Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Sabtu, 09 September 2017

Di Sudut Sebuah Desa Bernama Tuk



Orang-orang menamainya Tuk. Saya baru sebulan berada di sana. Tidak lebih dari 2,5 jam setiap harinya.

Saya belum bisa mendeskripsikan Tuk secara detail. Saya baru melihat gambaran globalnya saja dari arus informasi yang masuk sepotong-sepotong dalam memori saya. Bila saya berada lebih lama di situ, informasi yang masuk ke dalam kepala saya tentunya akan terintegrasi dengan lebih baik dari global hingga ke detail. 

Di sini, saya melihat, tidak ada kesan “pinggiran” atau “terpinggirkan” walaupun suasana khas desa masih terasa. Di pagi hari, saya masih melihat beberapa ibu-ibu mencuci baju di kubangan (mungkin) bekas sungai atau semacam saluran air yang diperuntukkan sebagai tempat mencuci. Rumah-rumah kebanyakan sudah bertembok. Di beberapa tepi jalan perumahan, banyak ditemukan para pedagang makanan yang didominasi oleh ibu-ibu; lalu lalang anak-anak maupun remaja berangkat ke sekolah; hiruk-pikuk para pekerja bersliweran mengendarai motor ke tempat kerja mereka.

Perbedaan intelektualitas antara kaum perkotaan dan kaum pedesaaan yang digambarkan dalam teori-teori kaum urban, bisa saya lihat dan rasakan. Tapi, karena saya tidak tahu pasti fakta dan data valid soal sebaran karakteristik pendidikan orang-orang di situ, saya tidak akan menjustifikasi mereka dan mengambil kesimpulan yang merujuk pada sebuah label “tidak berpendidikan tinggi”. Lain halnya, kalau sudah dihubungkan dengan intuisi, saya akan berkata dengan kacamata yang berbeda.

Saya mengajar anak-anak di sebuah TKQ di daerah tersebut. Anak-anak yang bersekolah di situ, sebagian besar didampingi orang tuanya. Orang tua mereka sebagian menunggu di luar sekolah hingga jam sekolah berakhir dan beberapa ikut berdiam di kelas selama pelajaran sedang berlangsung. 

Saat mengamati dan menatap para orang tua yang terjaring lingkar mata, saya tahu dengan sendirinya sampai di level mana pendidikan mereka. Saya membacanya melalui penampilan, gestur tubuh, ekspresi, tutur kata, atau ciri lainnya yang mereka pancarkan. Dalam diri saya sepertinya bisa memindai “secara otomatis” latar belakang pendidikan atau kehidupan secara umum para orang tua yang ada di situ. Entah bagaimana caranya “mesin peminda” itu berproses sampai memunculkan sebuah kata “tahu”.

Berada di lingkungan baru, sekuat apapun saya menyiapkan mental dengan bermacam prediksinya, tetap saja, dibutuhkan perjuangan beradaptasi. Rasa berdebar-debar tak keruan, kacau-balau sempat mewarnai isi kepala dan hati sekalipun sudah ada pengalaman yang saya punya sebelumnya. Sebabnya, saya belum mengenali betul karakteristik dan seluk-beluk medan yang saya tapaki sekarang. 

Namun, setidaknya, keberanian saya tidak sampai menghilang. Karena keberanian (yang terkadang didorong kenekatan) adalah modal dasar untuk melangkah di tempat baru. Dan bagusnya, saya punya proteksi otomatis dalam diri saat berada di tempat baru yang mengarahkan pada apa-apa saja yang “perlu, tidak perlu, harus, tidak harus” saya tunjukkan dan membimbing bagaimana saya harus bersikap. Seperti insting yang siap melindungi diri ini kapan pun dibutuhkan.

Kesan pertama awal saya mengajar, yang terkecap adalah perasaan tidak nyaman. Apa pasal? Saya tidak nyaman dengan orang tua yang berada di dalam kelas menemani anak-anaknya belajar. Masalahnya bukan karena saya tidak percaya diri atau merasa takut karena adanya mereka. Saya tidak suka melihat orang tua yang berada di dalam kelas membantu mengerjakan pekerjaan anak-anaknya. 

Di tempat kerja sebelumnya, saya dan anggota tim guru lainnya mendidik anak dengan membangun nilai-nilai kemandirian dan nilai-nilai positif lainnya dari konsep diri sang anak. Saya akui, secara sosial emosi, kondisi anak-anak di sini cukup jauh berbeda dengan kondisi anak-anak di tempat kerja saya sebelumnya. Juga pola asuh yang diterapkan para orang tua anak-anak tersebut.

Kemudian, saat pelajaran berlangsung, orang tua yang tadinya hanya memperhatikan dari jendela di luar kelas, sebagian mendadak masuk membantu anak-anaknya ada yang salah dari tulisan mereka. Telinga saya kadang panas mendengar beberapa orang tua yang memarahi anaknya dengan “lengkingan nada sopran” karena tulisannya belum rapih atau tidak sesuai dengan yang diinginkan orang tua atau tidak seperti yang diinstruksikan guru. Sungguh jauh berbeda dengan metode yang sebelumnya pernah saya terapkan ke anak-anak. 

Kalimat negatif banyak berterbangan dari mulut mereka. Pada saat itu terjadi, yang saya lakukan adalah mengimbanginya dengan bahasa positif kepada anak dengan tetap mengontrol emosi saya sendiri. Dan terkadang “mengusir” secara halus para orang tua ketika kelas mulai terasa sesak dengan adanya mereka.

Ada perasaan kasihan yang muncul dari dalam diri saya melihat anak-anak yang setiap hari dijejali dengan baca-tulis. Tidak ada sentuhan permainan sebagai bungkus metode baca-tulis. Hanya diselingi beberapa metode nyanyian yang lumayan terdengar seperti angin segar. Saya melihat kebutuhan main mereka terkikis oleh ritme baca tulis yang terlampau kaku: bertumpu dan mengandalkan sebuah “buku teks panduan pintar membaca”. Dan sistem yang berlaku di situ, penjadwalannya... sudah terkondisikan demikian: Senin-Kamis jadwal baca-tulis.

Dari segala kondisi ketidak-nyamanan yang saya anggap bagian dari proses adaptasi, saya masih beruntung. Bersyukur saya memiliki rekan kerja yang toleran, mampu menjadi tim yang baik bagi saya dan secara pemikiran (baik dalam pendekatan ke anak dan orang tua) tidak banyak bertentangan dengan isi kepala saya. Disamping itu, seluruh anggota tim saling membantu di setiap pekerjaan yang ada. Tidak ada kesan individualistik. Sama seperti nilai-nilai yang saya dapat ketika bekerja di tempat sebelumnya. 

Daaan... yang paling saya suka, saya bisa lebih bersantai! Ha ha ha! Pekerjaan di situ tidak (atau mungkin belum) serumit, sebanyak dan sekompleks yang saya alami di tempat kerja sebelumnya. Ibaratnya, saya yang sebelumnya terbiasa dengan ritme “bak-bik-buk” sibuknya sedari pagi hingga sore, juga harus bisa menyelesaikan banyak masalah dengan cepat-tepat dalam satu waktu bersamaan serta potensial masalah-masalah lainnya yang menguras emosi, pikiran dan ketahanan fisik-mental... kini dihadapkan pada ritme “lengang”. 

Ritme lengang membuat saya bisa melakukan banyak hal variatif, dari mulai menjalankan hobi membaca-menulis yang sebelumnya kerapkali bertabrakan dengan kepadatan rutinitas kerja; mengembangkan dan mengasah ketajaman potensi-potensi lainnya yang saya punya; yang terpenting memberi banyak waktu dan ruang untuk berpikir, merasakan, menganalisa setiap kejadian dari sudut pandang orang lain maupun diri saya, termasuk ketidak-nyamanan yang tengah terjadi. Saya adalah orang yang bisa bosan bila terlalu lama dalam zona nyaman tapi juga tidak ingin berlarut-larut dalam zona tidak nyaman. Pengalaman-pengalaman terdahulu mengajari saya kapan waktu yang tepat dan bagaimana caranya “berpindah zona”. 

Selama seminggu bekerja, saya banyak menginternalisasi segala ketidak-nyamanan yang bersumber dari luar diri saya. Di sinilah, saya menyadari satu hal: saya tengah membandingkan kondisi yang baru dengan kondisi sebelumnya. Saya masih membawa nilai-nilai yang saya pegang dari tempat sebelumnya sebagai suatu nilai keharusan di tempat yang baru. Kondisi yang berbeda pastinya akan menimbulkan tumbukan yang diakibatkan karena adanya beberapa ketidak-sesuaian antara nilai-nilai eksternal yang sekarang dan nilai-nilai yang saya dapat sebelumnya -yang sudah melekat pada diri saya. 

Saya juga mengingat kembali cerita beberapa teman, yang sebenarnya masuk dalam prediksi saya selama mempersiapkan mental. Walaupun pada kenyataannya, ketika berada di lapangan, membesarkan keberanian diri menghadapi realita lebih membutuhkan energi ketimbang persiapan kondisi mental terhadap segala problematika yang sudah bisa saya perkirakan sebelumnya. 

Keberlakuan di TK/RA secara umum, baca-tulis menjadi suatu kebutuhan para orang tua yang perlu diakomodir oleh lembaga satuan pendidikan tersebut. Kalau tidak, TK/RA umum tersebut, apalagi bila keberadaannya di lingkungan pedesaan, maka tidak akan “laku”. Sebab, pola pikir kebanyakan konsumen di daerah tersebut masih menilai kepandaian seorang anak mutlak dari kemampuan “baca-tulis”. Dan anggaplah itu bagian dari proses menuju inovasi pendidikan yang lebih baik di mana lembaga satuan pendidikan setingkat TK/RA harus bisa mengakomodir kebutuhan konsumen tanpa mengabaikan prinsip-prinsip kebutuhan dasar anak-anak.

Berangkat dari sudut pandang ini, saya bisa lebih lunak menghadapi dan menundukkan ketidak-nyamanan tersebut tanpa harus menggadaikan prinsip-prinsip yang saya genggam erat. Lantas, bersamaan saya telah bisa berdamai dengan keadaan, saya semakin bisa melihat “lapangan yang lebih luas” dan “sisi-sisi lain” yang awalnya luput saya amati di situ. Dan di setiap kebaruan tentunya selalu ada tantangan yang juga menarik untuk ditaklukan. 

Mendekati akhir minggu kedua, ketika rekan kerja saya tidak masuk, dan ada satu anggota tim di kelas lainnya yang tidak masuk, saya mulai berani mengkondisikan kelas sendirian memanaje 34 anak. Bersyukurnya, peristiwa itu terjadi setelah target saya terhadap diri saya terpenuhi. Saya menetapkan target atas diri saya sendiri: dalam waktu maksimal 2 minggu sudah bisa menguasai pengkondisian pembelajaran yang ada di situ dan hafal seluruh nama anak-anak di kelas yang saya pegang.

Semakin hari, saya menikmati waktu-waktu membersamai anak-anak. Beberapa anak-anak pun mulai “memilih” saya dalam kepala mereka saat dibebaskan kepada siapa mereka akan mengaji dan membaca. Saya juga mulai melihat sebuah perubahan pada anak-anak. Wajah mereka mulai mau tersenyum ketika membaca dan mengaji. Saya selalu mengajak mereka “toss!” dan mengatakan “senyuuuuum” setelah mereka selesai mengaji dan membaca. Saya melakukan itu sedari awal saya mengajar mereka untuk menghilangkan jarak antara anak-anak dan saya (yang pada saat itu masih orang baru bagi mereka).

Diantara mereka, ada satu anak perempuan yang begitu terlihat tertekan -lebih parah dari kondisi anak lainnya- karena selalu dituntut orang tuanya untuk sempurna. Ia seringkali dimarahi ketika melakukan hal yang salah (menurut kacamata orang tua) sehingga saat ia membaca dan mengaji, kemurungan tergambar jelas di wajahnya. Suaranya nyaris tak terdengar dan memaksa saya sering mendekatkan telinga ke bibirnya. Ia juga sulit berkonsentrasi. Dan terlihat mengalami krisis kepercayaan diri.

Ketika saya mengetahui kondisi tak beres itu, dalam beberapa kesempatan saya kebagian memegang anak tersebut untuk membaca mengaji, saya selalu berkata padanya, “Suaranya yang keras, ya, Sayang. Salah juga gak apa-apa. Bu Guru gak marah, kok. Namanya juga lagi belajar. Kalau salah nanti kita benerin bareng-bareng.”

Kemudian, saya dapati anak tersebut setiap kali hendak mengaji, selalu mengantri pada barisan di mana saya berada. Artinya, saya berhasil menarik dirinya untuk mendekat. Hari ini, saya sudah melihat kemajuan dari dirinya yang sangat membahagiakan bagi saya. Suaranya terdengar lebih keras. Perlahan konsentrasinya sedikit membaik dan kepercayaan dirinya mulai tumbuh.

Lainnya, saya amati, dari rata-rata anak-anak yang ada, kebanyakan mereka lebih cepat paham dalam hal mengaji dibandingkan membaca huruf alfabet. Fakta ini sempat diungkapkan oleh rekan kerja saya bahwa memang anak-anak Tuk lebih sering didaras mengaji daripada membaca alfabet oleh orang tua mereka. Bahkan, ada beberapa penduduknya yang merupakan lulusan mahasiswa dari Universitas Cairo Mesir. 

Fakta ini menarik bagi saya karena menimbulkan sebuah pertanyaan: kalau ada beberapa penduduknya yang lulusan Universitas Cairo Mesir, tapi mengapa para orang tua di TKQ saya mengajar masih belum memahami pentingnya pendidikan parenting untuk orang tua? bukankah pendidikan islam juga tidak menganjurkan pola asuh yang sekarang mereka sedang terapkan pada anak-anak?

Saya gagal paham. Tapi begitu menyadari bahwa nilai-nilai di dunia ini tidak selalu idealis karena ketidak-mungkinan keseragaman karakter atau personalitas manusia juga pengalaman hidup yang dilaluinya, pertanyaan ini menyediakan banyak kemungkinan jawaban dalam kepala saya. Mungkin karena faktor ini, faktor itu. Begitulah pikiran saya bekerja mengolah informasi yang masuk. Setelahnya, saya merefleksi diri sendiri.

Saya yang awalnya sempat kesal dengan orang tua yang memarahi anaknya saat mereka mendapati anaknya salah menulis, kini saya membalikkan diri saya sendiri ke masa sebelum saya berkecimpung di dunia pendidikan dan berkaca diri bahwa saya pun mungkin akan melakukan hal yang sama dengan mereka. Lalu saya berterima kasih kepada-Nya yang telah memberi saya kesempatan untuk mengenyam ilmu yang sekarang sedang saya pelajari. 

Akhirnya, saya memandang mereka dengan pikiran yang lebih fleksibel. Ini memudahkan saya untuk membangun kedekatan emosi secara perlahan dengan mereka (para orang tua). Dan yang saya kagumi, saya mulai merasakan, para pendidik di sini... hidup dengan sederhana dan bersahaja.

Sejauh ini, saya masih ingin menetap di sana. Sampai dengan saat ini, suara dari dalam diri saya mengatakan, so far so good. Keep moving and do something there. 

I wanna do something there. Ya. Ada yang ingin saya lakukan di situ. Saya ingin mempelajari lebih dalam metode yang efektif dan ramah anak soal baca-tulis. Saya ingin pelan-pelan menerapkan metode baca-tulis melalui permainan yang menyenangkan bagi anak-anak dari pengalaman yang saya dapat sebelumnya maupun pengetahuan-pengetahuan yang tengah saya pelajari. 

Saya sempat mencari referensi mengenai “keabsahan” pengenalan baca-tulis kepada anak-anak apakah ini benar atau salah. Saya membaca beberapa artikel dan buku. Dari satu buku yang saya punya tentang meningkatkan kemapuan baca-tulis anak, ada suatu fakta statistik yang menunjukkan perbedaan pola pikir negara-negara yang penduduknya dikenalkan pada baca-tulis sedari dini. 
Dan lebih religius lagi, termaktub pula dalam Alquran Q.S Al-Alaq yang diawali dengan kata “Iqra” yang artinya “bacalah!” sebagai ayat yang pertama kali diterima Nabi Muhammad S.A.W. Yang secara tersirat, Allah menegaskan betapa membaca sangatlah penting. Terutama membaca tanda-tanda kebesaran-Nya.
Saya juga mengiyakan jawaban diri saya sendiri mengenai “benar-salah” mengajarkan baca-tulis kepada anak. Bahwa benar-salah atau boleh-tidaknya, sebenarnya, bukan terletak pada pengenalan baca-tulisnya itu sendiri. Tapi lebih kepada proses dan metodenya. Karena zaman terus berkembang, kita tidak mungkin melarang “baca-tulis” diperkenalkan kepada anak-anak setingkat TK atau usia di bawahnya. Yang bisa kita lakukan adalah mengimbanginya. Mengimbangi tuntutan tersebut dengan metode yang ramah anak, memanusiakan anak-anak dan sesuai dengan tahapan perkembangannya. 

I wanna do something there. Ya. Ada yang ingin saya warnai. Dengan warna yang berbeda dari yang sudah ada, warna yang lebih ceria khas anak-anak, warna baca-tulis yang juga mampu merangkul semua aspek perkembangan mereka. Bukan hanya mesin pencetak generasi baca-tulis yang seperti mayat hidup.

Saya punya peta mimpi. Di mana sekarang ada Tuk di dalam peta yang entah untuk berapa lama tinggal dalam peta tersebut. Seorang pemimpi, selalu hidup dengan impiannya. Dan mungkin menjadi sebuah alasan untuknya berjuang. Atau lebih tepatnya lagi, alasan untuk hidup.

Ada gema doa dari dalam bilik hati yang kudengar: semoga, keberadaan diri ini di manapun berpijak ... bisa membawa kebermanfaatan untuk sesama. Terutama bagi dunia anak-anak.