Kirana telah lupa. Bagaimana cinta dan lelaki itu terupa. Sepanjang ia mengenal cinta dan lelaki, hanya getir yang dicecapnya. Hati Kirana memati suri. Pada cinta dan lelaki.
*
Kirana menghentikan kakinya di depan
pagar besi. Polesan warna di sekujur pagar mulai pudar dan mengarat. Lama-lama
matanya memandang rumah di sebalik pagar. Kepenatan pada kota memulangkan
Kirana ke rumah. Rumah yang menjentikkan rindu di hatinya.
Perlahan-lahan,
Kirana mulai mengeja kenangan. Isi kepalanya memantulkan Kirana kecil tengah berlarian.
Matanya lengah. Aral batu menjatuhkan kakinya. Lutut Kirana kecil mengucurkan
darah. Dari bibirnya pecah tangisan. Baru reda setelah sang ibu mendudukkan
Kirana kecil di sebuah bangku. Tangan lembut sang ibu mengobati luka Kirana. Dekapan
dan senyumnya meredakan lecut kesakitan.
Denting
kenangan kian menajam seiring langkah kakinya. Kirana memasuki pekarangan. Kakinya
menginjak ilalang yang tumbuh setinggi betis. Beberapa bulan ke belakang, orang
yang biasa dititahkannya merawat rumah itu, mengambil langkah mundur.
Kirana
berjalan menuju selasar rumah. Didapatinya sebagian cat pada dinding-dinding kusam
memucat. Pun kaca-kaca jendela buram berkerak debu. Kirana menyorongkan kunci ke
sebuah lubang pada gagang pintu. Pintu ia dorong. Terdengar bunyi menderit. Derit
memecah sunyi.
Pintu
seolah mengeluhkan, “Aku bosan pada kalian. Dalam satu waktu, keberadaanku
hanya untuk didatangi sekaligus ditinggalkan.”
Rumah
menyambutnya dengan keheningan dan kotak kenangan lebih banyak. Memasuki
ruangan, seluas mata menjala langit-langit, sesawang bergelantungan. Debu-debu tebal
melumuri barang-barang. Barang-barang itu tak pernah berpindah tempat. Masih
sama seperti bertahun-tahun silam sebelum kepergiannya.
Beberapa
kursi kayu teronggok di ruang tamu. Di sini, Kirana kecil kerap mendapati bahu sang
ibu berguncang kecil. Sengguk tetas bersama guncangan. Dari balik pintu yang
terkuak, mata Kirana kecil mencuatkan kebingungan.
Sebenarnya,
sewaktu itu, sang ibu kerap menyetia pada penantian. Menaruh harap pada ketukan
pintu. Akan datang sosok lelakinya. Sampai sadarnya membeliak. Harapan kala itu
serupa caranya mengkhianati kenyataan. Lelakinya tak pernah menjejakkan kaki di
sini.
Jengkal
demi jengkal kaki menyeret Kirana ke ruangan lain. Ruangan yang paling memancarkan
kilau kebersamaan mereka. Adalah peraduan semasa malam melelapkannya. Pembaringan
berukiran kayu mematung di situ. Kirana
membongkar gudang ingatan di kepalanya. Mencari degup kehidupan yang pernah ada.
Masih
digenggamnya ingatan. Di pembaringan itu, sebelum lelap meringkusnya, sang ibu
kerap mendongeng. Selama sang ibu mendongeng, khayalan negeri antah-berantah
menari-nari di kepalanya. Lainnya, senandung ninabobo menyerupai kidung pengantar
mimpi. Pula belai tangan sang ibu melarutkan Kirana kecil dalam kantuk.
Tatkala
Kirana kecil terbangun di sepertiga malam-Nya, tubuh sang ibu tak tertangkap
rabaan tangan. Dengan mata terpincing, Kirana melihat sang ibu tengah
menelimpuhi kaki Tuhan dengan kepalanya. Lama. Entah apa yang dijeritkan batinnya.
Air asin resap di atas sajadah menimpali sedu sedan.
Di
pembaringan ini pula, Kirana kecil kerap mengurai tanya tentang sosok ayah. Lelaki
yang dinamai ayah, tak pernah dilihatnya sama sekali.
“Apakah
ayah membenciku, Bu?”
“Tidak,
Kirana. Ayah tak membencimu.”
“Lalu,
mengapa ayah tak pernah ada di sini?”
“Ayah
sudah bersama Tuhan.”
“Tuhan
mengambil ayah dariku?”
“Ayah
memang milik Tuhan, Kirana. Kelak, kita akan menemui Tuhan untuk berjumpa
dengan ayah bila saatnya tiba. Sekarang, tidurlah.”
Kirana
kecil bungkam. Kebingungan tercipta di kepalanya. Bila ia menanyakan sosok
ayah, genangan selalu mengada di mata ibu. Meski bibirnya menarik segaris
senyum.
*
Kirana berpeluh keringat. Lesapnya debu
dan sesawang menguras habis tenaganya. Letak benda-benda yang belasan tahun silam
menghuni rumah itu, tak pernah diubahnya. Kirana tengah mencoba berdamai dengan
kenangan. Ia telah beroleh pemahaman. Tentang cara orang-orang melawan kenangan
yang menguarkan aroma luka.
Apa
yang didapati dari melupakan sebagai cara melawan kenangan? Sia-sia. Nyatanya,
waktu tak bisa melapukkannya. Apalagi membunuhnya. Selama jantung masih berdegup,
selama kewarasan belumlah tertelan gila, sepanjang itu pula kenangan bernyawa.
Utuh terbingkai dalam kepala.
Lelah
meremasi persendian. Peluh melengketkan tubuh. Lelah dan peluh mengeluarkan
Kirana dari rumah. Kirana berjalan menuju pancuran air terdekat. Tubuhnya perlu
dibersihkan dan disegarkan.
Sepanjang
kaki mengayun, senyum sapa berhamburan dari bibir-bibir yang ditemuinya.
Beberapa dari mereka, berkeingin-tahuan besar tentang kabar Kirana selama di
kota. Kirana mendadak seperti tetamu agung yang telah lama dinanti.
*
Panjang bayang-bayang kian memudar. Langit
berangsur menghitam selaju tenggelamnya bola merah di ufuk timur. Semburat
kemerahan yang melenyap, tersulihkan gelap yang pekat.
Kirana
memantik api dari korek gas. Disulutkannya api pada sumbu lilin yang tergeletak
di meja. Pijar api lilin menerabas gelap. Menciptakan keremangan. Dalam keremangan,
Kirana hanyut meresapi keberadaan cahaya. Cahaya adalah tulang rusuk gelap.
Mereka sepasang kekasih.
Cahaya
menuntun gelap. Tanpa gelap, cahaya tak terasa cahaya. Terkadang, manusia
melupakan keberadaan gelap yang bersembunyi dalam tiap-tiap diri. Sebagian dari
mereka merasa bermandikan cahaya. Hingga cahaya yang terlampau silau, menutup
mata mereka.
Kirana
menjatuhkan diri di pembaringan. Ia menghirup waktu yang telah terketuk palu. Pikirannya
mengelana. Menjelajahi tiap-tiap tilas yang basah. Masih tanak di pikirannya.
Kali pertama ia bertanya tentang hal yang mengusik gadis seusianya.
“Cinta
itu apa, Bu?”
“Cinta
itu seperti ibu menyayangimu.”
“Jika
cinta itu seperti ibu menyayangiku, seperti ayah menyayangi ibu jugakah?”
Sang
ibu mengangguk lemah. Matanya basah. Basah mengilau. Merayap turun di wajah
sang ibu. Kirana tak bertanya lagi. Kedua tangannya beranjak melingkari tubuh
sang ibu. Erat-erat. Seolah tengah membagi kekuatan dan mengenyahkan duka sang
ibu.
*
Kirana bangkit dari rebah. Bosan menyeretnya
ke sisi jendela di samping pembaringan. Tangannya mendorong jendela. Seiring
jendela terkuak, angin melesak masuk. Menawarkan silir angin pegunungan yang dingin.
Binatang-binatang malam mengikrik. Kikrikan mereka laksana katarsis di
pelataran sunyi yang kental.
Kirana
melayangkan pandang ke arah langit. Bersama jejaring kenangan yang tak jemu menjeratnya.
Di jendela ini, Kirana dan sang ibu seringkali menatapi rembulan di dua masa. Semasa
lingkar rembulan memurnama langit. Dan semasa rembulan menyabit. Mereka
meningkahi waktu dengan bercakap-cakap tentang segala yang bernapaskan
kehidupan. Suatu masa, ketika rembulan penuh melingkar, Kirana mencari tahu bagaimana
cinta itu terupa.
“Ibu,
apakah debar itu serupa cinta?”
“Siapa
lelaki yang mengajarimu debar, Nak? Yang pernah kau kenalkan kala itu pada ibu?”
Anggukan
Kirana menandai jawaban, “Bagaimana, Bu? Bagaimana caraku menghadapinya?”
Sang
ibu terdiam. Sangat lama. Betapa resah menikamnya. Waktu telah meremajakan usia
anak gadisnya. Sanggupkah ia gemakan cinta sebagai mawar tanpa duri? Padahal,
ia telah merasai leleran darah dari duri-duri mawar. Duri-duri yang pada
akhirnya menyisakan luka.
“Kau
lihat purnama itu, Nak? Purnama itu dua yang satu. Separuh adalah hatimu,
separuh lagi adalah hati yang menggenapinya. Mencintalah.”
Sang
ibu berhenti sejenak. Peparunya bergerak naik. Bagai menarik keluar gemuruh dari
rongga dadanya. Lalu, membuangnya dengan lepasan embus napas.
“Bila
suatu ketika kau dapati lingkar rembulan separuh, tetaplah benderang. Atau jadilah
seperti sabit, yang tetap tersenyum kepada langit meskipun langit memberinya
pekat kelam.”
“Apakah
purnama itu separuh ibu dan separuh ayah?”
“Bukan,
Nak. Separuh purnama itu ibu. Separuhnya lagi kau.”
“Mengapa
bukan ayah?”
“Hanya
napasmu yang masih jelas ibu rasakan. Adanya ibu, dititipkan Sang Kuasa untuk
menjagamu.”
“Bila
suatu saat aku tak di sini, apa yang akan ibu pandangi?”
“Lengkung
sabit.”
“Kalau
begitu, kita akan tetap memandangi purnama atau pun sabit di jendela yang
sama.”
“Bagaimana
caranya?”
“Aku
minta lelakiku membawa serta ibu ke jendela mana pun ia membawaku.”
Sang
ibu merengkuh Kirana. Serupa merengkuh harap: tak ditemurunkannya kepahitan. Akan
cinta dan lelaki pada Kirana.
*
Dingin udara kian merajam
tulang-belulang. Namun, Kirana enggan beranjak dari tepian jendela. Tilas yang
basah masih membiusnya. Kali ini, ingatan tentang lelaki pertama yang mengenalinya
debar.
Kala
itu, Kirana seumpama kertas polos. Sedang lelaki pertama itu tintanya. Dan
puisi-puisi yang digoreskan tinta itu merupa cinta. Lelaki pertama amatlah
lihai. Ia telah mengenal rupa-rupa perempuan. Dengan sangat elok ia melambungkan
hati Kirana pada keindahan.
“Berhati-hatilah,
Nak. Sekalipun cinta seumpama puisi yang menebarkan wewangian dan keindahan bunga-bunga,
tetaplah mengada padanya kidung yang menyairkan duri.”
Petuah
itu petuah sang ibu. Namun, Kirana tetap mabuk cinta. Cinta telah melenakannya
panjang-panjang. Lewat lelaki pertama, ia mencari-cari cermin ayah. Pun membentuk
sosok lelaki di kepalanya. Lelaki pertama mengajarinya rasa mendamba. Apa yang
telah dilakukan lelaki pertama?
Lelaki
pertama mempermainkannya. Sedang Kirana terlalu lugu untuk merasai keganjilan. Sampai
didapatinya nyata dengan mata kepala. Lelaki pertama tengah mengajari rabaan
berujung lenguh menggelinjang. Pada seorang perempuan yang Kirana tak
mengenalnya.
Kirana
hancur. Hatinya mumur. Barulah ia mencelikkan matanya lebar-lebar. Ia tak
mengenali lelakinya benar-benar. Cinta lelakinya sebatas rabaan. Ketika Kirana
menggelengkan kepala untuk lekuk tubuhnya dipelajari, lelaki itu mencari
perempuan lain sejenis itu.
Setelahnya,
sang lelaki meminta jalinan tersambung kembali. Sungguh, terasa musykil dan mustahil
bagi Kirana menerima. Kirana tak setunduk itu pada kebodohan. Tuak memabukkan
itu telah berganti sembilu yang mengiris-ngiris hatinya. Kirana berjalan meniti
waktu. Tertatih. Jatuh bangun.
Belum
usai perih luka mengering. Perih baru datang menerjang. Menghempaskan Kirana pada
liku yang panjang. Diteguk-paksanya kenyataan, sang ibu kehilangan degup
jantung.
Jubelan
orang-orang berpakaian serba hitam di tanah pekuburan seakan maklum. Akan usia yang
seumpama jam pasir. Suatu waktu, detik yang berbulir akan berhenti mengalir. Sedang
bagi Kirana? Menyisakan getir.
Lalu,
didapatinya ia menjelma titik di dunia yang terlampau luas.
Kecil.
Sendiri.
*
Malam kian meninggi. Lelah mengembalikan
Kirana ke pembaringan. Namun, lelah tak pernah melelapkannya sungguh-sungguh. Sebab,
meski malam membenamkannya pada bunga tidur, harum mimpinya tetaplah airmata.
Seperti ketika ia terbangun kali ini. Sealir linang membasahi wajahnya.
Selebar-lebar
Kirana membuka mata, didapatinya gelap menyergap. Lilin itu telah habis mengorbankan
diri. Tangan Kirana meraba-raba pembaringan. Mencari-cari korek gas untuk
menyulut lilin. Duri-duri bunga tidur menjauhkannya dari pembaringan.
Kirana
memilih meringkuk di kursi dekat jendela. Aroma suram kenangan kembali menghanyutkannya.
Atau seperti yang telah terkatakan sebelumnya. Kirana tengah berdamai dengan
kenangan.
Kematian
sang ibu melarikan Kirana ke kota rantau. Kota, tempatnya mendulang rupiah. Pula
mempertemukannya dengan lelaki kedua. Lelaki kedua adalah lelaki menawan di
mata Kirana. Jika lelaki pertamanya berisikan kepala laksana batu dan api. Maka
lelaki kedua bagaikan tanah. Tanah mampu menjelma rupa-rupa.
Kala
perih memuramkan Kirana, ia menyuguhkan lelucon-lelucon. Kala mata Kirana
bertempias, tangan lelaki kedua menjadi tadahnya. Pun mahir mengubah kebosanan
menjadi tetawa. Padanya, Kirana merasai debar baru. Berangsur-angsur hatinya
kembali memerah jambu.
Di penghujung dua tahun usia jalinan,
kegamangan menyapa. Lintas kota, akan menciptakan bentang jarak di antara
mereka. Kemudian, batin Kirana menggemakan bermacam tanya.
Apa
kuasa jarak terhadap cinta, duhai sang waktu? Mengeratkan jalinan? Atau mencerai-beraikannya?
Tanpa
jarak yang panjang, lelaki pertama pandai membagi waktu dengan perempuan lain.
Kini, dengan jarak yang membentang? Ah, Kirana memilih membunuh keraguan.
Keraguan dibunuhnya dengan satu tebasan. Kepercayaan: lelaki kedua bukanlah
lelaki pertama.
Seiring
waktu bergulir, betapa bentang jarak menempanya pada penantian. Penantian
melahirkan dera rindu. Semasa itu, keberadaan jarak serupa siksaan. Kirana
hanya puas dengan suara lelaki kedua dari kejauhan. Lainnya, Kirana sadari bahwa
jarak adalah celah bagi godaan bertumbuh liar. Pula membuka ruang dusta selebar-lebarnya.
Setanah-tanahnya
lelaki kedua, jiwanya tetaplah lelaki. Yang oleh sebab perempuan, ia tak bisa
menghindari api. Ia memerah terbakar. Kobaran api mengepulkan asap. Sangit
tercium Kirana.
Rupanya,
luka dari lelaki pertama mengasah kepekaan Kirana akan keganjilan. Suara lelaki
kedua kian jarang menghalwa di telinga. Sekali ia didapati suara lelaki kedua, bunyinya
hanyalah tumpahan serangsang amarah. Cinta lelaki kedua memucat mayat.
Puncak keganjilan tetas. Ketika suara
perempuan yang menjadi onak menohok Kirana. Bagaimana dengan lelaki kedua? Lelaki
kedua terlalu pengecut untuk sebuah pengakuan. Kejujuran nurani memilih
bersembunyi. Ketiak perempuan onak itu tempat lelaki kedua bernaung.
Hati Kirana mengalunkan kidung yang
menyairkan duri:
Betapa... hatiku memar lebam
Sebab hempasan luka lara
Sekali empasan, remuk-redam
Berkali
empasan, lumat sempurna
Kubertanya pada malam yang temaram
Mengapa harus menoreh cecap luka
Jika itu sebuah rasa yang mendalam
Yang orang-orang namai cinta
*
Dari kejauhan, rembulan menyabit di angkasa.
Lengkungnya menertawai kehidupan yang tengah lengah dibuai malam. Sinar
terangnya bagai parang. Yang seolah ingin menyebat sisi tersembunyi manusia yang
masih terjaga di sebalik jendela.
Usai
perih tak menawarkan apa-apa selain caranya mengundang airmata, Kirana beranjak
menuju lemari pakaian. Ia mengambil kotak yang ditemukannya ketika membersihkan
debu-debu dan sesawang. Kotak yang tak terjamah semasa degup sang ibu masih ada.
Kotak
itu, persemayaman rupa-rupa kisah. Tentang cinta dan lelaki yang pernah membuat
purnama utuh di mata sang ibu. Tentang wewangian, cedayam bunga-bunga hingga
mata pisau yang menyayati nadi. Kirana kini tahu. Apa sebab sang ibu menganggap
purnama itu separuh dirinya dan separuh Kirana.
Bara
merah berkobar di hati Kirana. Meletupkan kemuakan tiada tara. Kirana menyentakkan
tanya di tengah gelimang kemuakan, “Dari apa hati lelaki-lelaki itu terupa,
Ibu? Ataukah malah tak berhati?”
Dalam
Kepala Kirana masih tertanam ingatan. Bagaimana dahulu sang ibu tersenyum saat
ia memberondong tentang sosok ayah. Ah, betapa saat itu hatinya memeram reriak pedih.
Kepada Kirana, ia membingkai lelakinya dalam potret ketiadaan. Sekalipun nyata,
jantung lelakinya masih bedenyut. Nun jauh di sana.
Dari
kotak itu, Kirana mereguk duri-duri. Duri-duri itu adalah kenyataan. Yang
mengisahkan kidung petaka antara sang ayah dan ibu. Kuasa jarak dan waktu awal
mulanya.
Demi
mengubah gubuk menjadi dinding berkayu dan berperabot lebih banyak, demi
terpenuhinya perut dengan bermacam makanan dan asap dapur tetap mengepul, sang ayah
menghamba pada jarak dan waktu. Lantas, di bawah panjangnya kuasa jarak dan
waktu, setia tak ubahnya telur di ujung tanduk.
Pada
perempuan bergincu merah yang menawarkan ladangnya, ayah Kirana bercocok tanam.
Setelahnya, bulan perempuan bergincu merah tak lagi memerah. Benih telah
menjadi daging. Kehidupan kota yang gemerlap bersama perempuan bergincu merah,
memalingkan ayah Kirana dari sang ibu. Ah, betapa....
*
“Bila suatu ketika kau dapati lingkar rembulan
separuh, tetaplah benderang. Atau jadilah seperti sabit, yang tetap tersenyum
kepada langit meskipun langit memberinya pekat kelam.”
Tilas
suara menggema dari segala arah. Menyerupai dengung tawon. Kirana menjadi
paham, mengapa lengkung sabit yang dipilih sang ibu ketika rembulan tak lagi
melingkar penuh.
Kirana
tercekik sesak. Sesak melahirkan desah. Melentingkan getar di bibir. Lirih
terdengar ujar, “Aku merindukanmu, Bu. Adakah telaga cinta lain yang sejernih
dirimu? Adakah yang paham tentang cecap luka-luka sedalam engkau memahamiku?
Duhai Ibu..., mengapa cinta dan lelaki begitu memuakkan?”
Angin
berdesing. Menggetarkan kaca jendela. Tiupannya semakin mengencang. Pucuk
pepohonan meliuk-liuk. Dedaunan terputus napas. Tercerabut paksa dari reranting.
Memilin, berputar. Melayang-layang. Lalu, jatuh sekehendak angin
mendaratkannya.
Tahukah
kau, dedaunan yang melayang-layang?
Meski angin memisahkanmu dari
reranting
Kau tak akan merasai sunyi panjang
menjerang
Sebab,
akan ada tanah yang bersiap menampamu
Lalu kau, reranting....
Tahukah kau, wahai reranting?
Kau
tak pernah kehilangan dedaunan
Dedaunan tak benar-benar pergi
Dedaunan hanya menyulap diri
Menjelma humus agar kau tetap
berseri
Bersama
dedaunan-dedaunan baru
Sedang rembulan sabit di angkasa
sana?
Meski bintang-bintang bertabur di
sekelilingnya
Dengan lengkung yang terang menyala
Rembulan
sabit menertawai kesunyiannya sendiri
Sinar
rembulan berwujud parang berangsur lindap memudar. Pendar bintang-bintang
berganti cahaya bercerambuk petir. Langit bertudung mendung. Kirana memejam
mata. Hampa dan kekosongan menjelanak diam-diam.
Pelan-pelan, tanah kering beraroma
basah. Lantas, membecek selaju langit mendaraskan hujan. Alam yang tak tertebak
di sekarat malam, seolah membahasakan perasaan. Bersama butir-butir air di matanya
yang jatuh satu-satu, Kirana lebur dalam kesunyian. Rasanya, Kirana ingin
tidur... di pangkuan Tuhan.
*
Penulis : Vinny Erika Putri
*Cerpen ini masuk ke dalam 150 karya cerpen favorit kategori C (Umum/ guru/ mahasiswa) dalam LMCR ROHTO MENTHOLANUM 2013 dari (menurut informasi) 6700 naskah yang masuk.