Hari berdiam di Jum’at
Kala itu siang terasa ganjil
Seperti kesedihan yang entah
Dan rasa tak keruan yang tak bisa terukir kata-kata
Semesta tengah berbisik
Pada jiwa-jiwa yang peka
Ia memberi pertanda
Samar ataupun jelas
Sore
Langit meneja, bermandikan semburat senja
Dengan keganjilan yang belum beranjak pergi
Dan kata-kata yang masih tak mampu berbicara padanya
Di sudut langit yang lain, petaka bersiap tiba
Tanah-tanah kejang bergetar
Laut bergemuruh, ombak mengganas
Lalu, sekejap, tumpah ruah menyapu apapun tanpa pandang bulu
Lintang pukang kehidupan terjadi
Teriakan minta tolong
Bibir-bibir yang merapal doa
Aroma kematian yang menguar tajam
Di belahan bumi lain, berjiwa-jiwa menyaksikan dari berita-berita
Ngilu terasa, perih menyayat, duka mengoyak
Seseorang, dalam ruang sunyi, yang menyembunyikan sengguk,
dengan mata yang basah, batinnya berkata,
“Siang itu, semesta tengah berbisik:
Doa untuk Donggala.”
Matanya kian sembab, batinnya kembali berkata,
“Ini adalah pelajaran bagimu agar tetap hidup dengan rasa syukur. Kau tidak tahu, bagaimana akhir hidupmu dan mudah bagi Tuhan mencabut segala nikmat yang telah diberikannya dalam waktu sekejap.”
Sengguk lirihnya kian tak beraturan, napasnya makin tersengal, batinnya tak juga berhenti berkata-kata, “Sekalipun masalah mengeruhkan pikiranmu hingga membuat hidup kadang terasa bagai onggokan sampah... tetaplah cari rasa syukur itu agar kau tak kehilangan iman.”
Siang itu, semesta berbisik:
“Doa untuk Donggala”
“Doa untuk Donggala”
“Doa untuk Donggala”
Juga... peringatan baginya, untuk tetap mensyukuri hidup bagaimana pun keadaannya.
-Vinny Erika Putri, 30.09.18