Rizkian.
Begitulah kamu memanggil nama anak itu.
Lalu, kamu?
Reisha, itulah namamu.
Aku?
Vinny, sahabat pena yang pernah berada satu antologi denganmu.
Aku ingin menuliskan sepenggal kisah tentang Rizkian, yang kamu ceritakan. Pula, aku ingin menggambarkan tiga sudut pandang dalam satu tokoh "aku".
Singkat cerita, tuturmu, Rizkian adalah seorang anak yang diperkirakan autis hiperaktif. Kadang ia bersikap apatis terhadap sekelilingnya dan lebih memilih larut dalam dunianya sendiri. Dunia yang hanya dipahami dirinya seorang. Tapi juga bisa bertindak impulsif ketika seseorang mengganggunya. Ia belum bisa mengendalikan dan mengelola emosinya dengan baik. Seringkali bertindak sekehendak hatinya. Teman sebayanya, kerap mengatainya, orang gila. Meskipun begitu, ia adalah orang yang pantang menyerah.
POV (Point of View) atau sudut pandang aku sebagai Rizkian:
Aku melihat seseorang dari kejauhan berjalan menghampiriku. Ia tampaknya seseorang yang ingin melihat-lihat duniaku. Ia seorang perempuan, yang menatapku dengan pandangan entah ketika sampai di depanku. Sepertinya, ia ingin menjadi temanku. Ia tidak berbahaya seperti yang lainnya. Matanya tulus. Tapi, benarkah? Atau jangan-jangan ia sama dengan wanita-wanita dewasa lainnya yang enggan mendekatiku atau kerap menghadiahkanku sentakan atau hardikan keras ketika aku tak bisa mengendalikan tubuhku untuk diam?
Waktu terus berjalan, perempuan itu telah berhasil masuk ke dalam duniaku. Entah bagaimana bisa ia berada di sini, bersamaku. Aku lupa. Mungkin, sejak aku mulai merasakan ia tidak seperti yang lainnya. Ia mau mengerti bagaimana diriku. Ia tidak melarangku untuk banyak bergerak yang merupakan salah satu caraku untuk menghabiskan energiku yang berlebih.
Dari matanya, aku bisa melihat pintu dunia lain yang selama ini tak kulihat. Aku mulai tertarik untuk menjulurkan kepala perlahan melihat apa yang ada di luar duniaku. Ia mengajariku rupa-rupa. Nada-nada indah. Kata-kata yang pada mulanya sulit untuk kuungkapkan dan kupahami maknanya. Ia mengajari semuanya tanpa memaksaku dengan keras.
Dalam satu waktu, aku melihatnya dengan banyak ekspresi ketika memandangku. Kadang kudapati ada basah yang rebak di matanya. Kadang ia terlihat jengkel dengan ulahku. Kadang ia tertawa-tawa melihatku. Kadang, ia melihatku dengan tatapan yang aku tidak mengerti maknanya. Entah apa yang dipikirkannya. Aku masih terlalu kanak-kanak untuk memahami pikiran orang dewasa sepertinya.
Tapi, apapun ekspresi yang ditampakkannya, mengapa selalu terdengar seperti ungkapan kasih sayang? Dan setiap kali ia memandangku, ujungnya akan berakhir di tatapan yang sama. Tatapan yang hangat bersahabat.
Dalam satu waktu, aku melihatnya dengan banyak ekspresi ketika memandangku. Kadang kudapati ada basah yang rebak di matanya. Kadang ia terlihat jengkel dengan ulahku. Kadang ia tertawa-tawa melihatku. Kadang, ia melihatku dengan tatapan yang aku tidak mengerti maknanya. Entah apa yang dipikirkannya. Aku masih terlalu kanak-kanak untuk memahami pikiran orang dewasa sepertinya.
Tapi, apapun ekspresi yang ditampakkannya, mengapa selalu terdengar seperti ungkapan kasih sayang? Dan setiap kali ia memandangku, ujungnya akan berakhir di tatapan yang sama. Tatapan yang hangat bersahabat.
Karena itu... aku merasa aman bersamanya. Aku nyaman ia berada di sekitarku. Aku percaya kepadanya.
Perempuan itu, bernama Reisha. Nama yang seringkali kudengar namun belum bisa kuucapkan dengan baik.
POV (Point of View) atau sudut pandang aku sebagai Reisha:
Aku melihat seorang anak kecil yang berbeda dari anak-anak lainnya. Ia seorang minoritas. Tidak umum dari keumuman yang ada di sekelilingnya. Ia memiliki dunianya sendiri.
Aku tidak tahu, apa yang menggerakkanku tetap mendekatinya ketika ia begitu terasa menjengkelkan dan menguras emosi bagi rekan-rekan lainnya. Yang kutahu, melihatnya menjadi bahan ejekan teman-temannya atau sekelilingnya, hatiku seperti tersayat perih. Aku ingin mengenalnya lebih dalam. Aku ingin tahu apa yang ada dalam dunianya. Rasa penasaranku lebih dahaga daripada sikap menjengkelkan yang kerapkali ditunjukkannya.
Waktu terus berjalan. Telah banyak tenaga, pikiran dan emosiku yang terkuras demi memahami apa yang ada di dunianya. Tapi, aku tetap memilih tinggal membersamai dunianya dan semakin ingin memberikan yang terbaik bagi dirinya. Aku melihat apa yang orang lain tidak bisa lihat dari dirinya. Aku ingin mengenalkan dunia luar tanpa menghapus dunianya.
Aku... menyayanginya bagai saudara kandung. Aku ingin mengisi dunianya dengan warna jingga yang hangat. Melalui kedekatan emosi yang tengah kubangun, aku ingin mengatakan padanya, ia tidak sendirian. Ada orang-orang yang peduli dengan keunikan yang dimilikinya.
Anak itu, bernama Rizkian.
POV (Point of View) atau sudut pandang aku sebagai Vinny:
Aku pernah merasakan berada di posisimu, Reisha. Pernah menangani anak setipe Rizkian juga. Bedanya, ia anak perempuan. Karena itu, aku sedikit memahami kalian. Apa yang membuat Rizkian merasakan frekuensi yang sama adalah perasaan kasih sayang yang tulus. Tulusnya perasaan kasih sayang, akan mengembalikan semua kejengkelan, amarah dan kesedihanmu menghadapi Rizkian kembali pada kehangatan hubungan manusia.
Ketika kamu pertama kali melihat Rizkian, yang kamu rasakan adalah perasaan kasih sayang yang bersumber dari inti dirimu. Lalu terpancar keluar, terlihat oleh Rizkian.
Itulah unikmu. Kamu melihat perasaan "aku" dalam diri orang lain. Kamu menggunakan perasaan "aku" untuk menolong orang-orang minoritas yang tertindas. Kamu sudah bisa mengidentifikasi perasaanmu sendiri sedari awal bertemu dengan orang lain bagaimanapun wajah, pemikiran dan perasaan orang tersebut.
Sementara, ketika aku di posisimu, yang kurasakan adalah perasaan anak tersebut yang memantul dan diserap ke dalam inti diriku. Lalu, baru kupahami makna perasaan itu dan bagaimana aku harus menampilkan sikap kepada orang tersebut.
Itulah aku. Punya banyak wajah, pemikiran dan perasaan dalam satu diri ketika bertemu orang-orang di luar lingkaranku. Aku melihat perasaan "orang lain" di dalam diriku. Aku mengadaptasi banyak sikap, bergantung dari apa yang dipantulkan oleh orang-orang kepadaku. Aku membutuhkan kesunyian untuk mengidentifikasi perasaan dan pemikiranku sendiri serta memisahkannya dari perasaan dan pemikiran orang lain yang terbaca oleh inti diriku. Pula aku membutuhkan waktu untuk memperlihatkan keaslianku pada orang-orang.
-----------
Untuk adik ketemu gede sekaligus sahabat penaku, tetaplah menjadi dirimu sendiri. Berusahalah untuk tidak menyalahkan dirimu dengan "ke-akuan-mu" yang kadang-kadang kamu benci. Diri kita dengan segala kekurangan dan kelebihan, kelemahan dan kekuatan, keburukan dan kebaikannya adalah paketan yang tidak bisa dipisahkan.
Eh, ngomong-ngomong... sajak yang kamu share di timeline facebook bersamaan dengan hilangnya tautan tulisan blogmu, itu oke punya loh. Diksinya bagus.
And for the last... i'm sorry for taking your picture from your facebook to put on here without permission. Haha!
------------
-----------
Untuk adik ketemu gede sekaligus sahabat penaku, tetaplah menjadi dirimu sendiri. Berusahalah untuk tidak menyalahkan dirimu dengan "ke-akuan-mu" yang kadang-kadang kamu benci. Diri kita dengan segala kekurangan dan kelebihan, kelemahan dan kekuatan, keburukan dan kebaikannya adalah paketan yang tidak bisa dipisahkan.
Eh, ngomong-ngomong... sajak yang kamu share di timeline facebook bersamaan dengan hilangnya tautan tulisan blogmu, itu oke punya loh. Diksinya bagus.
And for the last... i'm sorry for taking your picture from your facebook to put on here without permission. Haha!
------------
V.E.P, 08.07.2018