Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Senin, 23 Januari 2017

Arti Sebuah Tim Kerja



Apa itu tim kerja?
Pertama kali, yang terbayang dalam benakku adalah sekumpulan orang-orang yang bekerja untuk mencapai tujuan perusahaan. Dan aku harus bisa mengandalkan diriku sendiri dengan segala potensinya di permulaan mengenali medan pekerjaan. Sebab, tidak semua orang mau membimbing, mengarahkan dan mengajari bagaimana bekerja di dalam sistem suatu perusahaan. Pekerjaan bukanlah dunia kuliah. Tapi dunia aplikasi yang memaksa kita mengandalkan potensi diri sendiri. Itu saja yang terpikirkan olehku.

Lalu, apa itu arti sebuah tim kerja?
Satu tahun pun berlalu, anak-anak di PAUD sekaligus daycare tempatku bekerja mulai membanyak. Aku bersejajar dengan rekan kerja yang lain mendampingi anak-anak sesuai kelompok usianya. Tarik-ulur emosi, silang pendapat, tukar pikiran mulai intens terbuka antar rekan kerja. Kedekatan emosi antar personil pun mulai terjalin. Biasanya, secara psikologis, orang yang berkarakter mirip, memiliki magnet yang (secara natural) akan mendekatkan satu sama lain. Kemudian, aku mulai berpikir, tim kerja bukan sekadar bekerja untuk mencapai tujuan perusahaan. Tapi juga tempat kita berbagi pemikiran dan perasaan (bahkan terkadang keluh-kesah) tentang pekerjaan atas dasar rasa senasib sepenanggungan.

Selanjutnya, apa arti sebuah tim kerja untukku?
Dua tahun melangkah di jalan yang sama, banyak warna dan suasana yang terbangun. Lantas, aku mulai berpikir, tim kerja adalah keluarga kedua. Di mana kami sudah saling memahami kekurangan dan kekuatan masing-masing. Di mana kami mulai sering berkompromi untuk mencapai titik temu atau kesepakatan bila pendapat, tindakan, dan pemikiran setiap anggotanya tidak sealur. Di mana kami tidak merasakan jarak terbentang lebar dan tidak perlu lagi malu menutupi bagian dari kebiasaan-kebiasaan terburuk sekalipun. Adakalanya, kejengkelan-kejengkelan terjadi. Atau terjebak dalam kondisi-kondisi tertentu yang memancing kemarahan. Tapi dengan mudahnya kami tertawa-tawa kembali. Setiap merasakan tekanan dan tuntutan pekerjaan, kita sama-sama menggila demi menjaga kewarasan. Karena bila terlalu lama serius, akan terlihat tidak menyenangkan bagi anak-anak. Kita akan memberikan dunia yang muram bagi mereka bila itu terjadi.

Sekarang, apa arti sebuah tim kerja untukku?
Lalu, 3,5 tahun berlalu. Beberapa anggota tim potensial mulai pergi. Pekerjaan menekan kami lebih keras. Kritik tanpa solusi yang membangun semakin membanjir. Sistem seringkali lupa mengapresiasi, semakin memperbesar tuntutan dan mewajarkannya sebagai timbal balik dari gaji. Tanggung jawab yang bertumpu padaku semakin menggembung. Rumah terkadang kusulap menjadi kantor. Waktu untuk berkumpul dengan keluarga mulai kehilangan haknya. Segalanya mulai terasa tidak seimbang. Aku pun mulai merasa sama jenuhnya dengan mereka yang memilih pergi. Tapi, kucoba untuk tetap bertahan. Berharap segala bisa membaik.

Sedih, itu pasti. Meski beberapa anggota potensial pergi, kami masihlah keluarga yang tetap menjalin komunikasi dengan baik.

Aku limbung sesaat. Sebagai ujung tombak yang diamanahi untuk mengelola, butuh waktu untukku siuman dan menata kekuatan diri. Dengan tertatih-tatih aku tetap berjalan. Aku begitu merasakan, betapa tidak mudah mengikat tim baru dalam kekompakan. Seperti memulai dari nol. Begitu menguras tenaga, pikiran dan emosi.

Banyak kesalahan terjadi dalam situasi-kondisi yang serba baru. Selama proses adaptasi, idealisme yang sudah tertanam di sistem lembaga kerap kubenturkan dengan pemakluman-pemakluman yang menyesuaikan situasi-kondisi tersebut, terutama yang berkaitan dengan kebelum-pahaman anggota baru dengan sistem, pola dan cara kerja kami. Rasa keluarga kedua dalam bekerja sudah terpola dalam kepalaku. Kutahan kata-kata atas segala kesalahan terjadi sampai batas-batas tertentu. Kuberusaha memberikan contoh melalui tindakan terlebih dahulu sebagai cara pertama untuk mengingatkan dan memperbaiki kesalahan sekaligus bentuk aktif dari sebuah arahan.

Di waktu-waktu yang lain, kurangkul mereka. Kupendekkan jarak agar mereka tidak kaku memandangku seperti label yang tercantum dalam struktur organisasi lembaga. Terkadang, kuturunkan standarku setara dengan tingkat kedewasaan usia mereka. Aku berusaha masuk ke dalam dunia mereka untuk menyelami dan memahami bagaimana karakter mereka; apa kekuatan dan kelemahannya. Karena itulah yang nantinya akan membantuku untuk bisa mencapai tujuan-tujuan dari rencana-rencana yang telah dirancang lembaga.

Kuciptakan suasana "rumah" terlebih dahulu. Bukan kantor. Kuanggap mereka sebagai anggota keluarga baru sekaligus mitra. Pula melalui seni tarik-ulur memahami situasi-kondisi setiap personil, aku tahu kapan harus bersikap sebagai teman, mitra kerja atau pucuk komando dalam struktural organisasi. Itulah stimulus membangun kenyamanan kerja bagiku.

Tidak mudah. Sangat tidak mudah. Ada air mata yang secara sembunyi-sembunyi mewarnai prosesnya. Dan aku tidak mengatakan ini sudah berhasil. Tapi... aku mulai merasakan hasilnya sedikit demi sedikit. 

Sekarang, apa arti sebuah tim kerja untukku? Masih tetap keluarga kedua. Dan mungkin tetap begitu, sekalipun pada saatnya nanti aku juga akan memilih pergi dari atap yang menaungi kebersamaan kami...

Apa arti tim kerja?
Tim kerja bukanlah mesin, robot, sapi perah, alat keuntungan perusahaan atau sejenisnya. Karena yang seperti itu, cepat atau lambat suatu waktu akan menimbulkan pemberontakan. Bagai bom waktu yang siap meledak kapan saja. Memendekkan jarak antar anggota tim bukan berarti membiarkan diri kita dikontrol oleh orang lain atau menghilangkan ketegasan yang ada dalam diri. Tapi, setidaknya, secara alamiah dan halus, suasana kekeluargaan yang tercipta, akan mendorong masing-masing untuk berbuat maksimal sesuai dengan potensinya.

Selasa, 10 Januari 2017

#2. Memoar Bulan Ke-12



Bulan ke-12.
Kau menengok ke belakang, memundurkan ingatan. Kejadian demi kejadian berlintasan dengan membawa jejak rasa masing-masing.

Ingatanmu berpijak pada satu masa, saat kau kehilangan beberapa anggota terbaik timmu setelah bulan keenam kau menjalani tanggung jawabmu yang baru.

Meski sudah cukup lama kau mempersiapkan diri untuk keadaan ini... tetap saja, kepincangan begitu terasa. Langkah menjadi tidak seimbang. Rasanya seperti memulai kembali dari awal. Kacau-balau. Karut-marut. Tertatih-tatih, kau meyakinkan diri bahwa keadaan ini bisa kembali kau tundukkan dengan anggota tim yang tersisa.

Kerapkali kau katakan pada diri sendiri, “Kuatlah.” 
Atau kau menantang kepenatan itu dengan pertanyaan sekaligus jawaban, “Keadaan sulit? Aku lebih sulit lagi untuk menyerah.” 

Lalu, ingatan membawa pada saat-saat dimana mau tidak mau kau menjadi orang yang kerap diandalkan.

Entah berapa kali tampungan emosimu pecah. Katarsis yang kau peram meledak dan segala isinya berebut keluar dari tempatnya. Tangis. Amarah. Kekecewaan.

Ledakan tangis ketika pundakmu mulai terasa letih memikul dan kakimu terlampau kebas untuk melangkah; ketika kau rasakan keadaan kian memburuk dan sulit untukmu membuatnya sedikit lebih baik; ketika kau sadari begitu banyak kesalahan terjadi.

Ledakan amarah ketika kau membutuhkan uluran tangan tapi kau dapati dirimu bagai sebuah titik kecil di semesta yang terlampau luas; ketika banyak hal di luar dirimu yang bertentangan dengan isi kepala dan hatimu.

Kekecewaan ketika kau dapati ketidak-sesuaian antara tindakan dan perkataan orang-orang yang menjadi junjunganmu hingga rasa hormatmu meluntur. Kekecewan pada dirimu ketika kau lupa satu hal bahwa bergantung kepada orang lainlah yang kerap melahirkan kekecewaan itu sendiri.

Dan disaat yang bersamaan juga kau merasakan penerimaan diri, tekad untuk tetap berjuang, kekeras-kepalaan untuk tidak kalah dan menyerah pada keadaan.

Penerimaan diri ketika kau berusaha tidak kehilangan dirimu di titik-titik tersulit yang harus kau lalui; ketika kau mengakui kelemahan diri dengan ketidak-berdayaanmu dan menemukan ruang untuk berdialog dengan-Nya; ketika kau mulai memahami dan menerima apa yang tengah dirimu rasakan; ketika kau bisa kembali bersahabat dengan dirimu sendiri dan berdamai dengan keadaan.

Tekad untuk berjuang ketika kau telah bisa menertawai diri sendiri dan kembali menjadi orang yang keras kepala untuk tidak kalah dan menyerah pada keadaan. 

Dan ingatan menggiringmu disaat-saat kau belajar memahami apa itu “leadership”... hingga kini. 

Leadership mengajarimu berkata-kata lewat sikap dan tindakan. Bukan berkata-kata menegaskan di mana posisi dirimu berada. 

Leadership bukan banyak-banyak menggunakan dan mengarahkan telunjukmu pada orang lain. Ia merangkul semua lapisan dengan segala kerendahan hati. Ia menggandeng erat untuk maju bersama.

Dan kau merasakan masih belum layak di posisi itu. Sungguh, kau masih sangat-sangat jauh dari kata layak untuk itu dengan segala emosimu yang mudah sekali meledak. Bahkan, kau bersedia, untuk menyerahkannya pada yang berpembawaan tenang atau “bertangan dingin” bila memang perlu.

Selama ini, yang kau lakukan hanyalah berusaha menciptakan “suasana rumah” di tempat kau mendulang rupiah; dan menganggap orang-orang yang berada didalamnya lebih sering bagai adikmu sendiri, bagai anggota keluarga.

Kau tertawa terbahak-bahak bersama mereka; merangkul dan mengacak-ngacak kepala mereka saat dirimu begitu senangnya; dan terkadang berkelakuan “sedikit gila” di depan mereka ketika beban pekerjaan begitu menekan tanpa mengkhawatirkan sebuah “harga wibawa”.

Tapi, ketika suatu target telah kau tetapkan dan dibutukan kerjasama tim untuk mencapainya atau situasi mengharuskanmu memberikan arahan, bimbingan dan perintah... kau bisa menjadi begitu serius. Kau juga tak menampikkan kesalahan-kesalahan yang kau lakukan dan segala kekurangan yang kau miliki selama melewati banyak hal bersama mereka. Karena itu lebih melegakan bagimu.

Dan saat bersama mereka, kau menjalankan tanggung jawabmu tanpa sering menegaskan siapa mereka dan siapa dirimu; di mana posisimu dan di mana posisi mereka. Kau berusaha memberikan stimulus yang berbeda... dengan cara pandang yang berbeda pula. Karena itu lebih menyamankan bagimu.

Karena kau berpikir, “Apa yang akan dibawa setelah kau tak lagi tinggal seatap dengan mereka? Dan apa yang akan kau tinggalkan di sana? Bukankah struktural itu hanya label yang nantinya tergantikan? Bukankah yang langgeng terbawa adalah kenangan jalinan pertemanan yang kuat?” 

Bulan ke-12. 
Langkah kaki tidak berhenti sampai di sini. Dan kau hanya memiliki satu pilihan: terus melangkah ke tujuan-tujuan yang telah kau pancangkan.