Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Sabtu, 16 April 2022

It Is Okay Not To Be Okay, Just Be You!

 


Rara

 “Hai!”

“Cepat sekali kamu menyusul.”

Kamu tersenyum memperlihatkan deretan gigi putihmu. Lantas, berjalan menyamai langkahku sembari mengoceh ini dan itu. Sementara, aku lebih memilih mendengarkanmu bercerita hingga kita tiba di perpustakaan pusat universitas.

Aku menaiki lantai dua dan berhenti tepat di depan layar komputer yang merupakan fasilitas pencarian katalog buku untuk para pengunjung perpustakaan. Kuketik data buku yang kubutuhkan. Hasilnya, masih tersedia dua buku dengan kategori yang sama. Kupinjam satu buku bertemakan Analisis Statistik. Setelahnya, aku pergi menuju taman yang berada di depan perpustakaan.

Area taman dinaungi pohon-pohon rindang beralaskan rerumputan hijau terawat dan aneka jenis tanaman hias sebagai pembatas antar petak tanah. Tujuh bangunan terbuka berbentuk lingkaran tersebar di sekelilingnya. Tempat ini lebih menarik bagiku dibandingkan ruang khusus baca yang ada di dalam perpustakaan. Harmoni alam yang terhantar lewat gemerisik dedaunan saat tertiup angin dan udara segar yang menguar dari pepohonan memberikan kesejukan tersendiri bagiku. Bangunan-bangunan ini juga acapkali dijadikan sebagian mahasiswa sebagai tempat penenggat lelah.

Kuedarkan pandang ke seluruh sudut. Lingkar mataku mencari spot yang cukup lengang dan minim dari kerumunan orang-orang. Untungnya, masih ada satu bangunan kosong tersisa.

“Di tempat yang sama lagi,” ucapmu yang masih setia mengekori langkahku.

“Mungkin bangunan ini terikat denganku,” balasku sesampainya di sana.

Kukeluarkan notebook dari dalam tas ransel dan menyambungkannya ke jaringan hotspot milik perpustakaan. Setelahnya, aku larut dengan garapan tugasku. Sementara kamu, sibuk membolak-balikkan halaman buku berjudul Psikologi Emosi yang berada di tanganmu. Beberapa kali sempat kudengar kamu mendesah bosan.

“Apa hidupmu selalu serius begini?” tanyamu sembari menutup bukumu.

Ketikanku terjeda sesaat. Mataku menelisikmu dalam-dalam. Benakku dipenuhi pertanyaan. Salah satunya tentang buku di tanganmu. Tak kutemukan korelasinya sama sekali dengan bidang pendidikan yang tengah kamu jalani. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu urung kuajukan. Daftar tugasku masih panjang. Dan mengapa aku mendadak peduli untuk bertanya sesoal hidupmu?

“Baiklah, baiklah. Aku tak bertanya lagi,” lanjutmu seraya menyimbolkan gerakan tangan mengunci mulut.

Aku menggelengkan kepala menimpali tingkahmu lalu kembali menekuri pekerjaanku.

“Aku pergi cari minuman sebentar,” katamu.

“Terserah.”

Kamu merentak berdiri dan melangkah pergi. Diam-diam, kutatap punggungmu yang kian bergerak menjauh.

Apakah hidupmu sedemikian mudah? Kamu tampak begitu ringan menelan setiap detak dan gulir kehidupan.

Satria, namamu. Aku mengenalmu saat OSM (Orientasi Studi Mahasiswa). OSM adalah salah satu kegiatan yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa baru seluruh fakultas sebelum diakui secara resmi sebagai mahasiswa universitas yang bersangkutan. Semenjak itulah, kamu masuk dalam lingkaran pertemananku.

Tempat ini, tadinya, selama setahun pasca pelaksanaan OSM, menjadi semacam rumah kedua dikala aku ingin menyendiri. Sedari siang hingga sore, saat menunggu jadwal kuliah berikutnya, aku lebih sering singgah di sini dibandingkan pulang ke kosan. Entah untuk mengerjakan tugas kuliah atau sekadar melepas penat dengan kegiatan literasi pribadi yang kuminati.

Sampai … kamu hadir lebih sering di sini sejak lima bulan terakhir ini.

“Tempat ini, kan, untuk umum,” kilahmu membela diri saat aku merasa begitu dongkol dengan keberadaanmu.

Jadilah aku berbagi tempat ini denganmu. Lantas, pertanyaan-pertanyaanmu padaku yang terasa berisik untukku; diammu yang kutahu tengah memperhatikanku; cerita-ceritamu yang kadang mengalir tak terbendung; jari jemarimu yang kamu mainkan membentuk irama dan terhenti seketika saat mataku mendelik marah karena konsentrasiku terganggu oleh bunyinya; kopi dan kudapan yang kamu beli … kesemuanya itu, entah sejak kapan mengakrabi kotak memoriku dan menjadi suatu keterbiasaan.

Tapi … bersamaan dengan itu juga, aku kesulitan untuk menuliskan hal-hal pribadi dalam buku harianku yang dulu biasa kulakukan di tempat ini dengan bebas.

*

Satria

“Mbak, Capuccino. Dua. Seperti biasa ya.”

“Oke, Mas Satria.”

Lokasi outlet kopi ini lumayan dekat dengan area perpustakaan. Dari sudut ini, aku masih bisa melihat sosokmu di sana.

Rara, namamu. Saat itu, kamu duduk seorang diri di tempat yang sama dengan posisimu sekarang. Tubuhmu menyandar pada ransel yang sering digunakan oleh para pendaki gunung. Kusangka, kamu sudah berstatus mahasiswa dan tengah terlibat kegiatan yang diadakan Mapala, salah satu UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) di universitas ini.

Aku mengamatimu tak jauh dari tempatmu duduk. Kamu mengenakan topi hitam dengan rambut ikal terkucir. Headset terpasang di telingamu dan tanganmu tengah menuliskan sesuatu di sebuah buku. Sesekali, kepalamu rebah di atas ranselmu. Kamu tak hirau dengan sekelilingmu. Kamu seperti memiliki duniamu sendiri. Setelah setengah jam berlalu, kamu melenggang pergi lebih dulu. Kukira, kamu hanya akan menjadi selintasan orang yang tak ditakdirkan terhubung denganku. Realitanya, kita kembali dipertemukan saat pelaksanaan OSM. Pula, semesta merestuiku berteman denganmu yang cenderung penyendiri dan mandiri.

Masih tanak dalam ingatanku percakapan kita saat mengerjakan tugas selama masa OSM. Waktu itu, aku melihat wajahmu begitu pucat. Aku tahu, kamu kelelahan karena kurang tidur dan kurang istirahat. Dalam kelompok kita, kamu mendapat beban tugas lebih besar dibanding anggota lainnya. Kamu ketua kelompok.

“Sini aku bantu.”

“Tidak usah,” tolakmu.

“Meminta bantuan saat mulai kerepotan tak ada salahnya, Ra.”

“Aku tidak harus bergantung pada bantuan orang lain selagi masih sanggup kulakukan sendiri,” eyelmu.

Aku tak lagi memaksa. Aku tak berkeberatan atau tersinggung dengan sikapmu. Aku justru melihat sesuatu dari dirimu, jauh di dalam sana, lebih dari sekadar kata-kata yang kamu ucapkan atau hal-hal yang kamu tampakkan pada dunia luarmu.

Apakah hidupmu sedemikian berat? Kamu begitu keras kepala untuk tidak menunjukkan kerentananmu pada orang lain.

“Mas Satria, kopinya sudah jadi.”

“Oh, iya, terima kasih, Mbak. Ini uangnya.”

“Sama-sama, Mas.”

*

Satria

“Masih belum selesai juga, Ra?”

“Sedikit lagi,” balasmu.

Kamu tetap bergeming. Dua alismu bertaut menukik tajam ke arah bawah dengan mata terpaku pada layar notebook. Kamu tidak ingin ada interupsi yang bisa mendistraksi fokus pikiranmu. Kamu sedang menyimpulkan sesuatu yang penting dari tulisanmu. Jadi, kunikmati kopiku lebih dulu. Lima bulan kerap menghabiskan waktu bersamamu di sini membuatku paham kebiasaan-kebiasaan kecilmu.

“Selesaaai!”

Di bagian ini, aku ikut tersenyum gembira. Ekspresi paling riang ini nyaris selalu kudengar ketika kamu berhasil menyelesaikan tugas dengan sempurna.

“Selamat menikmati kopinya,” ujarku alih-alih mengingatkan bahwa ada segelas kopi di hadapannya.

“Hahaha!”

Belakangan, aku bisa melihatmu dan mendengarmu tertawa lepas. Pun, kamu mulai menuturkan impian-impianmu ke depan.

*

Rara

Kepanikan tergambar jelas di raut wajah Satria. Napas Satria yang terengah-engah membuatnya tampak lebih rusuh dari kekacauan hatiku sendiri. Ujung celananya basah. Payung hanya melindungi tiga perempat tinggi tubuhnya dari percikan air hujan.

“Aku meneleponmu beberapa kali.”

“HP-ku tertinggal di kosan.”

Aku berbohong. Padahal, aku sengaja meninggalkan HP-ku di sana.

“Untungnya, tempatmu melarikan diri masih selalu sama. Jadi mudah bagiku menemukanmu,” lega Satria.

Aku tak tahu harus menamai apa perasaanku saat itu. Sedihkah? Senangkah?

“Ada apa?”

Hening mengepung beberapa jenak.

“Ibu mengatakan akan bercerai. Ayah menganiaya ibu lagi. Dan adikku berulah besar di sekolahnya. Aku diminta pulang ke Banten untuk membantu ibu mengurus beberapa hal. Aku, si sulung yang-”

Butuh keberanian yang besar untukku membuka mulut. Namun, belum usai cerita kuurai, kalimatku terpenggal juga. Himpitan sesak memangkasnya. Aku menundukkan kepala di atas kedua lututku yang menekuk. Hangat merebak di sepasang mataku.

It is okay not to be okay,tandas Satria.

Hatiku kian tak keruan. Buliran air di kedua sudut mataku jatuh menganak sungai. Sengguk menggucang-guncang bahuku. Pertama kalinya, di depan Satria, aku menangis. Kurasakan jaketnya menutupi tubuhku yang meringkuk gemetar. Ia menepuk-nepuk halus punggungku.

Hujan turun menderas. Tangisku kian kencang meneriakkan jiwa yang perih terluka. Dan Satria, tak beranjak dariku. Ia diam, membersamaiku merasakan beban yang tengah kupikul. Ia memberikanku ruang untuk bersedih tanpa penghakiman apapun. Ia melakukan hal mudah yang selama ini sulit kulakukan. Hari itu, Satria berhasil meluluh-lantakkan benteng pertahananku dari kerentanan yang entah berapa lama kubangun dengan kalimat bernada positif “aku pasti kuat dan baik-baik saja”.

Anehnya, aku merasakan kelegaan di tengah kekisruhan hidup yang berusaha kuhadapi dengan hati remuk berantakan. Kuangkat kepalaku dan menyeka sisa-sisa air mata di wajah. Kami masih tak saling bicara. Sampai hujan menggerimis kecil dan air yang jatuh menempias terdengar lebih lembut.

“Terima kasih,” ujarku mengusir sunyi.

“Sudah enakan?”

Aku hanya menjawabnya dengan senyum tipis.

“Kita cari makan di sekitar sini. Mumpung hujannya sudah agak reda,” ajaknya.

Aku masih setengah enggan untuk berdiri. Satria menarik tanganku dan menggenggamnya. Pertama kalinya, tanpa protes, tanpa bertanya, aku menurut. Mungkin, katarsis panjangku yang cukup menguras energi membuatku lapar. Atau mungkin juga, oleh sebab lainnya yang masih berusaha kucerna.

“Cari tempat yang agak sepi. Mataku masih sembab. Nanti orang kira kita baru saja bertengkar,” pintaku.

Ia tertawa. Kami berjalan dalam satu payung yang sama dan jaketnya masih melindungi tubuhku dari hawa dingin.

*

Rara

“Melamunkan apa?”

“Hmmmmm …. bukan melamun, tapi-”

Aku berhenti sejenak. Dan Satria menungguku menuntaskan kalimat.

“Terima kasih.”

“Untuk?”

“Untuk tetap bertahan di sisiku.”

“Sepertinya ada yang sedang mengeja kenangan masa muda,” ledeknya.

“Aku? Kamu? Atau kita? Memangnya kita sudah tua?”

“Kita pasangan muda, yang akan terus tumbuh menjadi manusia dewasa, meski lika-liku hidup tak menjanjikan kita akan selalu baik-baik saja.”

Aku tersenyum, di tempat yang sama, bersama dirinya, yang selalu membersamaiku sejak hari itu.

It is okay not to be okay, just be you!

Sebelum mengenal Satria, aku pernah menuliskan itu di buku harianku saat journaling. Karenanya, ketika ia mengatakan hal itu padaku sepuluh tahun yang lalu, aku merasa diterima sebagai dan menjadi diriku. Utuh. Penuh. Autentik. Tanpa atribut apapun yang melekat pada diriku.

*

Catatan:
Cerpen ini pernah diikutsertakan dalam lomba cerpen bulanan yang diadakan oleh grup literasi facebook WR-Academy.

Masa Depanmu Tidak Akan Patah


Tentang hati yang patah ...
Aku mengerti lebih dari sekadar retorika kata-kata yang seringkali dibeberkan manusia. Aku paham dan memahami rasa sakit yang lebih autentik dari perasaan yang orang-orang ketahui atau yang orang-orang berlari darinya hanya untuk memastikan mereka tetap kuat dan mampu menjalani hidup dengan baik.

Tentang hati yang patah ...
Aku paham, terkadang, kita mengkhianati diri sendiri dan menutupi rasa sakit dengan banyak pengalihan. Sementara luka tersebut masih berdiam di sana tanpa kita sadari. Lantas, ketika kita berhadapan dengan diri sendiri dalam sunyi, air mata menjawab semuanya. Ternyata, kita masih terus berproses untuk kuat dan "dipaksa" menerima. Bahwa, kita sedang melewati siklus "baik-baik saja dan tidak baik-baik saja" secara berulang. Sehari kuat, sehari kemudian jatuh lagi. Sampai kita bisa mengatakan pada diri sendiri dengan tulus-jujur, "Tak apa, aku menghargai proses yang menjadi bagian dari perjalanan hidupku."

Tentang hati yang patah ...
Aku paham, semua rasa yang saling menyelisihi dalam diri. Perang batin antara perasaan sedih, marah, kecewa dan menyalahkan kebodohan diri sendiri. Kita tidak bisa meniadakan segala kenangan yang terekam dalam memori. Manusia tidak punya kemampuan menghapus ingatan secara sengaja. Kita hanya mampu mengusahakan untuk berdamai dengan kenangan tersebut, sehingga ketika ingatan kembali memunculkannya, rasa sakit sudah tidak lagi menyertainya.

Tentang hati yang patah ...
Aku paham, bahkan untuk melukiskan getir perih dan menjabarkannya dengan realita kata pun tidak akan sama akuratnya dengan yang dirasakan hati. Jadilah air mata yang mewakili untuk hati merasakan lega. Tak apa, begitulah tugas air mata. Sejatinya, air mata, menguatkan dan memanusiakan kita sebagai manusia yang dibekali hati oleh-Nya untuk merasakan ragam emosi yang datang.

Tentang hati yang patah ...
Tak apa untuk menangis. Air mata membantu kita untuk bisa berdamai dengan diri sendiri. Air mata melembutkan hati kita untuk menerima dan memaafkan segala kesalahan diri. Air mata mengajari diri melepaskan apa yang sebaiknya dilepaskan. Air mata memberitahu kita, bahwa sesuatu yang lepas, sudah pasti bukanlah sesuatu yang diperuntukkan bagi kita. Kalimat yang terdengar klise dan terasa merajam hati tapi memang benar adanya.

Tentang hati yang patah ...
Aku tahu, menyembuhkan diri butuh waktu. Tidak dalam sekejap, tidak secepat mengedipkan mata, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, melalui perjalanan ini, kita akan semakin mengenali diri sendiri. Kita akan memahami pertanda semesta, bahwa, ikatan terbaik adalah ketika kita telah sanggup menerima diri sendiri lebih dari harapan atau ekspektasi orang lain terhadap kita. Kita, tidak akan kehilangan diri sendiri atau berlarut-larut limbung sekarat saat rasa sakit melumat semangat hidup. Kita akan tetap bergerak, meski dengan merangkak lemah tertatih.

Tentang hati yang patah ...
Aku tahu, hatimu tengah luluh lantak. Dan, kamu memandang cinta berserta kenangan yang dibawanya sebagai rasa sakit yang sama sekali tak ingin kamu ingat bahkan mungkin menjadi sesuatu yang kamu sesali. Pula, akan ada hari-hari berat yang tak selalu baik-baik saja untuk kamu lewati selama proses menerima dan memaafkan dirimu sendiri (tanpa harus kembali pada masa lalumu). Tapi, bukan berarti kamu kehilangan seluruh hidupmu tanpanya.

Tentang hati yang patah ...
Aku tahu, kata-kata penyemangat apapun dari orang-orang, tidak akan sanggup mengobati rasa sakitmu sampai ke akar-akarnya. Aku paham, serpihan hatimu tak akan kembali utuh ketika berhasil disatukan. Akan ada bekas retakan yang tampak dimana-mana. Tapi, suatu saat, kamu akan melihat retakan tersebut sebagai seni lain yang Tuhan ciptakan atas kehendak-Nya dalam buku takdirmu. 
Kamu tahu sebuah seni bernama Kintsugi? Manusia memecahkan hati manusia lainnya hingga remuk berkeping-keping. Sementara dengan seni Mahakarya Tuhan Yang Maha Penyayang, tangan-Nya mampu menyatu-utuhkan dan memoles retakan-retakan hatimu dengan keindahan.

Tentang hati yang patah ...
Aku tahu, betapa hancurnya dirimu kini. Tapi, kamu masih memiliki hidupmu yang bisa kamu hidupi. Masa depanmu tidak akan patah. Kelak, kamu akan menemukan sinarmu dari setiap kilau air mata yang jatuh. Habis gelap, akan terbitlah terang.


-Vinny Erika Putri, 16.04.21, untukmu sahabat rasa adik

Kamis, 07 April 2022

M.I.S.T.E.R.I



Malam tak bosan-bosannya kujatuh-cintai. Bening telaga yang bersembunyi di sebalik rimbun pepohonan dan padang ilalang, tak jemu-jemu kukunjungi. Saat berdiam di sini, kerapkali aku tak menginginkan malam tergantikan mentari. Seolah aku enggan menemui pagiSeperti kali ini. 

Lama kuberdiri. Sendiri, merenungkan kehidupan dalam semesta batin yang luas tak bertepi. Sendiri, mengumpulkan keping-keping memori yang hilang dari lintas generasi. Sendiri, memaknai hidup yang kuhidupi. Sendiri, mencerna dengan terbata-bata tentang apa yang Sang Maha Kuasa kehendaki atas penciptaan diri.

Angin bergemerisik mengusik hening. Ilalang bergerak lintang pukang. Dari sebalik ilalang, kurasai sepasang kaki berjalan dengan tenang. Tangannya bergerak hati-hati menyibak ilalang demi ilalang. Hingga jarak dirinya dan diriku, tak lagi bersekat penghalang. Kami, dua orang asing, berdiri sejajar di hadapan telaga yang membentang.

Aku tak tahu. Apa yang akan ia tuju. Tanya meluncur begitu saja dari bibirku. Terdengar dingin dan kaku. Lantas, bercampur dengan jawaban yang terkesan merayu.
"Apa yang menarik langkahmu kemari?"
"Sesuatu yang berselubung sunyi. Serupa misteri."
"Siapa maksudmu?" 
"Kau." 
Aku tersenyum geli. Mengolok-olok tentang apa yang dikatakannya misteri. Seolah aku tengah mengeja ulang ingatan usang tentang singgahnya orang-orang dalam buku catatan perjalanan diri.
Begitukah orang-orang melihat diriku? Ah, mungkin bukan itu. Lebih tepatnya, akulah yang mesti berlapang jiwa-hati-akal pikiran tentang kehidupan dengan segala entitasnya yang memang merupakan persinggahan di setiap perputaran roda waktu. 
Ia terus saja mengamatiku. Isi kepalanya sibuk menerka-nerka manusia macam apa diriku. Sementara aku, yang masih berkelindan ragu kembali membisu. Aku melihat banyak hal yang terasa abu-abu dan ambigu. Seluruhnya, berputar-putar menghuni ruang batinku.
Misteri?
Lekat-lekat kupandangi permukaan telaga mencari cermin diri. Tak kutemukan apapun di sana selain hitam gelap hamparan air dengan kilau bayangan rembulan yang menyinari.

Padanya, kulemparkan satu tanya tentang misteri. Entah di bagian mana percakapan akan terhenti.
"Seumpama aku serupa misteri, bisakah kau definisikan bagaimana misteri didalam misteri dengan sebuah rasa?"

Ia mengernyitkan alis. 

"Misteri didalam misteri?"

Lingkar mataku menatapnya sekilas. Hidupnya tergambar jelas. Hatinya telah menggetas. Entah seberapa keras jiwanya berkali-kali pecah terhempas. Dan pertanyaanku padanya, terasa seperti katalis dari pendaman katarsis. Aku tertawa miris.
"Mengapa kau tertawa?"
Dirinya kian terkepung bingung. Namun, tetap geming. Tak juga beranjak pulang.
"Aku tidak tahu apa yang kutertawai. Entah menertawai orang-orang linglung yang amnesia akan diri mereka lantas mencari mata dan mulutku sebagai alat validasi diri. Atau menertawai orang-orang yang mengikrarkan diri mereka sebagai 'belahan jiwa', kemudian berujung pada kata tak lagi bisa memahami dan berpaling menjauh dari misteri diri. Atau mungkin, aku justru sedang menertawai diriku sendiri yang belum bisa menyelesaikan teka-teki diri."

Ia bungkam. Aku terdiam.

Misteri?
Lagi-lagi, aku bertanya pada diriku sendiri. Tentang misteri diri yang tak pernah usai kuselami. Yang bahkan masih acapkali terasa samar bagiku sendiri.
"Aku rumit. Memahamiku sulit. Jadi, tak apa untuk memilih berpamit. Sebelum pikiran dan hatimu melelah. Lalu, pada akhirnya, menyisakan getir perih kata maaf sekaligus ucapan terima kasih. Seperti orang-orang berkesudah yang sekadar singgah."
Malam semakin menipis di ujung waktu. Matanya masih terpaku padaku. Entah kapan ia akan pergi berlalu. Mungkin isi kepala dan hatinya sedang berseteru. Sementara aku, tengah tak ingin mengurai sirat pesan tentangnya yang menghantam dari segala penjuru.

Desir angin kian menggigilkan tulang belulang. Pantulan cahaya rembulan yang rebah di permukaan telaga berayun terombang-ambing.
Misteri? Terkadang berjawab, terkadang ada hanya untuk dilepaskan tanpa aku harus tahu mengapa begini-begitu. Pun, alasan Tuhan menghadirkan rasa yang tak terbahasakan kata-kata didalam diriku.
Malam, masih ingin kujelajahi. Pagi, aku enggan kembali. Misteri, berikan udara untukku merasakan aliran denyut nadi dan napas diri.


-Vinny Erika Putri, Ramadhan hari ke-5.