Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Senin, 17 Juni 2019

Jadi... kau ingin kembali pada-Nya bukan?



Have you ever seen your face in a mirror? There's a smile but inside you're just a mess. You feel far from good. Need to hide 'cause they'd never understand.Have you ever this wish? Of being somewhere else to let go of your disguise, all your worries too. And from that moment, you see things clear.
Disguise. Kalimat itu, penggalan lagu disguise yang dinyanyikan Lene Marlin. Lagu itu menelanjangi perasaanmu dengan baik, bukan? Ah, tapi sepertinya bukan hanya dirimu yang pernah mengalami perasaan semacam ini.

Hai, diriku ... mari saling terbuka, jujur dan biarkan jari-jemari menulis mengikuti kata hatimu. Sebagian besar orang menipu dirinya sendiri sepertimu. Semakin keras kepala untuk menunjukkan kekuatan diri disaat rasa lemah kian bergejolak merongrong sejauh mana diri mampu berpura-pura kuat. 

Di saat kau kukuh untuk menunjukkan betapa kuatnya dirimu, kau justru semakin kacau. Kau tahu? Disaat-saat seperti itu ... kau bukan membutuhkan teman. Ada yang lebih kau butuhkan dari kehadiran teman. Kau membutuhkan penerimaan diri. Semuanya. Kelemahanmu, kesedihanmu, kemarahanmu. Semuanya. Semua perasaan dan pemikiranmu bahkan sisi terjahatmu sekalipun. Bukan hanya kebaikan dan kekuatan/kelebihanmu.

Kau tak bisa memahami hidup ketika hanya menerima dirimu separuhnya. Kau akan mulai menyangkal takdir. Bahkan menggugat Tuhan. Setelahnya, kau tidak akan bisa merasakan kehadiran Tuhan. Dan ketika kau melupakan Tuhan, kau semakin kehilangan dirimu.

Tak apa kau jujur pada dirimu, mengatakan, "Aku sedang tidak baik-baik saja", saat kau merasakan tak baik-baik saja. Tak apa bahwa kau kadang berada pada fase tak sanggup meneruskan langkah dan ingin menyerah dengan takdir kehidupan yang harus kau jalani. Terimalah itu. Saat itulah kau akan merasakan, betapa Tuhan begitu nyata kau butuhkan kehadiran-Nya dan hanya satu-satunya yang bisa kau andalkan. Bukan hanya sekadar ritual beribadah, dalil-dalil yang sebatas tekstual, dan fatamorgana kata-kata mutiara tentang Tuhan yang menghibur diri.

Jadi ... kau ingin kembali pada-Nya bukan?

-Vinny Erika Putri, Monolog Diri-

Senandung Lima Pohon Trembesi


Iring-iringan manusia datang menyambangi hutan. Punggung-punggung berjalan menyibak perdu dan semak di antara rimbun pepohonan. Reranting kering yang terinjak-injak bergemerasak. Lirih memecah hening.

Angin menggeliat resah. Malam terasa ganjil. Di langit, mata rembulan terjaga penuh. Purnama seakan siaga. Ia tak ingin melewatkan denyut kehidupan Wonosadi malam itu barang sekejap pun.

“Siapa orang-orang itu? Berani benar memasuki wilayah keramat ini!” kata pohon Trembesi satu.

“Entahlah. Belum pernah ada manusia sebanyak mereka menjejakkan kaki di hutan ini kecuali juru kunci dan keturunannya,” tanggap pohon Trembesi lima. 

“Aku merasakan firasat buruk sedari tadi,” ungkap pohon Trembesi dua.

“Kau benar. Malam ini, hawa terasa berbeda,” timpal pohon Trembesi empat pada pohon Trembesi dua.

“Ya Tuhan, lindungilah hutan ini beserta isinya,” doa pohon Trembesi tiga yang bersebelahan dengan pohon Trembesi empat lantas diamini serentak oleh pohon trembesi lainnya.

Seorang laki-laki bertubuh tinggi kekar berjalan paling depan memimpin barisan. Di punggung mereka bergelayut ransel besar. Kenekatan langkah kaki mereka mengalahkan keangkeran yang memagari hutan ini.

“Berhenti di sini. Kita buat kelompok-kelompok untuk menyebar di beberapa titik,” tegasnya.

Orang-orang menempati lokasinya masing-masing. Lalu, mereka menurunkan ransel dan mengeluarkan semua peralatan yang ada didalamnya.

“Apa yang akan mereka lakukan dengan benda-benda itu?” pohon Trembesi lima bertanya-tanya.

“Barang-barang itu tampak sangat mengerikan,” tukas pohon Trembesi satu.

Angin berembus kian gemuruh. Resah gelisah menjelma ketakutan. Dari kejauhan, jerit pilu kesakitan menggema. Seisi hutan menegang. 

“Kau dengar? Suara di ujung sana?” ujar pohon Trembesi tiga.

“Firasat buruk ini rasanya kian menajam,” tandas Pohon Trembesi dua.

“Mulai dari pepohonan yang berbatang kecil saja dulu,” kata salah seorang lelaki kepada temannya.

Nyala gergaji mesin mengalihkan keheranan mereka yang belum sempat terjawab. Orang-orang itu menghampiri beberapa pohon dengan lingkar batang yang lebih kecil dari lingkar batang milik lima pohon Trembesi.

Ngiiiiiingggg.... ngiiiiinggg.

“A-a-a-pa itu? Tu-tu-tu-tunggu? Mereka akan me-” belum sempat pohon Trembesi empat menyelesaikan kalimatnya, gergaji mesin mulai menyentuh kulit pepohonan di sekitar mereka.

“HENTIKAAAN! JANGAN LAKUKAN ITUUU!” seru pohon Trembesi satu.

Gergaji mesin itu terus bergerak. Gerigi-geriginya lesak terbenam mengoyak batang pepohonan. Lima pohon Trembesi menatap nyalang orang-orang itu dengan serangsang amarah. Betapa mereka ingin melindungi teman-temannya dari kebrutalan orang-orang itu. Namun, yang mereka rasakan hanyalah sulur-sulur ketidakberdayaan yang melekat erat pada tubuh mereka. 

Angin tak kalah marah. Angin ingin menggulung orang-orang itu lalu menghempaskannya jauh-jauh. Tapi, apalah daya. Kekuatan yang dipinjamkan Tuhan padanya hanya sanggup mengugurkan dedaunan dan reranting rapuh. Ia tak bisa menjelma puting beliung apalagi sebesar tornado.

“Biadab! Tekutuk!” umpat pohon Trembesi lima dan pohon Trembesi satu bersamaan.

Hati lima pohon Trembesi tertikam perih. Di hadapan mereka, teman-teman mereka tumbang satu per satu. Lantas, malam itu mereka namai malam kesuraman. Awal mula petaka dimulai sejak malam itu.

*

Hari melipat hari membentuk minggu. Minggu berkumpul menetaskan bulan. Bulan berbulan, tingkah sebagian manusia di Desa Beji makin menjadi. Ketamakan mengkhianati kesakralan legenda. Harta dan tahta menutup mata hati mereka dari sejarah. Kearifan dan nilai-nilai adiluhung yang diwariskan leluhur pun lumat bersama kotoran perut mereka.

“Pekerjaan ini menghasilkan uang lebih cepat daripada harus menunggu hasil panen,” ujar seorang lelaki pendek gempal kepada temannya.

“Kau benar. Lagipula, Pak Lurah sendiri yang bilang pada warga desa, ‘Itu kan hutanmu, tebang saja kalau butuh,’ kau ingat kata-kata itu?” jawab lelaki kurus jangkung. 

“Tentu saja aku ingat. Jadi, kita tak perlu mengkhawatirkan apapun karena aparat desa melindungi kita. Bahkan bos besar pun menjamin itu.”

Alih-alih mendungi para penebang liar, partai yang berkuasa saat itu bersama sekutunya hanyalah bermaksud menggelembungkan pundi-pundi rupiah. Pun membodohi rakyat yang terjerat kemiskinan. Lantas, kebodohan dan kemiskinan memudahkan mereka untuk menyusupi rakyat dengan pemikiran-pemikiran dan ideologi mereka demi langgengnya otoritas kekuasaan partai. 

Sementara itu, para penebang liar terlalu lugu untuk memahami bahwa mereka tak ubahnya seperti pion-pion kecil dalam papan catur yang bisa dimainkan sekehendak tangan penguasa bergerak. Pula mereka tak menyadari bahwa setiap penguasa adalah ahli strategi dengan agenda besar dibalik visi misi yang dibawanya masing-masing.

Ngiiiiiiing... ngiiiiiiing... kreek... kreeek... kreeeeeeeek.... gedebug! 

Lagi. Bunyi mesin gergaji mengantarkan kematian pepohonan. Sejak malam kesuraman itu, lima pohon Trembesi mendapati hari-hari penghuni seisi hutan berwarna kesedihan. Matahari pun tak sanggup mengusir kepungan kabut di hati mereka. Terang tak lebih baik dari gelap. Gelap semakin gelap. Terang gelap, siang malam, tak ada bedanya. Kehidupan di dalam hutan serupa aroma kamboja. Wangi nanar perkabungan.

Hati lima pohon Trembesi tercabik-cabik getir. Ada ingatan yang selalu tanak dalam benak mereka. Sebuah pesan dari pepohonan disaat-saat sekarat meregang nyawa.

“Kalian adalah ibu dari hutan ini. Kalian pengemban sejarah Ki Onggoloco. Pengemban amanah hutan Wonosadi. Bertahanlah sampai akhir.”

Lima pohon Trembesi tersedu sedan. Mereka menyepakati bahwa menjadi saksi petaka sejarah sangatlah memilukan. Sepanjang usia, mereka terpaksa menanggung bekas luka-luka yang berdiam dalam ingatan. 

*

Petaka pertama melahirkan petaka berikutnya. Binatang-binatang mulai kekurangan makanan karena hutan menggundul. Mereka turun satu per satu ke pemukiman warga karena kelaparan. Saat musim kemarau, kekeringan melanda desa. Saat musim penghujan, tanah-tanah merayap turun menghantam rumah-rumah penduduk dan melahap apa saja yang dilaluinya. Air menenggelamkan sawah-sawah dan perumahan. Keseimbangan alam hutan Wonosadi goyah. Ketentraman Desa Beji lesap tertelan bencana demi bencana.

Kehidupan makin lintang-pukang. Dalam pemerintahan, kejayaan partai yang berkuasa pun mendekati titik nadir. Dibawah kepemimpinan kepala negara yang baru, pemberontakan ditumpas habis. Para anggota partai tersebut dicekal dan diberantas. Negara mengumumkannya sebagai partai terlarang.

Tuhan tak pernah mengingkari firmannya sendiri. Bahwa Tuhan pergilirkan setiap masa kejayaan dan kehancuran diantara manusia agar mereka mendapatkan pelajaran. Partai itu akhirnya tumbang secara kekuasaan. Napas orang-orang yang tersisa dari partai bersimbol palu arit tercekik sesak. Hidup mereka serupa tahanan yang selalu dalam pengintaian mata pemerintah. Para pemegang kursi dari pemerintah pusat sampai ke pelosok desa diberangus. Tak terkecuali di Desa Beji, seluruh aparat desa diberedel. 

Hawa udara berganti. Hukum alam pun berjalan: belenggu ketakukan terlepas, keberanian membesar, harapan baru muncul bersejajar dengan bara semangat di dada orang-orang tak berdaya yang dahulu terpaksa memilih bungkam.

*

Sepagi-pagi Sudiyo membuka mata, isi kepalanya hanyalah hutan Wonosadi. Diliriknya surat penting yang tergeletak di atas meja. Surat keputusan Lurah Desa Beji. Tertera dengan jelas di sana bahwa hutan Wonosadi seluas 25 hektar berada dalam wewenang Sudiyo. Ia mendapat mandat dari Pak Lurah untuk memulihkan, menjaga, mengamankan dan melestarikan hutan Wonosadi.

Dari mana aku harus memulai? batinnya.

Azan berkumandang. Sudiyo bangkit dari rebah untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat subuh. Setelahnya, ia berpamitan kepada sang istri untuk menjalankan tugasnya. Di bawah langit yang masih berselimut gelap, kakinya tegas melangkah. Ia tapaki jalan terjal berbatu dengan membawa kuncup harapan di hatinya. 

“Siapa lelaki itu?” tanya pohon Trembesi tiga pada pohon Trembesi lainnya.

“Entahlah. Mungkin sama seperti manusia yang telah membunuh teman-teman kita,” lontar pohon Trembesi satu dengan sinis.

“Semoga kali ini petanda baik,” harap pohon Trembesi dua.

Sudiyo menyapu pandang. Ia takjub. Sebelumnya, sepanjang ia berjalan, kegersangan menghampar luas. Kini, ia melihat lima pohon Trembesi berdiri di hadapannya. Ia seperti menemukan oase di padang gurun.

“Mengapa lelaki itu tersenyum?” heran pohon Trembesi empat.

“Kita seperti mangsa empuk di matanya. Kali ini, mungkin giliran kita yang akan dihabisi,” sahut pohon Trembesi lima.

Sudiyo menghampiri mereka satu per satu. Tangannya menyentuh lembut kulit batang mereka. Kaca-kaca mengilau di bola matanya. Sudiyo merasakan syukur yang mendalam atas kemurahan dan kasih sayang Tuhan. Tuhan masih sudi menyisakan lima pohon Trembesi hingga detik ini untuk kelangsungan hidup orang-orang Beji. 

“Terima kasih. Telah bertahan sampai sejauh ini,” ucap Sudiyo kepada lima pohon Trembesi.

Sudiyo kembali menebar jejaring pandang ke arah lainnya. Ia diam beberapa saat sebelum akhirnya meninggalkan hutan.

“Ada apa dengan lelaki itu?” kata pohon Trembesi lima.

“Entahlah,” ujar pohon Trembesi lainnya serentak.

Lima pohon Trembesi terkepung tanya. Mereka tak mengerti apa isi kepala lelaki itu. Isi kepalanya tak tertebak. Gerak-geriknya berbeda dengan manusia-manusia yang merobek perawan hutan ini. 

*

“Ayah, masih jauhkah? Berapa lama lagi kita sampai?” celoteh seorang anak perempuan yang mengiringi langkahnya.

“Sebentar lagi, Nak? Apa kau lelah? Mau ayah gendong?”

“Tidak usah, Ayah. Kalau ayah menggendongku, nanti bertambah lelah.”

“Anak hebat,” puji sang ayah seraya mengulas senyum, “saat kau melihat lima pohon Trembesi raksasa, artinya kita sudah sampai,” sambung ayahnya.

Anak perempuan itu, meski usianya masih sangatlah muda, langkah kecilnya tak meragu. Ia terus menyusuri tapak demi tapak jalan tanpa keluh-kesah secuil pun dari bibir mungilnya. Ketangguhannya sekuat baja. Di dadanya, mengakar kebanggaan bahwa ayahnya seorang penjaga hutan.

“Ayah! Pohon itu sudah mulai terlihat! Dahan-dahannya tinggi menjulang!” girangnya.

“Iya, Nak.”

Orang-orang dewasa di sekitar anak perempuan itu menertawai tingkah polahnya. Anak inilah yang menjadi penguat mereka. Keriangan dan semangatnya membuat mereka sebagai orang dewasa cukup malu untuk mengeluh. Orang-orang itu adalah kelompok penjaga hutan bernama ngudi lestari yang dibentuk oleh Sudiyo. Jumlah mereka 25 orang. Mereka berasal dari Dusun Duren dan Dusun Sidorejo yang berbatasan langsung dengan hutan Wonosadi.

“Hei, orang itu datang lagi!” seru pohon Trembesi satu.

“Iya. Sekarang ia datang dengan lebih banyak orang,” Pohon Trembesi empat membenarkan.

Lima pohon Trembesi bergidik. Orang-orang dengan ransel di punggungnya mengingatkan mereka akan kepedihan di malam kesuraman. 

“Apa yang akan mereka lakukan?” Pohon Trembesi tiga bertanya-tanya.

“Tapi aku tak merasakan firasat buruk apapun terhadap mereka,” tukas pohon Trembesi dua.

“Semoga saja firasatmu benar,” tanggap pohon Trembesi lima pada pohon Trembesi dua.

Sudiyo dan orang-orang berkerumun. Mereka membicarakan sesuatu. Kemudian, mereka berpencar di sekitar lima pohon Trembesi. Sudiyo menentukan keberadaan lima pohon Trembesi sebagai jantung utama hutan Wonosadi. Tempat itu bernama Lembah Ngenuman. Dari titik itulah mereka memulai perjuangan. 

Mereka menanam bibit pohon kayu semacam pohon jati, pohon sengon, pohon johar dan pohon mahoni. Selain menanam bibit pohon baru, pokok-pokok tegakan pohon di hutan yang masih ada seperti pohon gondang dan pohon sengkek dibiarkan tumbuh.

“Ayah yakin, Nak. Asalkan di hati ini selalu tersimpan kesabaran menanam bibit-bibit ini dan menjaganya, Wonosadi akan kembali pulih,” ujarnya kepada sang anak sembari menyeka keringat yang membasahi kening.

Mata anak perempuan itu berbinar. Kata-kata sang ayah merupa sayap cakrawala yang mengepakkan harapan kembalinya hijau Wonosadi. Seketika itu, tangan-tangan mungilnya menjadi lebih tegar. Ia masukkan bibit-bibit pohon ke dalam lubang yang telah dicangkul oleh ayahnya.

*

Matahari pagi enggan menampakkan sinarnya. Langit berkerudung mendung. Namun, pekatnya mendung tak menyurutkan langkah kaki perempuan paruh baya itu dalam menjalankan amanah yang diembannya. Ia ditemani oleh seorang anak lelaki yang usianya terhitung 12 tahun.

“Mereka datang! Horee!” riang pohon Trembesi tiga.

“Artinya, akan ada lagi penghuni baru hutan ini yang bertambah,” timpal pohon Trembesi lima.

“Tapi, mengapa kali ini perempuan itu menampakkan raut wajah yang berbeda dari biasanya,” pikir pohon Trembesi dua.

“Berbeda bagaimana?” tanya pohon Trembesi satu.

“Gurat kesedihan. Kalian tidak lihat itu?” jawab pohon Trembesi empat.

Lima pohon Trembesi terdiam. Sementara pikiran perempuan paruh baya itu mengembara entah kemana. Tiba-tiba, matanya menangkap sosok anak perempuan dan seorang lelaki paruh baya. Anak perempuan itu tengah menepuk-nepuk timbunan tanah dengan tangannya. Lalu, sesudahnya, bergeser dari satu sisi ke sisi lainnya untuk menanam bibit pohon yang baru. Kebahagiaan memancar di wajah anak perempuan itu.

“Doakanlah setiap bibit yang kau tanam, Nak,” tukas lelaki paruh baya yang tengah membuat lubang tanah tak jauh dari lokasinya bertelimpuh.

Anak perempuan itu mengangguk. Ia teringat akan sebuah kisah dari kepulauan Solomon yang pernah diceritakan oleh sang ayah. Penduduk kepulauan Solomon memiliki kebiasaan meneriaki pepohonan dengan kata-kata makian, cacian dan sumpah serapah ketika mereka akan membuka lahan baru hingga pepohonan tersebut pelan-pelan layu mengering dan akhirnya mati. Anak perempuan itu beroleh pemahaman bahwa setiap kata-kata sanggup menjelmakan diri menjadi doa dan kenyataan.

“Tumbuhlah dengan baik. Jadilah kuat. Hijaukanlah kembali Wonosadi. Sentuhlah hati orang-orang yang datang dan pergi di sini. Mekarkanlah cinta mereka pada ibu pertiwi. Tuhan selalu menjagamu. Dan kami menyayangimu,” ucapnya tulus.

Pepohonan itu mendengar. Mereka memahami setiap perasaan dan doa-doa yang diutarakan manusia. Mereka juga berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti manusia. Dalam dzikir mereka yang tiada henti memuji keagungan Sang Pencipta, mereka meminta kepada-Nya agar diberi kekuatan untuk melindungi hidup orang-orang yang ikhlas menjaganya. 

Lama perempuan paruh baya itu mematung. Perlahan, matanya memanas lantas berembun. Bersamaan dengan bulir yang jatuh, sosok anak perempuan dan lelaki paruh baya itu lenyap dari pandangan. Hatinya mengeja kerinduan. Kerinduan yang hanya bisa dititipkannya lewat doa-doa.

“Ibu, kali ini kita akan menanam bibit ini di mana?”

Suara anak laki-laki itu menyadarkannya dari lamunan. Segera ia sembunyikan basah di pipinya. Berada di hutan ini bagaikan menapak-tilasi kenangan yang tak pernah lapuk dimakan waktu.

“Kita turun ke bawah setelah ibu selesai mengecek pepohonan di sini. Bibit-bibit itu akan kita tanam di bagian hutan penyangga,” jawab perempuan paruh baya itu. 

Mereka pun menuruni undak-undakan menuju hutan penyangga yang letaknya berada di bawah hutan adat Wonosadi. Hutan penyangga adalah tanah-tanah milik masyarakat –bersertifikat hak milik– yang dengan sukarela oleh pemiliknya dihutankan kembali. Pohon di hutan tersebut boleh ditebang berdasarkan aturan yang disepakati bersama. Satu tahun hanya boleh menebang satu pohon dengan syarat setahun sebelumnya harus sudah menanam minimal 3 batang pohon. 

“Kadang, kita tak mengerti manusia. Mereka begitu rumit,” Pohon Trembesi empat berbicara.

“Rumit?” heran pohon tiga.

“Ya. Rumit. Ada sebagian yang begitu rakus menguras isi alam tanpa pernah memberi dan-”

“Sebagian kecil begitu rela menghabiskan hidupnya untuk menjaga hutan ini demi mata air tetap mengalir,” pungkas pohon Trembesi lima sebelum pohon Trembesi dua menyelesaikan kalimatnya.

“Dan demi memanjangkan nyawa jiwa-jiwa yang hidup di sini,” lanjut pohon Trembesi dua.

“Sayangnya, keberadaan orang-orang semacam ini laksana sebatang jarum kecil dalam tumpukan jerami. Jumlahnya hanya segelintir diantara jutaan manusia,” timpal pohon Trembesi satu.

“Meski manusia seperti mereka hanyalah segelintir, kunamai itu neraca keadilan Tuhan,” timpal Trembesi tiga, “Ah, saatnya akar-akar kita bertugas sekarang,” sambungnya.

Gerimis lahir dari rahim mendung. Buliran air mendarat di atas pepohonan lantas luruh meresap ke dalam tanah. Akar-akar trembesi dengan sigap menyimpannya sebagai cadangan air. Tuhan menitahkan akar-akar mereka yang dalam dan lebar untuk menjaga ketersediaan mata air.

Gerimis kian menderas. Perempuan paruh baya dan anak lelaki itu masih belum beranjak dari hutan. Di hutan penyangga, mereka menanam bibit-bibit pohon baru. Topi caping dan jas hujan melindungi tubuh mereka dari basah kuyup.

“Nak, janganlah meninggalkan air mata. Tapi, tinggalkanlah mata air.” 

Kalimat itu bagai pahatan di atas batu baginya. Kalimat itu adalah wasiat ayahnya. Kini, tubuh ayahnya telah berkalang tanah. Perempuan paruh baya itu adalah anak perempuan yang telah dimatangkan oleh waktu dan tempaan. Ia, Sri Hartini, yang meneruskan perjuangan Sudiyo dalam menjaga dan melestarikan hutan Wonosadi.

*

Hari Senin Legi dalam Juni. Waktu yang paling dinantikan oleh Desa Beji setiap tahunnya. Pukul empat pagi, kesibukan dimulai. Rumah Bu Hartini dipenuhi orang-orang. Asap mengepul dari ruang dapur. Aroma ayam panggang kental tercium. Di sekitarnya tergeletak wadah tenong. Panggang tumpeng dan wadah tenong serupa sedekah tolak bala. Serupa pelindung desa. Lainnya, orang-orang yang berhajat, menyelipkan harapan-harapannya di sana.

“Bu, kulo bidhal ndhisik, yo,[1]” pamit Yogo

“Iyo, Nang. Atos-atos ing dalan,[2]” jawab Bu Hartini. 

Lepas Subuh, para pemudi dan sesepuh desa melaksanakan reresik sendhang[3]. Sendhang yang dialirkan ke sawah dikuras. Pelataran sekitarnya disapu. Reranting pohon yang sudah kering ditebang supaya tidak membahayakan orang lain.

Pukul 08.00, sendhang Duren ramai orang-orang. Mereka mengerti tradisi. Sendhang Duren mengawali prosesi doa. Dipandu Mbah Yatmo, sang juru kunci, tangan-tangan tengadah. Bibir mereka menggumamkan doa-doa. Sesaji yang dibuat sehari sebelumnya, dikumpulkan jadi satu. Sebagian lelaki memikul sesaji bersama-sama di bahu mereka. Sebagian lagi membawanya dengan tangan. Arak-arakan menuju Kaliendek dimulai.

Pukul 10.00 mereka tiba di Kaliendek. Dahulu, konon katanya, tanah pekarangan ini merupa area tempat tinggal Roro Resmi. Pohon beringin besar menjadi penandanya. Dari tempat ini, arak-arakan sesaji akan dibawa masuk ke hutan adat Wonosadi. Pula, di sinilah pagelaran seni akan ditampilkan.

*

Matahari kian merangkak naik nyaris di atas kepala. Sinarnya terik mencakar punggung bumi. Dalam keteduhan naungan pepohonan, berpasang-pasang kaki meniti undak-undakan menuju hutan adat. 

“Nama hutan ini berasal dari kata wono yang artinya alas dan sadi yang artinya rahasia. Tapi ada juga yang menyebutkan, kata wonosadi berasal dari kata wono usodo, yang artinya hutan penyembuhan, karena hutan ini menyimpan lebih dari 75 jenis tanaman obat,” jelas Yogo, anak lelaki Hartini yang turut memandu rombongan peneliti.

Mata lelaki muda itu membeliak. Ketakjuban terlukis di sana. Tak hanya lelaki muda itu, anggota rombongan peneliti lainnya pun tercengang. Mereka seakan tersihir dengan pesona alam hutan Wonosadi. Hutan ini bisa diserupai dengan apotik hidup berukuran raksasa.

“Kita sekarang berada di Lembah Ngenuman,” terang Yogo.

Gemericik aliran air terdengar dari tiga sumber mata air yang melewati sela-sela bebatuan dan akar pepohonan. Teriakan monyet, cericit aneka burung, dan kepak sayap ayam hutan menyambut kedatangan mereka.

“Tak hanya jenis flora, Hutan Wonosadi juga kaya akan fauna,” tambah Yoga.

“Mmmm... pantas saja hutan ini menjadi pusat studi ilmu biologi dan kehutanan,” tanggap Kelana, sang pemimpin rombongan peneliti.

Jerih payah Sudiyo, mendiang kakek Yogo, dan kelompok ngudi lestari telah membawa Hutan Wonosadi hingga ke titik ini. Mereka telah banyak mengetuk pintu hati orang-orang dari kalangan akademisi hingga Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Gunung Kidul. Dukungan untuk menjaga kelestarian hutan ini pun terus mengalir baik dalam bentuk bantuan bibit tanaman maupun kajian penelitian ilmiah yang relevan.

“Mengapa hari ini begitu ramai?” heran pohon Trembesi tiga.

“Kau lupa? Arak-arakan membawa sesaji berarti upacara sadranan akan digelar,” jawab pohon Trembesi satu.

“Kau benar. Waktu cepat sekali berlalu dari tahun ke tahun,” kata Pohon Trembesi empat.

“Secepat apapun waktu berlalu, sejarah tak bisa terbunuh masa,” timpal pohon Trembesi lima.

“Kilau sejarah semakin memukau ketika waktu bergerak jauh meninggalkan masa silam. Baik itu sejarah duka lara maupun suka cita,” sahut pohon Trembesi dua.

Arak-arakan berhenti. Orang-orang menurunkan sesaji dan meletakkannya dalam satu tempat tak jauh dari lokasi lima pohon Trembesi. Sementara itu, anggota rombongan peneliti terpana melihat lingkar batang lima pohon Trembesi yang berukuran sangat besar. Menurut perhitungan sejarah, pohon-pohon itu telah hidup selama 500 tahun. 

Mbah Yatmo, sang juru kunci, kembali memimpin doa sebelum melepas sesaji. Mulut-mulut lainnya turut merapal doa yang sama. Mereka mendoakan para leluhur. Orang-orang Beji percaya, hubungan manusia dengan sesamanya tidak dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Ikatan antara manusia dengan sesamanya tidak terputus oleh adanya kematian. Doa-doa merupa cara mereka berbicara dengan ruh para leluhur.

*

Usai berdoa, sesaji disebar di sekitar lima pohon Trembesi. Disebarnya sesaji, penanda upacara di hutan adat Wonosadi selesai. Orang-orang menggelar kendurian di sekitar lokasi pohon Trembesi.

“Di sini, Ki Onggoloco pernah membangun pesanggrahan. Pohon ini menjadi saksi sejarah Ki Onggoloco,” ujar Yogo.

“Ki Onggoloco?” tanya Kelana.

Dahulu kala, seorang raja dari kerajaan Majapahit bergelar Raja Brawijaya V melarikan diri dari kekalahan perang melawan kerajaan Demak. Dibawah perintahnya, para prajurit dan keturunan kerajaan yang tersisa diminta membentuk kelompok-kelompok dan mencari tempat yang cocok untuk bermukim di sekitar Gunung Seribu yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Kidul.

Roro Resmi bersama kedua putranya, Onggoloco dan Gadhingmas, berjalan mengikuti petunjuk gaib hingga sampai di suatu wilayah perbukitan yang puncaknya ditumbuhi hutan lebat dan terkenal angker. Di tengah hutan terdapat sumber mata air yang selalu mengalir. Mereka pun bertekad untuk memilih hutan ini sebagai pemukiman meskipun harus bertarung dengan makhluk halus penghuni hutan.

Dengan kesaktian yang dipunyai para mantan senopati Majapahit tersebut, ditaklukkanlah Raja Jin yang dikenal dengan nama Gadhung Mlathi. Lalu, Gadhung Mlathi memohon agar ia dan anak buahnya tetap dibolehkan tinggal di pusat-pusat mata air hutan. Permintaan tersebut dikabulkan dengan syarat Gadhung Mlathi dan anak buahnya tidak boleh mengganggu kehidupan masyarakat sekitar dan diharuskan ikut melestarikan hutan tersebut.[4]

“Lembah Ngenuman ini juga menjadi tempat perekat jiwa-jiwa setelah masa tua Onggoloco dan Gadhingmas. Pertemuan diisi dengan pagelaran seni, wejangan-wejangan dan kembul bujono[5],” tandas Yogo, “Ki Onggoloco sebelum moksa berwasiat hutan harus dijaga dan dilestarikan sepanjang masa demi kemakmuran anak cucu,” lanjutnya.

“Apa saja aturan hutan adat ini?” tanya Kelana.

“Tidak boleh mengambil apapun dari hutan ini. Termasuk rumput-rumputnya. Orang-orang juga harus bisa menjaga sopan santun selama berada di sini,” terang Yogo.

“Apa akibatnya bagi yang melanggar?” 

“Ya, macam-macam, Mas Kelana. Pernah suatu hari ada yang memetik buah di hutan adat ini, mereka akhirnya diserang oleh segerombolan lebah hutan. Untungnya tidak sampai terluka parah. Kemudian ada yang mengambil kayu dari sini untuk dijadikan bangunan rumah. Lantas, rumahnya rubuh terbakar. Dan, yang mengambil rumput di sini untuk pakan ternak berujung ternaknya mati.”

Kelana beroleh pemahaman. Segala yang ada di hutan adat, termasuk buah-buahan, diperuntukkan para penghuni hutan ini. Mereka adalah binatang-binatang hutan dan penghuni lainnya yang membutuhkan makan untuk bertahan hidup. Sementara reranting-reranting kering akan menjadi pupuk alami yang menyuburkan tanah hutan adat dan menjaga keseimbangan unsur hara dalam tanah. 

“Pernah ada juga sepasang muda-mudi keluar dari hutan dalam keadaan tanpa benang sehelai pun. Hutan menghukumnya karena perbuatan tidak senonoh yang mereka lakukan. Mereka asyik masyuk di wilayah hutan ini,” tandas Yogo.

Mata Kelana membelalak. Pikirnya, sungguh gila muda-mudi itu.

“Hutan juga memperlihatkan seorang pencuri yang lari dari kejaran warga. Maksud hati para pencuri itu masuk hutan untuk bersembunyi, hutan justru mengembalikan mereka pada warga untuk menghadapi hukum adat,” lanjut Yogo.

“Segala niat jahat akan kembali kepada pemiliknya. Bukan begitu, Dik Yogo?” sambung Kelana.

“Benar sekali, Mas.”

*

Usai upacara adat di hutan Wonosadi, Kaliendek bersuka cita. Tari gejog lesung[6] mengawali pagelaran. Denting gamelan bersahut-sahutan dengan tabuhan gejog lesung. Tubuh dua belas penari anak laki-laki bergerak mengikuti irama musik. Pertunjukan diakhiri dengan riuh tepuk tangan dan decak kagum para penonton. Para penari dan pengiring membubarkan diri dari panggung. 

Selanjutnya, para lelaki yang mengenakan baju dan celana hitam dengan ikat kepala dari kain batik bergantian naik panggung. Para sinden mengenakan baju kebaya khas petani desa dengan kain lurik. Rinding gumbeng[7] mulai dimainkan. Ada lima orang peniup rinding, tujuh orang pemukul gumbeng, dan tiga orang sebagai sinden. Rinding, bass gumbeng, gumbeng penacah, kecrek, kendhang, kempul menyatu bersama nyanyian para sinden. Senandungnya menggugah jiwa. Isi kepala orang-orang tenggelam dalam belantara sejarah.

“Kau dengar suara itu? Akhirnya, kita bisa mendengarnya kembali di sini,” Pohon Trembesi tiga berkata.

“Suara ini... sebuah harmoni alam yang selalu kita rindukan sepanjang masa,” jawab pohon Trembesi dua.

“Pula merupa alunan sejarah yang mengharu biru,” tandas pohon Trembesi empat.

“Dan sebuah irama yang mengingatkan kita pada sebuah petuah hidup,” timpal pohon Trembesi lima.

“Ing paring urip, sapa sing nguri-urip, sapa sing nguripi, lan apa sambekalaning urip.[8] Semoga petuah ini selalu terpatri di hati kita,” sambung pohon Trembesi satu diamini oleh seisi hutan.

Yang memberi hidup adalah Tuhan. Tuhan memberikan kesempatan kepada manusia untuk hidup dan menikmati kehidupannya. Maka menjadi kewajiban bagi manusia untuk bersyukur dan berdoa pada-Nya. Sedangkan “yang menghidupkan” adalah orangtua, dan lebih jauh adalah nenek moyang yang memberikan garis keturunan sampai pada kita. Oleh karena itu manusia wajib menghormati dan berbakti padanya.

Lalu, “yang menghidupi” adalah bumi pertiwi, tanah air, tempat manusia hidup. Petani hidup tidak bisa tanpa hutan karena dengan hutan yang baik maka akan menyuburkan tanah sekitarnya. Hasil pertanian akan berkembang baik dan subur sehingga memberikan hasil yang dapat dimanfaatkan oleh para petani. Oleh karenanya manusia wajib menjaga dan tidak merusaknya sehingga bumi pertiwi akan tetap menghidupi manusia yang hidup di atasnya. Bila manusia merusak hutan karena alasan memenuhi kebutuhan dan kemudahan hidup yang sifatnya sementara, maka hancurlah hutan dan manusia di sekitarnya akan mendapatkan celakanya.[9]

Kami, lima pohon Trembesi, telah lama menjadi saksi sejarah panjang kehidupan alam Wonosadi. Duka lara dan suka cita datang silih berganti. Siklusnya tak bisa dihentikan. Bahkan di masa depan pun, tak ada jaminan degup jantung kami masih terjaga. 

Lewat semesta, kami bersenandung, menitipkan pesan pada manusia-manusia yang pernah menjejakkan kaki di tanah ini. Tentang ing paring urip, sapa sing nguri-urip, sapa sing nguripi, lan apa sambekalaning urip yang dipegang teguh oleh seorang lelaki hingga akhir hayatnya. Tentang prinsip dan junjungan hidup seorang lelaki yang diwasiatkan pada keturunannya untuk tetap menghidupkan mata air.

*
-----
[1] Bu, saya berangkat dulu, ya 
[2] Iya, Nak. Hati-hati di jalan 
[3] Bebersih sumber mata Air 
[4] Disadur dari: Sartini, Eksistensi Hutan Wonosadi: Antara Mitos Dan Kearifan Lingkungan, (Jurnal Filsafat, Vol. 20, No. 2, Agustus 2010), hal. 130-131 
[5] Makan bersama 
[6] Gejog berarti menumbuk atau memukul, lesung adalah wadah atau tempat menumbuk padi. dibunyikan secara bergantian menurut ritme atau irama tertentu hingga menimbulkan nada yang menarik. Perpaduan suara ini kemudian disebut Gejog Lesung. 
[7] Alat musik yang semuanya terbuat dari bambu jenis pethung yaitu bambu yang sudah tua dan mati di pohon. Rinding gumbeng dimainkan setelah panen padi. Kesenian ini hanya dapat kita temui di Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. 
[8] yang memberi hidup, yang menghidupkan, yang menghidupi, yang membuat celakanya hidup 
[9] Sartini, Eksistensi Hutan Wonosadi: Antara Mitos Dan Kearifan Lingkungan, (Jurnal Filsafat, Vol. 20, No. 2, Agustus 2010), hal. 139-140
-----
*Cerpen ini masuk dalam nominator 50 karya cerpen unggulan kategori B (Mahasiswa/Umum) pada lomba cipta cerpen tingkat nasional yang diselenggarakan oleh ICLaw Sastra Hijau

Rabu, 05 Juni 2019

Aku Kalah!



Bulan penuh berkah

Kulewati tanpa makna dan ruh

Jiwaku mengembara 
Tersesat parah
Berputar-putar dalam labirin yang pengap
Menyalahkan hidup 
Menggugat takdir

Aku bosan
Aku jenuh
Aku lelah

Kupandangi cermin
Bayangan di depanku tersenyum
Tapi, didalamnya, berantakan
Jauh dari kata sehat

Aku tak bisa melihat bagian diriku yang lain
Yang kerap ada saat aku membutuhkan sahabat untuk menguatkan

Jiwaku menyusuri gelap yang pekat
Mencari jejak-jejak diriku yang lain
Mencari suara-suara mereka
Yang menjadi penerang saat suram mengepung
Yang mampu saling berdialog dengan jujur
Tentang perasaan, pemikiran bahkan kekelaman diri

Kemana perginya kalian?
Mengapa kalian membisu?

Sunyi tiba-tiba menjadi begitu perih
Dan menjelma sepi yang rapuh

Aku marah
Aku menjerit
Aku berteriak
Aku menangis

Bersembunyi di mana kalian?

Hidup terasa semakin memuakkan
Dan, aku kalah!

Ya.

Aku kalah!

Ramadhan ini, aku kalah!

-Vinny Erika Putri, 05.06.19