Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Sabtu, 05 November 2022

Bisakah Kau Tetap Menggenggamku, Tuhan?



Bisakah Kau tetap menggenggamku, Tuhan? 
Bahkan, ketika aku merasa tak tahan lagi menjalani lembar demi lembar halaman buku takdir hidupku yang Kau tetapkan untukku dengan ketaatan?

Bisakah Kau tetap menggenggamku, Tuhan?
Bahkan, ketika aku menggugat-Mu dengan gemuruh amarah atas ujian hidup yang mesti kupikul-tanggung-terima?

Bisakah Kau tetap menggenggamku, Tuhan?
Bahkan, ketika batinku mulai terombang-ambing dalam ketidaksabaran untuk tetap mempercayai bahwa keajaiban-Mu itu nyata adanya?

Bisakah Kau tetap menggenggamku, Tuhan?
Bahkan, ketika aku berada di titik terburuk dan tergelap dari keimananku dimana aku mulai meragukan kepastian dan kebenaran janji-Mu?

Bisakah Kau tetap menggenggamku, Tuhan?
Bahkan, ketika aku merasa sendirian dan mulai sangsi bahwa cinta kasih-Mu tak pernah tebang pilih?

Bisakah Kau tetap menggenggamku, Tuhan?
Bahkan, ketika aku tengah kehilangan diri sendiri sehingga amnesia akan jati diriku dan melupakan eksistensi-Mu?

*

Sebab, Engkau adalah Cahaya yang melebihi segala prasangka, keraguan dan sifat-sifat iblis dalam diri manusiaku.

Sebab, Engkau adalah Cahaya yang paling berhak lagi berkuasa atas hidup dan kehidupan tiap-tiap jiwa.

Bisakah Kau tetap menggenggamku, Tuhan?


- Vinny Erika Putri, 11.05.22

Selasa, 16 Agustus 2022

#9. Surat Untuk Diriku Tentang Berita Hari Ini



Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Apakah kau ingin berteriak meneriaki seseorang atau kehidupan?
Aku, ingin meneriaki seorang yang dungu dibalik peci, sarung dan label pemuka agama. Bahwa, untuk merasakan pengorbanan orang lain saja, dia sangatlah dungu. Lebih dungu dari seorang atheis atau agnostik yang berjuang hidup sendirian tapi masih memiliki pertanyaan soal ketuhanan yang nantinya akan membawa dirinya dalam perjalanan mencari cahaya Tuhan.

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Kau sedang merasakan kekecewaan bukan? Kekecewaan mendalam pada yang bersangkutan hingga membuatmu sampai dibelit angkara murka.
Ya. Aku kecewa. Kecewa pada kedunguannya. Betapa dangkal akal pikirannya. Betapa mati rasa hatinya. Betapa kerdil kekanak-kanakan jiwanya. Tercermin dari tolol kata-katanya. Mencerminkan bahwa isi tampungan dirinya tak sanggup menadah dan menerima hal yang lebih luas dari kumpulan makna dalam semesta kehidupan. Tampungannya hanya seputar harta, material fana yang berlindung dibalik ayat-ayat agama.

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Tak apa, jika kau ingin mengumpat dengan kata-kata yang mungkin tak nyaman didengar. Itu bagian dari proses untuk kau mendinginkan amarah yang kau pendam bagai api dalam sekam sedari siang.
Ya. Aku marah. Awal mulanya, aku diberondong soal nasib ijazah, yang padahal sudah berulang-ulang kusampaikan setiap perkembangan informasinya di grup yayasan.  Bahkan dari awal proses pengisian data. Tapi, ternyata, memang dia dungu. Kedunguannya tidak mampu mencerna dengan otaknya. Aku bahkan ragu, dia punya otak yang biasa digunakan berpikir dan merenungi hal-hal lain yang lebih esensial dalam kehidupan. Dirinya, masih saja bertanya sesoal ijazah yang belum turun dengan nada kalimat yang arahnya meragukan perjuanganku. Dirinya, seorang "bos besar" yang tidak layak menjadi panutan sebagai pemimpin. Sebab, tidak sanggup melindungi dan mengayomi apa yang seharusnya dilindungi dan diayomi. 
Dia yang memulai perang duluan. Menyulut sistem pertahanan diriku aktif untuk mendebatnya dengan argumen hingga dirinya patah-kalah. Penjelasan panjang yang kuuraikan dari mulai kendala yang dihadapi, prosedur pengajuan, prosedur verifikasi hingga "menamparnya" sesoal resiko dari sebuah lembaga non-formal diformalkan melalui pengajuan proposal penyetaraan, dan akhirnya senjata terakhir itulah yang membungkam si otak udang. Sungguh, berdebat dengannya sangat menguras energi. Tapi, tidak didebat, otaknya akan semakin dungu. Dipikirnya, mungkin, aku akan berlepas tangan begitu saja ketika dihadapkan pada permasalahan yang timbul sebagai dampak dari belum turunnya ijazah. Giliran aku memberi sebuah highlight penting yang intinya begini: "Kalau mau ditanggapi, setidaknya saat mengurus bolak-balik ke kantor PD-Pontren Kemenag jangan hanya membawa diri atau dengan tangan kosong untuk melancarkan urusan kita", jawabannya sungguh lucu. Dia bilang, "Kalau sudah mengeluarkan uang tapi tidak ada hasil, percuma." 
Dungu memang. Tertangkap jelas, maknanya bahwa dia tidak mau berkorban uang untuk lembaganya sendiri. Dungu yang melebihi anak berkebutuhan khusus dengan kondisi retardasi mental.
Dalam hati, seolah ingin meringkas segala penjelasan panjang lebar yang kukemukakan dengan kalimat sederhana, "Hei, Pak, kalau Anda tidak mengerti kondisi di lapangan, lebih baik diam. Jangan sampai Anda malah akhirnya memperlihatkan kedunguan Anda sendiri. Anda sadar tidak, kalau kita hidup di realita dunia yang semacam ini?" 
Tapi aku sudah malas untuk melanjutkan debat kata-kata dengan orang yang linglung akan dirinya sendiri. Bahkan tidak sadar dengan kedunguannya.

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Tak apa, untuk kau melepaskan penat dengan keluh kesah. Mungkin, dirimu sedang di fase (kembali) membutuhkan penerimaan oleh dirimu sendiri.
Ya. Mungkin. Aku, rasanya seperti tengah kembali berada di titik lelah dengan situasi-kondisi yang ada. Orang-orang, kejadian, peristiwa dalam waktu dua bulan ini, banyak membuatku patah-bangkit-berjuang dengan keberanian yang mirip seperti seorang pejalan sunyi. Pejalan sunyi yang berjalan sendirian menghadapi apapun. Pejalan sunyi yang tak bergantung pada perlindungan orang-orang di sekitarnya. Atau mungkin, oleh sebab aku jarang mendapati perlindungan sebagai sulung perempuan sedari kecil, dan lebih banyak berjuang melindungi diriku sendiri sekaligus orang-orang sekitar, aku menjadi lupa apa yang dinamai ketakutan tanpa perlindungan dari manusia manapun. Keadaan semacam ini, yang menyadarkan diriku, bahwa (lagi-lagi), akulah yang mesti bisa menampung diriku sendiri. Dan ketika aku bahkan tidak sanggup menampung diriku sendiri, kepada-Nyalah aku kembalikan segalanya.

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Tak apa, karena kau adalah manusia yang terus berproses dan berprogres untuk bertumbuh dari setiap rasa sakit yang kau terima.
Ya. Malam ini, aku tengah menangis dan memeluk erat jiwaku sendiri dengan segala kemarahan dan kekecewaan yang kurasakan. 

Hai, Vinny Erika Putri.
Tak apa, untuk menerima dan merasakan rasa yang kau rasakan. Itu bukanlah suatu melankoli yang berlebihan. Tapi, kau memang tengah butuh merasa, agar hatimu tak mati rasa. Sampai, pada saatnya nanti, kau bisa mengatasi dirimu sendiri untuk kembali memaknai semuanya dengan hati yang lebih lapang, akal pikiran yang jernih dan mental yang stabil.


-Vinny Erika Putri, 16.08.22

Minggu, 14 Agustus 2022

Tentang Melambat



Tentang Melambat.
Kata kebanyakan orang, "Itu suatu kemunduran."
Benarkah?
Dulu, aku mengiyakan.
Sekarang?
Tidak lagi memberikan justifikasi semacam itu.

Tentang melambat.
Dulu, ketika masih menjadi bagian dari "kubu" pro percepatan, aku melihat orang-orang yang melambat dengan pertanyaan sejenis ini: "Mengapa mereka lambat dalam mengenali situasi-kondisi sekitar? Mengapa mereka tidak bisa memberikan penanganan yang cepat-tepat-efektif-efisien-asertif dalam menyikapi permasalahan-permasalahan yang terjadi?"
Aku, seperti masih belum bisa menolerir perlambatan meski aku sudah paham arti dari kalimat "Setiap orang memiliki waktunya sendiri dalam pertumbuhannya, tidak cepat, tidak pula lambat." 
Kalimat itu hanya berhenti di kata "paham", belum kuresapi menjadi sesuatu yang menadi dalam akal pikiran-jiwa-hati-lelaku. Kalimat itu hanya sekadar jargon omong kosong yang terekam di memori kepala. 

Tentang melambat.
Aku, "Vinny Erika Putri", hampir 36 tahun hidup didalam sebuah dunia pemikiran sesosok wanita yang "tidak umum" dibandingkan wanita seusianya atau bahkan wanita kebanyakan. Aku, yang tidak umum, dewasa lebih cepat dan matang lebih dulu, sepertinya tengah berada di titik lelah. Lelah melihat segala percepatan di era teknologi yang semakin gila mengobrak-abrik ketenangan hidup. Lelah, melihat orang-orang melakukan percepatan dengan cara yang sangat serampangan. Atau mungkin, justru akulah yang sedang melelah untuk selalu bergegas menjadi yang tercepat sendiri (dan sendirian) dalam pertumbuhan apapun?

Tentang melambat.
Di rentang 3 tahun terakhir, aku menjadi individu yang banyak mempertanyakan tentang percepatan-percepatan yang sudah kulakukan dalam hidup. Putaran roda kehidupan di 3 tahun terakhir banyak menghantam mental-psikisku lebih keras dari tahun-tahun sebelumnya dan nyaris mengikis segala ambisi yang kupunya.
Bahkan, keadaan ini, membawaku bertanya kepada diri sendiri soal ekspektasi dan keinginan diri serta kehendak-Nya terhadap hidupku. Perenungan tersebut melahirkan dialog diri yang dituangkan dalam sebuah tulisan berjudul Manusia Tanpa Ekspekstasi dan Keinginan.

Tentang melambat.
Kini, persepsiku telah banyak mengalami perubahan-bersintesa-terintegrasi dengan makna yang ku-renung-resap-laku-i dari setiap peristiwa yang terjadi didalam hidupku. 
Melambat sejenak di dunia serba cepat terkadang memang perlu. Dengan melambat, aku menjadi lebih bisa mengamati apa yang selama ini luput dari pengamatan dan perhatianku. Satu contoh kecil, soal bernapas.
Disaat melambat, aku menjadi lebih sadar bagaimana ritme napasku sendiri. Apakah aku sudah mulai terengah-engah seperti nyaris kehabisan napas dalam menghadapi hidupku atau masih dalam kondisi yang tenang menerima segala qodo dan qodar-Nya.
Kesadaran kecil tersebut perlahan-lahan menyebar luas menjadi kesadaran yang lebih besar seperti kesadaran batin dalam menyadari alur algoritma berpikir, spektrum jiwa (mental-psikis), pergerakan perasaan dan situasi-kondisi sekitar diri yang sedang berlangsung sehingga membuatku mampu melihat banyak hal yang terpancar baik di dunia internalku maupun dunia eksternalku dengan lebih jeli-jelas-jernih-netral dari segala sisi/sudut pandang.

Tentang melambat.
Melambat, bukanlah suatu kemunduran. Melambat, adalah bagian dari progres memaknai hidup dan denyut nadi alam semesta dengan lebih tenang dan damai.
Jadi, tak apa ... jika kita merasa sedang dalam fase melambat. Siapa tahu kita bisa melihat keindahan yang tak sempat teramati disaat kita terlalu sibuk dengan segala macam percepatan. Sebab, melambat pun, bagian dari seni menemukan warna hidup.


-Vinny Erika Putri, 14.08.22

Minggu, 10 Juli 2022

Bagaimana Cara Kita Saling Memandang, Wahai Dunia?



Wahai Dunia ... tahukah kau, bagaimana aku memandangmu sampai dengan saat ini
Kau bukan sekutu yang mesti kuakrabi. Kau bukan musuh yang harus kutakuti. Kau bukan karib kerabat yang bisa kupercayai. Kau bukan kembaran jiwa yang layak kucinta-kasihi. 
Kau candu memabukkan untuk jiwa-jiwa yang kering kerontang akan harta, tahta dan seksualitas. Kau memperlihatkan ironi kehidupan manusia. Kau menantang milyaran manusia dengan siklus kematian-kebangkitan jiwa secara berulang lewat bermacam penderitaan yang kau suguhkan untuk mereka pilih-hadapi-jalani. Kau melakukan kesemuanya hanya untuk memberikan ruang kebencian dan cinta kasih berpeluang sama besarnya untuk tersebar di muka bumi. Kau membentuk manusia berkelompok-kelompok dengan segala dualitas dan hukum kausalitasnya.

Lantas, bagaimana kau memandangku sampai dengan saat ini, Wahai Dunia?
Sekutu yang layak kau kumpulkan bersama orang-orang yang memujamu? Musuh yang ingin kau satukan dalam barisan kelompok manusia yang membencimu? Karib kerabat yang kau percayai mampu berjalan selaras dengan dualitas hitam-putih sisi manusia? Belahan jiwa yang ingin kau rangkul dengan cinta kasih untuk menetralkan segala sumber kausalitas penderitaan hidup manusia?

Bagaimana cara kita saling memandang, Wahai Dunia?
Sampai saat ini, aku masih seorang pengembara sunyi dalam dimensimu yang tak tahu dimana letak horizon kita. Horizon yang memperlihatkan titik temu soal bagaimana cara kita saling memandang. Aku, seperti entitas yang mengalami keterpisahan eksistensial darimu dan memiliki cakrawala pandangnya sendiri.


-Vinny Erika Putri, 10.07.22

Jumat, 01 Juli 2022

H.E.N.I.N.G


Hening
Kumencarimu
Didalam disharmoni rasa hati
Didalam ilusi ketakutan diri
Didalam bias pandangan batin
Didalam gejolak angkara murka

Hening
Kumencarimu
Didalam kebisingan pemikiran
Didalam helaan dan embusan napas
Didalam gemuruh detak jantung
Didalam derasnya aliran darah 
Didalam irama nadi yang berdenyut

Hening
Kumencarimu
Didalam rumah batinku sendiri


-Vinny Erika Putri, 02.07.22

Minggu, 19 Juni 2022

Aku (Ingin) Pergi


Katamu,
Aku (ingin) pergi dari detak nadinya
Yang berdenyut halus didalam nadiku

Katamu,
Aku (ingin) pergi dari debar jantungnya
Yang berdesir lembut didalam jantungku

Katamu,
Aku (ingin) pergi dari isi kepalanya
Yang tak jemu bertanya-tanya tentangku

Katamu,
Aku (ingin) pergi dari rasa hampa jiwanya
Yang perlahan hidup menyala terisi olehku

Katamu,
Aku (ingin) pergi dari mata hatinya
Yang pandangannya mulai berarah kepadaku

Katamu,
Aku (ingin) pergi dari dirinya
Yang mengacaukan kesendirianku

Katamu,
Berulang kali,
Aku (ingin) pergi
Tapi,
Kau belum juga beranjak
Dan masih berdiri untuknya

Katamu,
Aku (ingin) pergi
Tapi, 
Kau mendengar seseorang didalam sana bersuara,
Tunggulah, sampai dirinya bisa melewati badai dengan selamat. Barulah kau mengatakan, "Aku pergi."

Katamu, 
Membalas suara yang terdengar didalam sana dengan lebih lantang, 
Aku (ingin) pergi!
Sungguh!
Sebelum dinding pertahananku runtuh!
Atau jiwaku kian sekarat terbelenggu rasa sakit!

-Vinny Erika Putri, 19.06.22

Sabtu, 16 April 2022

It Is Okay Not To Be Okay, Just Be You!

 


Rara

 “Hai!”

“Cepat sekali kamu menyusul.”

Kamu tersenyum memperlihatkan deretan gigi putihmu. Lantas, berjalan menyamai langkahku sembari mengoceh ini dan itu. Sementara, aku lebih memilih mendengarkanmu bercerita hingga kita tiba di perpustakaan pusat universitas.

Aku menaiki lantai dua dan berhenti tepat di depan layar komputer yang merupakan fasilitas pencarian katalog buku untuk para pengunjung perpustakaan. Kuketik data buku yang kubutuhkan. Hasilnya, masih tersedia dua buku dengan kategori yang sama. Kupinjam satu buku bertemakan Analisis Statistik. Setelahnya, aku pergi menuju taman yang berada di depan perpustakaan.

Area taman dinaungi pohon-pohon rindang beralaskan rerumputan hijau terawat dan aneka jenis tanaman hias sebagai pembatas antar petak tanah. Tujuh bangunan terbuka berbentuk lingkaran tersebar di sekelilingnya. Tempat ini lebih menarik bagiku dibandingkan ruang khusus baca yang ada di dalam perpustakaan. Harmoni alam yang terhantar lewat gemerisik dedaunan saat tertiup angin dan udara segar yang menguar dari pepohonan memberikan kesejukan tersendiri bagiku. Bangunan-bangunan ini juga acapkali dijadikan sebagian mahasiswa sebagai tempat penenggat lelah.

Kuedarkan pandang ke seluruh sudut. Lingkar mataku mencari spot yang cukup lengang dan minim dari kerumunan orang-orang. Untungnya, masih ada satu bangunan kosong tersisa.

“Di tempat yang sama lagi,” ucapmu yang masih setia mengekori langkahku.

“Mungkin bangunan ini terikat denganku,” balasku sesampainya di sana.

Kukeluarkan notebook dari dalam tas ransel dan menyambungkannya ke jaringan hotspot milik perpustakaan. Setelahnya, aku larut dengan garapan tugasku. Sementara kamu, sibuk membolak-balikkan halaman buku berjudul Psikologi Emosi yang berada di tanganmu. Beberapa kali sempat kudengar kamu mendesah bosan.

“Apa hidupmu selalu serius begini?” tanyamu sembari menutup bukumu.

Ketikanku terjeda sesaat. Mataku menelisikmu dalam-dalam. Benakku dipenuhi pertanyaan. Salah satunya tentang buku di tanganmu. Tak kutemukan korelasinya sama sekali dengan bidang pendidikan yang tengah kamu jalani. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu urung kuajukan. Daftar tugasku masih panjang. Dan mengapa aku mendadak peduli untuk bertanya sesoal hidupmu?

“Baiklah, baiklah. Aku tak bertanya lagi,” lanjutmu seraya menyimbolkan gerakan tangan mengunci mulut.

Aku menggelengkan kepala menimpali tingkahmu lalu kembali menekuri pekerjaanku.

“Aku pergi cari minuman sebentar,” katamu.

“Terserah.”

Kamu merentak berdiri dan melangkah pergi. Diam-diam, kutatap punggungmu yang kian bergerak menjauh.

Apakah hidupmu sedemikian mudah? Kamu tampak begitu ringan menelan setiap detak dan gulir kehidupan.

Satria, namamu. Aku mengenalmu saat OSM (Orientasi Studi Mahasiswa). OSM adalah salah satu kegiatan yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa baru seluruh fakultas sebelum diakui secara resmi sebagai mahasiswa universitas yang bersangkutan. Semenjak itulah, kamu masuk dalam lingkaran pertemananku.

Tempat ini, tadinya, selama setahun pasca pelaksanaan OSM, menjadi semacam rumah kedua dikala aku ingin menyendiri. Sedari siang hingga sore, saat menunggu jadwal kuliah berikutnya, aku lebih sering singgah di sini dibandingkan pulang ke kosan. Entah untuk mengerjakan tugas kuliah atau sekadar melepas penat dengan kegiatan literasi pribadi yang kuminati.

Sampai … kamu hadir lebih sering di sini sejak lima bulan terakhir ini.

“Tempat ini, kan, untuk umum,” kilahmu membela diri saat aku merasa begitu dongkol dengan keberadaanmu.

Jadilah aku berbagi tempat ini denganmu. Lantas, pertanyaan-pertanyaanmu padaku yang terasa berisik untukku; diammu yang kutahu tengah memperhatikanku; cerita-ceritamu yang kadang mengalir tak terbendung; jari jemarimu yang kamu mainkan membentuk irama dan terhenti seketika saat mataku mendelik marah karena konsentrasiku terganggu oleh bunyinya; kopi dan kudapan yang kamu beli … kesemuanya itu, entah sejak kapan mengakrabi kotak memoriku dan menjadi suatu keterbiasaan.

Tapi … bersamaan dengan itu juga, aku kesulitan untuk menuliskan hal-hal pribadi dalam buku harianku yang dulu biasa kulakukan di tempat ini dengan bebas.

*

Satria

“Mbak, Capuccino. Dua. Seperti biasa ya.”

“Oke, Mas Satria.”

Lokasi outlet kopi ini lumayan dekat dengan area perpustakaan. Dari sudut ini, aku masih bisa melihat sosokmu di sana.

Rara, namamu. Saat itu, kamu duduk seorang diri di tempat yang sama dengan posisimu sekarang. Tubuhmu menyandar pada ransel yang sering digunakan oleh para pendaki gunung. Kusangka, kamu sudah berstatus mahasiswa dan tengah terlibat kegiatan yang diadakan Mapala, salah satu UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) di universitas ini.

Aku mengamatimu tak jauh dari tempatmu duduk. Kamu mengenakan topi hitam dengan rambut ikal terkucir. Headset terpasang di telingamu dan tanganmu tengah menuliskan sesuatu di sebuah buku. Sesekali, kepalamu rebah di atas ranselmu. Kamu tak hirau dengan sekelilingmu. Kamu seperti memiliki duniamu sendiri. Setelah setengah jam berlalu, kamu melenggang pergi lebih dulu. Kukira, kamu hanya akan menjadi selintasan orang yang tak ditakdirkan terhubung denganku. Realitanya, kita kembali dipertemukan saat pelaksanaan OSM. Pula, semesta merestuiku berteman denganmu yang cenderung penyendiri dan mandiri.

Masih tanak dalam ingatanku percakapan kita saat mengerjakan tugas selama masa OSM. Waktu itu, aku melihat wajahmu begitu pucat. Aku tahu, kamu kelelahan karena kurang tidur dan kurang istirahat. Dalam kelompok kita, kamu mendapat beban tugas lebih besar dibanding anggota lainnya. Kamu ketua kelompok.

“Sini aku bantu.”

“Tidak usah,” tolakmu.

“Meminta bantuan saat mulai kerepotan tak ada salahnya, Ra.”

“Aku tidak harus bergantung pada bantuan orang lain selagi masih sanggup kulakukan sendiri,” eyelmu.

Aku tak lagi memaksa. Aku tak berkeberatan atau tersinggung dengan sikapmu. Aku justru melihat sesuatu dari dirimu, jauh di dalam sana, lebih dari sekadar kata-kata yang kamu ucapkan atau hal-hal yang kamu tampakkan pada dunia luarmu.

Apakah hidupmu sedemikian berat? Kamu begitu keras kepala untuk tidak menunjukkan kerentananmu pada orang lain.

“Mas Satria, kopinya sudah jadi.”

“Oh, iya, terima kasih, Mbak. Ini uangnya.”

“Sama-sama, Mas.”

*

Satria

“Masih belum selesai juga, Ra?”

“Sedikit lagi,” balasmu.

Kamu tetap bergeming. Dua alismu bertaut menukik tajam ke arah bawah dengan mata terpaku pada layar notebook. Kamu tidak ingin ada interupsi yang bisa mendistraksi fokus pikiranmu. Kamu sedang menyimpulkan sesuatu yang penting dari tulisanmu. Jadi, kunikmati kopiku lebih dulu. Lima bulan kerap menghabiskan waktu bersamamu di sini membuatku paham kebiasaan-kebiasaan kecilmu.

“Selesaaai!”

Di bagian ini, aku ikut tersenyum gembira. Ekspresi paling riang ini nyaris selalu kudengar ketika kamu berhasil menyelesaikan tugas dengan sempurna.

“Selamat menikmati kopinya,” ujarku alih-alih mengingatkan bahwa ada segelas kopi di hadapannya.

“Hahaha!”

Belakangan, aku bisa melihatmu dan mendengarmu tertawa lepas. Pun, kamu mulai menuturkan impian-impianmu ke depan.

*

Rara

Kepanikan tergambar jelas di raut wajah Satria. Napas Satria yang terengah-engah membuatnya tampak lebih rusuh dari kekacauan hatiku sendiri. Ujung celananya basah. Payung hanya melindungi tiga perempat tinggi tubuhnya dari percikan air hujan.

“Aku meneleponmu beberapa kali.”

“HP-ku tertinggal di kosan.”

Aku berbohong. Padahal, aku sengaja meninggalkan HP-ku di sana.

“Untungnya, tempatmu melarikan diri masih selalu sama. Jadi mudah bagiku menemukanmu,” lega Satria.

Aku tak tahu harus menamai apa perasaanku saat itu. Sedihkah? Senangkah?

“Ada apa?”

Hening mengepung beberapa jenak.

“Ibu mengatakan akan bercerai. Ayah menganiaya ibu lagi. Dan adikku berulah besar di sekolahnya. Aku diminta pulang ke Banten untuk membantu ibu mengurus beberapa hal. Aku, si sulung yang-”

Butuh keberanian yang besar untukku membuka mulut. Namun, belum usai cerita kuurai, kalimatku terpenggal juga. Himpitan sesak memangkasnya. Aku menundukkan kepala di atas kedua lututku yang menekuk. Hangat merebak di sepasang mataku.

It is okay not to be okay,tandas Satria.

Hatiku kian tak keruan. Buliran air di kedua sudut mataku jatuh menganak sungai. Sengguk menggucang-guncang bahuku. Pertama kalinya, di depan Satria, aku menangis. Kurasakan jaketnya menutupi tubuhku yang meringkuk gemetar. Ia menepuk-nepuk halus punggungku.

Hujan turun menderas. Tangisku kian kencang meneriakkan jiwa yang perih terluka. Dan Satria, tak beranjak dariku. Ia diam, membersamaiku merasakan beban yang tengah kupikul. Ia memberikanku ruang untuk bersedih tanpa penghakiman apapun. Ia melakukan hal mudah yang selama ini sulit kulakukan. Hari itu, Satria berhasil meluluh-lantakkan benteng pertahananku dari kerentanan yang entah berapa lama kubangun dengan kalimat bernada positif “aku pasti kuat dan baik-baik saja”.

Anehnya, aku merasakan kelegaan di tengah kekisruhan hidup yang berusaha kuhadapi dengan hati remuk berantakan. Kuangkat kepalaku dan menyeka sisa-sisa air mata di wajah. Kami masih tak saling bicara. Sampai hujan menggerimis kecil dan air yang jatuh menempias terdengar lebih lembut.

“Terima kasih,” ujarku mengusir sunyi.

“Sudah enakan?”

Aku hanya menjawabnya dengan senyum tipis.

“Kita cari makan di sekitar sini. Mumpung hujannya sudah agak reda,” ajaknya.

Aku masih setengah enggan untuk berdiri. Satria menarik tanganku dan menggenggamnya. Pertama kalinya, tanpa protes, tanpa bertanya, aku menurut. Mungkin, katarsis panjangku yang cukup menguras energi membuatku lapar. Atau mungkin juga, oleh sebab lainnya yang masih berusaha kucerna.

“Cari tempat yang agak sepi. Mataku masih sembab. Nanti orang kira kita baru saja bertengkar,” pintaku.

Ia tertawa. Kami berjalan dalam satu payung yang sama dan jaketnya masih melindungi tubuhku dari hawa dingin.

*

Rara

“Melamunkan apa?”

“Hmmmmm …. bukan melamun, tapi-”

Aku berhenti sejenak. Dan Satria menungguku menuntaskan kalimat.

“Terima kasih.”

“Untuk?”

“Untuk tetap bertahan di sisiku.”

“Sepertinya ada yang sedang mengeja kenangan masa muda,” ledeknya.

“Aku? Kamu? Atau kita? Memangnya kita sudah tua?”

“Kita pasangan muda, yang akan terus tumbuh menjadi manusia dewasa, meski lika-liku hidup tak menjanjikan kita akan selalu baik-baik saja.”

Aku tersenyum, di tempat yang sama, bersama dirinya, yang selalu membersamaiku sejak hari itu.

It is okay not to be okay, just be you!

Sebelum mengenal Satria, aku pernah menuliskan itu di buku harianku saat journaling. Karenanya, ketika ia mengatakan hal itu padaku sepuluh tahun yang lalu, aku merasa diterima sebagai dan menjadi diriku. Utuh. Penuh. Autentik. Tanpa atribut apapun yang melekat pada diriku.

*

Catatan:
Cerpen ini pernah diikutsertakan dalam lomba cerpen bulanan yang diadakan oleh grup literasi facebook WR-Academy.

Masa Depanmu Tidak Akan Patah


Tentang hati yang patah ...
Aku mengerti lebih dari sekadar retorika kata-kata yang seringkali dibeberkan manusia. Aku paham dan memahami rasa sakit yang lebih autentik dari perasaan yang orang-orang ketahui atau yang orang-orang berlari darinya hanya untuk memastikan mereka tetap kuat dan mampu menjalani hidup dengan baik.

Tentang hati yang patah ...
Aku paham, terkadang, kita mengkhianati diri sendiri dan menutupi rasa sakit dengan banyak pengalihan. Sementara luka tersebut masih berdiam di sana tanpa kita sadari. Lantas, ketika kita berhadapan dengan diri sendiri dalam sunyi, air mata menjawab semuanya. Ternyata, kita masih terus berproses untuk kuat dan "dipaksa" menerima. Bahwa, kita sedang melewati siklus "baik-baik saja dan tidak baik-baik saja" secara berulang. Sehari kuat, sehari kemudian jatuh lagi. Sampai kita bisa mengatakan pada diri sendiri dengan tulus-jujur, "Tak apa, aku menghargai proses yang menjadi bagian dari perjalanan hidupku."

Tentang hati yang patah ...
Aku paham, semua rasa yang saling menyelisihi dalam diri. Perang batin antara perasaan sedih, marah, kecewa dan menyalahkan kebodohan diri sendiri. Kita tidak bisa meniadakan segala kenangan yang terekam dalam memori. Manusia tidak punya kemampuan menghapus ingatan secara sengaja. Kita hanya mampu mengusahakan untuk berdamai dengan kenangan tersebut, sehingga ketika ingatan kembali memunculkannya, rasa sakit sudah tidak lagi menyertainya.

Tentang hati yang patah ...
Aku paham, bahkan untuk melukiskan getir perih dan menjabarkannya dengan realita kata pun tidak akan sama akuratnya dengan yang dirasakan hati. Jadilah air mata yang mewakili untuk hati merasakan lega. Tak apa, begitulah tugas air mata. Sejatinya, air mata, menguatkan dan memanusiakan kita sebagai manusia yang dibekali hati oleh-Nya untuk merasakan ragam emosi yang datang.

Tentang hati yang patah ...
Tak apa untuk menangis. Air mata membantu kita untuk bisa berdamai dengan diri sendiri. Air mata melembutkan hati kita untuk menerima dan memaafkan segala kesalahan diri. Air mata mengajari diri melepaskan apa yang sebaiknya dilepaskan. Air mata memberitahu kita, bahwa sesuatu yang lepas, sudah pasti bukanlah sesuatu yang diperuntukkan bagi kita. Kalimat yang terdengar klise dan terasa merajam hati tapi memang benar adanya.

Tentang hati yang patah ...
Aku tahu, menyembuhkan diri butuh waktu. Tidak dalam sekejap, tidak secepat mengedipkan mata, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, melalui perjalanan ini, kita akan semakin mengenali diri sendiri. Kita akan memahami pertanda semesta, bahwa, ikatan terbaik adalah ketika kita telah sanggup menerima diri sendiri lebih dari harapan atau ekspektasi orang lain terhadap kita. Kita, tidak akan kehilangan diri sendiri atau berlarut-larut limbung sekarat saat rasa sakit melumat semangat hidup. Kita akan tetap bergerak, meski dengan merangkak lemah tertatih.

Tentang hati yang patah ...
Aku tahu, hatimu tengah luluh lantak. Dan, kamu memandang cinta berserta kenangan yang dibawanya sebagai rasa sakit yang sama sekali tak ingin kamu ingat bahkan mungkin menjadi sesuatu yang kamu sesali. Pula, akan ada hari-hari berat yang tak selalu baik-baik saja untuk kamu lewati selama proses menerima dan memaafkan dirimu sendiri (tanpa harus kembali pada masa lalumu). Tapi, bukan berarti kamu kehilangan seluruh hidupmu tanpanya.

Tentang hati yang patah ...
Aku tahu, kata-kata penyemangat apapun dari orang-orang, tidak akan sanggup mengobati rasa sakitmu sampai ke akar-akarnya. Aku paham, serpihan hatimu tak akan kembali utuh ketika berhasil disatukan. Akan ada bekas retakan yang tampak dimana-mana. Tapi, suatu saat, kamu akan melihat retakan tersebut sebagai seni lain yang Tuhan ciptakan atas kehendak-Nya dalam buku takdirmu. 
Kamu tahu sebuah seni bernama Kintsugi? Manusia memecahkan hati manusia lainnya hingga remuk berkeping-keping. Sementara dengan seni Mahakarya Tuhan Yang Maha Penyayang, tangan-Nya mampu menyatu-utuhkan dan memoles retakan-retakan hatimu dengan keindahan.

Tentang hati yang patah ...
Aku tahu, betapa hancurnya dirimu kini. Tapi, kamu masih memiliki hidupmu yang bisa kamu hidupi. Masa depanmu tidak akan patah. Kelak, kamu akan menemukan sinarmu dari setiap kilau air mata yang jatuh. Habis gelap, akan terbitlah terang.


-Vinny Erika Putri, 16.04.21, untukmu sahabat rasa adik

Kamis, 07 April 2022

M.I.S.T.E.R.I



Malam tak bosan-bosannya kujatuh-cintai. Bening telaga yang bersembunyi di sebalik rimbun pepohonan dan padang ilalang, tak jemu-jemu kukunjungi. Saat berdiam di sini, kerapkali aku tak menginginkan malam tergantikan mentari. Seolah aku enggan menemui pagiSeperti kali ini. 

Lama kuberdiri. Sendiri, merenungkan kehidupan dalam semesta batin yang luas tak bertepi. Sendiri, mengumpulkan keping-keping memori yang hilang dari lintas generasi. Sendiri, memaknai hidup yang kuhidupi. Sendiri, mencerna dengan terbata-bata tentang apa yang Sang Maha Kuasa kehendaki atas penciptaan diri.

Angin bergemerisik mengusik hening. Ilalang bergerak lintang pukang. Dari sebalik ilalang, kurasai sepasang kaki berjalan dengan tenang. Tangannya bergerak hati-hati menyibak ilalang demi ilalang. Hingga jarak dirinya dan diriku, tak lagi bersekat penghalang. Kami, dua orang asing, berdiri sejajar di hadapan telaga yang membentang.

Aku tak tahu. Apa yang akan ia tuju. Tanya meluncur begitu saja dari bibirku. Terdengar dingin dan kaku. Lantas, bercampur dengan jawaban yang terkesan merayu.
"Apa yang menarik langkahmu kemari?"
"Sesuatu yang berselubung sunyi. Serupa misteri."
"Siapa maksudmu?" 
"Kau." 
Aku tersenyum geli. Mengolok-olok tentang apa yang dikatakannya misteri. Seolah aku tengah mengeja ulang ingatan usang tentang singgahnya orang-orang dalam buku catatan perjalanan diri.
Begitukah orang-orang melihat diriku? Ah, mungkin bukan itu. Lebih tepatnya, akulah yang mesti berlapang jiwa-hati-akal pikiran tentang kehidupan dengan segala entitasnya yang memang merupakan persinggahan di setiap perputaran roda waktu. 
Ia terus saja mengamatiku. Isi kepalanya sibuk menerka-nerka manusia macam apa diriku. Sementara aku, yang masih berkelindan ragu kembali membisu. Aku melihat banyak hal yang terasa abu-abu dan ambigu. Seluruhnya, berputar-putar menghuni ruang batinku.
Misteri?
Lekat-lekat kupandangi permukaan telaga mencari cermin diri. Tak kutemukan apapun di sana selain hitam gelap hamparan air dengan kilau bayangan rembulan yang menyinari.

Padanya, kulemparkan satu tanya tentang misteri. Entah di bagian mana percakapan akan terhenti.
"Seumpama aku serupa misteri, bisakah kau definisikan bagaimana misteri didalam misteri dengan sebuah rasa?"

Ia mengernyitkan alis. 

"Misteri didalam misteri?"

Lingkar mataku menatapnya sekilas. Hidupnya tergambar jelas. Hatinya telah menggetas. Entah seberapa keras jiwanya berkali-kali pecah terhempas. Dan pertanyaanku padanya, terasa seperti katalis dari pendaman katarsis. Aku tertawa miris.
"Mengapa kau tertawa?"
Dirinya kian terkepung bingung. Namun, tetap geming. Tak juga beranjak pulang.
"Aku tidak tahu apa yang kutertawai. Entah menertawai orang-orang linglung yang amnesia akan diri mereka lantas mencari mata dan mulutku sebagai alat validasi diri. Atau menertawai orang-orang yang mengikrarkan diri mereka sebagai 'belahan jiwa', kemudian berujung pada kata tak lagi bisa memahami dan berpaling menjauh dari misteri diri. Atau mungkin, aku justru sedang menertawai diriku sendiri yang belum bisa menyelesaikan teka-teki diri."

Ia bungkam. Aku terdiam.

Misteri?
Lagi-lagi, aku bertanya pada diriku sendiri. Tentang misteri diri yang tak pernah usai kuselami. Yang bahkan masih acapkali terasa samar bagiku sendiri.
"Aku rumit. Memahamiku sulit. Jadi, tak apa untuk memilih berpamit. Sebelum pikiran dan hatimu melelah. Lalu, pada akhirnya, menyisakan getir perih kata maaf sekaligus ucapan terima kasih. Seperti orang-orang berkesudah yang sekadar singgah."
Malam semakin menipis di ujung waktu. Matanya masih terpaku padaku. Entah kapan ia akan pergi berlalu. Mungkin isi kepala dan hatinya sedang berseteru. Sementara aku, tengah tak ingin mengurai sirat pesan tentangnya yang menghantam dari segala penjuru.

Desir angin kian menggigilkan tulang belulang. Pantulan cahaya rembulan yang rebah di permukaan telaga berayun terombang-ambing.
Misteri? Terkadang berjawab, terkadang ada hanya untuk dilepaskan tanpa aku harus tahu mengapa begini-begitu. Pun, alasan Tuhan menghadirkan rasa yang tak terbahasakan kata-kata didalam diriku.
Malam, masih ingin kujelajahi. Pagi, aku enggan kembali. Misteri, berikan udara untukku merasakan aliran denyut nadi dan napas diri.


-Vinny Erika Putri, Ramadhan hari ke-5.

Senin, 21 Maret 2022

Tentang Patah Hati Terhebatku

 
Tentang patah hati terhebatku,
aku bertanya pada diriku sendiri, "Patah hati terhebat apa yang pernah kualami dalam hidup?"
Lalu, ingatanku berputar tentang banyak hal: orang-orang dan kenangan yang disisakannya, rasa pahit kehilangan, cita-cita/impian yang dibunuh-paksa atau dilepaskan dengan ikhlas dan sesuatu lainnya yang sempat melukai hati.

Tentang patah hati terhebatku,
aku bertanya pada diriku sendiri, "Apakah tentang luka pengkhianatan atas cinta pertamaku atau cinta yang datang berkesudah?"
Jika memang peristiwa tersebut menjadi patah hati terhebatku, mengapa aku sanggup bertahan hidup hingga sejauh ini? Apakah kehilangan orang-orang tersebut menjadi patah hati terhebatku?

Tentang patah hati terhebatku,
aku bertanya pada diriku sendiri, "Apakah tentang luka kehilangan sebab dipisahkan kematian dengan orang yang aku sayangi?"
Jika memang rasa sakit kehilangan Simbah Putri Wonosobo, aku mengiyakan kesakitan yang nyeri perihnya tak lekang dimakan waktu hingga sekarang. Tapi, mengapa aku masih bertahan hidup sampai kini? Apakah tercabutnya bagian dari jiwaku menjadi patah hati terhebatku?

Tentang patah hati terhebatku,
aku bertanya pada diriku sendiri, "Apakah tentang membunuh paksa atau merelakan cita-cita dilepaskan demi hal lain yang mau tidak mau mesti dipilih?"
Jika memang kehilangan cita-cita/impian membuatku gamang dalam melangkah, aku menganggukkan kepala sebab pernah berada di fase tersebut. Tapi, mengapa aku masih saja gigih mempertahankan nyawa hingga detik ini?

Lantas, jauh didalam sana, sebuah suara berkata padaku, dan menjadi percakapan singkat antara aku dan dirinya. Dirinya, yang menjadi bagian dari diriku.
"Saat ini, hatiku patah."
"Karena siapa?" 
"Karenamu." 
"Karenaku? Mengapa?" 
"Kau mulai menghadirkan yang lain ketimbang diriku."
Tentang patah hati terhebatku,
malam ini aku terperangah, dan kembali bertanya pada diriku, "Patah hati terhebat apa yang pernah kualami dalam hidup?"
Langit hati tertikam ngilu. Seolah mencari jawab. Sesoal patah hati terhebat dalam hidupku.

Tentang patah hati terhebatku, 
adalah ketika aku tidak bisa melihat dan memahami diriku sendiri dengan jelas, jernih dan yakin;
adalah ketika aku tak mampu menemukan kedamaian batin bersama diriku yang autentik di kedalaman sana;
adalah ketika aku tak lagi percaya kepada diriku sendiri untuk menghadapi dan melewati segala hantaman tantangan dan kesulitan hidup yang kadang membuatku sekarat;
adalah ketika aku kehilangan keterikatan dengan diriku sehingga aku tak mampu merasakan kehadiran-Nya dalam wujud petunjuk apapun;
adalah ketika aku kehilangan diriku, yang artinya ... aku tak lagi bisa mengenali diriku sendiri, sehingga aku pun akan kehilangan-Nya.

Kemudian, aku bertanya pada semesta batinku, 
Adakah manusia lainnya yang pernah merasakan patah hati dengan diri sendiri?
Aku rasa, mungkin jawabannya tidak. 

Atau mungkin ... tentang patah hati terhebat yang terjangkau dalam pandanganku dan terasa oleh diriku, hanya bisa dipahami 1% dari populasi manusia di dunia.


-V.E.P, Dialog Malam, Monolog Diri.

Rabu, 02 Maret 2022

Ya Rabb, Aku Hanya Meminta Diri Sejatiku


Ya Rabb, aku tidak meminta orang-orang diluar diriku untuk membersamai hidupku dan bertahan disampingku sepanjang hayat. Sebab, aku menyadarinya sebagai permintaan yang mungkin sulit dan menyulitkan bagi diriku ataupun mereka.

Ya Rabb, aku tidak meminta orang-orang diluar diriku menerima dan memahamiku sebagaimana adanya diriku secara utuh-penuh-autentik. Sebab, aku menyadarinya sebagai permintaan yang mungkin akan menyiksa diriku ataupun membuat mereka kewalahan saat kata "saling" tak lagi sanggup ditemukan titik tengahnya.

Ya Rabb, aku tidak meminta orang-orang diluar diriku masuk kedalam lapisan inti diriku. Sebab, aku menyadarinya sebagai kerumitan dan kompleksitas yang amat sangat menguji kesabaran spiritual, mental dan emosional bagi mereka.

Ya Rabb, aku tidak meminta orang-orang diluar diriku sesoal cinta kasih. Sebab, aku menyadarinya sebagai hal yang mustahil terpenuhi sepenuhnya, semurni-murninya, setulus-tulusnya kecuali oleh tetesan-tetesan cinta kasih-Mu yang Kau perkenankan turun membasuh dan menyembuhkan luka-luka dalam perjalanan hidupku.

Ya Rabb, aku hanya meminta diri sejatiku. Yang Kau titipkan untuk mengarahkan jalan hidupku berjalan menuju-Mu. Yang amat sangat menerima dan memahamiku sebagaimana adanya diriku secara utuh-penuh-autentik. Yang padanya, tidak melekat kepalsuan diri apapun dari realitas dunia manusia beserta label-label yang disandangkan tatanan sosial kepada individu. Yang tidak pernah linglung akan kesejatian dirinya dan mampu melihat hitam-putih, salah-benar, secara murni-jernih-tulus.

Ya Rabb, aku hanya meminta diri sejatiku. Yang tidak pernah limbung, goyah ataupun rusak oleh serangan bertubi-tubi dari sekumpulan hawa nafsu manusia. Yang tidak bisa ditipu oleh gagasan-gagasan ilusi fatamorgana dunia.

Ya Rabb, aku hanya meminta diri sejatiku. Kawan hakiki yang mengajarkan cinta kasih-Mu disaat aku hancur lebur sendirian dan tak bisa melihat, mendengar dan merasakan sesuatu dengan kesadaran akal pikiran dan hati yang jernih, luas, mendalam.

Ya Rabb, aku hanya meminta diri sejatiku. Belahan jiwa yang selalu kurindukan hadirnya di tiap jengkal tapak kesunyian yang kutempuh.


-V.E.P, 03.03.22, dalam dekapan sunyi

Rabu, 26 Januari 2022

Manusia Tanpa Ekspektasi dan Keinginan


Hai, Vinny Erika Putri.
Tahukah kau? Apa yang seringkali membuat kita menghakimi dan menyalahkan diri sendiri sebegitu kejam?
Ekspektasi dan keinginan diri yang tidak terwujud. Serupa harapan-harapan yang dikhianati oleh realita.

Hai, Vinny Erika Putri.
Tahukah kau? Apa yang acapkali membuat kita merasa sedemikian tersakiti dan terluka entah dengan orang-orang atau situasi-kondisi dunia eksternal kita?
Ekspektasi dan keinginan diri yang tidak terwujud. Serupa harapan-harapan yang dikhianati oleh realita.

Hai, Vinny Erika Putri.
Tahukah kau? Apa yang kerapkali membuat akal pikiran, hati dan jiwa silang sengkarut terlalu lama hingga mengeruh parah dan sulit menemukan titik keseimbangan diri?
Ekspektasi dan keinginan diri yang tidak terwujud. Serupa harapan-harapan yang dikhianati oleh realita.

Hai, Vinny Erika Putri.
Tahukah kau? Apa yang kerapkali membuat kedamaian batin bergejolak tak keruan di kedalaman sana?
Ekspektasi dan keinginan diri yang tidak terwujud. Serupa harapan-harapan yang dikhianati oleh realita.

Hai, Vinny Erika Putri.
Tahukah kau? Apa yang membuat hidup terkadang tak lagi terasa hidup dan kau tak lagi menginginkan nyawa?
Ekspektasi dan keinginan diri yang tidak terwujud. Serupa harapan-harapan yang dikhianati oleh realita. Lalu, aku harus bagaimana menghadapi hidup? Dimana ambisi segala macam keinginan dan ekspekstasi kerap hadir sebagai sesuatu yang manusiawinya manusia. Apakah aku harus mengubah diriku menjadi manusia tanpa ekspektasi dan keinginan? Terdengar seperti putus asa bukan? 

Manusia tanpa ekspektasi dan keinginan? Bagus juga. Menurutku bukan putus asa. Lebih tepatnya, merujuk kepada melebarkan cakrawala batinmu menjadi sesuatu yang tak terukur keluasan dan kedalamannya. Dengan begitu, kau lebih mudah menerima semua pemberian-Nya baik suka cita maupun duka cita. Lainnya, langkahmu akan jauh lebih ringan bersebab tidak merasakan pikulan apapun di pundakmu.
Haha! Manusia tanpa ekspektasi dan keinginan, seolah aku ingin berlari dari kenyataan hidup yang tidak kuharapkan atau menghindar dari pukulan-pukulan yang terkadang membuat jiwaku jatuh dalam keadaan sekarat.

Bukan. Justru, manusia tanpa ekspektasi dan keinginan, tidak merasakan pukulan apapun karena telah mampu berdamai dengan dirinya sendiri dalam menghadapi hidup yang tak selalu terasa ramah. 
Haha! Manusia tanpa ekspektasi dan keinginan, laksana mayat hidup yang berjalan sia-sia di muka bumi tanpa ambisi untuk menghidupi hidup dengan lebih baik.

Bukan. Justru, manusia tanpa ekspektasi dan keinginan, lebih cepat selesai dengan dirinya sendiri dan berlepas diri segala keterikatan dengan orang-orang, situasi dan kondisi dunia diluar dirinya. Akal pikiran, hati dan jiwanya merdeka, berdaulat dan berdiri sendiri. Dia, tidak mudah limbung sekarat merasakan kehilangan bersebab dia sadar sesadar-sadarnya bahwa dia sendiri bahkan tidak memiliki dirinya. Dia tidak berkuasa atas hidupnya. Segala yang dijalani, segetir dan sesakit apapun adalah kehendak-Nya atas dirinya.

Manusia tanpa ekspektasi dan keinginan bukanlah mayat hidup yang berjalan sia-sia di muka bumi ini. Manusia semacam ini, telah paham cara mengendalikan atau melepaskan semuanya. Bahwa, tidak menganiaya dirinya sendiri dengan semua ekspektasi dan keinginan adalah caranya menjadi manusia bagi dirinya. Dan tidak meletakkan semua ekspektasi dan keinginan pada orang-orang diluar dirinya adalah caranya menjadi manusia yang memanusiakan orang lain.

Terakhir. Manusia tanpa ekspektasi dan keinginan, sangat paham bagaimana cara semesta-Nya bekerja dan telah sampai pada titik berserah kepada-Nya atas segala ketidakberdayaannya sebagai manusia yang tak bisa bergerak tanpa beroleh izin kuasa-Nya.

Hai, Vinny Erika Putri.
Apakah kau sudah cukup lega sekarang?
Cukup lega. Meski sebagai manusia, bisa saja aku melupakan kembali nasehat-nasehat ini. Maka dari itu, aku membutuhkanmu. Dirimu, yang berjaga di kedalaman batin sana.

Aku selalu berdiam di sini. Yang selalu menemanimu saat jatuh-hancur-menangis-menjerit hingga kembali bangkit. Aku ada, saat kau bernapas dengan tenang merasakan seluruh bagian dari dirimu sendiri. Saat kau melihat jauh kedalam batinmu tanpa penghakiman apa-apa, baik terhadap dirimu maupun dunia luarmu.


-Vinny Erika Putri, 26.01.22