Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Jumat, 10 April 2020

Barangkali Saja, Kita Sama



Di sini, penglihatanku
Untuk menenggelami matamu
Dan kehidupan yang tengah berdenyut di sana
Yang terkadang tak bisa dimengerti sekelilingmu
Bahkan mungkin oleh dirimu sendiri

Di sini, pendengaranku
Untuk mendengarkanmu berkisah
Merasakan getar teriakanmu 
Yang terbungkam rapi dan halus
Di setiap kalimat-kalimat yang terlantun manis ceria

Di sini, jiwaku
Untuk menenangkanmu
Atau mungkin menangis bersamamu
Saat kau merasa asing
Dengan dirimu sendiri
Dan nyaris melupakan siapa dirimu

Di sini, tanganku
Untuk kau percayai
Berjalan menjelajahi tiap bagian dari dirimu 
Membelai tiap inci ketakutanmu
Merengkuh tiap jengkal sisi kelam
Yang kau katakan dengan jujur padaku
Tapi kau pilih untuk menjadi misteri bagi orang-orang

Di sini, tanganku
Untuk kau raih
Saat kau merayakan
Bahagia perasaan yang kaurasakan
Atau saat kau tak memahami
Kacau perasaanmu yang berkecamuk

Di sini, aku berdiri
Menjadi cermin
Untuk kau melihat dirimu
Jauh lebih dalam
Utuh
Autentik
Dengan segala rasa yang kau punya
Yang memanusiakanmu sebagai manusia

Ketakutan
Keberanian
Kekelaman
Kebersinaran
Kesedihan
Kebahagiaan
Kerapuhan
Kekuatan

Di sini, aku hadir dan ada
Bukan untuk mengikat hatimu
Bukan untuk memegang erat kehidupanmu
Bukan untuk menyangkarkan jiwamu
Bukan pula sesoal cinta atau semacamnya
Tapi... lebih dari itu semua

Aku hadir dan ada
Untuk melihatmu hidup
Sehidup-hidupnya
Sebagai dirimu

Sebagai dirimu!

Aku hadir dan ada
Bukan karena sesoal cinta atau semacamnya

Tapi... karena,

Barangkali saja, kita sama.


-V.E.P, 10.04.20, Teruntuk Sahabat

Sabtu, 04 April 2020

#4. Hai... Bagaimana Kabarmu, Kau Yang Ada Di Dalam Cermin?


Hai... Bagaimana Kabarmu, Kau Yang Ada Di Dalam Cermin?

Maret-April 2020

Aku sedang tidak baik-baik saja. Dunia pun begitu. Sebagian manusia mengatakan, bumi tengah berduka oleh sebab wabah. Tapi, mungkin, bumi tengah menyembuhkan dirinya sendiri dengan menghadirkan wabah untuk mengurangi polusi termasuk populasi manusia.

Tapi, apapun alasannya, sungguh, ini sedikit ataupun banyak membuatku kacau. Sekolah diliburkan sebagai antisipasi penyebaran wabah supaya tidak semakin menggila. Penelitianku pun kacau balau. Pengambilan sampel butuh sedikit lagi penyelesaian agar data untuk bisa kuolah dan kuanalisis.

Aku resah. Khawatir tidak bisa lulus tepat waktu. Terlalu recehkah kegelisahanku? Ah, biarkanlah jika orang berpikir begitu. Aku hanya tidak ingin lama-lama menjadi mahasiswa di sana. Aku sudah cukup menjadi beban orang tua karena belum bisa sepenuhnya membiayai kuliahku sendiri. Memalukan bukan? Seharusnya, bagiku, perempuan matang seusiaku, sudah bisa berdiri di atas kaki sendiri soal finansial.

Keyakinanku seakan goyah. Keyakinanku pada diriku sendiri tengah menipis. Lelah berulangkali menimpali tanya. Bisakah aku bisa lulus tepat waktu seperti yang aku inginkan? Aku tengah tidak yakin dengan diriku sendiri. Aku membutuhkan tangan dan hati yang lebih kuat untuk menarikku kembali berdiri dengan tegak.

Adakah manusia yang mampu melakukannya untukku?

Entahlah.

Selama ini, kesendirian telah membuatku lebih banyak tak bergantung pada orang lain. Apakah itu terdengar suatu kesepian yang menyedihkan? Ataukah terkesan angkuh? Bukan. Aku tak mengabaikan sama sekali dukungan tulus segelintir orang-orang terdekatku. Sungguh, aku berterima kasih pada mereka. Mungkin, aku terlalu individualis. Wanita independen dalam hal pemikiran, bahkan, kesedihan yang tengah menyelimuti perasaan.

Karena, setulus apapun dukungan itu ... aku menyadari bahwa pada akhirnya, tetap aku harus menyelesaikan jalan takdirku sendiri. Menyelesaikan jalan yang telah kupilih. Sesulit apapun.

Saat ini... yang kubutuhkan adalah tangan-Mu untuk menarikku agar pikiran tak tertelan kegilaan dan hati tetap dalam kewarasan.

Aku lagi-lagi bertanya pada diri sendiri. Pertanyaan yang lebih mirip dengan pernyataan mungkin.
Masalah membuka banyak variabel dalam hidup untuk dipahami dan diterima bukan? Masalah mengajari manusia makna harapan dan keajaiban doa ditengah-tengah keterbatasan daya upaya bukan? Masalah adalah anak tangga untuk mendekati-Nya bukan?

#3. Bagaimana Kabarmu, Kau Yang Ada Di Dalam Cermin?



Hai... Bagaimana Kabarmu, Kau Yang Ada Di Dalam Cermin?

Februari-Maret 2020

PPL berakhir. Setelah laporan PPL terselesaikan, aku dan teman dekatku sudah semakin jarang bertemu. Aku semakin jarang memintanya menemaniku ke kampus. Sementara ini, kupikir itu baik untukku. Aku membutuhkan waktu untuk bisa menetralisir kembali rasa kekecewaanku padanya akan banyak hal selama PPL. Juga apa yang dia lakukan padaku sebelum PPL. Dia memakai uang patungan buku kelas untuk remedial suatu mata kuliah yang kutitipkan padanya tanpa izinku meski aku paham bahwa pada saat itu kebutuhan menghimpitnya dan memaksanya melakukan itu. Dia baru mengakuinya setelah uang itu kuminta sekembalinya aku dari Wonosobo. 

Aku marah, tapi masih bisa kuredam saat itu dan memberikan waktu untuknya segera mengembalikannya. Karena aku pun nanti harus mempertanggung jawabkan uang itu pada kelas. Nyatanya, sampai dengan PPL selesai pun, belum dikembalikan. Dan lagi-lagi aku masih berkompromi atas dasar rasa kasihan dengan kondisi keuangannya yang memang tengah kering.

Kupikir, ini akan menjadi masalahku dengannya saja. Ternyata, emosi-emosi yang kurasakan juga tak hanya soal ini. Berawal dari beberapa orang yang tengah mengalami perasaan yang sama denganku, intensitas tukar pikiranku pun menjadi sering dengan mereka. Banyak obrolan yang kita bangun hingga kadang ketika kami ingin ke kampus untuk mengurus beberapa kepentingan di hari yang sama, kami kerap saling memberitahu.

Petaka kecil pun dimulai. Petaka yang terlalu receh dan kekanakkan menurutku untuk orang-orang yang berusia jauh lebih tua dibandingkan aku. Bahkan sudah berkeluarga beranak pinak. 

Beberapa orang yang bisa dibilang cukup sering berkomunikasi denganku selama perkuliahan masih aktif, mencurigaiku membuat grup di belakang mereka. Dan akhirnya, bertingkah seperti anak-anak kecil yang tengah berseteru dengan permainan "bala-balaan". Saling sindir dan mempertontonkan kebersamaan mereka. Yang kusesalkan, teman dekatku, ikut dalam permainan kubu-kubuan. Teman dekatku, yang masih kupedulikan perasaannya dengan tidak membeberkan uang kelas yang dipinjamnya, kian menunjukkan bagaimana dirinya.

Aku ternganga. Aku marah. Egoku mulai bermain. Sedemikian kerdilkah pikiran mereka? Bisakah mereka pahami pengorbananku selama tiga tahun ini untuk kelas? Bisakah mereka memahami bagaimana aku jatuh bangun, menangis diam-diam memikul tanggung jawab sebagai kosma? Kosma, yang selalu ingin semuanya mencapai hal terbaik dari diri mereka. Kosma, yang siap sedia membantu, membimbing dan mengarahkan mereka ketika mengalami kesulitan dengan tugas-tugas perkuliahan.

Aku berusaha keras menyingkirkan egoku, mengalah untuk meminta maaf jika memang membuat kelas seperti terpecah belah karena kekurang-pedulianku sebulan belakangan pada kelas juga masih menghormati hubungan pertemanan yang dibangun oleh kami semua selama tiga tahun. Bahkan, aku dengan tegas, mempersilakan posisiku digantikan oleh siapapun. Sedari dulu pun, aku tidak menginginkan posisi ini dan sudah beberapa kali minta digantikan oleh yang lain. Tapi mereka sendiri yang tetap mempertahankan aku di posisi ini.

Ada satu jawaban dari wajah yang mencurigaiku, membuatku cukup sakit meski itu benar, "Sudah jadi kewajiban untuk yang mampu membimbing yang tidak mampu. Kebaikan sekecil biji zahrah pun akan mendapatkan balasan dari Allah. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan."

Bahasa itu, bukanlah ceramah keagamaan. Aku lebih bisa mengartikannya dan membaca maksud di belakangnya sebagai senjata untuk memojokkanku. Aku bahkan telah memahami ceramah keagamaan itu jauh sebelum kata-kata itu keluar dari mulutnya. Aku mengalaminya langsung bagaimana di posisi yang ia katakan. Dia tidak di posisiku. Dan dari banyak kasus yang kulihat selama perkuliahan, dia memang sering berseteru dengan banyak orang. Egonya terlalu tinggi untuk ditundukkan oleh orang lain, bahkan oleh dirinya sendiri.

Pikiranku kian mengeruh. Kabut hatiku mengental dengan emosi negatif yang membuatku tidak stabil dalam melihat masalah. Dan aku lebih banyak menyalahkan pikiran orang-orang dari sudut pandang yang kuambil saat itu. Ditambah lagi, ketika aku masih dalam pertimbangan untuk memperbaiki hubungan pertemanan kami, teman dekatku telah lebih dulu memperjelas di mana posisiku untuknya. Bersama dengan teman "bala-bala"-an, dia menuliskan "story WhatsApp". Salah satu temanku yang belakangan sering bertukar pikiran denganku mengirimkannya padaku. Aku sendiri sedang dalam posisi membisukan status-status bernada kebencian atau sindirian yang merupakan prasangka buruk para pemilik status. Entah ditujukan untuk siapapun itu.

Story WhatsAppnya berisi foto kawanan bala-balaannya dengan caption tulisan:
Lebih baik menjadi musuh yang nyata daripada teman yang palsu.

Aku tahu arah pikiran teman dekatku menuju kemana.
Terasa sakitkah untukku?
Pasti.
Dan itu menjadi memori yang lekang dalam kepalaku.

Di titik ini, aku mulai menandai, siapa saja yang mesti kubuat batasan jarak untuk mendekatiku. Dan mungkin, disadari atau tidak, mereka akan mendapati, aku tidak akan sedemikian peduli seperti dulu. Aku akan lebih banyak menghindari kontak dengan mereka. Kalaupun masih tampak peduli, kepedulianku hanya berada pada batas kewajaran yang umum. Bukan lagi empati personal yang tulus mendalam. Bahkan, seiring berlalunya waktu dan tunai sudah segala tanggung jawabku yang berkaitan dengan kelas, mungkin, kita akan menjadi orang asing satu sama lain. Itulah aku, ketika kepercayaan telah dicabik-cabik dan hati begitu tersayat, aku akan berbalik untuk melindungi hatiku sendiri dari paparan racun atau apapun yang bisa membuatku mendendam. Karena... aku manusia biasa dengan segala emosi yang kupunya dan ingatan yang tak mungkin dilupakan.

*

Sebagian teman-teman yang percaya padaku, secara pribadi dengan tulus memberikan dukungan dan penguatan. Kuceritakan hanya pada sedikit orang dengan hitungan tiga jari untuk membagikan bagaimana perasaanku juga alur cerita yang kuhadapi. Kuhargai penghiburan mereka. Tapi pada akhirnya, seperti biasa, aku lebih suka menyendiri untuk menenangkan diri.

Saat sendiri, aku memikirkan banyak hal. Aku berkontempelasi. Aku merefleksi dan mengevaluasi diriku agar bisa memandang masalah lebih adil dan bijaksana. 
Aku berusaha memandang dengan sudut pandang yang seimbang. Bahwa tidak hanya sikap mereka yang menyakitiku tapi mungkin juga sikapku pernah menyakiti mereka yang mencurigaiku tanpa kusadari. Bahwa bukan hanya mereka yang berprasangka buruk, tapi mungkin juga aku berprasangka yang sama buruknya. Bahwa aku harus menyadari pengorbananku tak lagi tulus ketika aku menuntut dipahami dan dimengerti. Bahwa aku masih menyimpan pamrih tanpa kusadari.
Endingnya, aku tak mengatakan diriku bahwa aku sudah bisa ikhlas dengan perlakuan mereka. Tapi, aku berusaha untuk menemukannya hikmah kebaikan didalamnya. Berusaha untuk tetap berbuat baik pada mereka yang membutuhkan bantuanku meski sempat menggoreskan rasa sakit hati.

Jujur, untuk melupakan apa yang telah mereka lakukan padaku... aku tidak bisa. Bersebab itulah, jarak akan tetap ada. Demi melindungi hatiku dan menjauhkanku dari emosi yang buruk bagi kesehatan mentalku.
Kita, akan tetap berjarak. Dan segalanya, takkan lagi sama. Aku melepaskan semua ikatan pertemanan itu. Kubiarkan menguap terbang begitu saja. Seperti embun yang turun dari kabut semalam-malam lalu perlahan lenyap terhisap sinar matahari seiring datangnya pagi yang cerah. Di situlah, letak kemerdekaan dari rasa sakit. Juga memahami kembali, tentang orang-orang yang datang dan pergi, yang pada akhirnya semua bermuara pada satu kalimat: Allah yang menitipkan semuanya padaku, termasuk teman-temanku, dan Allah berhak mengambilnya kembali kapanpun, dengan cara apapun, yang terbaik menurut-Nya.
Mungkin, ini yang terbaik untukku kembali memaknai titipan.

#2. Bagaimana Kabarmu, Kau Yang Ada Di Dalam Cermin?





Hai... Bagaimana Kabarmu, Kau Yang Ada Di Dalam Cermin?
Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya. Aku sedang tidak baik-baik saja. Tapi, sebelum menceritakan perasaanku dan pikiranku hari ini, aku ingin memundurkan ingatan dan mengulang rasa yang kudapatkan dari setiap momen yang sudah kulewati, setidaknya, aku masih ingin mencari hal-hal yang harus aku syukuri di setiap momen, entah momen kebahagiaan ataupun kesedihan.

*

Juli 2019
Aku menjalani KPM (Kuliah Pengabdian Masyarakat) yang merupakan bagian dari SKS mata kuliah yang wajib kuikuti sebagai persyaratan lulus kuliah. 

Saat itu, aku menjalani KPM selama 40 hari di Desa Teja, Kecamatan Rajagaluh, Majalengka. Aku yang sudah pernah berkuliah sebelumnya, seharusnya tidak segelisah ini. Tapi, di sinilah aku semakin memahami diriku. Bahwa, pengalaman terdahulu hanya memberikan ketenangan tentang gambaran-gambaran yang mungkin bisa menjadi panduan bagi langkahku. Sisanya, berhadapan dengan orang-orang baru dan memahami karakternya adalah sensasi dan tantangan yang tak akan pernah sama dengan pengalaman sebelumnya karena setiap manusia, sebagai makhluk individual, mereka terlahir dengan keunikannya masing-masing.

Karena itu... ketika sebuah tim dibangun, tetap saja, ada kesulitan, dan ada airmata untuk menyeiringkan langkah banyak kepala.

Perbedaan kematangan usia
Perbedaan cara pandang
Perbedaan wawasan yang dimiliki
Perbedaan pengalaman hidup
Perbedaan watak

Semuanya... menjadi pemicu konflik antar individu sekaligus pemaklumanku untuk menengahi bahkan berdamai dengan diri sendiri terlebih dahulu agar bisa memahami situasi-kondisi yang dihadapi.

Yang kusyukuri pada saat itu adalah, Allah masih memberikan kelembutan dan kesadaran pada masing-masing hati individu untuk membuka pintu maaf setulus-tulusnya. Juga, kasih sayang yang Allah berikan melalui keramahan dari masyarakat, pemuda karang taruna hingga ke kalangan perangkat Desa. Kami semua merasakan kehangatan layaknya satu ikatan keluarga di sana.

Dan itu... sungguh pengalaman dan perjuangan yang jauh berbeda dengan KKN yang dulu pernah kualami saat masih berkuliah di UNSOED.

*

14 November 2019
Aku... tak menulis apapun untuk merayakan hari ulang tahunku. Aku bahkan lupa, apakah aku merayakannya dengan ucapan terima kasih pada diriku sendiri karena telah berjuang dan masih melangkah sampai dengan sejauh ini atau membiarkannya berlalu begitu saja. Suatu perayaan yang biasa kulakukan dengan diriku sendiri sejak usiaku menapaki angka 30 entah kurayakan kembali atau tidak.

*

Januari-Februari 2020
Aku hanya menulis tentang kaleidoskop 2019, tanpa tanggal di buku harianku. Dan saat itu aku pun menyadari, sudah lama, tak hanya tempat ini yang tak kuisi. Sejak lama, buku itu pun, sudah lama tak menampung segala keluh kesah atau kisah kehidupanku dengan segala rasa yang dibawanya.

Di bulan-bulan ini pula, kesibukan begitu terasa pada jelang PPL (Program Pengalaman Lapangan). Dan pada saat pelaksanaannya, aku banyak mengalami depresi ringan. Kesibukan begitu padat tiap harinya, tanpa jeda, dan kurang istirahat. Ditambah lagi, aku dipilih sebagai ketua pada saat itu. Posisi yang dari dulu ingin kuhindari karena setiap kali memegangnya akan selalu ada tanggung jawab moril didalamnya yang membawa beban tersendiri bagiku. 

Tapi, kehidupan justru mengajari sesuatu bahwa hal yang kita benci atau sering kita hindari adalah hal-hal yang justru membuat kita harus menghadapinya supaya kita tidak perlu lagi lari darinya dan bisa lebih tenang menanganinya meski mungkin tidak mudah, membutuhkan proses yang entah singkat entah panjang.

Aku merasakan, intuisiku mengatakan bahwa aku akan kehilangan seorang teman dekat. Aku mulai melihat sikap yang sebelumnya tak pernah kulihat sejak KPM selesai dan perkuliahan aktif kembali. Dan entah apa yang tengah Allah ingin sampaikan dengan terus menakdirkan kami sering terus bersama dalam tiap momen. Di PPL ini, aku kembali bersamanya, dan ditempatkan satu kelas.

Aku melihat, jalan kami semakin berbeda. Ada suatu perasaan yang tengah kupikirkan saat itu. Perasaan bahwa aku ingin menjauh perlahan-lahan darinya. Dia mulai mengenal dan mengobrol dengan beberapa laki-laki. Kemudian sampai pada titik nyaman dengan salah satunya. Intensitas mengobrolnya menjadi sering.

Aku cemburu atau iri? Tidak sama sekali.

Yang tidak kusuka adalah, laki-laki itu menjadikan teman dekatku berubah 360 derajat. Bagiku, ia menjadi pribadi yang asing. Atau memang aku yang belum sepenuhnya mengenal kepribadian temanku ini? Ah, entahlah... mungkin saja aku belum mengenalnya, pikirku saat itu.

Perubahannya membuatku uring-uringan ketika itu berhubungan dengan profesionalitas kerja tim selama PPL. Khususnya tim yang dibawahi aku sebagai koordinator kelas kelompok A yang merancang perencanaan pembelajaran sekaligus ketua tim yang bertanggung jawab mengatur kinerja tim. Aku merasa beban tanggung jawabku semakin berat dimasa-masa PPL. Dan puncaknya, hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya, yang telah kutahan kuat-kuat, akhirnya buncah juga.

Aku memarahi teman dekatku dengan memakai otoritas posisiku sebagai ketua. Apa pasal? Laki-laki yang sering menghubunginya meminta ia menemani makan disaat tim kami sedang sibuk untuk mempersiapkan media mengajar untuk esok hari dan harus mengikuti briefing dengan dosen pembimbing lapangan. Dan ia menurutinya begitu saja. Sejak saat itu pula, ada kesal, dongkol dan mungkin juga benci dengan laki-laki itu yang kurasakan setiap kali ia berlama-lama menelpon temanku disaat kami sedang mengerjakan tugas persiapan mengajar esok. Kalau laki-laki itu ada di hadapanku, mungkin, aku sudah menatapnya dengan tajam.

Adakalanya aku ingin mengingatkannya yang menandakan bahwa aku masih peduli. Rasanya saat itu aku ingin begini, "Dirimu bukan anak muda yang sedang mabuk kepayang dengan jatuh cinta. Laki-laki itu terlalu posesif. Ada anak yang lebih membutuhkan perhatianmu. Dan tolong fokus, kita sedang PPL."

Tapi, aku lebih banyak mendiamkannya. Karena kurasa dan kupikir, pengalaman serta usianya yang lebih tua dariku sudah cukup matang dalam tiap keputusan yang diambilnya.

Dan di titik itu pula, aku mulai menjarak. Meski ketika kami berkumpul bersama dengan teman-teman, aku tidak memperlihatkan itu. Jarak ini semakin melebar dan menjadi masalah di hari-hari selanjutnya.

#1. Bagaimana Kabarmu, Kau Yang Ada Di Dalam Cermin?



Sudah lama sejak Januari dua bulan lalu, bukan? Seharusnya, kau menyapa di bulan itu, hari menunjukkan angka 1 dalam kalender.

SELAMAT DATANG 2020

Begitu bukan seharusnya kau menyapa pergantian tahun? Biasanya kau menuliskan banyak hal di sini. Tapi, kau enggan menyempatkannya.

Kapan terakhir kali kau singgah ke sini dan menuliskan semua kisahmu? Sepertinya, kau pun sudah jarang menyimpan ingatanmu dalam buku harianmu.

Kebanyakan kau hanya menatap dirimu, entah berapa kali dengan banyak warna wajah, di depan cermin. Terkadang berdiri dengan wajah senyum kekanakkan. Terkadang dengan senyum yang dipaksakan ada. Terkadang dengan mata yang basah dan bibir yang mengatup rapat menahan getar.

Sekarang, dengan bantuan jemarimu, aku ingin menyapa dan bertanya satu hal padamu. Satu hal yang mungkin akan banyak membuatmu menapak-tilasi hidup.

Hai... Bagaimana kabarmu, Kau yang ada di dalam cermin?
Aku tidak mesti baik-baik saja. Resah, gelisah, kekhawatiran, kebahagian, kedamaian dan ketenangan terkadang datang silih berganti. Keberadaan mereka saling menyelisihi satu sama lain.

Angka 33, menuju 34, usia yang kutapaki. Aku merasakan kaki ini semakin butuh kekuatan dan keberanian yang besar untuk tetap berjalan menaiki tanga demi tangga kehidupan. Aku merasakan punggung dan bahu ini terlalu berat. Kadang, aku merasakan lelah. Lalu, berhenti. Duduk meringkuk dengan kepala menunduk dan isak tangis yang lirih. Dalam diam, aku kerap bertanya banyak hal. Banyak sekali. Yang kadang aku sendiri tak tahu bagaimana untuk menjawabnya. Dan ujungnya, aku hanya menelimpuhi waktu untuk sebuah jawaban.

Ada banyak momen, yang telah kulewati setahun belakangan, sejak terakhir kali aku menitipkan ingatanku di sini. Dan baru sekarang, aku benar-benar ingin menuliskannya. Entah dengan cerita yang panjang mendetail atau mungkin juga singkat. Entah itu kebahagian atau kesedihan.

Hai... Bagaimana kabarmu, Kau yang ada di dalam cermin?
Hari ini, akupun sedang tidak baik-baik saja. Dan ingin menghabiskan waktu dengan bercerita banyak hal padamu. Menceritakan hal-hal yang selama ini hanya mengendap dalam ingatanku.