Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Minggu, 04 September 2016

Anak Perempuan Penjual Kerupuk



Seorang anak perempuan dengan jinjingan plastik hitam besar di tangannya, lewat di depanku. Wajah anak itu tak asing lagi bagiku. Beberapa kali menikmati semangkuk bakso di kantin dekat masjid, ia sempat singgah ke mejaku untuk menawarkan kerupuk yang dalam plastik hitam besar itu. Begitu pun yang terjadi kali ini. Di suapan kedua kala kumenikmati bakso, ia datang menghampiriku. Ia menjual kerupuknya dan aku membelinya seperti yang sudah-sudah. Setelah aku membelinya, ia lanjut berkeliling dari meja ke meja lantas pergi entah kemana.

Lama melenyap dari pandanganku, kembali kulihat ia berdiri mematung tak jauh dari mejaku.

“Sini, duduk, De,” kataku.

Anak itu berjalan mendekati mejaku dengan senyum malu-malu. Ia letakkan plastik berisi kerupuk yang dijinjingnya lalu duduk di hadapanku. Di pertemuan sebelumnya, sepintas aku pernah berbicara dengannya. Informasi yang masih kuingat dari pertemuan kami sebelumnya hanya dua. Pertama dia masih SD. Entah kelas berapa. Aku tidak bertanya padanya saat itu. Kedua, dia berjualan kerupuk setelah pulang sekolah. Namanya? Aku lupa.

Setelah kami saling memberitahukan nama masing-masing, aku baru ingat kalau ia pernah menyebutkan namanya di pertemuan sebelumnya. Aku mudah lupa dengan nama. Lebih gampang merekam wajah dalam jangka waktu lama daripada mengingat sebuah nama. Apalagi bila seseorang itu sudah lama tidak berinteraksi denganku. Kecuali nama orang-orang terdekat dan orang-orang yang menorehkan dua momen berharga dalam hidupku. Momen membahagiakan dan menyedihkan. Nama-nama di dua momen itu, terpatri dalam ingatan.

“Nur, ibunya mana?”

“Lagi jagain adik, Kak.”

“Berarti Nur ke sini sendiri?”

“Sama ibu. Tapi, ibunya lagi di masjid. Ngajar ngaji.”

“Ngajar ngaji sambil jagain adik?”

Nur mengangguk. Ada magnet yang membuatku tertarik untuk bercakap-cakap dengannya. Semacam rasa simpati dan empati. Dan secara sosial-emosi, bisa kurasakan, ia lebih matang dari anak-anak seusianya. Inilah yang mendorongku untuk mengulik lebih jauh kehidupan anak perempuan kelas 2 SD ini. 

“Eh, pelajaran apa yang Nur suka? Di sekolah teman-temannya gimana? Baik-baik gak?”

“Nur suka sama pelajaran Pendidikan Agama Islam, Kak. Teman-temannya ya ada yang baik dan ada yang gak,” katanya.

Aku hanya bertanya sedikit, ia menjawab dengan begitu banyak cerita. Cerita dimulai dari teman sekelas yang menurutnya “paling bandel”. Namanya (sebut saja) Emon. Kata Nur, Emon pernah menukar buku PR miliknya dengan buku PR milik (sebut saja) Jensen. Alasannya, karena Emon belum mengerjakan PR. Saat Emon menukar buku PR itu, Jensen sedang tidak berada di kelas.

WOW?! Apakah itu efek dari bombardir media elektronik yang menampilkan tayangan-tayangan kurang mendidik bagi anak-anak? Terutama anak-anak yang ketika menontonnya tidak ada arahan dan pendampingan dari orang tua. Kalau iya, selamat! Saya tidak heran. Tapi, prihatin.

“Terus, dia suka nyontek kalau ulangan. Bukunya, tuh, diumpetin di bawah kertas ulangannya. Nur, sih, gak mau kayak gitu. Curang namanya,” tambah Nur.

Dulu, semasa SD, ibu tidak memarahiku bila aku mendapat nilai ulangan jelek. Nilai ulangan jelek bukan masalah selama hasil usaha sendiri dengan tetap menjunjung tinggi prinsip kejujuran. Ibu mengajarkan, nilai jelek artinya, aku harus berusaha lebih gigih dan giat lagi untuk mendapat nilai yang lebih baik tanpa harus mencoreng prinsip kejujuran. Ibuku justru akan lebih marah bila aku mengganti nilai asli yang diberi guru di kertas ulangan atau buku PR-ku.

“Iya, bener, Nur. Gak apa-apa nilai ulangan jelek yang penting jujur hasil sendiri. Lebih baik lagi kalau nilai ulangannya bagus tapi tetap jujur. Bukan dari hasil menyontek,” tanggapku.

Ada dua perasaan yang bercokol di hatiku. Miris sekaligus tersentuh. Miris karena, kecurangan sudah tertanam di usia sedini itu. Tersentuh, karena masih ada anak-anak yang memegang prinsip kejujuran. 

“Ketahuan gak sama bu guru?”

“Ketahuan.”

“Terus, akhirnya gimana?”

“Emonnya dimarahi.”

“Dijewer juga gak?” tanyaku lagi.

“Iya,” jawab Nur.

Deg! Ada yang berteriak tidak setuju di dalam hatiku ketika mengetahui hukuman apa yang diberikan guru kepada Emon. Cerita pun berlanjut. Masih tentang Emon. Dari yang diceritakan oleh Nur, aku mendapat gambaran soal Emon.

Emon dididik dengan kekerasan secara fisik dan verbal. Nur mendapatkan cerita dari ayahnya yang berteman dengan ayah Emon. Ayah Emon tak segan-segan menendang Emon. Dan mulutnya mendadak menjadi kebun binatang. Segala binatang tercurah keluar untuk Emon saat emosinya meledak. Pernah Ayah Nur menasehati Ayah Emon agar tidak seperti itu. Tapi hanya dianggap angin lalu olehnya.

“Ibunya Emon kerja apa?”

Nelembuk. Kawin-cerai. Anaknya banyak. Bapaknya gak tahu siapa aja,” kata Nur dengan polosnya.

Sampai di bagian ini, mirisku bertambah-tambah. Maksud “nelembuk” di sini adalah melacur. Aku bisa membayangkan di lingkungan bagaimana Emon bertumbuh. Keluarga yang seharusnya menjadi madrasah pembelajaran, pelindung, benteng pertahanan pertama dan utama, malah menciptakan situasi-kondisi pelik yang memberi pengaruh buruk bagi anak.

Aku tidak bisa menghakimi bahwa orang tua Emon adalah orang tua yang tidak benar. Karena segala akibat pasti ada sebabnya. Orang tua Emon sendiri adalah produk pola asuh dan pola didik dari orang tua terdahulu. Bisa dibilang, orang tua Emon adalah korban sekaligus pelaku.

Mereka korban dari kesalahan pola asuh dan pola didik di zaman orang tua terdahulu. Pula pelaku dari kekerasan fisik dan verbal terhadap anak mereka sendiri ketika mereka menjadi orang tua di zamannya. Korban sekaligus pelaku tak ubahnya seperti warisan yang ditemurunkan dan terus berputar bagai siklus lingkaran setan. Dan akan terus begitu bila tidak ada yang berani memutusnya.

Tak terasa bakso di mangkokku sudah tandas. Kulirik bungkusan plastik yang kubawa. Aku sempat membeli seblak sebelum ke kantin Masjid. Tadinya, mau kumakan di rumah. Tapi, melihat anak perempuan yang ada di hadapanku, alih-alih memperpanjang percakapan kami, mendadak aku ingin berbagi makanan ini bersamanya.

“Nur, kamu suka seblak, gak?”

“Suka sih. Tapi yang kering.”

“Ini seblak kering, gak berkuah. Mau?”

“Gak ah, Mbak.”

“Kenapa?”

“Malu.”

“Gak apa-apa. Atau gini aja, deh. Kalau kamu malu, kita makannya bareng-bareng,” bujukku.

Akhirnya, ia mau makan seblak yang kutawarkan.

“Eh, tapi agak pedes seblaknya, gak apa-apa? Nur suka pedes gak?” tanyaku ketika teringat seblak yang kupesan pedas.

“Suka,” jawabnya.

Baru beberapa suap, aku melihat keringat di hidungnya dan suara desah kecil kepedasan.

“Sebentar, kakak ambilkan minum.”

Kubuka lemari pendingin yang berada tak jauh di belakangku. Kuambil sebotol minuman teh dan memberikannya kepada Nur.

“Makasih, Kak.”

Cerita pun kembali bergulir. Kali ini tentang kisahnya sendiri. Katanya, ia pernah dimintai uang oleh temannya terus-menerus. Awalnya, Nur memberikan sebesar Rp. 3.000. Nur masih menyisakan uang untuk dirinya sendiri sebesar Rp. 2.000 dari total uang sakunya yang sebesar Rp. 5.000. Dari apa yang Nur lakukan, aku menemukan kecerdasan strategi seorang anak dalam menghadapi masalah ‘pemalakan’.

“Temannya sampai ngancam kamu, gak, Nur?”

“Gak, sih, Kak.”

“Kalau sampai dia main pukul, lapor aja ke bapak atau ibu guru,” saranku.

“Saya juga udah bilang ke anaknya.”

“Bilangnya gimana?”

“Jangan mintain uang saya terus. Kamu, tuh, udah dikasih uang sama bapak kamu 7.000, sama nenek kamu juga 5.000, masih minta aja minta,” kata Nur pada temannya pada waktu ia dipalak.

Lagi, intuisiku terbukti. Salah satu kematangan emosi pada dirinya tampak. Ia berani menolak saat kelakuan temannya sudah tidak bisa ditolerir atau sudah merujuk pada penindasan. Ia mencoba jalur diplomasi ala anak SD. Ia menolak dengan kata-kata yang lebih mirip mengingatkan temannya itu akan konsep bersyukur akan uang yang dimilikinya.

“Tapi, akhirnya kamu lapor ke bapak atau ibu guru?” tanyaku masih penasaran.

“Lapor. Sampai akhirnya orang tuanya dipanggil ke kantor. Baru dianya berhenti minta uang.”

“Orang tuanya dibilangin apa sama gurunya?”

“Katanya, kalau masih minta-minta uang, orang tuanya disuruh bayar kaos olahraga. Kaos olahraganya gak jadi dikasih gratis.”

Lalu dia bercerita tentang jadwal olahraga kelasnya. Sementara, pikiranku masih mencerna cara penyelesaian yang dilakukan oleh sang guru. Terngiang-ngiang kalimat KALAU MASIH MINTA-MINTA UANG, KAOS OLAHRAGANYA GAK JADI DIKASIH GRATIS. 

Hatiku berbicara, otakku berpikir, tidak bisakah mencari alternatif-alternatif solusi lain yang mengedepankan komunikasi efektif dan tepat sasaran tanpa ancaman serta lebih memanusiakan manusia? Tidak bisakah mencoba bersinergi dengan orang tua untuk menemukan akar masalah sebenarnya? Bukankah solusi seperti itu hanya akan menyelesaikan masalah dengan melahirkan masalah baru? Dari sudut pandang yang kutangkap, akar masalahnya bukan pada pelanggaran finansial orang tua. Tapi lebih kepada masalah psikis anak yang butuh pertolongan dan penanganan secara tepat.

Lamunanku buyar. Seorang ibu separuh baya yang sehat walafiat datang dengan meminta-minta. Aku sudah menangkupkan tangan sebagai permintaan maaf tidak bisa memberi. Tapi, ia begitu ngotot tetap berdiri di situ. Akhirnya, aku keluarkan sedikit uang untuknya.

Setelah pengemis itu pergi, cerita Nur pun beralih topik tentang pengemis di sini. Ia mengenal wanita paruh baya itu. Wanita itu kerap berkeliaran di sini. Bahkan sempat merasa iri dengan Nur.

“Iya, Kak. Dia bilang, katanya saya sih enak. Ada yang ngasih 50.000. Pernah juga ada yang ngasih 100.000. Kalau ke dia, paling, orang ngasihnya 500.”

Aku tak heran bila ada orang yang memberi Nur uang lebih banyak dari harga jual kerupuknya. Dua alasan yang kupikir sama seperti yang kurasakan ketika melihat Nur menawarkan kerupuknya. Simpati dan empati untuk seorang anak perempuan yang bekerja keras di usia dini.

“Saya bilang aja sama dia, ‘kan saya jualan, bukan minta-minta’,” kata Nur.

“Iya. Itu orangnya sehat tapi ngemis. Lebih baik jualan kayak Nur daripada ngemis-ngemis. Pantang untuk ngemis-ngemis sama orang dalam hidup, Nur,” ujarku sedikit memanasinya.

“Iya. Saya juga gak suka, Kak. Yang tambah bikin gak suka, mereka suka bawa anak.”

Matanya lalu mengedarkan pandang ke sekeliling. Entah apa yang dicarinya.

“Anaknya seumur itu, tuh, Kak,” tandasnya sembari menunjuk seorang anak kecil tak jauh dari tempat kami duduk. Aku perkirakan anak itu berusia sekitar 4 tahunan.

“Masa anaknya ngemis gak tahu sampai ke mana, tapi, ibunya cuma ongkang-ongkang. Duduk-duduk. Saya marahin aja.”

“Marahin gimana?” pancingku.

“Ya saya bilangin, ‘eh, itu anaknya ngemis, ibunya malah duduk-duduk’.”

“Kadang-kadang, anak yang mereka bawa juga itu bisa jadi sewaan, loh,” aku menambahkan.

“Iya. Malah ada yang usianya lebih kecil dari anak yang tadi, Kak.”

“Memang, segimana usianya?”

“Ya masih ngerondang. Masih ngerangkak. Kalau ada orang lewat, tangannya diajarin kayak orang minta-minta gitu,” ujar Nur sembari memperagakan dengan gerakan tangan meminta, “ya orang yang ngelihat gimana ya. Pasti ngasihnya karena kasihan. Anaknya pernah ngerangkak sampai hampir ketabrak mobil juga,” lanjutnya.

Astaghfirullah, jahat sekali mereka,” geramku.

“Iya, Kak.”

Kuperhatikan sedari tadi makan seblak bersamanya, ia sama sekali tak menyentuh sosis, bakso, makroni atau kerupuk basah yang ada dalam campuran seblak.

“Kamu gak suka makroni sama kerupuk basahnya? Atau baksonya gitu?”

“Gak, Kak. Kalau makan kerupuk basahnya bikin perut enek.”

“Sukanya kubis sama telur ya?”

“Iya.”

“Eh, ngomong-ngomong, itu kerupuk yang Nur jual itu hasil bikinan sendiri?”

“Bukan. Itu punya orang lain. Saya bantu jual. Uangnya kadang buat beliin adik bakso. Bakso kering 3.000. Adik saya suka bakso kering.”

Ah, anak ini. Aku begitu terenyuh dan merasa kecil di hadapannya. Disamping karena kemandiriannya, Nur mungkin sudah banyak melihat fenomena memprihatinkan secara langsung dan nyata di depannya. Tak heran bila pola pikirnya lebih matang dan dewasa dibanding anak seusianya.

“Aku juga pernah diajak naik ke mobil orang yang gak aku kenal, Kak.”

“Kamu pernah mau diajak ngemis juga?” tanyaku sedikit terkejut.

“Gak tau mau diajak ke mana. Sayanya nolak. Takut nanti dijual organ tubuhnya.”

Lagi-lagi, aku menemukan sisi kematangan sosial-emosi pada dirinya. Ia peka terhadap perkembangan berita sosial-kriminal. Juga sikap waspada yang sudah tertanam pada dirinya. Orang tuanya mungkin sudah memberikan bekal pengetahuan yang cukup untuk ia menjaga dirinya dari orang asing yang mencurigakan. Aku sungguh penasaran, bagaimana pola asuh dan pola didik yang diterapkan orang tua Nur.

“Cara ngajaknya gimana?”

“Tangan saya ditarik. Dipaksa ikut.”

“Terus, gimana caranya kamu bisa lolos?”

Nur memperagakan cara ia menolak orang yang memaksanya ikut ke dalam mobil. Ia mengibas-ngibaskan tangannya kuat-kuat. Dan berulang kali berteriak mengatakan tidak mau.

“Alhamdulillahnya ada satpam yang datang waktu itu. Gara-gara ada satpam juga, akhirnya ketahuan kalo mobil mereka itu mobil curian.”

“Terus, akhirnya gimana?”

“Akhirnya diserahin ke polisi.”

Tanpa terasa, seblak di hadapan kami sudah habis. Selang beberapa menit setelah seblak habis, ia mengakhiri cerita dan berpamitan.

“Kak, aku mau keliling lagi, ya. Makasih minuman sama seblaknya.”

“Oke. Kapan-kapan kita bisa cerita bareng lagi di sini.”

“Pamit ya, Kak.”

“Ya.”

Aku pun pergi ke kasir. Sebelum aku menuju parkiran motor, lingkar mataku masih mencari sosok Nur. Tampak ia tengah menjual kerupuknya kepada orang yang berada di sebelah meja tempat kami berbincang tadi. Aku mendekatinya untuk berpamitan.

“Nur, Kakak pulang, ya.”

“Iya, Kak. Makasih.”

“Sama-sama.”

Ada sebuah pembelajaran yang kubawa siang tadi. Aku pulang dengan perasaan yang... ah, katakanlah campur-campur. Melalui media elektronik, aku sudah sering mendengar realita-realita yang diceritakan Nur. Pula aku kerap membaca realita-realita seperti itu dalam buku-buku atau media cetak. Tapi, berinteraksi langsung dengan orang yang mengalaminya, rasanya jauh lebih menyentuh daripada mengetahuinya lewat media-media tersebut. Nur adalah anak yang sudah mengakrabi fenomena tersebut dalam kesehariannya.

Pulang meninggalkan masjid yang berdiri megah di alun-alun kota, sebuah pertanyaan besar mengusikku, kontribusi apa saja yang bisa kulakukan untuk menjadi bagian dari gerakan perubahan sesuai dengan kapasitas dan kemampuanku?

Teringat sebuah petikan puisi karya Chairil Anwar
KAMI SUDAH COBA APA YANG KAMI BISA/ TAPI KERJA BELUM SELESAI/ BERJAGALAH TERUS DI GARIS BATAS PERNYATAAN DAN IMPIAN/
Jadi, kamu mengeluhkan apa kali ini?

-Vinny Erika Putri, Cirebon, 28-08-16, penjelajahan “menepi sejenak”