Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Senin, 22 November 2021

Meskipun Begitu, Selamat Atas 35 Tahun Kehidupan Yang Sudah Dijalani

 



Hai ... Vinny Erika Putri.
Bagaimana setahun belakangan ini? Apakah menjadi tahun-tahun yang masih sama sulitnya bagimu seperti tahun-tahun berkesudah? 
Sulit. Sama sulitnya. Vinny Erika Putri membutuhkan kaki yang lebih kuat untuk melangkah; bahu yang lebih lebar untuk memikul; hati yang lapang untuk menerima takdir; jiwa yang tenang untuk menjalani kehendak-Nya tanpa tapi; dan ketajaman akal pikiran untuk memaknai setiap hikmah peristiwa yang terjadi didalam hidupnya.
Meskipun begitu, aku berterima kasih padamu yang memilih tidak menyerah dan tetap melangkah. Tantangan dan kesulitan tidak membuat jiwamu mati. Dan aku tak pernah meninggalkanmu. Aku didalam sini, memeluk seluruh bagian dari dirimu.

Hai ... Vinny Erika Putri.
Bagaimana perasaanmu setahun belakangan ini? Apakah kamu masih merasakan keterasingan dalam kesendirian? 
Entahlah, rasa nyaman akan kesendirian sekarang jauh lebih besar daripada sebelumnya. Dan terkadang membuat Vinny Erika Putri bertanya-tanya, apakah dirinya seorang manusia egois yang tidak membutuhkan orang lain dalam hidupnya atau memang kebergantungan adalah hal yang paling ditakutinya. Vinny Erika Putri yang sekarang, begitu mudah memutuskan hubungan atau menutup jalur untuk orang-orang yang sudah tidak lagi bisa dipercaya atau tidak masuk dalam "lingkar wilayah" kepeduliannya.
Meskipun begitu, aku berterima kasih atas sifat welas asihmu terhadap orang-orang terdekat dalam lingkar wilayah kepedulianmu, yang bahkan kepada mereka, kamu masih melakukan pengorbanan diri.

Hai ... Vinny Erika Putri.
Apa harapanmu ke depan menapaki usia 36 tahun? Adakah hal-hal yang ingin kamu capai?
Entahlah, rasanya tidak ada. Vinny Erika Putri seperti kehilangan ambisi yang menggebu-gebu. Vinny Erika Putri ingin lebih benar-benar menghidupi apa yang bisa dihidupi, merasakan apa yang sedang dijalaninya di saat ini, dan membiarkan masa depan mengalir begitu saja bersama Semesta-Nya.
Meskipun begitu, aku berterima kasih padamu yang tetap tidak menolak penglihatan-penglihatanmu dalam rancangan visi masa depan. Kamu hidup menetapkan tujuanmu dari kemampuan itu. 

Hai ... Vinny Erika Putri.
Hidup memang tak selalu menempatkanmu pada rentang masa baik-baik saja. Hidup terkadang memaksamu bertumbuh dan bertransformasi dari penerimaan kepahitan-kepahitan yang ada. Hidup pula yang membentuk kelenturan dan ketahanan mentalmu. Dan aku paham benar, rentang waktu 35 tahun adalah sekumpulan masa-masa yang tidak selalu membahagiakan bagimu.

Meskipun begitu, selamat atas 35 tahun kehidupan yang sudah dijalani.

Tetaplah hidup dengan baik. Hidup menghidupi hidupmu sehidup-hidupnya. Temukan selalu pelita didalam dirimu dari setiap episode kegelapan yang menghampiri hidupmu. Aku, didalam sana, selalu terjaga membersamaimu setiap saat.


-Vinny Erika Putri, 23.11.21 yang semestinya ucapan selamat ini diberikan di tanggal 14.11.21 dari diriku, untuk diriku.

Sabtu, 23 Oktober 2021

Hidup Menjadi dan Sebagai Manusia

 



Kau tahu, wahai sisi terangku? Selain kehadiran dirimu, aku merasakan degup jantung yang lain. Ia hidup berdenyut-denyut jauh didalam sana. Sesuatu yang tak terlihat namun selalu membersamaiku. Entah sejak kapan ... ia kurasakan berjaga untukku dalam tidurnya. 

Sisi gelap. Ia tumbuh dan berkembang semakin kuat dari dari masa ke masa. Sebanding dengan pancaran sisi terang yang tampak tenang berkilau di permukaan. Jantungnya berdetak lebih keras dan cepat ketika seseorang berusaha melewati garis batas buatanku. Terutama jika seseorang itu adalah pria. Detak jantung pertahanan diri yang bercampur dengan kemarahan dan kecurigaan. Ia terbangun, seolah hendak menguji bagi siapapun yang berniat mengenal diriku. Aku menjadi lebih rumit dan sulit ditangani dari sebelumnya. Dan ... kebanyakan yang berkesudahan, orang-orang memilih pergi berpamit. 

Sebelumnya, aku tak memahami mengapa ia sering menampakkan diri dengan pola semacam itu. Kini, aku telah bisa mencernanya. Bahwa, ketika seseorang mulai melihat sisi terangku dan tertarik dengan pancaran luarku, ia merasa terganggu. Sebab, ia memiliki ruang autentik yang sama besar dan berharganya seperti pancaran luarku. Bahkan ... ia menyeringai tersenyum memainkan peranannya didalam sana. Ia hidup dari energi emosional bekas luka-luka pengkhianatan yang pernah terjadi. Dari lingkar hubungan apapun yang pernah dialaminya. Entah hubungan keluarga, asmara, persahabatan ataupun pertemanan. Ia menyeleksi siapa saja yang sanggup memahami kegelapan yang dihasilkan dari refleksi dirinya. Ia, yang membuatku kesulitan untuk mempercayai orang-orang dan membutuhkan rentang waktu yang lama untuk bisa meloloskan mereka dalam lingkar orang-orang terpercaya di ring kedua, setelah diriku sendiri. Ia membaca orang-orang dari balik tirai yang tersembunyi. Dirinyalah yang melindungi kerapuhanmu, wahai sisi terangku. Ya, sisi terang yang dilihat banyak orang sebagai sosok kuat sempurna. 

Ketika ia ingin sekali bertukar tempat denganmu, tak ada orang-orang yang tahu. Kau, sisi terang, masih bisa menahannya dengan akal sehat kata-kata sekalipun aku tengah berada di lingkungan manusia-manusia yang memuakkan, penuh kepalsuan dan ketidakjujuran. Tapi aku bisa merasakannya dari getaran tangan yang sedemikian keras mengendalikan kemarahan diri dan mengubah warna energinya dalam bentuk nada kata-kata yang lebih tegas-tajam. Ia tak mengambil banyak ruang untuk meledakkan diri lebih dari ruang yang kau berikan. Ia hanya melepaskan riak kecil yang menandai bahwa dirinya hidup dalam satu sosok yang sama denganmu.

Kaulah yang terus melembutkan sisi kejam dari keinginannya balas dendam atas luka-luka yang pernah tertoreh dalam dirinya. Kau, seringkali meredam segala yang ingin ia keluarkan dari luka-lukanya. Bahkan hanya untuk mendoakan suatu keburukan untuk para bedebah itu ... kau pun tak bersepakat. Kau, terus berusaha keras merangkul diriku untuk berwelas asih terhadap diri sendiri juga orang lain. Sementara ia mengajariku bagaimana cara bertahan hidup dari kegilaan luka hati dan jiwa yang didapatinya dari kehidupan. Pula, dirinyalah yang membuatkanku jalan untuk menghindari kehancuran diri dari pengalaman hidup sebelumnya yang nyaris membuatku kehilangan makna dan arti hidup. 

Ia tak ingin aku amnesia akan diriku sendiri. Ia sanggup melatihku menjalani hidup tanpa atribut apapun yang terlahir dan diciptakan oleh para manusia. Bahkan, sanggup menjadi hal yang menakutkan bagimu, wahai sisi terang. Ya. Menakutkan, ketika rasa takut berhasil ditiadakan dirinya. Karena ... ia bisa membuatku tak memberikan cinta pada pria manapun dan hanya memilih dicintai; mendorongku menjalani pernikahan tanpa cinta, tanpa kehadiran anak serta mengakhirinya dengan mudah; atau bahkan hingga titik terekstrim ... membuatku menjadi seseorang yang hanya berdiri dan memilih diriku sendiri seumur hidupku tanpa karib kerabat juga teman.

Jadi, biarkan ia hidup, sampai tersembuhkan benar-benar melalui seleksi alam atas seseorang yang memang diperuntukkan menyembuhkannya. Dan, kalian tidak perlu saling membunuh atau meniadakan. Cukuplah keberadaan kalian menjadi pengingat bagiku. Ya. Pengingat. Ingatkan aku untuk tetap hidup.

Hidup menjadi dan sebagai manusia.


-Vinny Erika Putri, 23.10.21

Sabtu, 25 September 2021

Apakah Kau Pernah Merasakan Jatuh Cinta?

 



Tanyamu padaku, pada suatu waktu, di ruang sunyi, ketika terkepung bingung atas rasa yang hadir di hatimu,
Apakah kau pernah merasakan jatuh cinta?
Lama aku termenung, membuka satu persatu lembar ingatan dalam buku kisah pengalaman hidupku. 

Aku bertanya balik,
Cinta? Cinta seperti apa yang kau maksud? Cinta sepasang wanita dan pria? Entahlah.

Sampai sekarang, ketika kau menanyakan sesoal cinta, aku sendiri masih tergagap-gagap mencernanya. Aku mempertanyakan diriku sendiri. Apakah aku memang pernah benar-benar mencintai seseorang? Benarkah perasaan di masa lalu yang sempat kucecap adalah cinta? Cinta semestinya tidak menyisakan bekas luka pengkhianatan yang gelap. Cinta seharusnya bisa meninggalkan kebaikan didalamnya sekalipun takdir-Nya tidak mengizinkan dua orang pecinta bertaut dalam jiwa-raga untuk mengarungi hidup bersama sepanjang usia. Ah, tapi, aku lagi-lagi berkata seharusnya. Tentang idealisme kesetiaan, loyalitas dan komitmen yang lebih mungkin terdengar menyuarakan personal values diriku.

Belum juga kutemukan jawaban untuk diriku sendiri, kau masih bertanya mencari ketegasan dari sekadar jawaban keentahan yang kuberikan, lebih jelas dari pertanyaan sebelumnya,
Apakah kau pernah merasakan jatuh cinta pada seorang pria?
Sejenak, aku membisu. Aku mencari jawaban aman untukmu agar tak melewati garis batas sekaligus menemukan jawaban yang sebenarnya untuk diriku sendiri.

Kata-kata meluncur dariku,
Dulu, mungkin. Sekarang, tidak sedang merasakan perasaan apapun dengan siapapun.
Setelahnya, kau terdiam. Tahukah kau? Bahkan, untuk mengatakan kata "mungkin" pun terbesit keraguan yang besar dalam hati dan kepalaku. Aku masih mengurai segenap rasa yang pernah singgah dalam kisah usang masa silam.

Kukira, kau tak akan lagi bertanya. Tapi, tampaknya, kau belum puas menggali diriku lebih jauh lagi,
Lalu, pria seperti apa yang bisa membuatmu jatuh cinta?

Aku mulai meradang. Kujawab sekenanya,
Jika aku mencintai seseorang secara terang-terangan sebanyak 100 persen, maka orang tersebut pun harus mencintai diriku dengan persentase yang sama. Sayangnya, belum kutemukan manusia yang bisa menghadapi wanita sinting sejenis aku. Kecuali jika aku mencintai seseorang dalam diam, tak perlu ada persentase didalamnya. Karena cinta semacam itu ... lebih mudah bagiku untuk melepaskannya.

Kau bungkam. Mati kata-kata. Suasana hening. Sementara aku kembali menenggelami hati, jiwa, pikiranku sendiri. Jawabanku, mungkin lebih terdengar menyiratkan kekecewaan. Tapi benarkah aku telah banyak menelan kecewa sesoal cinta? Ah, bukan itu pertanyaan utamanya. Tarikan pertanyaan yang lebih mendasar lagi dari pertanyaan sebelumnya adalah, benarkah aku pernah benar-benar merasakan jatuh cinta? Atau yang kukecap selama ini hanyalah obsesi kepemilikan dari dua orang yang masing-masing saling mengikrarkan diri terikat pada suatu hubungan asmara?

Apakah kau pernah merasakan jatuh cinta?

Pertanyaan darinya membuatku menelisik diriku sendiri lebih dalam. Aku merunut hubunganku di masa lalu dengan 2 orang pria sepantaran usiaku, yang kini malah membuatku sangsi dan mempertanyakan kebenaran rasa yang dulu kunamai cinta.

Kurasa dan kupikir, kesemuanya hanyalah racun obsesi kepemilikan yang mengacaukan nalarku dalam berperasaan. Aku mengabaikan hak pemenuhan kesejahteraan mental, jiwa dan hati untuk diriku sendiri. Aku mengorbankan diriku sendiri dalam banyak hal demi sebuah obsesi kepemilikan agar diri mereka tetap erat tergenggam. Pun sebaliknya, obsesi kepemilikan mereka atas diriku sampai mereka menemukan wanita lain yang bisa memenuhi kebutuhan mereka yang tidak bisa kupenuhi. Obsesi kepemilikan yang pada akhirnya, hanya menyisakan hal yang sama: kepergian dan pengkhianatan.

Apakah kau pernah merasakan jatuh cinta?

Pertanyaanmu terngiang-ngiang. Dan aku sudah mampu menjawabnya dengan yakin. Aku belum pernah merasakan jatuh cinta yang sebenar-benarnya cinta. Semuanya hanya fatamorgana yang disuguhkan oleh ilusi perasaan. Bentuk lain dari obsesi kepemilikan manusia atas diri orang lain termasuk obsesi atas kendali hidupnya. Diawali dari rasa kagum yang memproyeksikan gambaran sosok pria ideal dalam angan-angan diri. Atau suatu pengharapan diri yang terlampau tinggi bahwa orang tersebut bisa memenuhi rongga kosong atas luka-luka batin yang tersembunyi dalam hati. Lantas, kesemuanya itu, terus merepetisi diri sehingga perasaan memvalidasinya menjadi sebuah rasa yang dianggap cinta.

Lalu, pria seperti apa yang bisa membuatmu jatuh cinta?

Entahlah. Aku tak membayangkan sosok pria manapun. Bahkan, mencari jawaban ini dalam kepala, rasanya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Hanya menambah-nambah pening hidupku. 

Kini, aku, lebih peduli pada diriku sendiri. Diriku adalah sosok yang paling ingin kulindungi sekaligus kusembuhkan dari luka-luka apapun. Termasuk, menjaga diri agar tak terjebak dalam pusaran lingkaran obsesi kepemilikan yang mengkamuflasekan diri atas nama cinta. Jadi, aku akan lebih dulu dan selalu mencintai diriku sendiri secara sadar, utuh dan penuh sebelum aku mencintai makhluk apapun di muka bumi ini.


-Vinny Erika Putri, 13.10.21

Kamis, 16 September 2021

Yang Kutakutkan Dari Kematian

 


Kematian ... apa yang kutakutkan darinya? Sakitnya sakaratul maut? Tidak bisa lagi melihat orang-orang yang kusayangi karena telah berpindah dunia? Menjalani kehidupan asing yang menakutkan di alam kubur sambil menunggu hari kebangkitan? Siksa kubur karena mati dalam keadaan tercela? Bayangan neraka yang sudah diperlihatkan di alam kubur karena timbangan dosaku lebih berat? 

Bukan. 

Ada banyak hal yang lebih mengerikan daripada itu. Tahukah kau, Wahai Dunia Fatamorgana, apa yang kutakutkan dari kematian?

Adalah kematian dalam beberapa keadaan: 
Mati meninggalkan janji yang belum sempat kupenuhi. Mati tanpa pernah mengetahui di jalan kehidupan mana yang sebenarnya Sang Maha Cahaya inginkan untuk diriku menghaluskan lelaku dan berwelas asih terhadap sesama. Mati dengan kebodohan karena terlambat menyadari bahwa aku telah lama menjadi mayat hidup di tempatmu yang sekarang tengah kupijaki. Mati sebelum berhasil menemukan makna keberadaan diri.

Tapi, lagi-lagi, aku bertanya-tanya, pada diriku yang ada di dalam sana ... benarkah itu adalah hal-hal yang paling kutakutkan dari kematian? Sepertinya bukan.

Ada hal yang paling gelap, hitam dan mengerikan dari sebuah kematian. Lebih dari semua hal yang telah kupikirkan sebelumnya. Dan rasanya bisa menjadi siksaan terberat bagiku ketika aku tahu akan menjalani kehidupan baru yang asing sama sekali kelak di alam sana.

Aku takut. Sangat takut.

Aku, takut mati dalam keadaan amnesia terhadap diriku sendiri. Aku, takut mati dalam keadaan bertengkar dengan seluruh bagian dari diriku. Aku, takut mati dalam keadaan terputus dari diriku sendiri. Aku amat sangat takut kehilangan keterhubungan dengan diriku yang ada didalam sana. Hal semacam itu, lebih membingungkan dan mengerikan dari apapun. Bahkan dari kematian itu sendiri.

Karena ... saat aku terputus dari diriku sendiri, aku tak akan mampu lagi merasakan cinta kasih-Nya yang lebih besar dari murka-Nya. Aku akan kehilangan tali pegangan dan nyala pelita-Nya yang membuat kematian tampak menakutkan dan tak pernah kuingini.

Aku takut ... saat aku terputus dari diriku sendiri, aku tak bisa menemukan jalan pulang kembali menuju-Nya dan hanya berputar-putar dalam labirin tanpa ujung jalan keluar. Siksaan dan hal-hal mengerikan yang para pendogma agama katakan tentang azab dan dosa ... aku tak peduli. Bahkan, penilaian dan timbangan manusia tentangku yang lahir dari labelitas profesi atau penokohan masyarakat setingkat ustadz, kyai atau pemuka agama sekalipun, entah itu baik ataupun buruk ... pahala ataupun dosa ... aku sungguh tak peduli!

Bagiku, asalkan Sang Maha Penyayang masih sudi melihat, mengawasi dan tidak mengabaikanku ... aku tak akan merasakan kematian yang dingin lagi menakutkan.


-Vinny Erika Putri, 16.09.21

C.A.N.D.U

 


Di pelataran sunyi, kumainkan serangkaian melodi yang menjadi detak nadiku. Senandung nadanya melepaskan rasa yang gelap, halus, jujur dan mengharu biru. Lantas, pada suatu malam, kudengar gemerasak reranting terinjak oleh derap lirih sepasang kaki milik seorang pemburu. Suaranya, merambat di udara dan bercampur dengan alunan laguku. Rupa-rupanya, nada-nada diri yang menyenandungkan misteri kehidupan telah menarik langkahmu padaku. 

Kau menemukan sosokku. Cukup lama tubuhmu membeku. Matamu berbinar terpukau. Menyaksikan seorang perempuan dalam balutan gaun hitam dan rambut panjang terurai, berdiri di bawah naungan purnama yang menyinari seluruh penjuru. 

Sirat matamu bertanya-tanya, siapa sesungguhnya diriku. Seseorang yang tak pernah kau temukan dalam gemerlap panggung dunia penuh sorot lampu. Sementara aku, tak acuh dan terus saja memainkan melodiku. Sampai, kau timpali euforia sunyiku dengan riuh tepuk tanganmu.

Lingkar matamu kurasai memburu. Kau, berusaha keras menelisik kehidupan macam apa yang berdenyut didalam diriku. Pun, telingamu terjaga mencari-cari kisahku diantara belantara kisah kehidupan manusia yang terlantun dalam melodiku. Sayangnya, tak ada rasa percaya yang bisa kubagi denganmu. Kau, tak akan bisa membaca kidung tentangku. 

Tapi, kau ... lelaki berkepala batu. Berkali-kali setelahnya, kau muncul mengacaukan malamku. Pula, membuat gaduh irama laguku. 

Hingga pada satu masa, amarahku tetas menggebu-gebu. 
Hei, kau! Apa yang membawamu kerap kali singgah melihatku?! Aku, bukanlah buruanmu!

Katamu padaku,
Kau adalah candu. Yang hadirnya tak bisa kuabaikan dalam tiap degup jantungku. Entah sejak kapan waktu.

Aku diam membisu. Candu sejenis itu pernah membuatku sekarat semasa dahulu. Dan sosokku yang sekarang, tak akan limbung terpanah oleh racun candu yang terlontar dari bibir-bibir manusia sepertimu.

Dalam-dalam kutatap matamu, lantas tersenyum dengan gumam kata-kata yang tak akan pernah kau tahu,
Kau, tidak akan kuat menghirup candu serupa diriku. Aku rumit dan sulit terdefinisikan oleh kepalamu. Kau tak akan bisa sabar untuk menerima dan memahami seluruh bagian dari diriku. Kebosanan akan mengepungmu. Atau bahkan, kengerian yang tak kau sangka bisa saja mengagetkanmu. Hingga pada akhirnya, dirimu akan mundur karena tertelan takut dan ragu.
Kau menunggu jawaban dari bibirku. Namun, kau tak mendengar kalimat apapun selain nada-nada asing yang semakin sukar dimengerti olehmu. Kata-kata hanya menggema dalam semesta batinku.

Aku, kembali memainkan melodiku. Dengan gubahan nada-nada merah, hitam, biru dan ungu. Kini, aku sudah tak lagi peduli, apakah kau masih akan singgah berdiam di sini atau perlahan-lahan pergi memunggungiku. Mataku, sudah tak lagi hirau pada sosokmu. Kita, hanya akan menjadi perulangan kisah tanpa titik temu. Seperti candu di masa lalu.


-Vinny Erika Putri, 16.09.21

Selasa, 07 September 2021

Garis Batas

 



Matanya mendapati sosokmu
Berdiam di belantara sunyi yang tak bisa dicernanya

Dipanggilnya dirimu dengan tiga huruf "H-e-i" 
Lantang dan dipanjangkan, berulang-ulang
Lantas, langkah kakinya memendekkan jarak kalian

Ia menghampirimu dengan wajah riang bagai anak kecil
Yang menemukan teman berpetualang untuk memecahkan teka-teki kehidupan

Lambat laun, sesuatu kau rasakan berbeda
Kau menyadari, jiwa anak-anaknya telah ia tanggalkan pelan-pelan
Ia menujumu dengan perasaan yang sungguh tak ingin kau definisikan

Bibirmu melengkungkan seulas senyum padanya
Sembari memundurkan langkah depa demi depa
Ketika garis batas hendak ia lampaui tanpa sadar

Keningnya berkerut, mata lelakinya seolah bertanya, 
Mengapa aku tak pernah benar-benar tahu bagaimana diriku di dalam dirimu?
Kau hanya memberikan tatapan mata yang tak bisa ia tebak
Di belakang sana, dalam dunianya, seseorang yang terkulai lemah membutuhkannya sebagai pijakan dan topangan
Ah, tak hanya seseorang, tapi berorang-orang yang dalam tubuh mereka mengalir darah dirinya

Diammu membuat alisnya semakin bertaut, hingga kau, lagi-lagi, mengatakan hal yang sama kepadanya,
Pulanglah, aku sedang tak ingin mengurai teka-teki apapun.
Ia pun pergi, memunggungimu untuk pulang
Lalu, kau mengembuskan napas yang terdengar berat

Hatimu tahu, sementara hatinya tidak
Kau, pernah mendapatkan sebuah tikaman luka
Yang rasa sakitnya melekat kuat dalam ingatan
Dan membuatmu berjanji pada dirimu sendiri
Bahwa ... belati itu, tak akan kau tancapkan 
Pada hati yang lain dari jenis yang sama seperti dirimu
Tidak akan pernah!

Ujarmu, padanya, dalam ruang batinmu yang kedap suara,
Kau, tolong ... bantu aku tuk memegang janjiku erat-erat
Kita, tetaplah melihat garis batas sebagai keindahan
Dan cara kita menjaga apa yang semestinya terjaga
Agar semesta tak mengutukku sebagai seorang yang ingkar


-Vinny Erika Putri, 07.09.21

Kamis, 02 September 2021

Melihat Hidup Sebagai Satu-Satunya Pilihan

 


Pukul aku hingga jatuh tersungkur
Injak aku hingga ke titik terendah
Banting aku hingga remuk redam
Cabik aku hingga koyak moyak
Tikam aku hingga darah mengalir
Pecahkan aku hingga menyerpih 
Di bagian manapun dari jiwa dan hatiku

Aku pasti akan merasakan ketakberhargaan diri
Aku pasti akan kehilangan makna hidup dan kehidupan
Aku pasti akan mendengar teriakan dari hati dan jiwa yang kesakitan
Aku pasti akan bertengkar dengan seluruh bagian diriku didalam sana
Aku pasti akan mempertanyakan hidup dan kehidupan yang kujalani

Tapi, tak apa ... silakan saja!
Dorong aku, sampai ke tempat yang paling dasar 
Atau bahkan ke dalam jurang kegelapan yang menakutkan
Hingga seluruh rasa dan kata-kataku lenyap tak berjejak
Lakukanlah, sesuka kalian, Wahai Dunia Fatamorgana

Lakukanlah!
Sampai aku hanya melihat hidup sebagai satu-satunya pilihan
Untukku kembali bangkit memulai perjalanan dari titik nol
Menerangi lubang gelap bekas luka-luka dengan cahaya
Melampaui kegelapan yang paling gelap dari hari-hari gelap
Dan menertawai semua hal yang pada awalnya menyakitkan


-Vinny Erika Putri, 03.09.21

Persinggahan Kisah


Aku kepada kalian:
Aku tak ingin menjadi sebuah penjara
Pula enggan menjadi simpul-simpul tali
Aku bukan majikan, kalian bukan kacung
Aku bukan pemimpin, kalian bukan pengikut
 
Kalian kepadaku:
Janganlah menjelma teralis-teralis besi
Ataupun bermacam jenis rupa tali temali
Aku bukan kacung, kalian bukan majikan
Aku bukan pengikut, kalian bukan pemimpin

Datanglah jika kalian ingin kenal dan mengenali
Pergilah jika kalian tak lagi sanggup memahami

Kita hanyalah persinggahan kisah
Yang bergerak dalam siklus datang dan pergi
Untuk menemukan ujung perjalanan semesta kehidupan


-Vinny Erika Putri, 02.09.21

Rabu, 01 September 2021

Aku Melihatnya, Di Matamu: Sunyi yang Perih

 



Apakah kau merasakan hidupmu benar-benar berbahagia dan terisi penuh? Atau, kau orang yang kerap mengabaikan kebahagiaan dirimu demi menjaga keberlangsungan hidup orang banyak?

Apakah kau merasakan hatimu terisi penuh oleh orang selain dirimu dengan segala perwujudan dari kata "saling"? Atau kau acapkali menjalani segalanya sepihak, satu arah dan sendirian?

Apakah kau pernah berada di titik terentah yang membuatmu merasa ingin menyerah menghidupi hidup? Atau kau seringkali berlari dari perasaan rapuhmu dengan melakukan banyak hal yang kau anggap bisa melupakan semuanya sebagai caramu bertahan hidup?

Apakah kau benar-benar merasa dikelilingi teman-teman yang tulus dan sanggup memahami jiwamu? Atau kau memang tak membutuhkan hubungan semacam itu untuk memperpanjang pelarianmu?

Apakah kau benar-benar tak ingin meneriakkan penat hidupmu sebagaimana yang kerap kau rasakan? Atau, kau tak memiliki ruang katarsis untuk mengatakan pada dunia tentang apa yang kau peram jauh didalam sana?

Ah, betapa sedemikian peliknya hidupmu.

Aku melihatnya, di matamu: sunyi yang perih.

-Vinny Erika Putri, 01.09.21

Kamis, 19 Agustus 2021

Narasi Keberadaan Diri


Lagi, aku bertanya, kepadamu yang berada didalam sana,
Apa itu hidup dan kehidupan?
Bagaimana berkehidupan yang hidup sehidup-hidupnya?
Apa tujuan kita hidup?
Bagaimana tujuan hidup menghidupi kita?
Apa yang mengisi hidup kita?
Bagaimana hidup mengisi kita?
Apa yang bercahaya dari hidup?
Bagaimana hidup memaknai cahaya?
Apa yang gelap dari hidup?
Bagaimana hidup memaknai kegelapan?

Kali ini, aku bertanya dengan teriakan lebih kencang kepadamu,
Apa itu makna kehidupan?
Bagaimana kehidupan memaknai makna?
Apa itu kebermaknaan hidup?
Bagaimana kebermaknaan memaknai hidup?
Apa yang kita perjuangkan dalam hidup?
Bagaimana hidup yang kita perjuangkan?

Aku terkepung bingung, kau masih tetap bungkam ...
Hei, diriku, jelaskan padaku, tentang narasi keberadaan diri.

Sunyi beberapa jenak.


Terdengar suara,
Narasi keberadaan diri. Apa itu narasi keberadaan diri? Memangnya, siapa dirimu? Dunia ini sudah penuh dengan ilusi-ilusi eksistensi diri yang diagung-agungkan melalui cahaya, kebermaknaan dan tujuan hidup yang material, dangkal, temporer dan fana. Lampaui dulu fatamorgana-fatamorgana dan ke-bias-an yang tengah kau lihat.

Ah, suara itu menghantam isi kepalaku. Pengar terasa.


-Vinny Erika Putri, 10.08.21

Rabu, 18 Agustus 2021

Tentang Teralienasi, Asing dan Sendiri

 



Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Aku berkali-kali bertanya pada diriku sendiri. Apakah perasaan semacam ini normal? Apakah ini dampak adanya luka batin yang belum kukenali untuk kusembuhkan? Ataukah ada kemungkinan lain dari keterasingan yang kadang kurasakan di episode tertentu dalam hidup.

Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Apakah aku seorang sociopath? Atau intovert dengan HSP akut yang tidak bisa menyeimbangkan diri dalam lingkungan sosial? Nyatanya, realita yang terjadi dan kurasakan tidak begitu. Aku tetap bisa bersosialisasi layaknya manusia normal yang membutuhkan interaksi sosial dengan sesama manusia. Aku mampu menjalani peran sosialku dengan baik dan menangani rintangan-tantangan yang sulit menurut orang-orang di sekitarku. Aku sanggup menyelesaikan konflik atau permasalahan yang terjadi di lingkungan sosial tempatku bekerja dan mengabdi dengan solusi yang diterima akal sehat dan manusiawi bagi kemanusiaan.

Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Aku memahami bagaimana jiwa orang-orang di sekitarku. Aku mampu melihat dan membersamai apa yang mereka rasakan. Kebanyakan dari mereka, merasa bebas-aman-nyaman-lega melepaskan beban emosional mereka melalui kisah-kisah yang mereka titipkan padaku. Aku telah lebih dulu mencapai jauh di depan sana. Tentang titik abu-abu yang mereka rasakan daripada mereka sendiri melalui gambaran perasaan mereka yang kutangkap dengan tepat, hingga akhirnya, mereka bisa lebih jelas memahami diri mereka sendiri. Tapi, ironisnya, bagiku, sungguh sulit, menemukan orang dengan gelombang pemahaman yang sama seiring aku bertumbuh dan terus bertumbuh dari rentetan panjang pengalaman hidupku. Kebanyakan dari mereka hanya sanggup melihat di permukaannya saja dan tak bisa menggapai diriku lebih dalam. Aku lebih sering merasa terasing ketika mesti menjabarkan apa yang ada dalam pikiranku dan apa yang kurasakan tentang banyak hal.

Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Kadang, aku pun merasakan kegilaan sangat, ketika aku sendiri berada di titik abu-abu yang tak bisa kupahami dan kutemukan maknanya. Keterasingan terhadap diri sendiri di fase-fase tertentu adalah hal yang paling menyiksa yang pernah kualami. Berbicara pada orang lain pun terasa percuma. Sebabnya, aku sudah bisa lebih dulu merasakan gelombang mereka tidak beresonansi denganku. Atau dengan kata lain, persepsi, pemikiran, dan wawasan kami berbeda tingkatan. Aku bukan meremehkan mereka atau tidak mempercayai mereka. Hanya saja, aku telah belajar dari babak kehidupan yang berkesudah, ketika aku bercerita pada orang yang tidak berada pada gelombang yang sama, kebingunganku justru akan semakin bertambah. Apalagi, jika yang mereka lakukan hanya menghakimiku dengan dogma atau doktrin agama yang dalam laku hidup mereka sendiri hanya sebagai "hafalan" bukan pengalaman. Mirisnya lagi, aku melihat dengan jelas, mengenali diri sejati mereka sendiri saja masih terbata-bata. Pula, memisahkan ego diri mereka sendiri pun masih tergagap-gagap. Akhirnya, semua berhenti pada percakapan dangkal (bagiku) tanpa makna apapun yang bisa mengisi atau mencerahkan jiwa spiritualku.

Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Lantas, apakah aku menyalahkan orang-orang yang tak sanggup memahamiku atau berpemahaman dangkal? Tidak. Aku menghormati mereka tanpa harus menelan semua opini dan menjadikan core values mereka sebagai milikku. Dangkal atau tidaknya aku pun tidak tahu. Yang aku pahami, mereka bergerak dengan core values yang berbeda denganku sehingga pemikiran dan perasaan mereka dalam mempersepsikan dan menggambarkan sesuatu pun berbeda denganku.

Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Sampai kini pun, kadang, aku, masih mengalami hal-hal seperti ini. Aku bahkan bertanya pada diriku lebih ekstrim, apakah aku tidak memiliki rasa kasih sayang pada orang-orang terdekatku sehingga membuatku merasa teralienasi, asing dan sendiri? Ataukah aku tidak bisa merasakan cinta dari orang lain? Hatiku menjawab, aku menyayangi mereka dan merasakan kasih sayang mereka. Tapi, bukan itu poinnya. Sepeduli apapun mereka terhadapku ataupun sebaliknya, tetap, belum kutemukan seseorang yang mampu berada dalam intensitas kedalaman pemahaman atau frekuensi yang sama persis dengan seluruh bagian dari diriku: hatiku, jiwaku, akal pikiranku.

Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Terasa amat sangat menyesakkan ketika diri berada pada fase tersebut. Bukan karena ketakutan akan kehilangan keterhubungan dengan orang-orang terdekatku atau lingkunganku. Tetapi, kecemasan akan kebingungan yang bisa saja merenggut diriku sendiri menjadi sesuatu yang tidak lagi kukenali. Kesepian paling menakutkan justru ketika aku tak lagi merasa penuh-utuh-terisi oleh diriku sendiri. Sebab, di titik itu, aku tak bisa menemukan petunjuk apapun dari-Nya. Aku kehilangan makna hidup. Dan warna semesta menjadi lebih gelap dari jiwaku sendiri kala itu.

Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Tak semua orang pernah bisa memahami hal seperti ini. Kebanyakan yang terjadi, mereka teralienasi, asing dan sendiri ketika mereka kehilangan keterhubungan dengan orang-orang sekitar dan justru merasa ketidaknyaman berdiam lama bersama diri mereka sendiri. Sementara aku? Adalah orang yang berkebalikan dari orang-orang umum. Yang lebih tenang dan terisi penuh ketika berdiam lama membersamai seluruh bagian dari diriku, melihatnya dengan jernih, sejernih-jernihnya.

Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Adalah, ketika aku tak bisa melihat dengan jelas aku didalam diriku sendiri. Ketika aku tak mampu menangkap atau mendengar pesan yang ingin disampaikan aku didalam sana melalui keasingan yang tengah hadir. Dan, ini, sangat menyedihkan.


-Vinny Erika Putri, 18.08.21

Selasa, 17 Agustus 2021

Abu-Abu



Abu-Abu. 
Tak apa ketika kamu merasakan sesuatu yang terasa abu-abu didalam dirimu. Yang tak bisa kau tegaskan atau maknai dengan hitam gelap atau putih terang. Tentang keasingan perasaanmu. Tentang keburaman pikiranmu. Tentang sesuatu yang berdiam jauh didalam dirimu yang belum kau kenali dengan baik.

Abu-Abu.
Tak selalu muram. Tak selalu kelabu. Ini adalah awal untukmu keluar dari warna hitam putih. Dan menemukan spektrum warna yang lebih luas dengan komposisi yang indah layaknya pelangi.

Grey.
It's okay feeling unknown or getting lost inside your mind. This feeling is just temporary. Accept it as a part of your journey. Thus, everything can be more clear step by step. 

Grey.
It's okay feeling grey. The flower inside you will blossom when you grow up from even unknown feelings and minds at this moment. Don't stop, keep moving on. Flow with your intuition to find the light. That is the thing you can do to see the unknown.


-Vinny Erika Putri, 17.08.21

In Silence When I'm Getting Lost Inside My Mind!

 


In silence ...
I put on my mind here
Trying to speak loudly
But I can't hear anything
Just feel hurts in the depth of my heart

In silence ...
I hide and give myself space here
Trying to talk to me inside there
But I can't tell anything
Just feel emptiness and the unknown of my mind

In silence ...
Haha!
Am I laughing?
Am I crying?
Am I happy?
Am I sad?
Am I angry?

In silence ...
I can't answer the Why-Question
About the emptiness
About the pain
About the happiness
About the grief
Even about the anger
Here, and now, I'm getting lost inside my mind!

In silence ...
At this moment, that is the crazy thing that scares me a lot lost myself 

-Vinny Erika Putri, 17.08.21

Sabtu, 14 Agustus 2021

#8. Surat Untuk Diriku Tentang Berita Hari Ini

  


Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini kamu sedang tidak baik-baik saja. Adakah hal yang ingin kamu ceritakan tentang bagaimana rasamu melihat pemakaman rekan kerjamu hari ini? Aku di sini, hadir mendengarkanmu dan membersamai perasaanmu.
Tepatnya jelang tengah malam, hari Jum'at, aku dikagetkan dengan berita kematiannya. Aku memang tak mengenal dekat sosok dirinya. Tapi, ia tetaplah bagian dari anggota keluarga besar Yayasan Pendidikan Islam yang menaungi kami. Kami amat sangat jarang bertemu dalam keseharian karena kami bekerja di satuan pendidikan yang berbeda. Beliau di satuan pendidikan MDTA, sementara aku di satuan pendidikan PAUDQ. Momen pertemuan dan kebersamaan kami hanya pada saat acara besar akhirussannah dan pelepasan siswa yang menjadi agenda rutin tahunan di yayasan tempat kami bekerja.
Lalu, apa yang membuatmu setertohok itu?
Kisah-kisah dari para tetangganya, tentang kehidupannya yang baru kuketahui siang tadi. Beliau adalah tulang punggung keluarga, yang memiliki cita-cita tinggi untuk bisa menjadi sarjana. Beliau membiayai dirinya, juga adik perempuannya yang tengah berkuliah di semester 2. Beliau berusaha begitu keras selepas kakak pertamanya telah lebih dulu tiada. Beliau melupakan kebutuhan jiwa dan raganya demi cita-cita dalam hidup dan kesejahteraan keluarganya. Dan ketika seorang tetangga mengatakan, bahwa dosennya datang membawakan selempang bertuliskan Alfiyah, S,Pd., hatiku tertikam perih. Beliau baru saja menyelesaikan sidang skripsinya.  
Lantas, saat keranda jenazahnya mulai dipandu orang-orang, aku berdiri disusul rekan kerjaku yang berada disampingku. Tangan kami saling menggenggam bersamaan dengan embun yang membulir di sepasang mata kami. 
Lebih dari itu, sepanjang aku melangkah, kilatan rasa bersalah menyambar-nyambar hatiku. Aku marah pada diriku sendiri. Aku pernah menghakiminya diam-diam. Saat beliau sempat menolak ditugaskan sebagai MC cadangan jelang acara besar akhirussanah dan pelepasan siswa lintas satuan pendidikan, sekitar 3 bulan lalu, aku menjadi teramat sangat kesal dan memintanya secara tegas tetap menugaskannya MC cadangan. Secara sembunyi-sembunyi, aku yang pada saat itu menjadi ketua panitia, melabelinya sebagai seseorang yang tidak bisa diajak bekerjasama secara tim dan tidak memiliki inisiatif untuk berkontribusi dalam organisasi pendidikan tempatnya bekerja yang sedang mempersiapkan acara besar gabungan dari 3 jenis satuan pendidikan. Bahkan, aku berasumsi sendiri, bahwa beliau tidak benar-benar peduli dengan acara wisuda gabungan tahunan yang rutin diselenggarakan yayasan kami. Aku mengambil kesimpulan tanpa tahu bagaimana latar belakang kehidupannya karena jarangnya komunikasi dan pertemuan yang terjalin diantara kami. Aku terlambat menyadari bahwa ada kebutuhan hidup yang memang penting-mendesak dan menjadi skala prioritas utama baginya dikala itu. Aku sempat kehilangan sisi kemanusiaanku.
Ketika kami telah sampai pada tanah pekuburan, dan jenazahnya diturunkan, rekan kerjaku semakin kencang memegang lenganku. Aku merangkulnya. Butiran air mata kami semakin mengalir deras. Dalam hatiku menjerit dan memohon maaf atas segala prasangka burukku padanya. Aku terisak lirih. Pun rekan kerjaku. Dengan penyebab yang berbeda. Hanya diriku sendiri yang tahu alasanku menangis. Sebuah tangis penyesalan. 
Dan saat penggali kubur melilitkan selempang bertuliskan Alfiyah, S.Pd., hatiku semakin tersayat pedih. Aku menyaksikan bagaimana gelar itu mengantarkannya hingga ke liang lahat. Gelar yang diperolehnya dengan perjuangan antara hidup dan mati.  
Maafkan aku. Atas buruk sangka yang pernah kulabelkan padamu. Hidup yang begitu keras, telah kamu lewati di usia yang sangat muda. Dan 23 tahun sudah, kamu memperjuangkan hidup. Sekarang, Allah menginginkanmu kembali. Semoga Allah peluk dan dekap erat dirimu di alam sana dengan kasih sayang-Nya.
Hai, Vinny Erika Putri.
Apakah kamu masih menyalahkan dirimu sendiri sampai dengan saat ini? 
Entahlah. Aku masih merasakan sedikit ketidaknyamanan dan menyesalinya karena tidak pernah mengenal lebih dekat sosoknya selama ini.
Hai, Vinny Erika Putri.
Tidak apa-apa untuk merasakan perasaan seperti itu. Beri dirimu waktu untuk menerima. Lantas, beranjaklah memahami dengan kesadaran diri bahwa menyalahkan dirimu terus-menerus tidak akan mengembalikan segalanya. Kamu bisa lebih mengambil pembelajaran untuk dirimu sendiri. Selain perasaan bersalah yang muncul, apalagi yang kamu pikirkan saat berada di area pemakaman?
Suasana pekuburan begitu lengang. Ada damai yang sempat menelusup saat melihat pepohonan yang mengelilingi area tanah pekuburan bergemerisik dedaunan tertiup angin sendu. Setelah air mataku mereda, aku melamun sembari menatap tanah pusaranya dan bertanya-tanya dalam batinku, "Pergi dalam keadaan tenangkah dirimu? Bagaimana nanti kondisi hati dan jiwaku ketika kematian datang menjemput? Akankah setenang aliran angin di tanah pekuburan ini?"
Orang-orang sebagian ada yang sempat tertawa-tawa, entah menertawai apa. Sebagian terdiam sepertiku. Dan tak tampak pula air mata pada kedua orang tuanya. Entah sedemikian mudahkah mereka mengikhlaskannya atau justru mereka masih mencerna kehilangan yang masih tanak terjadi. Ah, aku tak tahu. Kemudian, saat doa dibacakan, aku hanya menundukkan kepala dan masih menyisir kelebatan ingatanku tentang segala kesalahan yang pernah kuperbuat kepadanya. 
Ya Allah ... ampunilah aku. Berikanlah beliau tempat terbaik di sisi-Mu.
Hai, Vinny Erika Putri. 
Bagaimana perasaanmu sekarang? Apakah sudah lebih lega? Atau masih ada yang menjadi beban pikiranmu?
Aku sudah lebih ringan dan lega setelah menguak sisi jahatku dan kesalahan yang pernah kulakukan padanya. Aku ingin terus mengutuhkan diri dengan mengakui bagian-bagian gelap dari diriku yang mungkin sempat tertolak oleh diriku sendiri atau orang-orang terdekatku. Aku ingin selesai dengan diriku sendiri, mengenali dan mendidik ego tergelap dan terendahku agar setiap penderitaan hidup bukanlah lagi menjadi sebuah penderitaan karena jiwaku sudah bisa menerimanya dengan tenang; dan, agar aku bisa terus berproses lebih baik lagi dalam memanusiakan diriku dan orang-orang di sekitarku. Aku ingin, kelak, ketika aku berpulang kepada penciptaku, Dia tidak memunggungiku dengan kemurkaan-Nya dan benar-benar menantiku di sana dengan riang. 
Hai, Vinny Erika Putri. 
Terima kasih, telah mengungkapkan kejujuranmu dengan terang yang mungkin sulit pada awalnya kamu akui. Sini, biar kupeluk erat jiwamu. Teruslah bertumbuh menjadi versi terbaik, asli dan utuh Seorang Vinny Erika Putri, dari masa ke masa. Aku, kesadaran tertinggimu tak pernah pergi dari dalam hatimu. Aku terus menyaksikanmu bertumbuh sebagai dan menjadi manusia utuh paripurna dengan gembira. Dan selalu menerima apapun proses yang memang menjadi bagian dari warna perjalanan yang mesti kamu lalui.


-Vinny Erika Putri, 14.08.21 

Selasa, 10 Agustus 2021

Tentangmu, Lelaki Sunyi

 


Tentangmu, Lelaki Sunyi
Aku melihat kerentanan hatimu
Yang mati-matian kau sembunyikan
Pada dinding pertahanan yang kau bangun tebal-tebal

Tentangmu, Lelaki Sunyi
Aku melihat kekosongan jiwamu
Yang kau sangkal dengan kesibukanmu
Sebagai caramu melarikan diri dari kepedihan hidupmu

Tentangmu, Lelaki Sunyi
Aku merasakan jerit katarsis lirihmu
Yang kau selimuti rapat-rapat dengan bahak tawamu
Untuk membuat ingatanmu amnesia dari himpitan beban yang kau pikul

Tentangmu, Lelaki Sunyi
Aku merasakan kepelikan hidupmu
Yang kau simpan dalam-dalam di hatimu
Sebab tak kau temukan tempat untuk sekadar berteriak atau menangis seapa-adanya dirimu

Tentangmu, Lelaki Sunyi
Mungkin kau bertanya-tanya atau terheran-heran
Bagaimana aku bisa mengurai perasaanmu-perasaanmu yang terkubur jauh didalam sana dengan tepat?
Bagaimana aku bisa menebak caramu menjalani dan menghidupi kehidupanmu dari penggalan kisahmu?
Pula sedemikian paham lebih dari orang sekitarmu memahamimu?

Tentangmu, Lelaki Sunyi
Aku hadir dan ada bukan karena sesoal cinta atau semacamnya
Tapi, barangkali saja, kita sama
Aku melihat percikan diri terdahuluku didalam dirimu
Dan tidak menginginkan kerusakan parah terjadi pada jiwamu
Jadi, berhentilah berlari dari kejujuran perasaanmu saat di titik rapuh

-Vinny Erika Putri, 10.08.21