Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Selasa, 30 Oktober 2012

Hapus Enam Huruf




Genggaman Enam Huruf
Aku tak ingin senja menadir dengan segera. Sebab, begitu senja memurna, enam huruf mengetuk-ngetuk talu hatiku melebihi degupnya tatkala pagi. Dan sudah berbulan-bulan lamanya jelma enam huruf menggenggamku. Ia –enam huruf– telah bersenyawa dengan malam-malam yang kuseduh bersama kesunyian.
Mengapa menggurat luka jika itu cinta?
Gegulut tanya yang kerap menelusup kala bongkah-bongkah enam huruf itu mengental dan menggumpali dada hingga membuat peparuku lupa bagaimana cara merasai udara. Namun, semencekik apa pun sesak yang tercipta, pertanyaan itu tetap menguap tiada jawab. Enam huruf kurasai kian tumbuh meriap; mengakar kuat.
*
Malam-Malam Kesunyian
Malam yang sama seperti malam yang berkesudah. Bebayang wajahnya mengada di dinding-dinding kamar; di pintu; di langit-langit atap; di cermin; di jalanan; di mana-mana, seolah hologram yang memantul dari tiap-tiap serpihan ingatanku. Sekalipun bola mata itu maya, tetap saja pandangannya menelanjangi perihku.
Tatapan nyalangnya serupa hunus berkali-kali sebilah pedang beracun tepat di lukaku yang tak kunjung mengatup. Anyir. Menanah darah. Lantas, racun itu mengalir melalui nganga luka hingga saraf-sarafku sekarat. Racun yang menjalari saraf-saraf itu umpama enam huruf yang erat membebati hati.
Malam telah tanggal separuh waktunya. Melelap sebagian insan di atas bantal-bantal lapuk yang mengerang bosan tertindih kepala-kepala mereka. Seluruh badan mereka melemah seketika oleh sebab mati sementara.
Di tengah kelengahan yang mendulang senyap, binatang malam mengikrik tanpa henti. Kikrikannya adalah pesta pora kesunyian yang kunikmati bersama tetangis perih yang lirih. Sampai tubuhku melelah dengan sendirinya dan pada akhirnya turut membau mimpi dengan enam huruf yang tak pernah memejam.
*
Tilas Kenangan
Dahulu, sebelum berkawan kesunyian, kunamai malam-malam adalah aroma kembang gula. Yang kecap manisnya tiada tara. Ketika jaringan nirkabel memendekkan lipatan jarak dengan menghantarkan suaranya, *amigdala-ku memeka. Bergerak membuka sekumpulan memorabilia semasa kebersamaan raga masih didapatiku.
Lalu, kusatukan kepingan-kepingan wajah lelaki terkasih hingga merupa sosoknya di jejaring retinaku. Halwa suaranya kuserap menjadi sebentuk bayang yang kian menguliti rinduku. Suara lelaki penenun cinta yang eja namanya terajut di hatiku.
Janji-janji berekat temu laksana rinai hujan yang membasahi tanah kering kerontang ketika rinduku padanya haus mendahaga. Kuar segala petilasan kenangan yang lesat berhamburan menarik segaris senyum. Ungkap cinta dari kejauhan merupa rengkuh lengannya yang sanggup menghangatkan diri dari hawa dingin angin malam yang menusuk tulang-belulang. Puisi-puisi bernapaskan cinta umpama serunai kidung pengantar tidur yang menyenyakkan.
*
Awal Mula Enam Huruf
Detik waktu terus berjingkat, cinta pun ikut dalam putarannya. Putarannya berbanding terbalik dengan waktu, sebanding dengan jarak. Cinta sang lelaki pudar seiring bertambahnya bilangan waktu. Dan jarak berkilo-kilo meter menjadi musabab perkara alasannya memunggungiku. Jauh sebelum meng-alibi-kan perkara jarak, sebenarnya, diam-diam sang lelaki telah bermain api dengan rekan sekantornya nun jauh di sana. Petakanya, dia benar-benar terbakar.
Laku sang lelaki ibarat mengubur bangkai namun lupa akan aroma busuknya. Aroma busuk yang mampu kuendus walau keberadaan jarak memisah raga dan membatasi jangkau pandang. Ia tak menyadari, telah lama intuisiku menggetap; merasai geliat gelagat yang tak biasa.
Gelagat pudarnya cinta kian memarah dan sang lelaki terlalu pengecut untuk menggali bangkai yang dipendamnya. Yang dinamai kejujuran nurani memilih bersembunyi. Membuatnya tetap bersilat lidah ketika bangkai kutunjukkan. Bersikukuh mengaburkan kehadiran wanita yang mengonak sekalipun jelma suaranya terang menohokku.
Sang lelaki pergi. Menyisakan luka sembilu. Cinta meremuk. Repih berkecai-kecai. Tak usah lisan mengurai seberapa dalam sakitnya saat onak itu berhasil meretas jalinan yang berbilang dua tahun. Lidah terlalu kelu kebas untuk mengucap kata. Sejak itulah, kukaribi kesunyian dengan hati hitam beku digenggam racun enam huruf.
Mengapa menggurat luka jika itu cinta?
Tetanya ini, bermula di sini pula. Bermula bersamaan dengan muasal enam huruf.
* 
Rapal Kutuk dan Doa Malam Kesunyian
Di malam-malam kesunyian, ketika enam huruf menggeletar hatiku, diri ini serupa setan. Tangan menengadah. Mengatasnamakan ‘orang yang teraniaya’, kepada Tuhanku, merapal doa umpama mantra-mantra kutukan teruntuk mereka para penera  luka. Berharap-harap berlakunya yang kuyakini ‘karma’ menimpa mereka. Setelahnya, aku kembali luruh dalam tetangis. Lalu, kendali enam huruf menyeringai gembira.
*
Petuah dan Jawaban
Di suatu pagi, peram perihku tetas dari wadahnya: hati. Tegar yang semalam-malam kupunguti dan kususun payah dari tetes-tetes airmata untuk menjamu rekah fajar, luluh lantak menjadi puing-puing berserakan. Akhirnya, butir-butir yang mengilap itu tak mampu lagi menyamar. Sebab, pagi tak seperti malam yang berkemampuan melindapkan mataku yang basah.
Kepalaku rebah dalam pangkuan seorang wanita berusia setengah abad. Wanita yang sebenarnya telah memahami tanpa banyak mendengar kata berlesakan dari bibirku. Ia mematrikan diriku sebagai belahan jiwa. Tersebab batinnya dan batinku saling menyimpul berikatan. Dialah ibu.
“Kau hanya memenjarakan dirimu sendiri dengan siksa. Sedang lelaki yang membuat kau tersiksa telah berbulan silam meniadakan tentangmu dalam lekap ingatannya.”
Hening. Ibu terdiam. Embun di bola mataku berulang kali menggenang dan berlinang mencumbui kulit wajahku. Tangan hangat ibu mengusap lembut kepalaku. Mulutnya kembali mengirap petuah.
“Sia-sia waktu yang kau hidupi. Berjalan dengan kekosongan tanpa menorehkan apa pun.”
Pakaian ibu basah diruahi airmata. Ia masih berbicara. Kali ini, kurasai getar berpadu dengan nada suaranya. Menandai hatinya turut tercambuk pedih.
“Hapus rasa yang mengkarati hatimu itu, Nak. Biarkan hatimu bernapas lega.”
Kumenyatukan kata seraya menegakkan kepala. Sekelumit kalimat yang menjadi tetanya batinku selama ini bergulir.
“Mengapa menggurat luka jika itu cinta, Bu?”  semburku sembari memandang matanya lekat-lekat.
“Cinta itu selalu putih, Nak. Cinta tak pernah melukai. Yang salah adalah manusianya.”
Beberapa jenak ibu membisu. Membiarkan udara mengisi peparunya dengan teratur.
“Cinta pula yang akan mengobati luka. Cinta Sang Maha Agung dari cinta yang teragung. Cinta Sang Maha Penyayang. Ingat itu, Nak. Dan berdo’alah untuk kebahagiaanmu.”
Airmataku masih kehilangan tali kekangnya. Mengalir menganak sungai. Lebih deras dari yang sudah.
*
Hapus Enam Huruf
Perlahan-lahan, kuhapus enam huruf. Ketika langit mewarna hitam, hatiku berserah dalam genggaman-Nya. Malam-malam kesunyian, kupagut bersama doa dan kepasrahan. Kudapati sadar. Sesadar-sesadarnya.
DENDAM. Telah berhasil mengendalikan pikiranku hingga hari-hari yang kurasai adalah siksa derita. Berharap-harap kutukan dan rapal doaku kepada mereka menyata. Berharap-harap ketersungkuran mereka dalam derita serupa deritaku mewujud. Hingga sadarku lelap bahwa usiaku semakin menua dengan sia-sia dilahap gulir waktu yang tak pernah bergerak mundur. Dendam pula yang memaku kakiku di satu tempat. Mengunci langkahku seperti terpuruk tanpa bangun.
*
Jiwa Baru
Aku tengah bangkit. Bangkit dan terus melangkah. Menebus waktu yang pernah tersia-sia. Luka itu membekas. Tapi, tak kuizinkan dendam mengekor luka. Aku tak ingin meriapinya kembali umpama jamur di musim hujan. Biarlah Tuhan yang bergerak dengan keadilan-Nya dan perhitungan-Nya. Rapal doa, cukup kudecap tuk permohonan ampunku kepada-Nya dan sebentuk kebahagiaanku yang kuyakini cecapnya ada.
Dan goresan-goresan pena yang kutoreh ini, merupa kebangkitanku. Pun terapi bagiku menuju jiwa yang baru. Dalam goresan-goresan pena jua kudapati mimpi-mimpi besar yang keberadaannya kuamini sebagai jalan sukses untukku dari-Nya.
*
Keterangan:
*amigdala: salah satu komponen sistem limbik (sistem di otak tengah) yang yang paling menonjol, merupakan pusat utama pengumpulan data sensoris dan pengatur informasi emosi

Perempuan yang Mencari Degupnya Sendiri



Degupnya tak lagi mengada. Perempuan itu sudah cukup lama hidup dengan bergantung pada degup lain di jantungnya. 

Dahulu, degup itu terasa begitu manis merekah. Keberadaanya beriringan dengan ketukan-ketukan rindu di dada. Ketukan rindu yang perlahan menjelma bayangan lelakinya. Ya. Hanya bayang. Kala itu, pekerjaan lelakinya menempatkan mereka pada keterpisahan dimensi ruang dan jarak.

Itu dulu. Setahun silam. Sebelum yang dinamai kekasih, menikmati dan melumat gincu lain yang sehadapan raga lalu menyisakan sembilu di hatinya. 

Kini, degupan itu, tak ubahnya siksaan bagi sang perempuan. Setiap lenting degupnya bagaikan cemeti yang dicambukkan berulang kali. Menera luka lebam hingga mengalirkan darah. Memaksanya kembali mencari degupnya sendiri.

-Vinny Erika Putri, 30.10.12.