Hai... Bagaimana Kabarmu, Kau Yang Ada Di Dalam Cermin?
Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya. Aku sedang tidak baik-baik saja. Tapi, sebelum menceritakan perasaanku dan pikiranku hari ini, aku ingin memundurkan ingatan dan mengulang rasa yang kudapatkan dari setiap momen yang sudah kulewati, setidaknya, aku masih ingin mencari hal-hal yang harus aku syukuri di setiap momen, entah momen kebahagiaan ataupun kesedihan.
*
Juli 2019
Aku menjalani KPM (Kuliah Pengabdian Masyarakat) yang merupakan bagian dari SKS mata kuliah yang wajib kuikuti sebagai persyaratan lulus kuliah.
Saat itu, aku menjalani KPM selama 40 hari di Desa Teja, Kecamatan Rajagaluh, Majalengka. Aku yang sudah pernah berkuliah sebelumnya, seharusnya tidak segelisah ini. Tapi, di sinilah aku semakin memahami diriku. Bahwa, pengalaman terdahulu hanya memberikan ketenangan tentang gambaran-gambaran yang mungkin bisa menjadi panduan bagi langkahku. Sisanya, berhadapan dengan orang-orang baru dan memahami karakternya adalah sensasi dan tantangan yang tak akan pernah sama dengan pengalaman sebelumnya karena setiap manusia, sebagai makhluk individual, mereka terlahir dengan keunikannya masing-masing.
Karena itu... ketika sebuah tim dibangun, tetap saja, ada kesulitan, dan ada airmata untuk menyeiringkan langkah banyak kepala.
Perbedaan kematangan usia
Perbedaan cara pandang
Perbedaan wawasan yang dimiliki
Perbedaan pengalaman hidup
Perbedaan watak
Semuanya... menjadi pemicu konflik antar individu sekaligus pemaklumanku untuk menengahi bahkan berdamai dengan diri sendiri terlebih dahulu agar bisa memahami situasi-kondisi yang dihadapi.
Yang kusyukuri pada saat itu adalah, Allah masih memberikan kelembutan dan kesadaran pada masing-masing hati individu untuk membuka pintu maaf setulus-tulusnya. Juga, kasih sayang yang Allah berikan melalui keramahan dari masyarakat, pemuda karang taruna hingga ke kalangan perangkat Desa. Kami semua merasakan kehangatan layaknya satu ikatan keluarga di sana.
Dan itu... sungguh pengalaman dan perjuangan yang jauh berbeda dengan KKN yang dulu pernah kualami saat masih berkuliah di UNSOED.
*
14 November 2019
Aku... tak menulis apapun untuk merayakan hari ulang tahunku. Aku bahkan lupa, apakah aku merayakannya dengan ucapan terima kasih pada diriku sendiri karena telah berjuang dan masih melangkah sampai dengan sejauh ini atau membiarkannya berlalu begitu saja. Suatu perayaan yang biasa kulakukan dengan diriku sendiri sejak usiaku menapaki angka 30 entah kurayakan kembali atau tidak.
*
Januari-Februari 2020
Aku hanya menulis tentang kaleidoskop 2019, tanpa tanggal di buku harianku. Dan saat itu aku pun menyadari, sudah lama, tak hanya tempat ini yang tak kuisi. Sejak lama, buku itu pun, sudah lama tak menampung segala keluh kesah atau kisah kehidupanku dengan segala rasa yang dibawanya.
Di bulan-bulan ini pula, kesibukan begitu terasa pada jelang PPL (Program Pengalaman Lapangan). Dan pada saat pelaksanaannya, aku banyak mengalami depresi ringan. Kesibukan begitu padat tiap harinya, tanpa jeda, dan kurang istirahat. Ditambah lagi, aku dipilih sebagai ketua pada saat itu. Posisi yang dari dulu ingin kuhindari karena setiap kali memegangnya akan selalu ada tanggung jawab moril didalamnya yang membawa beban tersendiri bagiku.
Tapi, kehidupan justru mengajari sesuatu bahwa hal yang kita benci atau sering kita hindari adalah hal-hal yang justru membuat kita harus menghadapinya supaya kita tidak perlu lagi lari darinya dan bisa lebih tenang menanganinya meski mungkin tidak mudah, membutuhkan proses yang entah singkat entah panjang.
Aku merasakan, intuisiku mengatakan bahwa aku akan kehilangan seorang teman dekat. Aku mulai melihat sikap yang sebelumnya tak pernah kulihat sejak KPM selesai dan perkuliahan aktif kembali. Dan entah apa yang tengah Allah ingin sampaikan dengan terus menakdirkan kami sering terus bersama dalam tiap momen. Di PPL ini, aku kembali bersamanya, dan ditempatkan satu kelas.
Aku melihat, jalan kami semakin berbeda. Ada suatu perasaan yang tengah kupikirkan saat itu. Perasaan bahwa aku ingin menjauh perlahan-lahan darinya. Dia mulai mengenal dan mengobrol dengan beberapa laki-laki. Kemudian sampai pada titik nyaman dengan salah satunya. Intensitas mengobrolnya menjadi sering.
Aku cemburu atau iri? Tidak sama sekali.
Yang tidak kusuka adalah, laki-laki itu menjadikan teman dekatku berubah 360 derajat. Bagiku, ia menjadi pribadi yang asing. Atau memang aku yang belum sepenuhnya mengenal kepribadian temanku ini? Ah, entahlah... mungkin saja aku belum mengenalnya, pikirku saat itu.
Perubahannya membuatku uring-uringan ketika itu berhubungan dengan profesionalitas kerja tim selama PPL. Khususnya tim yang dibawahi aku sebagai koordinator kelas kelompok A yang merancang perencanaan pembelajaran sekaligus ketua tim yang bertanggung jawab mengatur kinerja tim. Aku merasa beban tanggung jawabku semakin berat dimasa-masa PPL. Dan puncaknya, hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya, yang telah kutahan kuat-kuat, akhirnya buncah juga.
Aku memarahi teman dekatku dengan memakai otoritas posisiku sebagai ketua. Apa pasal? Laki-laki yang sering menghubunginya meminta ia menemani makan disaat tim kami sedang sibuk untuk mempersiapkan media mengajar untuk esok hari dan harus mengikuti briefing dengan dosen pembimbing lapangan. Dan ia menurutinya begitu saja. Sejak saat itu pula, ada kesal, dongkol dan mungkin juga benci dengan laki-laki itu yang kurasakan setiap kali ia berlama-lama menelpon temanku disaat kami sedang mengerjakan tugas persiapan mengajar esok. Kalau laki-laki itu ada di hadapanku, mungkin, aku sudah menatapnya dengan tajam.
Adakalanya aku ingin mengingatkannya yang menandakan bahwa aku masih peduli. Rasanya saat itu aku ingin begini, "Dirimu bukan anak muda yang sedang mabuk kepayang dengan jatuh cinta. Laki-laki itu terlalu posesif. Ada anak yang lebih membutuhkan perhatianmu. Dan tolong fokus, kita sedang PPL."
Tapi, aku lebih banyak mendiamkannya. Karena kurasa dan kupikir, pengalaman serta usianya yang lebih tua dariku sudah cukup matang dalam tiap keputusan yang diambilnya.
Dan di titik itu pula, aku mulai menjarak. Meski ketika kami berkumpul bersama dengan teman-teman, aku tidak memperlihatkan itu. Jarak ini semakin melebar dan menjadi masalah di hari-hari selanjutnya.