Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Sabtu, 26 Oktober 2013

Kesunyian Kirana



Kirana telah lupa. Bagaimana cinta dan lelaki itu terupa. Sepanjang ia mengenal cinta dan lelaki, hanya getir yang dicecapnya. Hati Kirana memati suri. Pada cinta dan lelaki.
*

Kirana menghentikan kakinya di depan pagar besi. Polesan warna di sekujur pagar mulai pudar dan mengarat. Lama-lama matanya memandang rumah di sebalik pagar. Kepenatan pada kota memulangkan Kirana ke rumah. Rumah yang menjentikkan rindu di hatinya.

Perlahan-lahan, Kirana mulai mengeja kenangan. Isi kepalanya memantulkan Kirana kecil tengah berlarian. Matanya lengah. Aral batu menjatuhkan kakinya. Lutut Kirana kecil mengucurkan darah. Dari bibirnya pecah tangisan. Baru reda setelah sang ibu mendudukkan Kirana kecil di sebuah bangku. Tangan lembut sang ibu mengobati luka Kirana. Dekapan dan senyumnya meredakan lecut kesakitan.

Denting kenangan kian menajam seiring langkah kakinya. Kirana memasuki pekarangan. Kakinya menginjak ilalang yang tumbuh setinggi betis. Beberapa bulan ke belakang, orang yang biasa dititahkannya merawat rumah itu, mengambil langkah mundur.

Kirana berjalan menuju selasar rumah. Didapatinya sebagian cat pada dinding-dinding kusam memucat. Pun kaca-kaca jendela buram berkerak debu. Kirana menyorongkan kunci ke sebuah lubang pada gagang pintu. Pintu ia dorong. Terdengar bunyi menderit. Derit memecah sunyi.

Pintu seolah mengeluhkan, “Aku bosan pada kalian. Dalam satu waktu, keberadaanku hanya untuk didatangi sekaligus ditinggalkan.”

Rumah menyambutnya dengan keheningan dan kotak kenangan lebih banyak. Memasuki ruangan, seluas mata menjala langit-langit, sesawang bergelantungan. Debu-debu tebal melumuri barang-barang. Barang-barang itu tak pernah berpindah tempat. Masih sama seperti bertahun-tahun silam sebelum kepergiannya.

Beberapa kursi kayu teronggok di ruang tamu. Di sini, Kirana kecil kerap mendapati bahu sang ibu berguncang kecil. Sengguk tetas bersama guncangan. Dari balik pintu yang terkuak, mata Kirana kecil mencuatkan kebingungan.

Sebenarnya, sewaktu itu, sang ibu kerap menyetia pada penantian. Menaruh harap pada ketukan pintu. Akan datang sosok lelakinya. Sampai sadarnya membeliak. Harapan kala itu serupa caranya mengkhianati kenyataan. Lelakinya tak pernah menjejakkan kaki di sini.

Jengkal demi jengkal kaki menyeret Kirana ke ruangan lain. Ruangan yang paling memancarkan kilau kebersamaan mereka. Adalah peraduan semasa malam melelapkannya. Pembaringan  berukiran kayu mematung di situ. Kirana membongkar gudang ingatan di kepalanya. Mencari degup kehidupan yang pernah ada.

Masih digenggamnya ingatan. Di pembaringan itu, sebelum lelap meringkusnya, sang ibu kerap mendongeng. Selama sang ibu mendongeng, khayalan negeri antah-berantah menari-nari di kepalanya. Lainnya, senandung ninabobo menyerupai kidung pengantar mimpi. Pula belai tangan sang ibu melarutkan Kirana kecil dalam kantuk.

Tatkala Kirana kecil terbangun di sepertiga malam-Nya, tubuh sang ibu tak tertangkap rabaan tangan. Dengan mata terpincing, Kirana melihat sang ibu tengah menelimpuhi kaki Tuhan dengan kepalanya. Lama. Entah apa yang dijeritkan batinnya. Air asin resap di atas sajadah menimpali sedu sedan.

Di pembaringan ini pula, Kirana kecil kerap mengurai tanya tentang sosok ayah. Lelaki yang dinamai ayah, tak pernah dilihatnya sama sekali.

“Apakah ayah membenciku, Bu?”

“Tidak, Kirana. Ayah tak membencimu.”

“Lalu, mengapa ayah tak pernah ada di sini?”

“Ayah sudah bersama Tuhan.”

“Tuhan mengambil ayah dariku?”

“Ayah memang milik Tuhan, Kirana. Kelak, kita akan menemui Tuhan untuk berjumpa dengan ayah bila saatnya tiba. Sekarang, tidurlah.”

Kirana kecil bungkam. Kebingungan tercipta di kepalanya. Bila ia menanyakan sosok ayah, genangan selalu mengada di mata ibu. Meski bibirnya menarik segaris senyum.
*
Kirana berpeluh keringat. Lesapnya debu dan sesawang menguras habis tenaganya. Letak benda-benda yang belasan tahun silam menghuni rumah itu, tak pernah diubahnya. Kirana tengah mencoba berdamai dengan kenangan. Ia telah beroleh pemahaman. Tentang cara orang-orang melawan kenangan yang menguarkan aroma luka.

Apa yang didapati dari melupakan sebagai cara melawan kenangan? Sia-sia. Nyatanya, waktu tak bisa melapukkannya. Apalagi membunuhnya. Selama jantung masih berdegup, selama kewarasan belumlah tertelan gila, sepanjang itu pula kenangan bernyawa. Utuh terbingkai dalam kepala.

Lelah meremasi persendian. Peluh melengketkan tubuh. Lelah dan peluh mengeluarkan Kirana dari rumah. Kirana berjalan menuju pancuran air terdekat. Tubuhnya perlu dibersihkan dan disegarkan.

Sepanjang kaki mengayun, senyum sapa berhamburan dari bibir-bibir yang ditemuinya. Beberapa dari mereka, berkeingin-tahuan besar tentang kabar Kirana selama di kota. Kirana mendadak seperti tetamu agung yang telah lama dinanti.
*
Panjang bayang-bayang kian memudar. Langit berangsur menghitam selaju tenggelamnya bola merah di ufuk timur. Semburat kemerahan yang melenyap, tersulihkan gelap yang pekat.

Kirana memantik api dari korek gas. Disulutkannya api pada sumbu lilin yang tergeletak di meja. Pijar api lilin menerabas gelap. Menciptakan keremangan. Dalam keremangan, Kirana hanyut meresapi keberadaan cahaya. Cahaya adalah tulang rusuk gelap. Mereka sepasang kekasih.

Cahaya menuntun gelap. Tanpa gelap, cahaya tak terasa cahaya. Terkadang, manusia melupakan keberadaan gelap yang bersembunyi dalam tiap-tiap diri. Sebagian dari mereka merasa bermandikan cahaya. Hingga cahaya yang terlampau silau, menutup mata mereka.

Kirana menjatuhkan diri di pembaringan. Ia menghirup waktu yang telah terketuk palu. Pikirannya mengelana. Menjelajahi tiap-tiap tilas yang basah. Masih tanak di pikirannya. Kali pertama ia bertanya tentang hal yang mengusik gadis seusianya.

“Cinta itu apa, Bu?”

“Cinta itu seperti ibu menyayangimu.”

“Jika cinta itu seperti ibu menyayangiku, seperti ayah menyayangi ibu jugakah?”

Sang ibu mengangguk lemah. Matanya basah. Basah mengilau. Merayap turun di wajah sang ibu. Kirana tak bertanya lagi. Kedua tangannya beranjak melingkari tubuh sang ibu. Erat-erat. Seolah tengah membagi kekuatan dan mengenyahkan duka sang ibu.
*
Kirana bangkit dari rebah. Bosan menyeretnya ke sisi jendela di samping pembaringan. Tangannya mendorong jendela. Seiring jendela terkuak, angin melesak masuk. Menawarkan silir angin pegunungan yang dingin. Binatang-binatang malam mengikrik. Kikrikan mereka laksana katarsis di pelataran sunyi yang kental.

Kirana melayangkan pandang ke arah langit. Bersama jejaring kenangan yang tak jemu menjeratnya. Di jendela ini, Kirana dan sang ibu seringkali menatapi rembulan di dua masa. Semasa lingkar rembulan memurnama langit. Dan semasa rembulan menyabit. Mereka meningkahi waktu dengan bercakap-cakap tentang segala yang bernapaskan kehidupan. Suatu masa, ketika rembulan penuh melingkar, Kirana mencari tahu bagaimana cinta itu terupa.

“Ibu, apakah debar itu serupa cinta?”

“Siapa lelaki yang mengajarimu debar, Nak? Yang pernah kau kenalkan kala itu pada ibu?”

Anggukan Kirana menandai jawaban, “Bagaimana, Bu? Bagaimana caraku menghadapinya?”

Sang ibu terdiam. Sangat lama. Betapa resah menikamnya. Waktu telah meremajakan usia anak gadisnya. Sanggupkah ia gemakan cinta sebagai mawar tanpa duri? Padahal, ia telah merasai leleran darah dari duri-duri mawar. Duri-duri yang pada akhirnya menyisakan luka.

“Kau lihat purnama itu, Nak? Purnama itu dua yang satu. Separuh adalah hatimu, separuh lagi adalah hati yang menggenapinya. Mencintalah.”

Sang ibu berhenti sejenak. Peparunya bergerak naik. Bagai menarik keluar gemuruh dari rongga dadanya. Lalu, membuangnya dengan lepasan embus napas.

“Bila suatu ketika kau dapati lingkar rembulan separuh, tetaplah benderang. Atau jadilah seperti sabit, yang tetap tersenyum kepada langit meskipun langit memberinya pekat kelam.”

“Apakah purnama itu separuh ibu dan separuh ayah?”

“Bukan, Nak. Separuh purnama itu ibu. Separuhnya lagi kau.”

“Mengapa bukan ayah?”

“Hanya napasmu yang masih jelas ibu rasakan. Adanya ibu, dititipkan Sang Kuasa untuk menjagamu.”

“Bila suatu saat aku tak di sini, apa yang akan ibu pandangi?”

“Lengkung sabit.”

“Kalau begitu, kita akan tetap memandangi purnama atau pun sabit di jendela yang sama.”

“Bagaimana caranya?”

“Aku minta lelakiku membawa serta ibu ke jendela mana pun ia membawaku.”

Sang ibu merengkuh Kirana. Serupa merengkuh harap: tak ditemurunkannya kepahitan. Akan cinta dan lelaki pada Kirana.
*
Dingin udara kian merajam tulang-belulang. Namun, Kirana enggan beranjak dari tepian jendela. Tilas yang basah masih membiusnya. Kali ini, ingatan tentang lelaki pertama yang mengenalinya debar.

Kala itu, Kirana seumpama kertas polos. Sedang lelaki pertama itu tintanya. Dan puisi-puisi yang digoreskan tinta itu merupa cinta. Lelaki pertama amatlah lihai. Ia telah mengenal rupa-rupa perempuan. Dengan sangat elok ia melambungkan hati Kirana pada keindahan.

“Berhati-hatilah, Nak. Sekalipun cinta seumpama puisi yang menebarkan wewangian dan keindahan bunga-bunga, tetaplah mengada padanya kidung yang menyairkan duri.”

Petuah itu petuah sang ibu. Namun, Kirana tetap mabuk cinta. Cinta telah melenakannya panjang-panjang. Lewat lelaki pertama, ia mencari-cari cermin ayah. Pun membentuk sosok lelaki di kepalanya. Lelaki pertama mengajarinya rasa mendamba. Apa yang telah dilakukan lelaki pertama?

Lelaki pertama mempermainkannya. Sedang Kirana terlalu lugu untuk merasai keganjilan. Sampai didapatinya nyata dengan mata kepala. Lelaki pertama tengah mengajari rabaan berujung lenguh menggelinjang. Pada seorang perempuan yang Kirana tak mengenalnya.

Kirana hancur. Hatinya mumur. Barulah ia mencelikkan matanya lebar-lebar. Ia tak mengenali lelakinya benar-benar. Cinta lelakinya sebatas rabaan. Ketika Kirana menggelengkan kepala untuk lekuk tubuhnya dipelajari, lelaki itu mencari perempuan lain sejenis itu.

Setelahnya, sang lelaki meminta jalinan tersambung kembali. Sungguh, terasa musykil dan mustahil bagi Kirana menerima. Kirana tak setunduk itu pada kebodohan. Tuak memabukkan itu telah berganti sembilu yang mengiris-ngiris hatinya. Kirana berjalan meniti waktu. Tertatih. Jatuh bangun.

Belum usai perih luka mengering. Perih baru datang menerjang. Menghempaskan Kirana pada liku yang panjang. Diteguk-paksanya kenyataan, sang ibu kehilangan degup jantung.

Jubelan orang-orang berpakaian serba hitam di tanah pekuburan seakan maklum. Akan usia yang seumpama jam pasir. Suatu waktu, detik yang berbulir akan berhenti mengalir. Sedang bagi Kirana? Menyisakan getir.

Lalu, didapatinya ia menjelma titik di dunia yang terlampau luas. 
Kecil.
Sendiri.
*
Malam kian meninggi. Lelah mengembalikan Kirana ke pembaringan. Namun, lelah tak pernah melelapkannya sungguh-sungguh. Sebab, meski malam membenamkannya pada bunga tidur, harum mimpinya tetaplah airmata. Seperti ketika ia terbangun kali ini. Sealir linang membasahi wajahnya.

Selebar-lebar Kirana membuka mata, didapatinya gelap menyergap. Lilin itu telah habis mengorbankan diri. Tangan Kirana meraba-raba pembaringan. Mencari-cari korek gas untuk menyulut lilin. Duri-duri bunga tidur menjauhkannya dari pembaringan.

Kirana memilih meringkuk di kursi dekat jendela. Aroma suram kenangan kembali menghanyutkannya. Atau seperti yang telah terkatakan sebelumnya. Kirana tengah berdamai dengan kenangan.

Kematian sang ibu melarikan Kirana ke kota rantau. Kota, tempatnya mendulang rupiah. Pula mempertemukannya dengan lelaki kedua. Lelaki kedua adalah lelaki menawan di mata Kirana. Jika lelaki pertamanya berisikan kepala laksana batu dan api. Maka lelaki kedua bagaikan tanah. Tanah mampu menjelma rupa-rupa.

Kala perih memuramkan Kirana, ia menyuguhkan lelucon-lelucon. Kala mata Kirana bertempias, tangan lelaki kedua menjadi tadahnya. Pun mahir mengubah kebosanan menjadi tetawa. Padanya, Kirana merasai debar baru. Berangsur-angsur hatinya kembali memerah jambu.

Di penghujung dua tahun usia jalinan, kegamangan menyapa. Lintas kota, akan menciptakan bentang jarak di antara mereka. Kemudian, batin Kirana menggemakan bermacam tanya.

Apa kuasa jarak terhadap cinta, duhai sang waktu? Mengeratkan jalinan? Atau mencerai-beraikannya?

Tanpa jarak yang panjang, lelaki pertama pandai membagi waktu dengan perempuan lain. Kini, dengan jarak yang membentang? Ah, Kirana memilih membunuh keraguan. Keraguan dibunuhnya dengan satu tebasan. Kepercayaan: lelaki kedua bukanlah lelaki pertama.

Seiring waktu bergulir, betapa bentang jarak menempanya pada penantian. Penantian melahirkan dera rindu. Semasa itu, keberadaan jarak serupa siksaan. Kirana hanya puas dengan suara lelaki kedua dari kejauhan. Lainnya, Kirana sadari bahwa jarak adalah celah bagi godaan bertumbuh liar. Pula membuka ruang dusta selebar-lebarnya.

Setanah-tanahnya lelaki kedua, jiwanya tetaplah lelaki. Yang oleh sebab perempuan, ia tak bisa menghindari api. Ia memerah terbakar. Kobaran api mengepulkan asap. Sangit tercium Kirana.

Rupanya, luka dari lelaki pertama mengasah kepekaan Kirana akan keganjilan. Suara lelaki kedua kian jarang menghalwa di telinga. Sekali ia didapati suara lelaki kedua, bunyinya hanyalah tumpahan serangsang amarah. Cinta lelaki kedua memucat mayat.

Puncak keganjilan tetas. Ketika suara perempuan yang menjadi onak menohok Kirana. Bagaimana dengan lelaki kedua? Lelaki kedua terlalu pengecut untuk sebuah pengakuan. Kejujuran nurani memilih bersembunyi. Ketiak perempuan onak itu tempat lelaki kedua bernaung.

Hati Kirana mengalunkan kidung yang menyairkan duri:

            Betapa... hatiku memar lebam
            Sebab hempasan luka lara
            Sekali empasan, remuk-redam
            Berkali empasan, lumat sempurna
            Kubertanya pada malam yang temaram
            Mengapa harus menoreh cecap luka
            Jika itu sebuah rasa yang mendalam
            Yang orang-orang namai cinta
*
Dari kejauhan, rembulan menyabit di angkasa. Lengkungnya menertawai kehidupan yang tengah lengah dibuai malam. Sinar terangnya bagai parang. Yang seolah ingin menyebat sisi tersembunyi manusia yang masih terjaga di sebalik jendela.

Usai perih tak menawarkan apa-apa selain caranya mengundang airmata, Kirana beranjak menuju lemari pakaian. Ia mengambil kotak yang ditemukannya ketika membersihkan debu-debu dan sesawang. Kotak yang tak terjamah semasa degup sang ibu masih ada.

Kotak itu, persemayaman rupa-rupa kisah. Tentang cinta dan lelaki yang pernah membuat purnama utuh di mata sang ibu. Tentang wewangian, cedayam bunga-bunga hingga mata pisau yang menyayati nadi. Kirana kini tahu. Apa sebab sang ibu menganggap purnama itu separuh dirinya dan separuh Kirana.

Bara merah berkobar di hati Kirana. Meletupkan kemuakan tiada tara. Kirana menyentakkan tanya di tengah gelimang kemuakan, “Dari apa hati lelaki-lelaki itu terupa, Ibu? Ataukah malah tak berhati?”

Dalam Kepala Kirana masih tertanam ingatan. Bagaimana dahulu sang ibu tersenyum saat ia memberondong tentang sosok ayah. Ah, betapa saat itu hatinya memeram reriak pedih. Kepada Kirana, ia membingkai lelakinya dalam potret ketiadaan. Sekalipun nyata, jantung lelakinya masih bedenyut. Nun jauh di sana.

Dari kotak itu, Kirana mereguk duri-duri. Duri-duri itu adalah kenyataan. Yang mengisahkan kidung petaka antara sang ayah dan ibu. Kuasa jarak dan waktu awal mulanya.

Demi mengubah gubuk menjadi dinding berkayu dan berperabot lebih banyak, demi terpenuhinya perut dengan bermacam makanan dan asap dapur tetap mengepul, sang ayah menghamba pada jarak dan waktu. Lantas, di bawah panjangnya kuasa jarak dan waktu, setia tak ubahnya telur di ujung tanduk.

Pada perempuan bergincu merah yang menawarkan ladangnya, ayah Kirana bercocok tanam. Setelahnya, bulan perempuan bergincu merah tak lagi memerah. Benih telah menjadi daging. Kehidupan kota yang gemerlap bersama perempuan bergincu merah, memalingkan ayah Kirana dari sang ibu. Ah, betapa....
*
“Bila suatu ketika kau dapati lingkar rembulan separuh, tetaplah benderang. Atau jadilah seperti sabit, yang tetap tersenyum kepada langit meskipun langit memberinya pekat kelam.”

Tilas suara menggema dari segala arah. Menyerupai dengung tawon. Kirana menjadi paham, mengapa lengkung sabit yang dipilih sang ibu ketika rembulan tak lagi melingkar penuh.

Kirana tercekik sesak. Sesak melahirkan desah. Melentingkan getar di bibir. Lirih terdengar ujar, “Aku merindukanmu, Bu. Adakah telaga cinta lain yang sejernih dirimu? Adakah yang paham tentang cecap luka-luka sedalam engkau memahamiku? Duhai Ibu..., mengapa cinta dan lelaki begitu memuakkan?”

Angin berdesing. Menggetarkan kaca jendela. Tiupannya semakin mengencang. Pucuk pepohonan meliuk-liuk. Dedaunan terputus napas. Tercerabut paksa dari reranting. Memilin, berputar. Melayang-layang. Lalu, jatuh sekehendak angin mendaratkannya.
            Tahukah kau, dedaunan yang melayang-layang?
            Meski angin memisahkanmu dari reranting
            Kau tak akan merasai sunyi panjang menjerang
            Sebab, akan ada tanah yang bersiap menampamu
            Lalu kau, reranting....
            Tahukah kau, wahai reranting?
            Kau tak pernah kehilangan dedaunan
            Dedaunan tak benar-benar pergi
            Dedaunan hanya menyulap diri
            Menjelma humus agar kau tetap berseri
            Bersama dedaunan-dedaunan baru
            Sedang rembulan sabit di angkasa sana?
            Meski bintang-bintang bertabur di sekelilingnya
            Dengan lengkung yang terang menyala
            Rembulan sabit menertawai kesunyiannya sendiri

Sinar rembulan berwujud parang berangsur lindap memudar. Pendar bintang-bintang berganti cahaya bercerambuk petir. Langit bertudung mendung. Kirana memejam mata. Hampa dan kekosongan menjelanak diam-diam.

Pelan-pelan, tanah kering beraroma basah. Lantas, membecek selaju langit mendaraskan hujan. Alam yang tak tertebak di sekarat malam, seolah membahasakan perasaan. Bersama butir-butir air di matanya yang jatuh satu-satu, Kirana lebur dalam kesunyian. Rasanya, Kirana ingin tidur... di pangkuan Tuhan.
*

Penulis : Vinny Erika Putri
*Cerpen ini masuk ke dalam 150 karya cerpen favorit kategori C (Umum/ guru/ mahasiswa) dalam LMCR ROHTO MENTHOLANUM 2013 dari (menurut informasi) 6700 naskah yang masuk.


Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak



Ada yang mengatakan, nikmatilah menjadi ibu ketika anak-anak masih terlampau kecil untuk bisa melakukan apa-apa. Sebab, seiring waktu mendewasakan mereka, tiada rengek tangis yang merepotkan ibu seperti semasa mereka kecil. Banyak hal yang mereka sanggup lakukan sendiri. Dan tak lagi ingin diatur-atur.

Lalu, bagi anak yang telah didewasakan waktu? Ada satu titik di mana larut kesibukan menjerangkan rindu. Akan waktu-waktu bersama ibu. Sekalipun hanya mengisinya dengan perbincangan panjang yang membawa tawa renyah.

Lainnya, ketika lelah menidurkan ibu dengan lelap. Tampak kerut garis di wajahnya bertambah. Rambut putih tak lagi sehelai dua helai. Tapi telah penuh-penuh mengisi kepala. Detik demi detik yang bergulir, menyepuhkan usianya perlahan. Sesak tiba-tiba meletikkan bulir air yang jatuh satu-satu ketika aku menatapnya diam-diam.

-V.E.P, 19.09.13

Kamis, 03 Oktober 2013

Berbicara Efektif kepada Anak Usia Pra-Sekolah




Sabtu, 14 September 2013, kami mengikuti kegiatan parenting yang dipandu oleh seorang psikolog anak. Kegiatan itu telah menjadi kegiatan rutin bulanan yang diadakan lembaga kami. Acara hari itu, bertemakan "Berbicara Efektif kepada Anak Usia Pra-Sekolah".



Apa yang mengawali diangkatnya tema tersebut? Kami, lembaga yang berkecimpung di dunia Pendidikan Anak Usia Dini rentang usia 1-5 tahun, sering mengalami hal yang kami perkirakan umum dialami banyak orang tua atau lembaga serupa. Apakah itu? Pastinya, kita pernah mengalami fase di mana kita melarang anak dengan kalimat panjang-lebar ketika melakukan hal yang dinilai berbahaya di mata kita. Atau melarang hal yang semestinya tidak dilakukan oleh sebab faktor budaya kesopanan yang berlaku di tanah air atau labelitas norma yang membelit suatu kelompok/golongan.

Kami ambil beberapa contoh kasus di lingkungan kami bekerja dan mungkin hampir menjadi kasus umum di lembaga lainnya juga para orang tua.
  1. Ketika anak mendekati kompor yang sedang menyala dan di atasnya teronggok panci berisi air mendidih atau minyak yang meletik-letik, kita umumnya akan berkata, "Jangan dekat-dekat. Berbahaya. Nanti tangannya bisa melepuh kalau disentuh." Terkadang, kita hanya berbicara tanpa ada kontak fisik dan sambil tetap berkubang dengan kesibukan semisal memasak, membuat susu atau sebab tengah menangani anak lainnya. Apa hasilnya? Anak kian menjadi-jadi. Bukannya pergi menjauh, malah semakin mencoba mendekati kompor api dengan panci air di atasnya.
  2. Ketika anak bermain pasir atau batu. Kemudian melemparkannya secara sembarang atau mengarahkannya pada teman di dekatnya. Kemudian, posisi kita saat itu jauh untuk menjangkaunya dengan segera karena gerakan mereka lebih cepat dari antisipasi kita. Maka secara spontan, radar bahaya yang tertanam di otak kita meletuskan teriakan tinggi dari mulut, "JANGAAAAAN!! NOOOO!! STOOOP!!" Setelahnya, anak dimarahi lalu dilarang bermain batu dan pasir.
  3. Anak-anak terkadang melakukan hal-hal yang menurut kita tidak sopan untuk dilakukan karena berkaitan dengan ranah adab/norma yang dianut semisal norma agama, norma kesopanan dan norma-norma lain. Contoh: anak menaiki meja untuk bermain-main, anak berulah dengan membalik-balikan kursi atau merengek gaduh ketika kita sedang menerima tamu, meminta uang di depan tamu dan kelakuan lainnya yang dinilai memalukan. Saat itu, radar adab kesopanan kita akan memarahi tindak-tanduk anak dengan mulut yang mengomel panjang lebar setelah tamu pulang atau bahkan mungkin di depan tamu.
Mari kita bahas kasus-kasus yang dicontohkan di atas. Kami mengurainya berdasarkan hasil sharing dengan psikolog anak yang kami undang saat itu.

Melarang anak dengan kata "jangan" atau "tidak" tanpa alasan yang jelas, bukanlah hal yang efektif.

Apa pasal? Karena kata "jangan" atau "tidak" justru akan memancing rasa keingintahun anak lebih dalam. Bila mengatakan kata "jangan" atau "tidak," sertai alasan yang masuk akal (bukan suatu kebohongan untuk mengalihkan) atau memberikannya alternatif lain. Mengapa alasan dan alternatif lain? Satu, adanya alasan dan alternatif lain sebagai pengalihan adalah agar anak memahami konsep sebab akibat dan mampu mengambil pilihan dari alternatif yang ditawarkan. Kedua, tanyakan kepada diri kita masing-masing, ketika mendengar orang lain "menceramahi" kita dengan kalimat panjang-lebar atas sebuah kesalahan yang dilakukan tanpa memberi alternatif solusi atau sebuah arahan untuk keluar dari kesalahan tersebut, efektifkah itu? Kalau hati kecil kita mengatakan "tidak", apalagi dengan anak rentang usia 1-5 tahun yang kemampuan bahasa dan daya nalarnya masih dalam proses perkembangan.

Lantas, apa yang kita dapatkan dari repetisi larangan kepada anak yang dilakukan secara intens? Secara tidak sadar, kita telah mengikis pelan-pelan rasa keingin-tahuan anak. Kita tidak akan menyangka dampak besar seiring lenyapnya rasa keingin-tahuan anak. Individu dari setiap anak adalah manusia. Hilangnya rasa keingin-tahuan manusia menjadi kematian bagi ilmu. Mengapa? Sebab, tanpa rasa keingin-tahuan, manusia tidak akan menggunakan akal pikirannya untuk menemukan ilmu. Akal pikirannya lama kelamaan akan menjadi tumpul karena tidak ada penggerak yang mendorong dirinya menemukan suatu pengetahuan.

Lainnya, kata "jangan" atau "tidak", ditambah reaksi tak biasa berupa ekspresi wajah dan nada bicara yang meluap-luap justru menjadi sebuah ladang uji coba bagi anak.

Ladang uji coba? Kok, bisa? Bisa jadi, saat kita memberikan reaksi dari suatu aksi yang dilakukan anak, ia tengah mempelajari reaksi tersebut. Setelah anak mendapatkan reaksi yang tak biasa, ia akan mengulang atau melakukan hal lain untuk mencari tahu ragam reaksi yang akan kita berikan. Jangankan anak usia dini. Bayangkan kita orang dewasa. Kasarnya, bercerminlah pada diri. Bukankah ketika orang dewasa mendapatkan perhatian lebih atas aksi yang dilakukannya itu akan menambah amunisi semangat untuk mengulangi aksinya? Ada sebuah hukum fisika terkenal yang mengatakan, "Hukum aksi sama dengan reaksi".

Kemudian, tentang tingkah laku anak yang dirasakan kita bertentangan dengan adat-istiadat, budaya atau norma-norma tertentu. Contoh: anak ribut atau berulah, mengacak-ngacak barang yang ada ketika kita sedang menerima tamu. Dengan mengacu pada adat-istiadat, budaya atau norma yang melekat kuat, pastilah rasa malu mengisi penuh-penuh pikiran kita. Selanjutnya, rasa malu kita akan tingkah laku anak, menutup jalan pikiran kita untuk mencari tahu maksud di balik sikap yang dilakukan anak.

Di kepala kita hanya terpikirkan kata "MEMALUKAN". Padahal, mungkin saja, anak tengah meminta pengakuan dari kita atas keberadaan dirinya di hadapan tamu. Atau ia tengah mencari perhatian. Atau seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, anak tengah melakukan uji coba. Akan samakah seperti reaksi yang biasa kita lakukan ketika tidak ada tamu atau orang lain di rumah? Mereka mempelajari reaksi yang kita berikan terhadap mereka di dua situasi yang berbeda. Kami tidak mengatakan bahwa adat-istiadat, budaya atau norma yang berlaku tidak penting apalagi diabaikan dalam hal ini. Tapi, maksud kami, carilah tahu terlebih dahulu maksud di balik perbuatan yang mereka lakukan. Setelah mereka memberikan penjelasan, barulah memasukkan nilai-nilai yang berlaku di lingkungan kita. Metode seperti ini bisa dilakukan ketika anak sudah menapaki usia 3 tahun dan telah mampu berbicara dengan jelas walaupun belum bisa bercerita secara runtut.

Lalu, bagaimana cara berbicara efektif kepada anak usia pra-sekolah?

Tentang bagaimana cara berbicara efektif kepada anak usia pra-sekolah tidak ada teori yang mutlak benar. Ilmu yang mempelajari manusia, tidak pernah mengalami stagnasi pada satu titik saja. Ilmu tersebut akan terus berkembang dan mengalami modifikasi seiring perguliran zaman. Sebab, manusia itu sendiri adalah makhluk yang terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan akal pikiran yang dianugerahi-Nya untuk menemukan ilmu-ilmuNya dan pengalaman yang didapatkannya.

Sebelumnya, konsep yang semestinya kita pahami anak usia pra-sekolah adalah anak pembelajar aktif dan berkebutuhan tinggi dalam bermain berdasarkan minatnya masing-masing. Mereka gemar mengeksplor benda-benda di sekelilingnya atau mencoba hal-hal baru atas dorongan rasa keingin-tahuan mereka yang tengah mekar-mekarnya. Adalah hal yang menjadi tidak wajar bila anak usia pra-sekolah hanya duduk diam manis, tidak lincah dan tidak menunjukkan minat pada apa pun. Hal tersebut patut dicurigai. Bisa saja gejala tersebut mengarah pada gangguan perkembangan atau psikologis.

Selanjutnya, untuk contoh kasus 1, ketika melarang anak sebab hal yang membahayakan, sebaiknya tidak hanya mulut yang berbicara panjang-lebar, sementara kita tetap tak bergeming dari kesibukan yang tengah dikerjakan. Sangat tidak efektif. Hentikan pekerjaan kita sebentar. Dekati anak itu. Ajak berbicara dengan kontak fisik. Pegang bahu atau genggam tangan anak. Sejajarkan posisi mata kita dengan mata anak. Tatap matanya. Lalu, tanyakan, "Adek mau apa dari kompor itu?" sebelum kita menggali lebih jauh lagi.

Pada contoh kasus 2, acapkali sebagian orang tua panik tak terkontrol bila melihat tingkah buah hati yang bisa melukai teman di dekatnya. Adalah hal yang lumrah dan manusiawi. Tapi, setelahnya, telisiklah lebih dalam lagi. Tanyakan pada hati kita, apa yang sesungguhnya menyulutkan kepanikan diri saat melihat tingkah anak pada kasus dua. Kekhawatiran akan temannya yang terluka atau cemoohan orang tua korban yang tidak terima anaknya dilukai?

Sebagian orang tua, ada yang tidak siap dengan lahirnya cemoohan dari lingkungan atas ulah buah hati. Efeknya, terkadang rasa malu membuat kita menjadi hakim yang menjatuhkan punishment pada anak tanpa menelusuri lebih dalam akar permasalahannya. Bahkan terkadang kita lupa memahami bahwa anak-anak kita adalah makhluk kecil yang tengah mekar berkembang, bukan makhluk dewasa dalam tubuh anak kecil. Orang dewasa saja tak luput dari yang namanya kesalahan, apalagi anak-anak yang masih membutuhkan bimbingan dan arahan orang dewasa.

Lainnya, untuk contoh kasus 3, berkaitan dengan hal-hal yang dilakukan anak yang bertentangan adat-isitiadat, budaya atau norma-norma. Semisal, anak tak mau pergi ketika kita sedang menerima tamu meski kita sudah menyuruhnya, libatkan anak dalam komunikasi wajar bersama tamu.

Kita ambil contoh, anak menjungkir-balikkan kursi di depan tamu. Ajak anak berbicara, "Kursinya mau dibikin apa, Dek? Mau kasih tahu ke teman mama, ya? Tapi, maaf ya, Dek, sekarang mama lagi ada tamu. Adek mainnya gak di sini dulu." Kemudian contoh lainnya, saat anak tengah bermain lego dan tak henti-hentinya mengajak kita bicara, coba katakan, "Waaah, lagi bikin apa, Dek? Mau kasih lihat ke temen mama, ya? Kalau sudah dikasih lihat, adek mainnya gak di sini dulu, ya. Mama lagi ada tamu." Contoh lainnya juga, ketika anak meminta uang, kita bisa katakan, "Udah salam belum sama tamunya, Mama/Papa? Nanti ya, Dek, minta uangnya. Mama/Papa lagi ada tamu."

Berikan anak ruang beberapa menit untuk berinteraksi dengan tamu baru setelahnya diberikan pemahaman bahwa ia tidak bisa lama-lama berada di ruang tersebut. Hal itu menjadi bentuk pengakuan atas keberadaan anak di hadapan orang lain. Juga bisa menjadi salah satu wahana anak belajar berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain.

Pada akhirnya, dari hasil diskusi dan sharing pengalaman di hari Sabtu, 14 September 2013, kami simpulkan, sesungguhnya tak ada cara berbicara efektif pada anak usia pra-sekolah. Tapi, lebih kepada bagaimana kita memilih respon dari dalam diri atas tiap-tiap aksi yang dilakukan anak. Untuk menyiasati respon dari sebuah aksi butuh kreativitas dan kesabaran. Kreativitas dan kesabaran menyiasati adalah kunci dari efektifitas itu sendiri. Sulit dan butuh tempaan panjang. Tak semudah membalikkan telapak tangan atau minum air sekali teguk. Itulah yang dinamakan pembelajaran seumur hidup.