Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Minggu, 26 Agustus 2018

#5. Untukmu Yang Masih Entah


Untukmu yang masih entah...
Ada sebuah puisi yang ingin kugelar malam ini
Lihat dan bacalah!
Aku melihat jiwaku di matanya
Ia melihat jiwaku di mataku
Aku merasakan perasaannya
Ia merasakan perasaanku
Aku mengerti apa yang ada di pikirannya
Ia mengerti apa yang ada di pikiranku 
Saat aku merasakan kenyamanan, aku memeluknya
Saat ia merasakan kenyamanan, ia memelukku
Saat aku menyelamatkan hidupnya, ia memelukku
Saat ia menyelamatkan hidupku, aku memeluknya
Saat aku marah dan bertengkar dengannya, ia memelukku
Saat ia marah dan bertengkar denganku, aku memeluknya 
Bahasa tubuhnya adalah bahasa tubuhku
Bahasa tubuhku adalah bahasa tubuhnya
Jiwa kami berada di frekuensi yang sama 
Aku menangis, menggila, tertawa terbahak dan menjadi diriku sendiri di depannya
Ia menangis, menggila dan tertawa terbahak menjadi dirinya sendiri di depanku
Satu sama lain tidak pernah mencoba saling menjadi hakim untuk menuntut kesempurnaan
Satu sama lain adalah paruhan bulan yang bergabung menjadi purnama saat gelap malam membutuhkan cahaya 
Waktu yang berjalan
Badai yang berkali-kali datang
Semakin mengikat erat jiwanya dan jiwaku 
Saat dunia terasa kejam
Hatiku adalah rumah untuknya berlindung dan menenangkan diri
Hatinya adalah rumah untukku berlindung dan menenangkan diri
Jiwaku dan jiwanya saling bergenggaman memberi kekuatan 
Aku adalah pasangan hidup, keluarga, sahabat, teman baginya
Ia adalah pasangan hidup, keluarga, sahabat, teman bagiku
Aku menamainya belahan jiwa
Ia menamaiku belahan jiwa
 
Untukmu yang masih entah...
Apakah aku terlalu bermimpi muluk?
Bagaimana denganmu?
Bisakah aku mempunyai hubungan semacam itu?
Aku merapal doa kepada-Nya untuk bisa memiliki hubungan semacam itu.

-Vinny Erika Putri, 27.08.18

Tentang Pengorbanan Yang Tak Butuh Dipahami Dan Dimengerti


Terkadang, kita harus bisa melupakan pengorbanan kita terhadap seseorang atau banyak orang agar tidak tumbuh harapan di hati kepada orang tersebut untuk memahami dan mengerti diri kita. Dengan begitu, kita tidak akan menelan pahitnya rasa kecewa. Berat? Sulit? Sakit hati? Memang. Itulah harga mahal yang membentuk ketulusan diri.
Pada sudut sunyi yang telah lama berlalu, di mana kau duduk termenung dalam kondisi yang teramat sangat jenuh, kau pernah bertanya soal ini. Soal pengorbanan.

Saat itu, kau diamanahi mengelola sebuah lembaga pendidikan memasuki tahun ketiga masa kerjamu di lembaga tersebut. Kau mengorbankan banyak waktu, tenaga dan pikiran lebih dari sebelumnya. Pengorbanan yang juga menguras emosi dan jiwamu karena banyak orang yang menjadikanmu tumpuan. Yang seringnya pengorbanan itu kurang dihargai oleh garis komando teratas. 

Dan titik menyakitkan yang pernah kau alami adalah ketika pengorbanan itu tidak bisa dipahami dan dimengerti oleh sesiapa pun, bahkan oleh orang yang kau sayangi dan pedulikan.

Kekecewaan yang terlahir dari perasaan semacam ini lebih menyakitkan daripada dikecewakan oleh orang yang sangat kau percaya dan andalkan.

Dikecewakan oleh orang yang kau andalkan mengajarimu untuk tidak bergantung pada orang lain dan berusaha tidak mengecewakan orang lain.

Tapi... ketika pengorbananmu tidak dipahami dan dimengerti... butuh berkali-kali jatuh bangun untukmu menerima pemahaman diri bahwa ITULAH PROSES PEMBENTUKAN KETULUSAN DIRI. 
Pengorbanan yang tulus adalah pengorbanan yang tak butuh dipahami dan dimengerti.
Sulit?
Berat?
Sakit?
Memang.

Hingga kini... proses itu masih terus berlangsung. Proses yang perjalanannya bukan tanpa air mata.

Tapi, setidaknya, proses sebelumnya yang pernah kau alami bisa membuatmu berdamai dengan diri sendiri melalui pemahaman tersebut.

Bahwa pengorbananmu sebagai bentuk kepedulian untuk memajukan sebuah tim kerja atau tim apapun, tak mesti dipahami dan dimengerti oleh sesiapa pun.

Bahwa pengorbananmu sebagai bentuk rasa sayangmu yang ingin melihat orang yang kau sayangi maju dan berubah lebih baik lagi, tak mesti dipahami dan dimengerti oleh orang tersebut.

Bahwa setiap orang memiliki sudut pandangnya sendiri tentang makna pengorbanan dalam kehidupan mereka masing-masing.

Malam ini.... di titik yang berbeda... kau kembali memikirkan hal yang sama. Tentang pengorbanan yang tak butuh dipahami dan dimengerti.

Kau mengingat pertemuan dengan seorang teman dekat siang tadi, dan bertanya kepada batinmu sendiri, "Mungkinkah beliau yang akhirnya membuat jarak dengan teman dekatku merasakan semacam pengorbanan yang tak butuh dipahami dan dimengerti? Atau malah, keduanya, tengah merasakan hal yang sama dari sudut pandang yang berbeda. Beliau sebagai guru merasakan pengorbanan yang gagal untuk membentuk teman dekatku menjadi orang yang taat pada ajaran agama menurut versinya. Sementara teman dekatku merasakan pengorbanan yang gagal setelah ia menunjukkan sikap kepedulian dan rasa sayangnya terhadap beliau."

Kau pun menelan entah. Kau tak ingin menjadikan tebakanmu sebagai Tuhan hingga membuatmu merasa menjadi seorang yang serba tahu.

Tapi, saat kau memikirkan itu, ada sesak yang sempat menghimpitmu. Dan berubah menjadi nyeri yang menjalar di hatimu. Karena kau sangat tahu benar, bagaimana rasanya. Tentang pengorbanan yang tak butuh dipahami dan dimengerti. Yang bahkan hingga kini kau masih mengalaminya. Yang kadang masih saja bisa membuat matamu menghangat dan melahirkan basah di sudut mata.


Saat itu... berulang-ulang, kau harus kembali memahamkan satu hal pada diri sendiri bahwa
Pengorbanan yang tulus adalah pengorbanan yang tak butuh dipahami dan dimengerti. Dan kau tidak merasakan kecewa karenanya.

*Poin of View (sudut pandang cerita) menggunakan orang kedua sebagai tokoh "aku".

-Vinny Erika Putri, 26.08.18

Kehilangan Dan Hati Yang Lapang




Percaya sama Allah, kalau memang beliau dikirimkan untuk hidup kamu, waktu akan tetap membuat kalian bersama dalam ikatan ukhuwah yang dekat terikat. Tapi, kalau Allah menakdirkan beliau sebagai orang yang singgah, bukan menetap tinggal... jarak dan waktu akan memudarkan ikatan itu. Yang terpenting, apapun dan sebagai apa ia ditakdirkan untuk kamu, jadikan ia sebagai orang baik yang pernah menginspirasi banyak kebaikan untuk kamu. Kenang kebaikannya, balas kebaikannya dengan menjadikan nasehat kebaikannya itu sebagai amal jariyah beliau dengan cara kamu melaksanakan nasehatnya yang baik.
Kadang, dalam hidup, kita harus bisa menyediakan hati yang lapang untuk menerima bahwa orang yang sangat baik pada kita dan begitu kita sayangi hanya ditakdirkan menjadi orang yang sekadar singgah. Bukan menetap tinggal. Yang bisa dilakukan ketika seseorang itu memilih menjauh adalah tetap mendoakannya. Mengingat kebaikannya.

Ia menyimpan dengan baik kata-kata yang pernah aku tuliskan untuknya. Kata-kata yang sejatinya pada waktu itu kutujukan untuk diri sendiri karena pernah mengalami hal yang sama dengan yang dirasakannya pada saat itu.

Aku telah banyak belajar memahami kehilangan. Bukan kehilangan secara fisik. Tapi secara ikatan jiwa. Kehilangan yang sanggup membuat air mataku menganak sungai. Kehilangan yang bisa terbaca dan terasa olehku bahkan sebelum orang tersebut mengatakannya atau menghilang tiba-tiba dari hidupku atau "membuat jarak" denganku. Kehilangan yang menancapkan rasa sakit mendalam sekaligus pembelajaran hidup.

Kehilangan orang-orang yang sangat baik padaku atau seseorang yang kusayangi (yang bukan dalam ikatan darah), mengajariku bahwa aku tak memiliki kekuatan untuk mengikat jiwa seseorang tanpa izin-Nya. 

Kehilangan mereka mengajariku bahwa orang-orang yang hadir dalam hidupku adalah milik-Nya yang dititipkan-Nya padaku agar aku tak menjadi sebatang kara. Dan Allah berhak mengambilnya kapan saja. Bukan dalam bentuk kematian saja... tetapi juga lepasnya ikatan jiwa sehingga masing-masing saling menjauh.

Kehilangan mereka mengajariku sebuah pemahaman bahwa bisa jadi aku sendiri adalah seseorang yang juga ditakdirkan hanya sekadar singgah dalam kehidupan orang lain.

Sesakit apapun rasa kehilangan itu... aku memang harus bisa menyediakan hati yang lapang untuk menerima bahwa orang-orang tersebut hanya ditakdirkan sebagai orang yang sekadar singgah. Bukan untuk menetap tinggal menemani hidupku hingga akhir hayat.

Dan ketika aku ditakdirkan menjadi seseorang yang hanya sekedar singgah dalam kehidupan orang lain... aku harap bukan ingatan menyakitkan yang kutinggalkan di memori orang-orang tersebut.

Doaku, semoga dalam kehidupanmu... aku bukan ditakdirkan sebagai orang yang singgah dan menyisakan air mata dalam ingatanmu, Adik Kecilku.

-Vinny Erika Putri, 26.08.18

Kamis, 09 Agustus 2018

Mengapa Aku Harus Tetap Hidup?



Malam ini, aku mendengar gema, tentang sebuah pertanyaan, dari seorang wanita, yang sangat kukenal dan kupahami. Begini, katanya:
Beritahu aku...

Mengapa aku harus tetap hidup?

Bahkan ketika aku jatuh tersungkur hingga ke titik nadir dan remuk-redam oleh pukulan-pukulan hidup.
Beritahu aku...

Mengapa aku harus tetap hidup?

Bahkan ketika aku tak yakin dengan diriku sendiri untuk harapan-harapan yang ditumpukan padaku.
Beritahu aku...

Mengapa aku harus tetap hidup?

Bahkan ketika aku sampai di titik menyerah untuk memikul semua harapan dan tanggung jawab sendirian.
Beritahu aku...

Mengapa aku harus tetap hidup?

Bahkan ketika lumbung air mataku sudah terlampau kering untuk menerjemahkan rasa marah, sakit dan pedih yang kupendam.
Beritahu aku...

Mengapa aku harus tetap hidup?

Bahkan ketika aku merasa bahwa hidup tak lebih dari onggokan sampah.
Beritahu aku...

Mengapa aku harus tetap hidup?

Bahkan ketika aku merasa tak ada yang mampu kulakukan lagi untuk kehidupan.
Beritahu aku...

Mengapa aku harus tetap hidup?

Bahkan ketika aku sampai di titik tak ingin hidup.
Beritahu aku...

Mengapa aku harus tetap hidup?
Mengapa aku harus tetap hidup?
Mengapa?
Aku tidak tahu, bagaimana harus menjawabnya
Kurasakan sepasang bola mataku menghangat
Kepedihan miliknya menjelma pisau yang mendaras lumbung air mataku

Aku memeluknya erat
Lantas membisikinya sesuatu
Tetaplah hidup, meski hidup terasa seperti onggokan sampah
Tetaplah hidup, meski kau sampai di titik tak ingin hidup sekalipun
Tetaplah hidup, bahkan ketika kau tak menemukan alasannya sekalipun
Tetaplah hidup untuk tetap mensyukuri nikmat-Nya
Tetaplah hidup sampai tiba saatnya kau kembali ke pangkuan-Nya

Sengguk wanita itu akhirnya pecah kian kencang
Aku pun mengalihkan pandangan pada cermin yang ada di hadapan wanita itu

Aku, melihat diriku, tengah mendekap erat diri sendiri
Anak sungai mengalir deras di sudut mata

-Vinny Erika Putri, 09.08.18