJ-Scorpio Sun-Aries Moon

Kamis, 20 Januari 2022

Untuk Hati yang Terlambat Bersedih

 


Aku teringat sebuah percakapan singkat yang mengena dengan rekan kerja. Dia menceritakan kilas balik trauma akan suara sirene ambulans dan IGD rumah sakit karena mengingatkan akan kematian kakak ke-3-nya. Aku bisa merasakan gambaran kondisi batinnya saat itu dimana dengan semua hal yang serba mendadak, dia mesti menguatkan dirinya sendiri sekaligus merangkul emosi banyak orang sekelilingnya untuk ditenangkan tanpa sempat mencerna emosinya sendiri. Dari pengalaman dirinya, aku mendapatkan suatu insight yang cukup terkoneksi dengan pengalaman batin yang kurasakan sehingga bisa menjelaskan kepadanya tentang gambaran singkat "Hati yang Terlambat Bersedih". 

Untuk Hati yang Terlambat Bersedih
Aku paham ... dalam perjalanan hidupmu, kau telah banyak merangkul dan menguatkan jiwa-jiwa orang-orang di sekitarmu lebih dulu ketimbang jiwamu sendiri ketika di titik tergetir dalam hidupmu.
Aku paham ... betapa kacaunya pergolakan batinmu jauh didalam sana. Kau belum bisa mencerna dan menentukan harus dengan tindakan apa dirimu menunjukkan atau menangani emosi aslimu sebab kau menjadi tumpuan banyak orang yang memaksamu untuk berpura-pura tabah dan tegar sementara waktu di banyak chapter buku takdirmu.
Aku paham ... kekalutan batinmu yang kau tekan, seringkali membuatmu terlambat bersedih. Lalu, saat kau menepi sejenak untuk berlepas diri dari kelekatan emosi jiwa orang-orang di sekelilingmu, barulah kau menyadari keberadaan rasa sakit yang menghujam dalam-dalam ke dadamu hingga tangis yang pecah terasa sesak mencekik dengan jeritan-jeritan yang semakin menyayati hatimu.

Untuk Hati yang Terlambat Bersedih
Aku paham ... dalam perjalanan hidupmu, kau banyak mewarisi ketidaksadaran kolektif dari sebuah budaya patrilineal atau matrilineal dimana laki-laki tempatnya kekuatan dan air mata adalah kebodohan, sementara perempuan tempatnya kelembutan dan air mata adalah hal lumrah, atau hierarkhi-hierarkhi lainnya yang diciptakan lingkungan sosialmu, dan kau berada di area abu-abu dimana kau tidak tahu harus mengekspresikan emosi yang bagaimana ketika realita hidup membuatmu memilih harus berdiri kuat atau mengakui kerapuhanmu.
Aku paham ... betapa sedemikian lelah-penat batinmu untuk bahkan melihat kedalam dirimu sendiri ditengah-tengah hiruk-pikuk jiwa orang-orang di sekitarmu hingga acapkali mengaburkan makna bersedih bagimu. Lalu, saat kau menelisik batinmu, betapa lubang kosong dalam jiwamu menyedot habis daya hidupmu. Kau menjadi sedemikian sakit bahkan untuk bisa mencerna dan memaknai air mata. 

Untuk Hati yang Terlambat Bersedih
Aku paham ... dalam perjalanan hidupmu, kau banyak dihadapkan pada kesulitan dan tantangan dimana kau banyak berjuang keras untuk menaklukkannya sebab kau tak menemukan orang yang bisa melihat diri aslimu juga kerap disalahpahami oleh lingkungan eksternalmu sebagai orang yang kuat, cerdas dan mampu melakukan segalanya sendirian hingga kau mengabaikan kebutuhan emosimu sendiri dengan berlagak kuat seperti yang lingkungan sosial labelkan padamu.
Aku paham ... remuk-redam, hancur-lebur, luluh-lantak jiwa yang kau alami berkali-kali membuatmu mengalami siklus kebangkitan hidup sebanyak kau ingin mati atau rasa ingin mati sebanyak kau hidup, sehingga hatimu acapkali terlambat atau bahkan tak mengerti bagaimana caranya menerima dan menangani kesedihanmu sendiri.

Untuk Hati yang Terlambat Bersedih
Dimana dalam perjalanan hidupmu, kau begitu banyak berkorban untuk orang-orang terkasih, pula mengalami getir pahit kehidupan hingga kau lemparkan banyak tanda tanya pada kehidupan untuk menemukan makna hidupmu, aku ingin mengatakan sesuatu.
Terlambat bersedih tak apa ... asalkan kesadaran dirimu tetap terjaga bahwa jiwamu tengah bersedih dan membutuhkan dirimu sendiri untuk hadir membersamainya. Menangis dengan jeritan keras pun tak apa. Kau butuh menerima kesedihan bukan menundanya yang bisa membuatmu tak menyadari emosimu sendiri. Bersedih itu bukan suatu dosa yang memalukan ... menangis saat dirimu ingin menangis juga bukanlah kelemahan. Sebab, kita adalah MANUSIA. Jadi tak apa. Tak apa untuk bersedih. Perasaan dengan segala emosi yang kita rasakan didalamnya adalah bagian dari diri kita yang menjadikan kita MANUSIA. Lepaskanlah kesedihan itu agar kau lebih lega.


-Vinny Erika Putri, 20.01.22, teruntukmu sahabat yang dititipkan-Nya padaku di fase perjalanan 2022

Sabtu, 15 Januari 2022

#2. Maaf dan Terima Kasih Untuk Diriku


Maafkan Aku, Wahai Diriku.
Saat ini, aku mengambil pilihan berada di area abu-abu yang ambigu. Aku memutuskan tidak keluar dari perasaan yang sekompleks ini dengan justifikasi benar-salah. Aku membuang semua hitam putih hasil produk pemikiran-pemikiranku yang terlahir dari pengalaman-pengalaman yang berkesudah, dogma-dogma ataupun doktrin-doktrin yang terlanjur masuk di kepalaku. Aku membiarkan perasaanku tetap terbuka tanpa kesimpulan apapun. Aku ingin merasakannya dengan manusiawi sebagai manusia biasa sampai aku menemukan ujung muara dari semua ini.

Maafkan Aku, Wahai Diriku.
Saat ini, aku mengambil pilihan berada di area abu-abu yang ambigu. Aku (lagi-lagi) akan membuatmu berada dalam kesulitan dengan pilihanku. Pilihan ini, mungkin, akan memaksa daya kebertahanan hidupmu pada gulungan ombak dengan pasang surut emosi yang intens dimana kau bisa saja terhempas dan terlempar menghantam karang cadas berbatu hingga hancur lebur atau tersedot semakin dalam ke lautan batinmu sendiri yang entah kau masih bisa bernapas didalamnya atau justru mati tenggelam di sana.

Maafkan Aku, Wahai Diriku.
Saat ini, aku mengambil pilihan berada di area abu-abu yang ambigu. Aku membuatmu bersedih dan menangis untuk hal-hal yang sebelumnya tak pernah kau rasakan sedemikian pelik. Aku membuatmu berjuang setengah mati untuk tetap berjaga di garis batas kesadaran diri dengan kegilaan atas apa yang kupilih kali ini. Aku memekakan telingamu dengan jeritan-jeritan sunyi yang tak terdengar oleh siapapun diluar sana, namun begitu jelas bergema di palung batinmu yang terdalam.

Maafkan Aku, Wahai Diriku.
Saat ini, aku mengambil pilihan berada di area abu-abu yang ambigu. Aku membuat navigasimu terkadang mengalami kekacauan arah untuk beberapa waktu sebab kesulitan mengontrol diriku yang semacam ini. Aku membuatmu kewalahan dengan segala hal yang tidak kau prediksikan sebelumnya dan masih kau eja dengan terbata-bata atas gejolak batin yang tak pernah kau lihat semendidih ini.

Maafkan Aku, Wahai Diriku.
Saat ini, aku mengambil pilihan berada di area abu-abu yang ambigu. Aku menantangmu dengan tingkat kerumitan yang paling kau takuti dan hindari sesoal kompleksitas perasaanmu yang tidak ingin menjamah area abu-abu dimana moralitas dengan segala macam sifat welas asihmu terhadap orang lain telah amat sangat banyak menahannya.

Terima Kasih, Wahai Diriku.
Saat ini, aku mengambil pilihan berada di area abu-abu yang ambigu. Dan kau tidak menghakimiku dengan benar-salah meski kau tahu pilihanku saat ini akan banyak menyulitkanmu. Kau tak pernah meninggalkanku sesalah apapun diriku atau dunia luar menilai kanvas kehidupanku dengan warna hitam-putih. Kau tak pernah jera untuk selalu memahamiku dan tetap berdiam di kedalaman sana membersamai seluruh perjalanan hidupku untuk menemukan, mengenali dan mengutuhkan bagian dari keping-keping diri yang hilang.

Terima Kasih, Wahai Diriku.
Saat ini, aku mengambil pilihan berada di area abu-abu yang ambigu. Dan kau memberikanku kesempatan untuk tidak berlari darinya. Kau mengizinkanku bernapas sesadar-sadarnya merasakan abu-abu yang ambigu sampai kumenemukan makna warna yang tengah kurasakan.

Terima Kasih, Wahai Diriku.
Saat ini, aku mengambil pilihan berada di area abu-abu yang ambigu. Dan tetaplah di sini, di kedalaman batinku. Tetaplah di sini, menemaniku menangis, menjerit, terjatuh, tersungkur, terluka, hancur-lebur, remuk-redam, luluh-lantak hingga menuntunku menemukan titik terang melewati semuanya dengan kesadaranmu yang selalu berjaga di tengah-tengah lautan ketidaksadaran dan intensitas perasaanku yang masih belum bisa kukenali secara utuh-penuh bentuk manifestasinya dalam tindakan-tindakanku. 

Terima Kasih, Wahai Diriku.
Saat ini, aku mengambil pilihan berada di area abu-abu yang ambigu. Dan, kumohon, tetaplah di sini, jangan pernah pergi, agar, apapun yang membuat perasaanku hancur-lebur, remuk-redam, luluh-lantak ... tak akan membuatku kehilangan diriku sendiri atau melenyapkan segala kewarasan yang diberikan-Nya kepada hamba-Nya yang benar-benar manusia. Sebab yang kutakuti saat ini, adalah, aku takut akan kehilangan diriku sendiri tanpa bisa menjadi pemenang atas perjalanan hidupku dalam menaklukkan area abu-abu yang ambigu. Ketika aku kehilangan diriku sendiri ... aku akan kehilangan dirimu, kemudian, aku tak lagi bisa melihat petunjuk-Nya. Kehancuran hidup semacam itu, adalah hal yang paling mengerikan bagiku. Lebih mengerikan dari kehancuran akibat luka batin yang pernah mencabik-cabik sekujur jiwaku hingga koyak-moyak menanah darah.


-Vinny Erika Putri, 16.01.22, ketika aku tak tahu dengan kata-kata apa aku mesti mengurai dan menamai perasaan semacam ini.

Saat Ini, Aku Memilih Abu-abu Yang Ambigu



Saat ini, Aku Memilih Abu-abu yang Ambigu.
Aku tak lagi memikirkan hitam putih atas banyak hal yang masih tidak kumengerti dengan berbagai alasan yang belum bisa kucerna. Aku tengah membungkam pertanyaan yang diajukan diri sesoal, "Apakah ini salah? Apakah ini benar?"

Saat ini, Aku Memilih Abu-abu yang Ambigu.
Aku tak lagi berperang dengan pusarannya seperti pengalaman yang berkesudah di rentang masa yang berbeda. Entah kemana rasa takut yang pernah melekat dari pengalaman sebelumnya.

Saat ini, Aku Memilih Abu-abu yang Ambigu.
Aku menantang keberanianku sendiri akan suatu ketidakpastian yang bisa saja meremuk-redamkan (lagi) sekujur jiwaku. Aku bertaruh dengan bekas luka-lukaku sendiri dengan memasuki pusarannya di kedalaman batinku. Berayun dan berputar dari satu titik ke titik lainnya, untuk mengurai banyak gradasi warna abu-abu yang ambigu.

Saat ini, Aku Memilih Abu-abu yang Ambigu.
Aku tidak akan menghindarinya lagi. Sampai ... abu-abu yang ambigu tidak lagi kutakuti untuk kujelajahi. Sampai ... semesta menunjukkan abu-abu yang ambigu dengan warna yang lebih tajam dan jelas. Sampai ... aku sanggup keluar sebagai pemenang atas perjalanan hidupku sendiri di area abu-abu yang ambigu, dengan ataupun tanpa luka-luka.


-Vinny Erika Putri, 15.01.22

Minggu, 02 Januari 2022

Mencintai Dengan Sadar Dan Kesadaran Penuh

 

Mencintai dengan sadar dan kesadaran penuh.
Sadar dan berkesadaran penuh bahwa cinta tidak akan menjauhkan diri kita dari Sang Maha Cinta Sejati, Pemilik dan Penggenggam Hakiki hati manusia.

Mencintai dengan sadar dan kesadaran penuh.
Sadar dan berkesadaran penuh bahwa cinta tidak memutuskan keterhubungan individu dari dirinya sendiri untuk terus menerus bersama kita hanya demi memenuhi kekosongan jiwa kita.

Mencintai dengan sadar dan kesadaran penuh.
Sadar dan berkesadaran penuh bahwa cinta tidak mengambil paksa apa yang bukan haknya untuk dijadikan suatu legalitas kepemilikan individu.

Mencintai dengan sadar dan kesadaran penuh.
Sadar dan berkesadaran penuh bahwa cinta tidak akan membenarkan apa yang salah atau menghalalkan ketidakbenaran dengan pembenaran ego pribadi.

Mencintai dengan sadar dan kesadaran penuh.
Sadar dan berkesadaran penuh bahwa cinta tidak mengubah paksa orang-orang yang kita cintai menjadi diri kita atau menjadikan diri kita seperti orang-orang yang mencintai kita.

Mencintai dengan sadar dan kesadaran penuh.
Sadar dan berkesadaran penuh bahwa cinta bukanlah perwujudan obsesi kepemilikan atas kontrol hidup orang-orang yang kita cintai.

Mencintai dengan sadar dan kesadaran penuh.
Sadar dan berkesadaran penuh bahwa cinta bukanlah selalu mengiyakan apapun keinginan dan tuntutan orang-orang yang kita cintai, atau sebaliknya, memaksakan idealisme dan ekspektasi-ekspektasi kita kepada mereka yang kita cintai.

Mencintai dengan sadar dan kesadaran penuh.
Sadar dan berkesadaran penuh bahwa cinta bukanlah tali pengikat abadi antara orang-orang yang saling mencintai dalam garis waktu mereka.

Mencintai dengan sadar dan kesadaran penuh.
Sadar dan berkesadaran penuh bahwa cinta adalah energi dinamis yang membutuhkan pengaturan kata kerja "saling" sebagai jembatan menuju kondisi selaras dan harmonis.

Mencintai dengan sadar dan kesadaran penuh.
Sadar dan berkesadaran penuh bahwa cinta adalah sikap hormat, kejujuran, dedikasi dan kesediaan upaya diri untuk mewujudkan kata "saling" yang membawa pertumbuhan kedewasaan dan kematangan individunya dalam berspiritual, berpemikiran, berperasaan dan bertindak demi menjaga siklus regenerasi dan nyala energinya.

Mencintai dengan sadar dan kesadaran penuh. 
Sadar dan berkesadaran penuh bahwa cinta yang sejati dengan segala bentuknya akan selalu bermuara pada puja puji keagungan dan kemurnian cinta-Nya yang tak pernah berkhianat kepada hamba-Nya.

Sudahkah aku mencintai dengan sadar dan kesadaran penuh?

-Vinny Erika Putri, 02.01.22