Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Sabtu, 07 Juli 2018

Untukmu, Seorang Sahabat Pena




Rizkian.
Begitulah kamu memanggil nama anak itu.

Lalu, kamu?
Reisha, itulah namamu.

Aku?
Vinny, sahabat pena yang pernah berada satu antologi denganmu.

Aku ingin menuliskan sepenggal kisah tentang Rizkian, yang kamu ceritakan. Pula, aku ingin menggambarkan tiga sudut pandang dalam satu tokoh "aku".

Singkat cerita, tuturmu, Rizkian adalah seorang anak yang diperkirakan autis hiperaktif. Kadang ia bersikap apatis terhadap sekelilingnya dan lebih memilih larut dalam dunianya sendiri. Dunia yang hanya dipahami dirinya seorang. Tapi juga bisa bertindak impulsif ketika seseorang mengganggunya. Ia belum bisa mengendalikan dan mengelola emosinya dengan baik. Seringkali bertindak sekehendak hatinya. Teman sebayanya, kerap mengatainya, orang gila. Meskipun begitu, ia adalah orang yang pantang menyerah.


POV (Point of View) atau sudut pandang aku sebagai Rizkian:

Aku melihat seseorang dari kejauhan berjalan menghampiriku. Ia tampaknya seseorang yang ingin melihat-lihat duniaku. Ia seorang perempuan, yang menatapku dengan pandangan entah ketika sampai di depanku. Sepertinya, ia ingin menjadi temanku. Ia tidak berbahaya seperti yang lainnya. Matanya tulus. Tapi, benarkah? Atau jangan-jangan ia sama dengan wanita-wanita dewasa lainnya yang enggan mendekatiku atau kerap menghadiahkanku sentakan atau hardikan keras ketika aku tak bisa mengendalikan tubuhku untuk diam?

Waktu terus berjalan, perempuan itu telah berhasil masuk ke dalam duniaku. Entah bagaimana bisa ia berada di sini, bersamaku. Aku lupa. Mungkin, sejak aku mulai merasakan ia tidak seperti yang lainnya. Ia mau mengerti bagaimana diriku. Ia tidak melarangku untuk banyak bergerak yang merupakan salah satu caraku untuk menghabiskan energiku yang berlebih. 

Dari matanya, aku bisa melihat pintu dunia lain yang selama ini tak kulihat. Aku mulai tertarik untuk menjulurkan kepala perlahan melihat apa yang ada di luar duniaku. Ia mengajariku rupa-rupa. Nada-nada indah. Kata-kata yang pada mulanya sulit untuk kuungkapkan dan kupahami maknanya. Ia mengajari semuanya tanpa memaksaku dengan keras. 

Dalam satu waktu, aku melihatnya dengan banyak ekspresi ketika memandangku. Kadang kudapati ada basah yang rebak di matanya. Kadang ia terlihat jengkel dengan ulahku. Kadang ia tertawa-tawa melihatku. Kadang, ia melihatku dengan tatapan yang aku tidak mengerti maknanya. Entah apa yang dipikirkannya. Aku masih terlalu kanak-kanak untuk memahami pikiran orang dewasa sepertinya.

Tapi, apapun ekspresi yang ditampakkannya, mengapa selalu terdengar seperti ungkapan kasih sayang? Dan setiap kali ia memandangku, ujungnya akan berakhir di tatapan yang sama. Tatapan yang hangat bersahabat.

Karena itu... aku merasa aman bersamanya. Aku nyaman ia berada di sekitarku. Aku percaya kepadanya.

Perempuan itu, bernama Reisha. Nama yang seringkali kudengar namun belum bisa kuucapkan dengan baik.


POV (Point of View) atau sudut pandang aku sebagai Reisha:

Aku melihat seorang anak kecil yang berbeda dari anak-anak lainnya. Ia seorang minoritas. Tidak umum dari keumuman yang ada di sekelilingnya. Ia memiliki dunianya sendiri.

Aku tidak tahu, apa yang menggerakkanku tetap mendekatinya ketika ia begitu terasa menjengkelkan dan menguras emosi bagi rekan-rekan lainnya. Yang kutahu, melihatnya menjadi bahan ejekan teman-temannya atau sekelilingnya, hatiku seperti tersayat perih. Aku ingin mengenalnya lebih dalam. Aku ingin tahu apa yang ada dalam dunianya. Rasa penasaranku lebih dahaga daripada sikap menjengkelkan yang kerapkali ditunjukkannya.

Waktu terus berjalan. Telah banyak tenaga, pikiran dan emosiku yang terkuras demi memahami apa yang ada di dunianya. Tapi, aku tetap memilih tinggal membersamai dunianya dan semakin ingin memberikan yang terbaik bagi dirinya. Aku melihat apa yang orang lain tidak bisa lihat dari dirinya. Aku ingin mengenalkan dunia luar tanpa menghapus dunianya.

Aku... menyayanginya bagai saudara kandung. Aku ingin mengisi dunianya dengan warna jingga yang hangat. Melalui kedekatan emosi yang tengah kubangun, aku ingin mengatakan padanya, ia tidak sendirian. Ada orang-orang yang peduli dengan keunikan yang dimilikinya.

Anak itu, bernama Rizkian.


POV (Point of View) atau sudut pandang aku sebagai Vinny:

Aku pernah merasakan berada di posisimu, Reisha. Pernah menangani anak setipe Rizkian juga. Bedanya, ia anak perempuan. Karena itu, aku sedikit memahami kalian. Apa yang membuat Rizkian merasakan frekuensi yang sama adalah perasaan kasih sayang yang tulus. Tulusnya perasaan kasih sayang, akan mengembalikan semua kejengkelan, amarah dan kesedihanmu menghadapi Rizkian kembali pada kehangatan hubungan manusia.

Ketika kamu pertama kali melihat Rizkian, yang kamu rasakan adalah perasaan kasih sayang yang bersumber dari inti dirimu. Lalu terpancar keluar, terlihat oleh Rizkian. 

Itulah unikmu. Kamu melihat perasaan "aku" dalam diri orang lain. Kamu menggunakan perasaan "aku" untuk menolong orang-orang minoritas yang tertindas. Kamu sudah bisa mengidentifikasi perasaanmu sendiri sedari awal bertemu dengan orang lain bagaimanapun wajah, pemikiran dan perasaan orang tersebut.

Sementara, ketika aku di posisimu, yang kurasakan adalah perasaan anak tersebut yang memantul dan diserap ke dalam inti diriku. Lalu, baru kupahami makna perasaan itu dan bagaimana aku harus menampilkan sikap kepada orang tersebut. 

Itulah aku. Punya banyak wajah, pemikiran dan perasaan dalam satu diri ketika bertemu orang-orang di luar lingkaranku. Aku melihat perasaan "orang lain" di dalam diriku. Aku mengadaptasi banyak sikap, bergantung dari apa yang dipantulkan oleh orang-orang kepadaku. Aku membutuhkan kesunyian untuk mengidentifikasi perasaan dan pemikiranku sendiri serta memisahkannya dari perasaan dan pemikiran orang lain yang terbaca oleh inti diriku. Pula aku membutuhkan waktu untuk memperlihatkan keaslianku pada orang-orang.

-----------

Untuk adik ketemu gede sekaligus sahabat penaku, tetaplah menjadi dirimu sendiri. Berusahalah untuk tidak menyalahkan dirimu dengan "ke-akuan-mu" yang kadang-kadang kamu benci. Diri kita dengan segala kekurangan dan kelebihan, kelemahan dan kekuatan, keburukan dan kebaikannya adalah paketan yang tidak bisa dipisahkan.

Eh, ngomong-ngomong... sajak yang kamu share di timeline facebook bersamaan dengan hilangnya tautan tulisan blogmu, itu oke punya loh. Diksinya bagus. 


And for the last... i'm sorry for taking your picture from your facebook to put on here without permission. Haha!

------------

V.E.P, 08.07.2018

Semua Itu Tentang Pilihan Masing-Masing



Berawal dari sebuah tayangan video yang dishare di timeline facebook seorang sahabat pena sore tadi, aku tertarik untuk membahasnya di sini.

Link video bisa dilihat di sini untuk cerita selengkapnya:

Video yang berjudul "Ternyata Suamiku Tak Mencintaiku Lagi" tersebut dibawakan dengan apik oleh Oki Setiana Dewi sebagai narator. Oki dengan nada, ekspresi dan mimik sempurna mampu membawa pendengarnya untuk turut merasakan perasaan tokoh Rima sebagai tokoh aku sekaligus tokoh utama dalam cerita tersebut.

Cerita ini berpusat pada tiga tokoh utama yaitu, Rima, Mario (Suami Rima) dan Meisya. Singkat cerita, sepanjang perjalanan rumah tangga Rima dan Mario, Mario tidak mencintai Rima. Ia masih memendam cintanya untuk Meisya, seorang teman lamanya. Sampai, suatu hari, di kantornya, Mario kembali bertemu dengan cinta lamanya. Sejak pertemuannya dengan Meisya, justru Mario memperlakukan Rima dengan baik dan romantis. Rima belum menyadari situasi-kondisinya rumah tangganya saat itu.

Hingga, suatu ketika, suaminya sakit dan masuk rumah sakit. Di titik ini, ia mulai melihat kehadiran Meisya sebagai "perempuan lain". Ia menyadari tatapan suaminya kepada Meisya. Itu tatapan cinta, tatapan yang tidak pernah ia dapatkan selama pernikahannya dengan Mario. Puncak kesadarannya adalah ketika Mario lebih memilih disuapi Meisya ketika Rima berusaha menyuapinya. Meisya sendiri telah berkeluarga dan pernah mejenguk Mario bersama suami dan anaknya.

Kesakitan Rima bertambah-tambah ketika mengetahui Mario kerap mengirim email kepada Meisya dan mengutarakan perasaan yang dipendamnya. Kemudian, berdasarkan cerita, dari email selanjutnya yang dikirimkan oleh Mario, Mario mengatakan pada Meisya bahwa ia telah memperlakukan Rima dengan baik seperti yang dipinta Meisya. 

Kian hancurlah hati Rima. Tapi, ia memilih untuk tetap tinggal di sisi Mario dan berubah lebih baik lagi untuk memperjuangkan cintanya. Ia memenangkan hati Mario, suaminya. Mario mengatakan pada Meisya, bahwa ia mulai jatuh cinta pada Rima. 

Namun... ketika cinta mulai datang menghinggapi hatinya, kecelakaan merenggut nyawa Rima. Endingnya.... bisa ditebak. Penyesalan di hati Mario.

--------------

Sekarang, mari bicara tentang pemikiran dan perasaan dari setiap tokohnya.

Pertama, bicara tentang pemikiran dan perasaan Mario, aku tidak membenarkan perselingkuhan  yang dilakukan Mario. Meskipun tidak terjadi kontak fisik, perselingkuhan pikiran dan perasaan tetaplah perselingkuhan. Tapi, cobalah telisik perasaannya. 

Andai saja, narator tidak membuatnya dipertemukan dengan Rima, ia akan terus berjuang memendam perasaannya agar tidak menyakiti orang yang mencintainya. Berpura-pura mencintai orang yang tidak kita cintai sama lelahnya dengan mencintai orang yang tidak mencintai kita. Di tengah perasaannya yang demikian kacau, ia tetap MEMILIH menjalankan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga meski belum bisa memberikan hatinya untuk Rima. 

Ketika bertemu Meisya pun Mario MEMILIH bersetia dan bertanggung dengan ikatan pernikahannya meski awalnya adalah dorongan dari Meisya yang memintanya agar tetap memperlakukan istrinya dengan baik. Dan pada akhirnya, Mario MEMILIH membuka hatinya demi cinta yang memang seharusnya tumbuh untuk Rima (istrinya) sedari awal mereka menikah. 

Kedua, tentang Meisya. Tokoh ini dihadirkan 'agak sepintasan', tapi menjadi benang merah yang kuat atas sebab-akibat luka hati Rima. Perasaan Meisya kurang dijelaskan secara detail. Tapi, dari perhatian yang ditunjukkan melalui perbuatannya selama menjenguk Mario di rumah sakit, keberaniannya meminta izin pada Rima untuk dirinya menyuapi Mario pula email balasan untuk Mario yang diceritakan lewat penuturan cerita Mario, sudah cukup tergambar bagimana perasaan Meisya. 

Meisya sendiri telah mengambil pilihan bijak di situasi-kondisi perasaannya yang lebih rumit dari Mario. Meisya sadar sesadar-sadarnya bagaimana posisinya, posisi Mario dan Rima. Meisya, sadar dirinya adalah kunci yang akan membuat semuanya (rumah tangganya dan rumah tangga Mario) berantakan atau tetap pada tempat yang seharusnya. Meisya MEMILIH untuk membuat semuanya tetap pada tempat yang seharusnya. Meisya meminta Mario tetap tinggal di sisi Rima dan berusaha mencintai Rima.

Ketiga, soal Rima. Tokoh Rima dijadikan sebagai sudut pandang "aku" oleh narator. Rima adalah tokoh yang digambarkan menderita luka hati yang paling parah. Perselingkuhan meremukkan hatinya berkeping-keping. Aku bisa memahami, bagaimana luka itu mengoyak hatinya hingga lumat. Dari ketiga tokoh, bila itu terjadi di lingkaranku, aku pasti akan berdiri untuk Rima, untuk menariknya keluar dari ceruk kesedihan mendalam yang membuat dunianya terasa gelap pada saat itu. 

Tapi, kalau menganggap Rima adalah pihak terlemah dari luka yang didapatinya, itu tidak benar. Justru, ia adalah tokoh terkuat yang pada akhirnya mengalahkan tokoh-tokoh yang memberinya luka-luka. Di atas luka-luka itu, Rima MEMILIH untuk lebih kuat berjuang memenangkan suaminya, memenangkan cintanya. Ia tidak meninggalkan suaminya dan percaya bahwa perjuangannya akan membuahkan hasil. Apa yang diyakininya pun terjadi. Suaminya akhirnya mencintainya.

Namun, ketika suaminya telah jatuh cinta pada Rima, kecelakaan justru merenggut nyawa Rima. Kematiannya menyisakan penyesalan dan perasaan bersalah seumur hidup pada suaminya dan Meisya. Meskipun itu bukan merupakan sebuah pembalasan dendam, tapi, bukankah siksaan penyesalan yang diakibatkan setelah Rima tiada lebih mengerikan daripada sebuah perceraian yang bisa saja dipilihnya saat itu? Tak salah bukan, bila kukatakan, justru Rimalah tokoh terkuat diantara ketiganya? Kadang, tokoh yang tampak paling menyedihkan, lemah dan banyak ditangisi orang-orang, justru tokoh tersebut adalah tokoh yang paling kuat. 

-----------------

Dari kisah tersebut, yang menjadi titik beratku bukan soal siapa yang benar dan siapa yang salah. Tapi, semua itu tentang pilihan masing-masing tokoh. Apakah akan tetap mencari "kebenaran" dalam situasi-kondisi yang salah untuk membuat keputusan yang "benar" dan "tepat" atau menjadikannya tetap dalam situasi-kondisi "salah" dan membiarkan keadaan "semakin gelap-kelam".

Tuhan tidak akan mengubah keadaan kaumnya sampai ia sendiri yang mengubahnya, bukan?

Di situlah fungsi sebuah PILIHAN.

V.E.P. 07.07.2018

Kamis, 05 Juli 2018

Langit Akan Menjadi Tanah Ketika Menyatu Dengan Bumi



“Kau langit. Aku bumi. Bagaimana kita bisa menyatu?” 

*

Kau menuruni anak tangga. Derap langkahmu terdengar bergegas. Dalam sekejap, kau telah berdiri di hadapanku.

“Ayo, Kak. Aku tak ingin terlambat ke sekolah di hari pertamaku mengenakan seragam ini,” tukasmu.

Kau berlari menuju mobil yang terparkir di halaman depan. Dengan tergopoh-gopoh, ibuku menitipkan bekal untukmu sebelum aku menyusul masuk ke dalam mobil. Sesudahnya, mobil yang dikendarai ayahku melesat keluar membelah jalanan. 

Sepanjang mobil melaju, kau banyak bertanya pada ayahmu soal perasaannya ketika pertama kali mengenakan seragam putih abu-abu. Padahal, semalam kau telah bertanya padaku soal hal yang sama. Aku tahu. Kau menggunakan pertanyaan itu sebagai cara untuk menarik perhatian ayahmu. Sayangnya, ayahmu hanya menjawab pendek-pendek segala pertanyaanmu. Ia lebih fokus dengan smartphone di genggamannya. Mungkin, ia tengah berurusan dengan klien-kliennya. Sampai akhirnya, kau bosan dengan sendirinya karena rasa antusiasmu ditanggapi sekadarnya.

Kau melirikku yang duduk di sampingmu, dan berkata, “Sekarang, aku adik kelasmu. Seperti biasa bukan, aku selalu bisa menyaingimu! Selalu!”

Aku tersenyum. Setelahnya, kau mengalihkan pandang ke jendela kaca mobil. Kita terdiam hingga mobil tiba di sebuah pintu gerbang sekolah. Dan usai kita berpamitan, ayahmu berpesan padaku seperti tiga tahun silam ketika kau pertama kali bersekolah di sekolah yang sama denganku. Ayahmu memintaku untuk menjagamu. Lalu, mobil melaju meninggalkan gerbang sekolah.

*

Kau menjalani hari-harimu seperti biasa. Kau masih seperti gadis yang kukenal. Kau tak pernah kehilangan prestasimu. Katamu, kau akan selalu berprestasi sepertiku agar ayahmu bangga padamu.

Hingga di suatu malam, kau mendatangi kamarku. Kau bertanya padaku bagaimana rasanya jatuh cinta. 

Aku terperangah. Tak tahu harus menjawab apa. Sebab, aku sendiri belum pernah merasakannya. Aku terlalu sibuk mencapai prestasi demi prestasi dan segala impian yang masuk dalam daftar catatanku. Aku tak sepertimu yang hidup serba berkecukupan. Aku harus berjuang untuk hidupku. Sejauh ini, aku sudah sangat bersyukur tumbuh di lingkunganmu karena kemurahan-Nya. Seorang anak supir dan pembantu rumah tangga yang hidupnya begitu dipelihara oleh-Nya melalui tangan orang tuamu.

“Hei, bagaimana rasanya, Kak?” tanyamu membuyarkan lamunanku.

“Kakak tidak tahu.”

“Hhhhhh..., jelas kakak tidak tahu. Kakak tidak pernah mau berdekatan dengan perempuan selain adikmu ini,” ledekmu. “di sini, rasanya ada yang berdetak lebih cepat kalau aku berpapasan dengannya, Kak,” lanjutmu sembari menunjuk dadamu.

Aku tertawa, lantas menatapmu dan berucap sembari mengacak-ngacak rambutmu, “Kau ini, ada-ada saja. Kakak tidak mengerti perasaan seperti itu. Sudah sana, kakak mau belajar untuk persiapan presentasi makalah besok.”

Kau sedikit kecewa. Mungkin, karena aku memangkas banyak hal yang ingin kau ceritakan. Ah, baru kusadari. Waktu telah jauh berjalan melewati masa demi masa. Kau kini tengah beranjak dewasa. Kau bukan lagi anak kecil yang selalu merengek meminta es krim ketika ayahmu memarahimu. Kau juga bukan lagi anak kecil yang kerap memintaku menggendongmu di punggungku saat kakimu terluka atau ketika keisengan teman-temanmu membuatmu menangis.

*

Sudah nyaris setahun kita jarang melewati malam dengan perbincangan atau tingkah usilmu. Semenjak kau menjalin hubungan dengan lelaki itu, aku hanya bisa berdiri di luar pintu duniamu. Meski begitu, sampai kini, aku masih kukuh memegang janji untuk tetap menjagamu.

Malam itu, setelah sekian lama kita tak mengisi waktu dengan perbincangan, kau datang mengetuk kamarku dan melongokkan kepala sebelum aku membuka pintu. “Kakak sibukkah? Ah, harusnya tak usah kutanya. Kakak memang selalu sibuk setahun terakhir ini. Sama seperti sibuknya ayah yang hanya punya sedikit waktu untukku sepanjang usiaku,” tandasmu.

Aku tersenyum dan menyuruhmu masuk. Kau berjalan menuju pembaringanku. Lalu diam mematung. Kudapati matamu tampak sembab. 

“Kau pasti tahu, ayahmu berjuang demi membuatmu serba berkecukupan dan berkemudahan dalam segala hal. Dan rasanya, kakak tidak perlu jelaskan soal rasa syukur padamu yang sudah sedewasa ini. Setahun ini, maafkan kakak yang terlalu sibuk. Kakak harus mempersiapkan diri untuk ujian kelulusan dengan sebaik-baiknya. Kakak juga ingin mencari universitas yang sesuai minat kakak lewat jalur beasiswa. Kakak tak ingin lagi bergantung pada kedua orang tua dan bantuan dari ayahmu. Kakak ingin benar-benar mandiri. Lagipula...”

“Apa?”

“Kau kan sudah punya si-,” kalimatku terpenggal. Kau melempariku dengan bantal.

“Sudahlah. Tak usah sebut lagi dia. Semua berakhir. Sejak dia memilih berkhianat,” ucapmu dengan nada sengit. “Kak..., aku ingin tidur di kamarmu,” lanjutmu.

“Haaa?” Aku terperanjat mendengar permintaanmu.

“AKU INGIN TIDUR DI KAMARMU. TITIK!” paksamu.

Kau menatapku. Matamu berkaca-kaca. Sengguk tetas bersamaan tertunduknya kepalamu.

“Boleh ya..., Kak,” nada suaramu melemah.

Aku terdiam. Seharusnya mulutku berkata tidak. Sebab, sekarang, kita bukanlah dua anak ingusan yang tak tahu apa-apa. Aku pria dewasa yang dalam dadanya tersembuyi hasrat. Dan aku juga bukan kakak kandungmu. Tak ada darah yang sama mengaliri tubuh kita. Tapi, melihatmu begini, mendadak mulutku tidak bisa mengatakan tidak.

“Syaratnya, kau harus segera tidur. Ada banyak tugas yang harus kakak kerjakan. Kita bisa mengobrol lain waktu saat hatimu sudah sedikit lebih tenang.”

Kau mengangguk. Lalu, merebahkan diri di pembaringan. Kutarik selimut menutupi tubuhmu. Baru saja aku hendak berdiri keluar kamar, tanganmu menahanku.

“Temani aku,” pintamu.

Aku menarik napas panjang, dan berucap, “Iya. Tapi, pintu kamar harus dibuka.”

Kau setuju. Kemudian, kubacakan buku novel kesukaanmu bagai ibu mendongengi anaknya. Setelah kau tertidur, kuletakkan buku novel itu di sampingmu. Lalu, secara naluriah, jemari tanganku membelai lembut kepalamu. Kusibak pula helai-helai rambut yang menutupi pipi halusmu.Wajahmu menjadi jelas terlihat. Wajah gadis dewasa dengan kecantikan alami meski sembab matamu belum juga hilang. Melihatmu terlelap seperti ini, ada perasaan hangat yang perlahan-lahan menjalari dadaku.

Kuusap mata sembabmu. Kemudian, jemari tanganku meliuk turun mengikuti bentuk hidungmu. Dan terakhir, jatuh di bibirmu yang lembut. Sampai di situ, dadaku berdesir. Seiring dada yang berdesir, jemari tanganku gemetar meraba bibirmu. Hasratku kelelakianku menggelegak. Ingin kupendekkan jarak antara bibirku dan bibirmu. Namun, kuat-kuat kutepis.

Aku bangkit meninggalkan kamarku sebelum gejolak ini mendorongku berbuat lebih jauh. Dengan memendam perasaan yang kacau-balau, aku meminta ibuku untuk menemanimu yang tertidur di kamarku. Ibuku sudah menganggapmu bagai anaknya sendiri sejak kau menjadi piatu di usiamu yang baru menginjak 5 tahun.

*

“Seminggu lagi kakak berangkat. Dua bulan lalu, beasiswa yang sudah lama kakak ajukan mendapatkan jawaban. Kakak diterima. Dan... maaf, baru sekarang kakak memberitahumu.”

Matamu membelalak. Lalu, dengan segera kau alihkan pandangan ke luar jendela. Beberapa jenak, kau membisu. Aku menunggu kata-kata keluar dari bibirmu.

“Rasanya... aneh membayangkan hari-hari tanpamu, Kak.”

Aku meneguk liur. Kata ‘aneh’ yang kudengar dari bibirmu membuat hatiku teraduk-aduk. Ada debar tak keruan yang kurasakan. Debar itu debar yang sama seperti saat jemari tanganku merasakan bibir lembutmu. 

“Kak..., aku menyayangimu. Sebagai wanita dewasa,” ujarmu lirih.

Kau menatapku dalam-dalam. Aku berkelit dari pandanganmu. Sementara isi dadaku kian meletup-letup. Pembicaraan ini bukan lagi soal kakak dan adik tanpa ikatan darah. Tapi, ini pembicaraan dua orang insan manusia yang telah sama-sama didewasakan oleh waktu dan perasaan. Pembicaraan dua orang insan manusia yang sama-sama baru menyadari perasaan mereka yang sesungguhnya saat jarak bersiap-siap menciptakan ruang rindu.

Kukumpulkan keberanian untuk menatapmu, sembari berkata, “Kau langit. Aku bumi. Bagaimana kita bisa menyatu?”

“Kau takut? Atau kau merasa rendah diri karena strata sosial?”

Pertanyaanmu telak menohokku. Aku kalah. Kuhela napas, mengarahkan pandangan ke luar jendela lalu mengembuskan napas membuang resah.

“Langit akan menjadi tanah ketika menyatu dengan bumi. Ia akan menjadi bagian dari bumi,” balasmu mantap.

Kau menggenggam tanganku. Aku kaku beku. Butuh waktu lama untukku menenangkan isi kepala agar tetap dalam kendali.

“Kalau begitu, perjuangkan segala impianmu. Seperti aku berjuang untuk impian-impianku. Susul aku. Seperti kau selalu menyaingi prestasiku.”

“Pasti,” ucapmu dengan sangat yakin.

Di bawah naungan kemilau senja yang nyaris pudar, meski masa depan terasa begitu entah di kepalaku, kehangatan memenuhi dadaku. Hatiku tak bisa lagi menampik. Aku takkan lagi berlari menghindari perasaan ini. Meski kusadari, perjuangan di depan mata akan semakin terjal berliku.

*

Catatan:

Cerpen ini masuk dalam nominator pemenang Lomba Cipta Cerpen Remaja Tingkat Nasional 2015 yang diselenggarakan FAM Indonesia  dan dibukukan bersama 192 nominator lainnya.

Rabu, 04 Juli 2018

Kau, Wanita Seperti Apa Sebenarnya?



Kau, wanita seperti apa sebenarnya? 
Kau mampu membaca sekelilingmu dengan cepat. Lebih cepat dari pandanganku. Tapi kau juga tidak menyadari, diam-diam aku melihat dan memahami motif tersembunyi yang kau bawa dari setiap tutur kata dan perbuatanmu. Motif yang kadang tidak selalu bisa kuutarakan pada yang orang lain di sekitarmu dan kerapkali kusimpan sendiri.

Kau, wanita seperti apa sebenarnya?
Kau mampu memaksakan kehendakmu dan membuat orang-orang sekitarmu dengan terpaksa atau tidak acapkali menjadi tunduk kepadamu. Pun sekaligus membuatku diam-diam kukuh meneguhkan diri mengambil cara yang bertentangan denganmu, cara yang tak berempati sama sekali menurutku. Aku memakai caraku sendiri.

Kau, wanita seperti apa sebenarnya?
Kau seolah mampu merefleksikan apa yang berlintasan dalam pikiranku. Yang sungguh membuatku merasa tak nyaman ketika menyadari bahwa pikiranku kadangkala terbaca olehmu sekaligus melihat ada sepasang mata licik milikmu yang kau sembunyikan untuk menutupi motif sebenarnya dari tindak-tandukmu.

Kau, wanita seperti apa sebenarnya?
Kau membuatku memasang dinding pembatas setebal-tebalnya dari pandangamu untuk melindungi kehidupanku. Mengapa aku tak ingin kau menelisik kehidupan pribadiku? Mengapa aku enggan sedikit pun membagi perasaan pribadiku lewat cerita-cerita kepadamu? Mengapa aku lebih suka kehidupan pribadiku tetap menjadi rahasia bagimu? Padahal, kau sudah cukup jujur membuka cerita hidupmu.

Kau, wanita seperti apa sebenarnya?
Mengapa suara-suara dari dalam diriku masih kerap memperingatkanku untuk berhati-hati terhadapmu? Dan suara itu, semakin keras menggema ketika kau berusaha menembus ketebalan lingkar dinding pembatas yang kubuat, di mana seluruh kehidupanku beserta perasaan yang dibawanya tersimpan di sana, pada inti diri yang dinamai hati.

Kau, wanita seperti apa sebenarnya?
Kau sesekali mampu membuatku berjuang mempertahankan rasa percaya diriku di hadapanmu sekaligus mengaktifkan 'perlindungan otomatis' dari dalam diriku untuk menghadapi tantanganmu yang lebih mirip sebagai ujianmu terhadap kapasitas kemampuanku. Dan kekeras-kepalaanmu, secara tidak langsung kerap membuat diriku yang sama keras kepalanya, mengambil jalan lebih halus: mengalah sementara untuk menang, bukan untuk kalah.

Kau, wanita seperti apa sebenarnya?
Kau sesekali memberikanku panggung yang bagiku kedengarannya seperti kau ingin 'membaca' apa yang terpancar dari diriku saat di depan panggung. Pun, aku yang lebih sering berada di belakang panggung (dan lebih nyaman dengan posisi itu) berusaha 'membaca' dirimu. Lalu, dalam diam, kubertanya pada diriku, apakah kita tengah 'saling membaca' satu sama lain dan menyimpan hasil pikiran yang kita retas dalam diri masing-masing?

Kau, wanita seperti apa sebenarnya?
Mengapa aku tetap memilih berada di titik yang sama tatkala melihatmu meski sudah cukup lama kita bekerja sama dalam satu lingkaran? Aku melihatmu di titik pertengahan. Kau tidak kubenci, tidak juga kukagumi. Tidak kujauhi, juga tak ingin kudekati dan tak kubiarkan mendekatiku melebihi jarak batas yang kutentukan sendiri.

Kau, wanita seperti apa sebenarnya?
Aku belum menemukan apapun yang bisa meluruhkan dinding pembatas yang kubuat. Waktu yang berjalan pun belum menunjukkan jawaban sebab musabab dari semua itu.

Kau, wanita seperti apa sebenarnya?
Mengapa sedari awal kumelihatmu, kurasakan ada suatu keganjilan melekat pada dirimu yang tak bisa kujelaskan dengan kata apapun?

-V.E.P, 04.07.2018

Senin, 02 Juli 2018

#2. Arti Sebuah Tim Kerja


Inilah kami. Ikatan kami tercipta dan bermula di sebuah tempat. Dari masa-masa sulit yang harus ditaklukan bersama.
Bertemu kembali dengan mereka, membuat ingatanku menapak-tilasi pertemuan kami serta perjalanan dan perjuangan-perjuangan yang telah kulalui di tempat itu. 

Aku memulai semuanya dari nol. Terus bertahan dengan segala tekanan dan tantangan yang harus kutaklukan di setiap episodenya selama 3,5 tahun hingga akhirnya aku berada di titik puncak. Puncak tertinggi dalam struktur organisasi lembaga sekaligus puncak pikulan tanggung jawab terberat. Saat itu, bagiku, titik puncak adalah episode terumit yang pernah kualami. Episode ini, menguras segalanya: tenaga, pikiran dan emosi. Lebih dari sebelumnya. 

Dari titik puncak, jangkauan lingkar mataku jauh lebih luas dari sebelumnya. Aku melihat apa yang sebelumnya tak terlihat. Aku merasakan apa yang sebelumnya tak kurasakan.

Saat aku memandang ke bawah, aku melihat perjalanan orang-orang di bawahku untuk mengingatkan diriku sendiri dari titik mana kubermula. Kadang, kakiku gemetar melihat ketinggian jarak antara titik awal dengan titik yang kupijaki waktu itu. Ketinggian membersitkan ketakutan akan terjatuh akibat kesalahanku sendiri. Pula, kadang, dengan memandang ke bawah keberanianku muncul. Orang-orang dalam barisanku, yang berada di bawah dan tengah berjuang, mereka menyadarkanku, ada orang-orang yang harus kulindungi. Ada tangan yang harus terus kuulurkan untuk menarik mereka berada di puncak bersama-sama. Ada lentera yang harus terus kunyalakan saat mereka berada dalam gelap dan membutuhkan cahaya untuk tetap sampai ke puncak.

Saat aku menengadah ke atas, kadang langit menyuguhkan terik sinar matahari yang kutantang dengan pandangan mata memincing karena menahan silaunya. Kadang langit memamerkan jingga yang hangat, yang membuat tatapan mataku lebih lembut dan bersahabat pada matahari. Kadang langit menyuguhkan kegelapan, tanpa matahari, yang memaksaku menajamkan mata batin dan mencari cahaya dari dalam diriku agar aku sendiri tak kehilangan arah dan tetap bisa menjadi lentera yang bisa terlihat dari bawah.

Saat mataku mengarah lurus ke depan dengan perputaran pandang melingkar 360 derajat, aku mendapati langit biru dan gelap dalam satu hari bersamaan. Saat itu, aku hanya melihat diriku. Sendirian. Berdiri di titik itu, dengan segala pemikiran dan perasaan yang berkecamuk di tengah kepelikan masalah yang terjadi baik di atas maupun di bawah. Kepelikan masalah yang harus bisa kutangani. Kepelikan masalah yang menguji keandalan diriku sendiri.

Lalu, waktu pun terus bergulir. Akhirnya, di titik puncak, aku hanya sanggup bertahan 1,5 tahun. Matahari sudah terlampau terik. Mataku tak sekuat dulu untuk menantangnya. Pada akhirnya, aku menyerah untuk tak lagi melawan matahari yang berada di atasku. Dan punggungku sudah terlalu payah untuk lebih lama memikul semuanya sendirian.

Aku memutuskan untuk pergi. Meninggalkan puncak. Meninggalkan atap yang telah 4,5 tahun menaungiku.

Episode ini, menjadi episode terberat. Bukan karena aku sedih harus meninggalkan titik puncak. Sedari awal aku berdiri di titik puncak, saat memandang lurus ke depan, saat yang kulihat hanya diriku sendiri, aku telah memahami bahwa puncak adalah tempat sementara untuk melihat surga-neraka dunia juga untuk mencecapi madu-racun kehidupan. Yang kurasakan di titik itu, persis seperti gambaran dan pengetahuan yang sebelumnya telah tertanam dalam kepalaku. 

Saat pandanganku lurus ke depan, aku berkata pada diriku sendiri bahwa ada waktunya, manusia berada di puncak. Pula ada waktunya, harus menuruni puncak itu untuk memulai kembali perjalanan dan babak baru dalam hidup. Itu hukum keseimbangan alam. Perputaran roda kehidupan. Dan aku, tak takut untuk kembali memulai perjalanan baru dari awal.

Episode ini, menjadi episode terberat karena semuanya akan menjelma kenangan yang menyisakan rasa kehilangan terhadap orang-orang yang hidup di dalam kenangan tersebut.

Saat itu, segala peristiwa dan orang-orang berlintasan di kepalaku.

Anggota tim terbaikku.
Anak-anak.
Orang tua murid.
Lembaga ini.

Bila dulu aku diam-diam menangisi orang-orang yang lebih dulu pergi, maka pada waktu itu, aku menangisi orang-orang yang akan kutinggalkan. Rekan kerja rasa keluarga, orang tua murid rasa saudara, dan murid-murid rasa adik atau anak sendiri.

Anggota timku...
Mereka, orang-orang yang mau berjuang menghadapi tantangan ketika kuamanahi sebuah tanggung jawab. 
Mereka, orang-orang yang mau menyambut uluran tanganku ketika tersaruk jatuh di tengah perjalanan menuju puncak. 
Mereka, orang-orang yang menggenggam tanganku untuk meyakinkan bahwa mereka berada di sampingku untuk mencapai tujuan bersama. 
Mereka, orang-orang yang tetap memahami diriku ketika ada suatu ketegasan dariku yang harus mereka terima dengan susah payah pada awalnya. 
Mereka, orang-orang yang sama-sama memiliki tekad untuk memenangkan masa-masa sulit bersama.

Kami. 

The great team who had ever exist in there and made the place be a great home for all peoples whose live within.

Anak-anak...
Mereka takdir terindah, kebahagiaan terbesar dan pembelajaran hidup yang sangat berharga bagiku.

Orang tua murid...
Mereka adalah mitra terbaik, yang memberikan ladang pembelajaran bagi kami melalui anak-anak mereka.

Lembaga itu...
adalah tempat terbaik yang mempertemukan kami semua. Yang kami kelola bersama dengan melibatkan kerjasama seluruh elemen.

*

Tiba saatnya aku pergi.

Beberapa orang pun mengambil keputusan yang sama.

Lantas, perpisahan antar kami akhirnya melahirkan sengguk dan isak tangis di antara kami. Sengguk dan isak tangis yang kupahami alasannya, yang telah kurasakan lebih dulu jauh sebelum mereka merasakannya.

Delapan orang pergi dengan kesedihan dan pikiran yang sama. Bagaimana anak-anak dan anggota tim yang tersisa (yang masih terikat perjanjian) setelah ini. Kami hanya bisa terus memberikan dukungan dan kekuatan untuk mereka bertahan semampu yang mereka bisa.

Kami, yang akhirnya memilih pergi, merapal harapan dalam doa semoga semuanya tetap bisa berjalan dengan baik-baik saja. Dan dalam bisik batinku, dengan setitik rasa bersalah, aku berharap, semoga bukan sebab pilihanku yang menjadi pemicu utama keputusan serupa yang mereka ambil untuk tidak melanjutkan perjuangan mereka di tempat itu.

*

Segala yang kukerahkan dari diri ini, baik tenaga, pikiran dan emosi untuk membangun sebuah tim ketika berada di tempat itu... kurasakan hasilnya justru lebih mengharukan setelah kami tidak berada dalam satu naungan yang sama lagi. Sudut pandang dan cara yang kugunakan tentang makna sebuah tim kerja, setidaknya, memberikan dampak yang baik untuk kami.

Pandangan yang kutuliskan sebelumnya di sini:
https://vinnyerikaputri.blogspot.com/2017/01/arti-sebuah-tim-kerja.html

Dulu aku berusaha selalu menciptakan sebuah tim dengan banyak warna dalam satu kanvas: kusebut dan kuperlakukan mereka sebagai rekan kerja, teman main, teman menggila, keluarga kedua, kakak, adik atau apapun yang mengikat hubungan antar individunya.

Sekarang? Kami bukan lagi rekan kerja. Tapi, kami tetap menjadi teman main, teman menggila, keluarga kedua, kakak, adik yang tetap "gila" ketika kami bisa berkumpul kembali di sela-sela kesibukan masing-masing.

Hubungan kami, baik antara yang memilih pergi ataupun dengan yang tetap bertahan, masih berjalan baik.

*

Pada Sabtu, hari dimana kita bisa berkumpul dengan bahagia, aku berterima kasih pada-Nya yang telah memberikan kesempatan kepada kita untuk bertemu kembali, berbagi cerita dan tetap saling menguatkan.

Aku berterima kasih pada kalian, yang bisa menerima diriku apa adanya, sepaket dengan kelemahan dan kekuatanku serta kegilaan-kegilaanku. Kegilaan-kegilaanku yang kulakukan semasa kita bersama agar kita tetap waras saat pekerjaan dan tanggung jawab begitu menekan kita. Kegilaan-kegilaan yang kulakukan agar kita tetap bahagia dan mengikat kekompakan tim.

Juga aku berterima kasih, pada sebuah tempat yang pernah menaungi kita dalam atap yang sama.
Ikatan kami tercipta dan bermula di sebuah tempat. Dari masa-masa sulit yang harus ditaklukan bersama.


-V.E.P, Memori 30.06.2018