Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Minggu, 25 Mei 2014

Sepasang Kaki dan Hati



Kecelakaan. Lagi. Luka di kaki yang sama, kaki kiri. Meski bukan yang terparah, tetap terasa sakit. Tapi, adanya kecelakaan terdahulu, membuatku bisa menganggap kecil rasa sakit ini. Tawa masih membahak, senyum masih terulas penuh.

Aku diingatkan kembali arti sebuah kaki disaat hati lelah berjalan. Beruntung, peringatan itu, tak sampai aku harus kehilangan kaki. Allah hanya menjentikkan sedikit luka di kaki untuk melecutku berjalan maju.

Mungkin, seperti itu pula hati. Untuk membentuknya menjadi karang, harus melalui tempaan luka. Tanpa luka hati, aku tidak akan mengerti rasa perih. Dari rasa perih, empati terlahir. Tanpa luka hati, hidup tak akan terpacu lebih baik lagi. Tanpa luka hati, aku tak mungkin bisa melangkah sampai sejauh ini.

Sebuah kaki dan hati, mungkin berpasang. Hati butuh kaki untuk bangkit dan melangkah maju. Dan ke mana kaki melangkah, ia membutuhkan hati untuk memandu.

Vinny Erika Putri, Cirebon, 26.05.14

Sabtu, 24 Mei 2014

Kepada Senja di Sudut Jendela



Tahukah kau yang kulakukan seharian ini untuk menunggumu tiba? Membaca. Menulis.

Kalau kau kira aku menghabiskan hari dengan membaca buku, itu tak salah. Tapi, aku lebih senang menyebutnya membaca hidup. Aku membaca hidup dari kisah-kisah yang bertebaran hari ini. Kisah cinta, kehampaan, kekosongan, kengerian yang ganjil, pencarian hakikat hidup dan banyak lagi. Lainnya, aku menampa cerita-cerita getir sahabat pula cerita sepi seorang teman yang ia sendiri tak tahu musabab sepinya.

Lalu, apa yang kutulis? Maukah kau tahu? Aku mengambil saripati pemikiran dan rasa dari kesemua kisah yang terbaca. Meramunya dalam kata-kata. Kutuai banyak tanya di lembar-lembar kata. Sebagian berjawab. Sebagian lagi mengambang mengikuti arus waktu. Setujukah kau, bahwa segala tanya tak harus langsung menemui jawabnya?

Perlahan, kau muncul. Seperti sore berkesudah, dari sudut jendela, aku akan menyaksikan tejamu hingga habis waktu. Bedanya, kali ini tanpa secangkir kopi. Kondisi tak memungkinkan untukku berkarib secangkir kopi meski ingin.

Lantas, bersamamu, aku menyaksikan kehidupan yang serupa. Satu dua burung hendak pulang ke sarang. Hiruk-pikuk sudut gang yang terdengar ramai oleh celoteh orang-orang. Pula, denganmu, kubicarakan impian-impian yang sama. Aku ingin agar langit-Nya mencatat. Dan bila ku terlupa atau mulai lelah, langit akan mengingatkanku melalui tejamu.

Sampai, tejamu perlahan pudar tenggelam, aku tersenyum. Aku ingin bertemu denganmu lagi, esok. Tapi..., tunggu. Jamuan kita belum usai. Sebelum gelap benar-benar memelukmu, sampaikan salamku pada sahabat. Dan katakan padanya, tetaplah ingin hidup meski luka lebam di hati melelahkannya. Tetaplah ingin hidup seperti aku tetap ingin hidup sampai pada waktu-Nya. Sampaikan pula, pada teman yang tengah sepi bahwa itu saatnya ia mengakrabi diri.

Bayangan Pohon Ranggas Sekarat di Permukaan Telaga


Pagi ini seperti pagi yang berkesudah. Kurasai begitu kental udara beraroma duka di sepasang matanya. Aromanya yang semerbak bagai bunga kamboja, menyengat teraba rasa. Sudah bisa kutebak, manusia-manusia sebelum aku, menjejalinya paksa abjad dan angka. Berjam-jam, manusia-manusia itu melakukannya dengan cara yang kupikir sangatlah purba.

Kuberitahukan sepenggal kisah sebelum sekolah berasrama ini menampanya....

Sekolah terdahulu anak lelaki itu, pula para tetangganya, sangat pekak melengkingkan keluh kesah. Pada yang dinamai keluh kesah, terahim janin malu. Rahimnya adalah hati sang ayah. Janin malu dibesarkan oleh detak waktu. Sampai satu masa, janin malu sang ayah pecah. Bersama pecahnya janin malu sang ayah, anak lelaki itu menangis tersedu.

Ia mengucap janji. Janjinya, akan belajar lebih keras lagi sebanyak pinta sang ayah. Pun bersungguh-sungguh tak akan membuat sang ayah susah. Asalkan, ia tetap tinggal bersama keluarga sedarah.

Itu adalah janji yang setara dengan permohonan. Malangnya, sang ayah tak beriba hati. Harga dirinya terlampau tinggi. Ia menyangkal nurani. Sedang sang ibu, tiada kuasa menolak mentah-mentah titah sang suami. Suami adalah raja yang sedemikian harus titahnya dipatuhi.

Anak lelaki itu tak lagi berkutik. Dirinya berpasrah ketika kuda besi beroda empat membawanya ke asrama ini. Lalu, seiring kuda besi yang menghilang ditilap tikungan, kepiluan menikam-nikamnya tak berperi. Ia serasa bagaikan terhempas ke negeri asing yang sedemikian sunyi.

Malam pertama di asrama, ia lewati dengan terjaga panjang. Entah berapa lama di sudut matanya, bebulir air, satu-satu merayap turun. Lamat-lamat batinnya memanggil-manggil sang ibu dalam kesunyian. Tiada jawaban. Hanya mengada sesak yang terlahir dari kehampaan. Sesak kian mencekik hatinya yang berkabung.

Selebihnya, ujar teman-temannya, ia seorang nan pemurung. Namun, dibalik perangai pemurungnya, mereka tak tahu apa-apa. Bahwa sebenarnya, ia tengah memendam dalam-dalam luka lara. Berkawan air di telaga itu... acapkali ia mengurai kelindan getir yang dikecapnya.

*

Pagi ini, pias wajahnya tak menghiasi ruang kelas. Tak kulihat sosok tubuhnya yang kurus tirus. Hukuman dari manusia sebelum aku, menjauhkannya dari keramaian. Kumencarinya ke setiap sudut ruangan usai pelajaran. Tapi, tak kutemukan.

Aku tersulut panik. Bayangan sepasang mata itu menari-nari di kepala. Masih kugenggam ingatan, kali pertama bersitatap dengannya. Sepasang mata itu, berkabut sangat kentara. Aku bukan penghitung ulung yang mampu menakar seberapa kuat wadah hatinya menahan derita. Adakah alat takar yang sanggup mengukur kedalaman hati anak manusia? Yang aku tahu, bila wadah hatinya pecah, sangatlah berbahaya.

Kumengira-ngira, tak terbilang jari dirinya tertusuk kata-kata suram. Telinganya tak pernah terpejam dari hunusan lidah berbelati tajam. Hatinya tak henti terajam. Siang malam. Dan ia hanya menerimanya dengan diam. 

Radar ingatan di kepalaku berputar-putar mencari sinyal keberadaannya. Sampai salah seorang temannya, mengarahkanku pada telaga yang tak jauh dari asrama. Segera kulangkahkan kaki ke sana. Saat itu juga.

Di telaga, kudapati ia termenung sendiri. Hatinya yang lelaki seperti tengah dikebiri. Kuhampiri ia, lantas duduk di sampingnya. Tak muluk aku beroleh senyum sapa dari bibirnya. Bagiku, sudah cukup ia sekadar merasakanku ada. 

Sekian jenak, hening meraja. Semasa keheningan, kutelisik tentang segala yang bersembunyi di sebalik matanya. Tapi, tak hendak kumemaksa. Sebab, ia semakin menundukkan kepala selaras inginku menawarkannya sandaran untuk berkeluh.

Aku tahu tanpa harus ia berkata-kata. Di sini, dirinya kerap mengkatarsiskan nestapa pada airmata. Sisanya, bila ia tak sendiri, segala perasaaan dilekatkannya pada nadi udara. Seperti kali ini, ia hanya melepaskan berulang embusan berat dari udara yang dihelanya.

Jala pandang kutebar ke jernihnya air telaga. Dadaku mendesirkan ketakutan tiba-tiba. Sebabnya, pantulan dari sebuah bayangan pohon yang rebah di permukaan telaga. Sungguh, itu sangat menyeramkan.

Dedahan dan reranting terlihat rapuh. Dedaunan yang bergelantungan, menguning sebagian. Sedang sebagian yang lebih banyak, berwarna kecoklatan. Tiada segar kehijauan membungkus sepohon. Aku melihat pohon itu seperti perlahan-lahan bersiap disesap kematian.

Tuhan... tiada terkira aku lelah. Adakah aku serupa tong sampah? Entah yang tubuhnya teraliri darah leluhur sesilsilah, atau yang bersegaris keturunan adam hawa.... bibir-bibir itu tak ada beda. Mereka mencabik-cabik hatiku dengan perkasa. Hanya bersebab abjad dan angka.

Bulu romaku meremang tersapu angin. Kumenangkap pesan yang angin sampaikan. Terisyaratkan melalui gemerisik ilalang, liukan dedaunan dan hitam mendung awan gemawan. Aku percaya. Alam bersasmita. Alam menyimpan makna di balik semua pertanda.

Aku bisa melihat yang tak bisa dilihat orang lain. Anak lelaki di sampingku tengah sekarat. Ia terkungkungi bayang-bayang gelap pekat. Batinku menggema kata, aku tak banyak berpunya tenggat. Aku harus bersegera mengeluarkan ia dari jejaring perih yang membekapnya erat.

*

Di ruangan itu, alunan kata-kata para manusia yang menghuninya, nyaris sumbang senada. Kecuali aku, mereka memperbincangkan seberapa payah anak lelaki itu menulis dan membaca. Ilmu-ilmu tak satu pun yang dikuasainya. Rentetan perintah panjang secara berurutan, tak bisa dicernanya. Mereka mengecap anak lelaki itu laksana orang buta tuli yang tiada memahami apa-apa.

Padahal, pada cermin yang tak kasat, mereka sendirilah yang buta tuli. Mata hati mereka mati suri. Maka, lebih gampanglah bagi mereka merutuk ketimbang menelusuri jalan musabab. Kepekaan mereka pada keganjilan seakan raib. Terlibas pikiran yang tak tertatar lagi tak beradab.

Mereka saling menepuk dada masing-masing yang membusung. Menggelontorkan kata-kata bahwa ilmu-ilmu yang mereka usung sangatlah penting. Lantas, menertawaiku lantang. Apalah gunanya partitur-partitur lagu yang berdenting? Pun bermacam warna di atas kanvas yang melentingkan getaran imaji? 

Lainnya, dalam kacamata mereka, dunia tak menerima banyak tempat untuk senandung nada bermelodi. Atau kanvas bernapas seni. Pikirku, bagi dunia anak-anak, otak mereka sangatlah kiri. Aku hanya membalasnya dengan tawa kecil tanpa emosi.

Aku tak ambil pusing. Sebab, ada yang lebih genting. Adalah deretan abjad dan angka dalam tumpukan buku-buku usang. Kepunyaan anak lelaki penyuka telaga nan berperangai murung.

Abjad dan angka itu tetap sama, meski satu persatu mataku memelototinya berulang. Mengulang menekurinya, tak ubahnya seperti caraku menepis kenyataan yang membentang. Kepalaku pening. Mendadak hatiku terpelanting. Setelahnya, pedih nyalang menggaung. Gaungnya melemparkan ingatanku ke lorong lampau bergetah awar-awar juga berduri.

Kugenggam jawaban yang mengkelu-kebaskan lidahku. Tentang kemungkinan ia dan aku beriwayat sama. Penyakit itu menyulitkannya memahami abjad dan angka. Sungguh malang, manusia-manusia itu, tak setitik pun mengenali gejalanya. Mereka hanya mahir merapal kutuk dari bermacam kesalahan baca tulis anak lelaki itu.

*

Bayangan pohon ranggas sekarat di permukaan telaga, membesarkan keberanianku meretas perjalanan berkilo-kilometer jauhnya. Melaju bersama kecepatan membelah hutan belantara. Entah berapa jam lamanya. Waktu bukan perhitungan utama. Tetapi, ini tentang anak lelaki itu yang ingin kuselamatkan.

Pintu rumah kuketuk. Beberapa menit kemudian, seorang lelaki paroh baya membukakan pintu. Bagian dalam rumah tak sengaja kulihat dari pintu yang sedikit terkuak.

“Cari siapa?” ujarnya.

Kukatakan bahwa aku salah satu pendidik di asrama tempat anaknya tinggal sementara. Seketika, wajahnya berubah rona. Dengan tegang, ia mempersilakan aku jalan melenggang di belakangnya.

“Ulah apa lagi yang dilakukan anak itu? Anak itu memang selalu berulah,” kesalnya sebelum aku menjelaskan apa-apa.

Hatiku meringis miris. Ah, lelaki paroh baya ini. Mengapa selalu mengotori kepalanya dengan berpikiran negatif pada anaknya sendiri. Kukatakan tiada ulah apa pun dari anaknya yang membawaku sampai ke sini.

Tak lama kuberbasa-basi, kujelaskan perihal penyakit anak keduanya. Disleksia. Lelaki paroh baya itu tak menaruh percaya. Menganggap itu serupa buah rekayasa anaknya. Aku menganga. Mengelus dada. Atas isi kepala lelaki paroh baya yang sebegitu batu dan bebal. 

Mau tak mau, matanya kusumpal. Kuhadapkan ia pada bermacam huruf kanji yang tak dimengertinya. Kuminta berulang kali lelaki paroh baya itu membacanya. Sebanyak aku mengulang pinta, ia tetap menggeleng tanda tak bisa. Kubalikkan kata-katanya, bahwa ia hanya merekayasa alasan. Sampai-sampai, puncak amarahnya tetas mengejan.

“Sadarkah Anda? Anda memaksanya mengerti apa-apa yang tak ia mengerti. Anda tahu bedanya orang dewasa dan anak Anda? Orang dewasa lebih berpunya kekuasaan untuk menolak paksaan. Sedang baginya, lebih mudah mengatakan tidak ingin sebagai cara menghindari hal-hal yang tak disukainya.”

Berbusa-busa mulutku memaparkan, ia tetap bersikukuh anaknyalah yang bodoh. Entah berapa kali kutarik napas panjang-panjang. Seiring embusan udara yang keluar dari lubang hidungku, kutahan setengah mati kobaran api di dada yang sedari tadi bergulung-gulung.

“Anak Anda tidak bodoh. Tidak bisakah Anda lihat lukisan ini? Perpaduan warnanya sangat tajam. Setajam imajinasinya yang melebihi anak normal seusianya atau bahkan orang dewasa. Lukisan ini juga bukan tong kosong berbunyi nyaring. Lukisan ini bercerita. Bermakna dalam.”

Kutunjukkan lukisan-lukisan lainnya. Lukisan yang kudapati ketika istrinya memperbolehkanku menyambangi kamar putera kedua mereka. Masih begitu tanak dalam pikiranku. Dinding-dinding kamarnya yang berpoles banyak lukisan, menjentikkan haru biru di hatiku. Lukisan-lukisan itu sempurna menjelmakan isi kepalanya. Caranya membahasakan rasa.

“Apa yang didapati dari kebisaannya? Lukisan-lukisan tangannya tak bisa menolong banyak. Dunia butuh lebih dari itu.”

Pecah sudah kesabaran hatiku menadah kebebalan dan kepala batunya. Lelaki paroh baya itu tiada beda dengan manusia-manusia yang menghujat anak keduanya di sekolah. Aku terdera-dera pedih.

Hatiku berdarah. Bila yang dinamai rumah tak lagi ramah, ke mana lagi anak lelaki itu menjangkarkan sauh? Anak lelaki itu ibarat pelaut yang kebingungan akan tempat berlabuh.

Kuceritakan kepada lelaki paroh baya itu. Sebuah kebiasaan orang-orang primitif di kepulauan Solomon. Orang-orang primitif di sana, tak menggunakan senjata tajam untuk menebang pepohonan. Tetapi dengan cara lain yang ampuh membunuh pepohonan itu tanpa ampun. Berhari-hari mereka mengecupi pucuk-pucuk pepohonan dengan sumpah serapah, umpatan, makian, kutukan. Kemudian, berangsur-angsur, dedaunan menjadi kecoklatan. Pepohonan meranggas perlahan. Hingga akhirnya tumbang bersebab kematian.

Lelaki paroh baya itu menertawaiku. Tawa yang lebih mirip cemoohan. Seolah aku tengah berolok-olok kekanakan.

“Tertawalah. Tapi, cobalah Anda pikirkan. Pohon saja bisa mati dengan sumpah serapah. Apalagi dengan anak lelaki Anda, yang Sang Hidup memberinya perasaan agar merasai hidup. Saya tidak tahu seberapa lama lagi hatinya sanggup menakar segala himpitan sesak dari segala arah.”

Lelaki itu diam mematung. Terlampau membumbung tinggi bila berharap kata-kataku bak busur yang melepaskan anak panah tepat sasaran. Bidikan anak panah terakhir telah kulesatkan. Setelahnya, ucap pamit kuhaturkan. Tak terpikir olehku tentang kalah atau menang.

Hatiku berhujan airmata sepanjang perjalanan. Sepanjang itu pula kumengulang berkali tilas ingatan. Kudapati senyata-nyatanya, bayangan pohon ranggas sekarat di permukaan telaga. Semasa anak lelaki itu terdiam di sana. Itu adalah bayangan dirinya.

*

Catatan:
Cerpen ini masuk dalam daftar 20 Nominasi pemenang LMCR Writing Revolution 2013.