Rara
“Hai!”
“Cepat sekali kamu menyusul.”
Kamu tersenyum memperlihatkan deretan gigi putihmu. Lantas, berjalan menyamai langkahku sembari mengoceh ini dan itu. Sementara, aku lebih memilih mendengarkanmu bercerita hingga kita tiba di perpustakaan pusat universitas.
Aku menaiki lantai dua dan berhenti tepat di depan layar komputer yang merupakan fasilitas pencarian katalog buku untuk para pengunjung perpustakaan. Kuketik data buku yang kubutuhkan. Hasilnya, masih tersedia dua buku dengan kategori yang sama. Kupinjam satu buku bertemakan Analisis Statistik. Setelahnya, aku pergi menuju taman yang berada di depan perpustakaan.
Area taman dinaungi pohon-pohon rindang beralaskan rerumputan hijau terawat dan aneka jenis tanaman hias sebagai pembatas antar petak tanah. Tujuh bangunan terbuka berbentuk lingkaran tersebar di sekelilingnya. Tempat ini lebih menarik bagiku dibandingkan ruang khusus baca yang ada di dalam perpustakaan. Harmoni alam yang terhantar lewat gemerisik dedaunan saat tertiup angin dan udara segar yang menguar dari pepohonan memberikan kesejukan tersendiri bagiku. Bangunan-bangunan ini juga acapkali dijadikan sebagian mahasiswa sebagai tempat penenggat lelah.
Kuedarkan pandang ke seluruh sudut. Lingkar mataku mencari spot yang cukup lengang dan minim dari kerumunan orang-orang. Untungnya, masih ada satu bangunan kosong tersisa.
“Di tempat yang sama lagi,” ucapmu yang masih setia mengekori langkahku.
“Mungkin bangunan ini terikat denganku,” balasku sesampainya di sana.
Kukeluarkan notebook dari dalam tas ransel dan menyambungkannya ke jaringan hotspot milik perpustakaan. Setelahnya, aku larut dengan garapan tugasku. Sementara kamu, sibuk membolak-balikkan halaman buku berjudul Psikologi Emosi yang berada di tanganmu. Beberapa kali sempat kudengar kamu mendesah bosan.
“Apa hidupmu selalu serius begini?” tanyamu sembari menutup bukumu.
Ketikanku terjeda sesaat. Mataku menelisikmu dalam-dalam. Benakku dipenuhi pertanyaan. Salah satunya tentang buku di tanganmu. Tak kutemukan korelasinya sama sekali dengan bidang pendidikan yang tengah kamu jalani. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu urung kuajukan. Daftar tugasku masih panjang. Dan mengapa aku mendadak peduli untuk bertanya sesoal hidupmu?
“Baiklah, baiklah. Aku tak bertanya lagi,” lanjutmu seraya menyimbolkan gerakan tangan mengunci mulut.
Aku menggelengkan kepala menimpali tingkahmu lalu kembali menekuri pekerjaanku.
“Aku pergi cari minuman sebentar,” katamu.
“Terserah.”
Kamu merentak berdiri dan melangkah pergi. Diam-diam, kutatap punggungmu yang kian bergerak menjauh.
Apakah hidupmu sedemikian mudah? Kamu tampak begitu ringan menelan setiap detak dan gulir kehidupan.
Satria, namamu. Aku mengenalmu saat OSM (Orientasi Studi Mahasiswa). OSM adalah salah satu kegiatan yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa baru seluruh fakultas sebelum diakui secara resmi sebagai mahasiswa universitas yang bersangkutan. Semenjak itulah, kamu masuk dalam lingkaran pertemananku.
Tempat ini, tadinya, selama setahun pasca pelaksanaan OSM, menjadi semacam rumah kedua dikala aku ingin menyendiri. Sedari siang hingga sore, saat menunggu jadwal kuliah berikutnya, aku lebih sering singgah di sini dibandingkan pulang ke kosan. Entah untuk mengerjakan tugas kuliah atau sekadar melepas penat dengan kegiatan literasi pribadi yang kuminati.
Sampai … kamu hadir lebih sering di sini sejak lima bulan terakhir ini.
“Tempat ini, kan, untuk umum,” kilahmu membela diri saat aku merasa begitu dongkol dengan keberadaanmu.
Jadilah aku berbagi tempat ini denganmu. Lantas, pertanyaan-pertanyaanmu padaku yang terasa berisik untukku; diammu yang kutahu tengah memperhatikanku; cerita-ceritamu yang kadang mengalir tak terbendung; jari jemarimu yang kamu mainkan membentuk irama dan terhenti seketika saat mataku mendelik marah karena konsentrasiku terganggu oleh bunyinya; kopi dan kudapan yang kamu beli … kesemuanya itu, entah sejak kapan mengakrabi kotak memoriku dan menjadi suatu keterbiasaan.
Tapi … bersamaan dengan itu juga, aku kesulitan untuk menuliskan hal-hal pribadi dalam buku harianku yang dulu biasa kulakukan di tempat ini dengan bebas.
*
Satria
“Mbak, Capuccino. Dua. Seperti biasa ya.”
“Oke, Mas Satria.”
Lokasi outlet kopi ini lumayan dekat dengan area perpustakaan. Dari sudut ini, aku masih bisa melihat sosokmu di sana.
Rara, namamu. Saat itu, kamu duduk seorang diri di tempat yang sama dengan posisimu sekarang. Tubuhmu menyandar pada ransel yang sering digunakan oleh para pendaki gunung. Kusangka, kamu sudah berstatus mahasiswa dan tengah terlibat kegiatan yang diadakan Mapala, salah satu UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) di universitas ini.
Aku mengamatimu tak jauh dari tempatmu duduk. Kamu mengenakan topi hitam dengan rambut ikal terkucir. Headset terpasang di telingamu dan tanganmu tengah menuliskan sesuatu di sebuah buku. Sesekali, kepalamu rebah di atas ranselmu. Kamu tak hirau dengan sekelilingmu. Kamu seperti memiliki duniamu sendiri. Setelah setengah jam berlalu, kamu melenggang pergi lebih dulu. Kukira, kamu hanya akan menjadi selintasan orang yang tak ditakdirkan terhubung denganku. Realitanya, kita kembali dipertemukan saat pelaksanaan OSM. Pula, semesta merestuiku berteman denganmu yang cenderung penyendiri dan mandiri.
Masih tanak dalam ingatanku percakapan kita saat mengerjakan tugas selama masa OSM. Waktu itu, aku melihat wajahmu begitu pucat. Aku tahu, kamu kelelahan karena kurang tidur dan kurang istirahat. Dalam kelompok kita, kamu mendapat beban tugas lebih besar dibanding anggota lainnya. Kamu ketua kelompok.
“Sini aku bantu.”
“Tidak usah,” tolakmu.
“Meminta bantuan saat mulai kerepotan tak ada salahnya, Ra.”
“Aku tidak harus bergantung pada bantuan orang lain selagi masih sanggup kulakukan sendiri,” eyelmu.
Aku tak lagi memaksa. Aku tak berkeberatan atau tersinggung dengan sikapmu. Aku justru melihat sesuatu dari dirimu, jauh di dalam sana, lebih dari sekadar kata-kata yang kamu ucapkan atau hal-hal yang kamu tampakkan pada dunia luarmu.
Apakah hidupmu sedemikian berat? Kamu begitu keras kepala untuk tidak menunjukkan kerentananmu pada orang lain.
“Mas Satria, kopinya sudah jadi.”
“Oh, iya, terima kasih, Mbak. Ini uangnya.”
“Sama-sama, Mas.”
*
Satria
“Masih belum selesai juga, Ra?”
“Sedikit lagi,” balasmu.
Kamu tetap bergeming. Dua alismu bertaut menukik tajam ke arah bawah dengan mata terpaku pada layar notebook. Kamu tidak ingin ada interupsi yang bisa mendistraksi fokus pikiranmu. Kamu sedang menyimpulkan sesuatu yang penting dari tulisanmu. Jadi, kunikmati kopiku lebih dulu. Lima bulan kerap menghabiskan waktu bersamamu di sini membuatku paham kebiasaan-kebiasaan kecilmu.
“Selesaaai!”
Di bagian ini, aku ikut tersenyum gembira. Ekspresi paling riang ini nyaris selalu kudengar ketika kamu berhasil menyelesaikan tugas dengan sempurna.
“Selamat menikmati kopinya,” ujarku alih-alih mengingatkan bahwa ada segelas kopi di hadapannya.
“Hahaha!”
Belakangan, aku bisa melihatmu dan mendengarmu tertawa lepas. Pun, kamu mulai menuturkan impian-impianmu ke depan.
*
Rara
Kepanikan tergambar jelas di raut wajah Satria. Napas Satria yang terengah-engah membuatnya tampak lebih rusuh dari kekacauan hatiku sendiri. Ujung celananya basah. Payung hanya melindungi tiga perempat tinggi tubuhnya dari percikan air hujan.
“Aku meneleponmu beberapa kali.”
“HP-ku tertinggal di kosan.”
Aku berbohong. Padahal, aku sengaja meninggalkan HP-ku di sana.
“Untungnya, tempatmu melarikan diri masih selalu sama. Jadi mudah bagiku menemukanmu,” lega Satria.
Aku tak tahu harus menamai apa perasaanku saat itu. Sedihkah? Senangkah?
“Ada apa?”
Hening mengepung beberapa jenak.
“Ibu mengatakan akan bercerai. Ayah menganiaya ibu lagi. Dan adikku berulah besar di sekolahnya. Aku diminta pulang ke Banten untuk membantu ibu mengurus beberapa hal. Aku, si sulung yang-”
Butuh keberanian yang besar untukku membuka mulut. Namun, belum usai cerita kuurai, kalimatku terpenggal juga. Himpitan sesak memangkasnya. Aku menundukkan kepala di atas kedua lututku yang menekuk. Hangat merebak di sepasang mataku.
“It is okay not to be okay," tandas Satria.
Hatiku kian tak keruan. Buliran air di kedua sudut mataku jatuh menganak sungai. Sengguk menggucang-guncang bahuku. Pertama kalinya, di depan Satria, aku menangis. Kurasakan jaketnya menutupi tubuhku yang meringkuk gemetar. Ia menepuk-nepuk halus punggungku.
Hujan turun menderas. Tangisku kian kencang meneriakkan jiwa yang perih terluka. Dan Satria, tak beranjak dariku. Ia diam, membersamaiku merasakan beban yang tengah kupikul. Ia memberikanku ruang untuk bersedih tanpa penghakiman apapun. Ia melakukan hal mudah yang selama ini sulit kulakukan. Hari itu, Satria berhasil meluluh-lantakkan benteng pertahananku dari kerentanan yang entah berapa lama kubangun dengan kalimat bernada positif “aku pasti kuat dan baik-baik saja”.
Anehnya, aku merasakan kelegaan di tengah kekisruhan hidup yang berusaha kuhadapi dengan hati remuk berantakan. Kuangkat kepalaku dan menyeka sisa-sisa air mata di wajah. Kami masih tak saling bicara. Sampai hujan menggerimis kecil dan air yang jatuh menempias terdengar lebih lembut.
“Terima kasih,” ujarku mengusir sunyi.
“Sudah enakan?”
Aku hanya menjawabnya dengan senyum tipis.
“Kita cari makan di sekitar sini. Mumpung hujannya sudah agak reda,” ajaknya.
Aku masih setengah enggan untuk berdiri. Satria menarik tanganku dan menggenggamnya. Pertama kalinya, tanpa protes, tanpa bertanya, aku menurut. Mungkin, katarsis panjangku yang cukup menguras energi membuatku lapar. Atau mungkin juga, oleh sebab lainnya yang masih berusaha kucerna.
“Cari tempat yang agak sepi. Mataku masih sembab. Nanti orang kira kita baru saja bertengkar,” pintaku.
Ia tertawa. Kami berjalan dalam satu payung yang sama dan jaketnya masih melindungi tubuhku dari hawa dingin.
*
Rara
“Melamunkan apa?”
“Hmmmmm …. bukan melamun, tapi-”
Aku berhenti sejenak. Dan Satria menungguku menuntaskan kalimat.
“Terima kasih.”
“Untuk?”
“Untuk tetap bertahan di sisiku.”
“Sepertinya ada yang sedang mengeja kenangan masa muda,” ledeknya.
“Aku? Kamu? Atau kita? Memangnya kita sudah tua?”
“Kita pasangan muda, yang akan terus tumbuh menjadi manusia dewasa, meski lika-liku hidup tak menjanjikan kita akan selalu baik-baik saja.”
Aku tersenyum, di tempat yang sama, bersama dirinya, yang selalu membersamaiku sejak hari itu.
It is okay not to be okay, just be you!
Sebelum mengenal Satria, aku pernah menuliskan itu di buku harianku saat journaling. Karenanya, ketika ia mengatakan hal itu padaku sepuluh tahun yang lalu, aku merasa diterima sebagai dan menjadi diriku. Utuh. Penuh. Autentik. Tanpa atribut apapun yang melekat pada diriku.
*
Cerpen ini pernah diikutsertakan dalam lomba cerpen bulanan yang diadakan oleh grup literasi facebook WR-Academy.