Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Minggu, 04 September 2016

Anak Perempuan Penjual Kerupuk



Seorang anak perempuan dengan jinjingan plastik hitam besar di tangannya, lewat di depanku. Wajah anak itu tak asing lagi bagiku. Beberapa kali menikmati semangkuk bakso di kantin dekat masjid, ia sempat singgah ke mejaku untuk menawarkan kerupuk yang dalam plastik hitam besar itu. Begitu pun yang terjadi kali ini. Di suapan kedua kala kumenikmati bakso, ia datang menghampiriku. Ia menjual kerupuknya dan aku membelinya seperti yang sudah-sudah. Setelah aku membelinya, ia lanjut berkeliling dari meja ke meja lantas pergi entah kemana.

Lama melenyap dari pandanganku, kembali kulihat ia berdiri mematung tak jauh dari mejaku.

“Sini, duduk, De,” kataku.

Anak itu berjalan mendekati mejaku dengan senyum malu-malu. Ia letakkan plastik berisi kerupuk yang dijinjingnya lalu duduk di hadapanku. Di pertemuan sebelumnya, sepintas aku pernah berbicara dengannya. Informasi yang masih kuingat dari pertemuan kami sebelumnya hanya dua. Pertama dia masih SD. Entah kelas berapa. Aku tidak bertanya padanya saat itu. Kedua, dia berjualan kerupuk setelah pulang sekolah. Namanya? Aku lupa.

Setelah kami saling memberitahukan nama masing-masing, aku baru ingat kalau ia pernah menyebutkan namanya di pertemuan sebelumnya. Aku mudah lupa dengan nama. Lebih gampang merekam wajah dalam jangka waktu lama daripada mengingat sebuah nama. Apalagi bila seseorang itu sudah lama tidak berinteraksi denganku. Kecuali nama orang-orang terdekat dan orang-orang yang menorehkan dua momen berharga dalam hidupku. Momen membahagiakan dan menyedihkan. Nama-nama di dua momen itu, terpatri dalam ingatan.

“Nur, ibunya mana?”

“Lagi jagain adik, Kak.”

“Berarti Nur ke sini sendiri?”

“Sama ibu. Tapi, ibunya lagi di masjid. Ngajar ngaji.”

“Ngajar ngaji sambil jagain adik?”

Nur mengangguk. Ada magnet yang membuatku tertarik untuk bercakap-cakap dengannya. Semacam rasa simpati dan empati. Dan secara sosial-emosi, bisa kurasakan, ia lebih matang dari anak-anak seusianya. Inilah yang mendorongku untuk mengulik lebih jauh kehidupan anak perempuan kelas 2 SD ini. 

“Eh, pelajaran apa yang Nur suka? Di sekolah teman-temannya gimana? Baik-baik gak?”

“Nur suka sama pelajaran Pendidikan Agama Islam, Kak. Teman-temannya ya ada yang baik dan ada yang gak,” katanya.

Aku hanya bertanya sedikit, ia menjawab dengan begitu banyak cerita. Cerita dimulai dari teman sekelas yang menurutnya “paling bandel”. Namanya (sebut saja) Emon. Kata Nur, Emon pernah menukar buku PR miliknya dengan buku PR milik (sebut saja) Jensen. Alasannya, karena Emon belum mengerjakan PR. Saat Emon menukar buku PR itu, Jensen sedang tidak berada di kelas.

WOW?! Apakah itu efek dari bombardir media elektronik yang menampilkan tayangan-tayangan kurang mendidik bagi anak-anak? Terutama anak-anak yang ketika menontonnya tidak ada arahan dan pendampingan dari orang tua. Kalau iya, selamat! Saya tidak heran. Tapi, prihatin.

“Terus, dia suka nyontek kalau ulangan. Bukunya, tuh, diumpetin di bawah kertas ulangannya. Nur, sih, gak mau kayak gitu. Curang namanya,” tambah Nur.

Dulu, semasa SD, ibu tidak memarahiku bila aku mendapat nilai ulangan jelek. Nilai ulangan jelek bukan masalah selama hasil usaha sendiri dengan tetap menjunjung tinggi prinsip kejujuran. Ibu mengajarkan, nilai jelek artinya, aku harus berusaha lebih gigih dan giat lagi untuk mendapat nilai yang lebih baik tanpa harus mencoreng prinsip kejujuran. Ibuku justru akan lebih marah bila aku mengganti nilai asli yang diberi guru di kertas ulangan atau buku PR-ku.

“Iya, bener, Nur. Gak apa-apa nilai ulangan jelek yang penting jujur hasil sendiri. Lebih baik lagi kalau nilai ulangannya bagus tapi tetap jujur. Bukan dari hasil menyontek,” tanggapku.

Ada dua perasaan yang bercokol di hatiku. Miris sekaligus tersentuh. Miris karena, kecurangan sudah tertanam di usia sedini itu. Tersentuh, karena masih ada anak-anak yang memegang prinsip kejujuran. 

“Ketahuan gak sama bu guru?”

“Ketahuan.”

“Terus, akhirnya gimana?”

“Emonnya dimarahi.”

“Dijewer juga gak?” tanyaku lagi.

“Iya,” jawab Nur.

Deg! Ada yang berteriak tidak setuju di dalam hatiku ketika mengetahui hukuman apa yang diberikan guru kepada Emon. Cerita pun berlanjut. Masih tentang Emon. Dari yang diceritakan oleh Nur, aku mendapat gambaran soal Emon.

Emon dididik dengan kekerasan secara fisik dan verbal. Nur mendapatkan cerita dari ayahnya yang berteman dengan ayah Emon. Ayah Emon tak segan-segan menendang Emon. Dan mulutnya mendadak menjadi kebun binatang. Segala binatang tercurah keluar untuk Emon saat emosinya meledak. Pernah Ayah Nur menasehati Ayah Emon agar tidak seperti itu. Tapi hanya dianggap angin lalu olehnya.

“Ibunya Emon kerja apa?”

Nelembuk. Kawin-cerai. Anaknya banyak. Bapaknya gak tahu siapa aja,” kata Nur dengan polosnya.

Sampai di bagian ini, mirisku bertambah-tambah. Maksud “nelembuk” di sini adalah melacur. Aku bisa membayangkan di lingkungan bagaimana Emon bertumbuh. Keluarga yang seharusnya menjadi madrasah pembelajaran, pelindung, benteng pertahanan pertama dan utama, malah menciptakan situasi-kondisi pelik yang memberi pengaruh buruk bagi anak.

Aku tidak bisa menghakimi bahwa orang tua Emon adalah orang tua yang tidak benar. Karena segala akibat pasti ada sebabnya. Orang tua Emon sendiri adalah produk pola asuh dan pola didik dari orang tua terdahulu. Bisa dibilang, orang tua Emon adalah korban sekaligus pelaku.

Mereka korban dari kesalahan pola asuh dan pola didik di zaman orang tua terdahulu. Pula pelaku dari kekerasan fisik dan verbal terhadap anak mereka sendiri ketika mereka menjadi orang tua di zamannya. Korban sekaligus pelaku tak ubahnya seperti warisan yang ditemurunkan dan terus berputar bagai siklus lingkaran setan. Dan akan terus begitu bila tidak ada yang berani memutusnya.

Tak terasa bakso di mangkokku sudah tandas. Kulirik bungkusan plastik yang kubawa. Aku sempat membeli seblak sebelum ke kantin Masjid. Tadinya, mau kumakan di rumah. Tapi, melihat anak perempuan yang ada di hadapanku, alih-alih memperpanjang percakapan kami, mendadak aku ingin berbagi makanan ini bersamanya.

“Nur, kamu suka seblak, gak?”

“Suka sih. Tapi yang kering.”

“Ini seblak kering, gak berkuah. Mau?”

“Gak ah, Mbak.”

“Kenapa?”

“Malu.”

“Gak apa-apa. Atau gini aja, deh. Kalau kamu malu, kita makannya bareng-bareng,” bujukku.

Akhirnya, ia mau makan seblak yang kutawarkan.

“Eh, tapi agak pedes seblaknya, gak apa-apa? Nur suka pedes gak?” tanyaku ketika teringat seblak yang kupesan pedas.

“Suka,” jawabnya.

Baru beberapa suap, aku melihat keringat di hidungnya dan suara desah kecil kepedasan.

“Sebentar, kakak ambilkan minum.”

Kubuka lemari pendingin yang berada tak jauh di belakangku. Kuambil sebotol minuman teh dan memberikannya kepada Nur.

“Makasih, Kak.”

Cerita pun kembali bergulir. Kali ini tentang kisahnya sendiri. Katanya, ia pernah dimintai uang oleh temannya terus-menerus. Awalnya, Nur memberikan sebesar Rp. 3.000. Nur masih menyisakan uang untuk dirinya sendiri sebesar Rp. 2.000 dari total uang sakunya yang sebesar Rp. 5.000. Dari apa yang Nur lakukan, aku menemukan kecerdasan strategi seorang anak dalam menghadapi masalah ‘pemalakan’.

“Temannya sampai ngancam kamu, gak, Nur?”

“Gak, sih, Kak.”

“Kalau sampai dia main pukul, lapor aja ke bapak atau ibu guru,” saranku.

“Saya juga udah bilang ke anaknya.”

“Bilangnya gimana?”

“Jangan mintain uang saya terus. Kamu, tuh, udah dikasih uang sama bapak kamu 7.000, sama nenek kamu juga 5.000, masih minta aja minta,” kata Nur pada temannya pada waktu ia dipalak.

Lagi, intuisiku terbukti. Salah satu kematangan emosi pada dirinya tampak. Ia berani menolak saat kelakuan temannya sudah tidak bisa ditolerir atau sudah merujuk pada penindasan. Ia mencoba jalur diplomasi ala anak SD. Ia menolak dengan kata-kata yang lebih mirip mengingatkan temannya itu akan konsep bersyukur akan uang yang dimilikinya.

“Tapi, akhirnya kamu lapor ke bapak atau ibu guru?” tanyaku masih penasaran.

“Lapor. Sampai akhirnya orang tuanya dipanggil ke kantor. Baru dianya berhenti minta uang.”

“Orang tuanya dibilangin apa sama gurunya?”

“Katanya, kalau masih minta-minta uang, orang tuanya disuruh bayar kaos olahraga. Kaos olahraganya gak jadi dikasih gratis.”

Lalu dia bercerita tentang jadwal olahraga kelasnya. Sementara, pikiranku masih mencerna cara penyelesaian yang dilakukan oleh sang guru. Terngiang-ngiang kalimat KALAU MASIH MINTA-MINTA UANG, KAOS OLAHRAGANYA GAK JADI DIKASIH GRATIS. 

Hatiku berbicara, otakku berpikir, tidak bisakah mencari alternatif-alternatif solusi lain yang mengedepankan komunikasi efektif dan tepat sasaran tanpa ancaman serta lebih memanusiakan manusia? Tidak bisakah mencoba bersinergi dengan orang tua untuk menemukan akar masalah sebenarnya? Bukankah solusi seperti itu hanya akan menyelesaikan masalah dengan melahirkan masalah baru? Dari sudut pandang yang kutangkap, akar masalahnya bukan pada pelanggaran finansial orang tua. Tapi lebih kepada masalah psikis anak yang butuh pertolongan dan penanganan secara tepat.

Lamunanku buyar. Seorang ibu separuh baya yang sehat walafiat datang dengan meminta-minta. Aku sudah menangkupkan tangan sebagai permintaan maaf tidak bisa memberi. Tapi, ia begitu ngotot tetap berdiri di situ. Akhirnya, aku keluarkan sedikit uang untuknya.

Setelah pengemis itu pergi, cerita Nur pun beralih topik tentang pengemis di sini. Ia mengenal wanita paruh baya itu. Wanita itu kerap berkeliaran di sini. Bahkan sempat merasa iri dengan Nur.

“Iya, Kak. Dia bilang, katanya saya sih enak. Ada yang ngasih 50.000. Pernah juga ada yang ngasih 100.000. Kalau ke dia, paling, orang ngasihnya 500.”

Aku tak heran bila ada orang yang memberi Nur uang lebih banyak dari harga jual kerupuknya. Dua alasan yang kupikir sama seperti yang kurasakan ketika melihat Nur menawarkan kerupuknya. Simpati dan empati untuk seorang anak perempuan yang bekerja keras di usia dini.

“Saya bilang aja sama dia, ‘kan saya jualan, bukan minta-minta’,” kata Nur.

“Iya. Itu orangnya sehat tapi ngemis. Lebih baik jualan kayak Nur daripada ngemis-ngemis. Pantang untuk ngemis-ngemis sama orang dalam hidup, Nur,” ujarku sedikit memanasinya.

“Iya. Saya juga gak suka, Kak. Yang tambah bikin gak suka, mereka suka bawa anak.”

Matanya lalu mengedarkan pandang ke sekeliling. Entah apa yang dicarinya.

“Anaknya seumur itu, tuh, Kak,” tandasnya sembari menunjuk seorang anak kecil tak jauh dari tempat kami duduk. Aku perkirakan anak itu berusia sekitar 4 tahunan.

“Masa anaknya ngemis gak tahu sampai ke mana, tapi, ibunya cuma ongkang-ongkang. Duduk-duduk. Saya marahin aja.”

“Marahin gimana?” pancingku.

“Ya saya bilangin, ‘eh, itu anaknya ngemis, ibunya malah duduk-duduk’.”

“Kadang-kadang, anak yang mereka bawa juga itu bisa jadi sewaan, loh,” aku menambahkan.

“Iya. Malah ada yang usianya lebih kecil dari anak yang tadi, Kak.”

“Memang, segimana usianya?”

“Ya masih ngerondang. Masih ngerangkak. Kalau ada orang lewat, tangannya diajarin kayak orang minta-minta gitu,” ujar Nur sembari memperagakan dengan gerakan tangan meminta, “ya orang yang ngelihat gimana ya. Pasti ngasihnya karena kasihan. Anaknya pernah ngerangkak sampai hampir ketabrak mobil juga,” lanjutnya.

Astaghfirullah, jahat sekali mereka,” geramku.

“Iya, Kak.”

Kuperhatikan sedari tadi makan seblak bersamanya, ia sama sekali tak menyentuh sosis, bakso, makroni atau kerupuk basah yang ada dalam campuran seblak.

“Kamu gak suka makroni sama kerupuk basahnya? Atau baksonya gitu?”

“Gak, Kak. Kalau makan kerupuk basahnya bikin perut enek.”

“Sukanya kubis sama telur ya?”

“Iya.”

“Eh, ngomong-ngomong, itu kerupuk yang Nur jual itu hasil bikinan sendiri?”

“Bukan. Itu punya orang lain. Saya bantu jual. Uangnya kadang buat beliin adik bakso. Bakso kering 3.000. Adik saya suka bakso kering.”

Ah, anak ini. Aku begitu terenyuh dan merasa kecil di hadapannya. Disamping karena kemandiriannya, Nur mungkin sudah banyak melihat fenomena memprihatinkan secara langsung dan nyata di depannya. Tak heran bila pola pikirnya lebih matang dan dewasa dibanding anak seusianya.

“Aku juga pernah diajak naik ke mobil orang yang gak aku kenal, Kak.”

“Kamu pernah mau diajak ngemis juga?” tanyaku sedikit terkejut.

“Gak tau mau diajak ke mana. Sayanya nolak. Takut nanti dijual organ tubuhnya.”

Lagi-lagi, aku menemukan sisi kematangan sosial-emosi pada dirinya. Ia peka terhadap perkembangan berita sosial-kriminal. Juga sikap waspada yang sudah tertanam pada dirinya. Orang tuanya mungkin sudah memberikan bekal pengetahuan yang cukup untuk ia menjaga dirinya dari orang asing yang mencurigakan. Aku sungguh penasaran, bagaimana pola asuh dan pola didik yang diterapkan orang tua Nur.

“Cara ngajaknya gimana?”

“Tangan saya ditarik. Dipaksa ikut.”

“Terus, gimana caranya kamu bisa lolos?”

Nur memperagakan cara ia menolak orang yang memaksanya ikut ke dalam mobil. Ia mengibas-ngibaskan tangannya kuat-kuat. Dan berulang kali berteriak mengatakan tidak mau.

“Alhamdulillahnya ada satpam yang datang waktu itu. Gara-gara ada satpam juga, akhirnya ketahuan kalo mobil mereka itu mobil curian.”

“Terus, akhirnya gimana?”

“Akhirnya diserahin ke polisi.”

Tanpa terasa, seblak di hadapan kami sudah habis. Selang beberapa menit setelah seblak habis, ia mengakhiri cerita dan berpamitan.

“Kak, aku mau keliling lagi, ya. Makasih minuman sama seblaknya.”

“Oke. Kapan-kapan kita bisa cerita bareng lagi di sini.”

“Pamit ya, Kak.”

“Ya.”

Aku pun pergi ke kasir. Sebelum aku menuju parkiran motor, lingkar mataku masih mencari sosok Nur. Tampak ia tengah menjual kerupuknya kepada orang yang berada di sebelah meja tempat kami berbincang tadi. Aku mendekatinya untuk berpamitan.

“Nur, Kakak pulang, ya.”

“Iya, Kak. Makasih.”

“Sama-sama.”

Ada sebuah pembelajaran yang kubawa siang tadi. Aku pulang dengan perasaan yang... ah, katakanlah campur-campur. Melalui media elektronik, aku sudah sering mendengar realita-realita yang diceritakan Nur. Pula aku kerap membaca realita-realita seperti itu dalam buku-buku atau media cetak. Tapi, berinteraksi langsung dengan orang yang mengalaminya, rasanya jauh lebih menyentuh daripada mengetahuinya lewat media-media tersebut. Nur adalah anak yang sudah mengakrabi fenomena tersebut dalam kesehariannya.

Pulang meninggalkan masjid yang berdiri megah di alun-alun kota, sebuah pertanyaan besar mengusikku, kontribusi apa saja yang bisa kulakukan untuk menjadi bagian dari gerakan perubahan sesuai dengan kapasitas dan kemampuanku?

Teringat sebuah petikan puisi karya Chairil Anwar
KAMI SUDAH COBA APA YANG KAMI BISA/ TAPI KERJA BELUM SELESAI/ BERJAGALAH TERUS DI GARIS BATAS PERNYATAAN DAN IMPIAN/
Jadi, kamu mengeluhkan apa kali ini?

-Vinny Erika Putri, Cirebon, 28-08-16, penjelajahan “menepi sejenak”

Sabtu, 09 Juli 2016

Hari Tua Ibu, Simbah dan Rumah Sakit


Sekitar sebulan setelah aku menuliskan catatan hati berjudul "Tentang Hari Tua dan Bulir Air Mata Yang Jatuh", kondisi simbah putri semakin drop. Simbah putri divonis terkena gejala stroke dan harus dirawat di rumah sakit.

Mendengar kabar itu, aku sekeluarga langsung meluncur ke sana. Dan hal yang patut aku syukuri ketika aku mendapatkan kabar itu adalah, tiga hari ke depan, tanggal memerah. Bertepatan dengan hari libur nasional. Betapa Allah memberiku kemudahan dalam hal ini. 

Tatkala dalam perjalanan menuju ke sana, aku dan ibu mengatakan kepada bapak bahwa akan menginap di rumah sakit menemani simbah di sana. Kami sekeluarga tiba di Wonosobo sekitar ba'da ashar.

Aku sempat bingung. Melihat kondisi bapak yang lelah dan tidak adanya respon dari beliau untuk langsung pergi ke rumah sakit, aku tidak tahu apakah aku bisa langsung menginap di rumah sakit malam itu. Ibu yang paham akan kondisi dan respon bapak pun akhirnya membatalkan menginap di rumah sakit malam itu. Kata ibu, ibu akan menginap di rumah sakit besok malam.

Alhamdulillah, ba'da magrib tanteku mengatakan akan menginap di rumah sakit. Tanpa berpikir lagi, aku mengatakan padanya bahwa aku ingin ikut. Dan tanteku mengiyakan. 

Kupinjam jaket tanteku. Tanpa membawa pakaian ganti dan hanya membawa sedikit uang di dompet juga smartphone, aku pun berangkat naik motor bersama tanteku. Aku tidak sempat bersiap-siap. Kupikir, biar besok bapak dan ibu yang membawakanku pakaian ganti. Karena mereka baru akan menjenguk simbah esok harinya. Untungnya, sore tadi aku sudah mandi. Kami bisa langsung berangkat ke rumah sakit tanpa acara menungguku mandi terlebih dahulu.

Sampai di rumah sakit, aku bertemu dengan adik ibu yang nomor satu dan suami tanteku (adik bungsu ibu). Aku bersalaman dengan mereka. Lantas, berjalan menghampiri simbah. 

Ada yang teriris di dada ini. Aku melihat seorang wanita yang kian sepuh, terbaring lemah, tak berdaya. Kutatap matanya. Kuraih tangannya dan kuletakkan di pipiku. Setelahnya, kubelai lembut kepalanya.

"Ini Puput, Mbah."

Simbah mengangguk, lalu dengan lirih bertanya, "Sama siapa?"

"Sekeluarga, Mbah. Tapi, semuanya masih di rumah simbah. Besok pagi ke sini. Malam ini, puput nginep di sini."

Simbah mengangguk. Lalu, kembali memandangiku dengan pandangan kosong. Dan memejamkan mata sesudahnya. Kemudian, aku pun larut mendengarkan perbincangan orang-orang dalam ruangan itu.

Malam pertama di rumah sakit, aku menginap bersama dengan tante dan adik ibuku yang nomor satu. Tidak banyak yang kulakukan di malam pertama aku menginap. Kebanyakan, waktu kuhabiskan hanya dengan duduk di samping pembaringan simbah sembari membaca ayat-ayat Alquran. Lalu, tidur di pembaringan yang sama dengan tanteku ketika badanku sudah terasa lelah.

Esok paginya, sekitar pukul 9 pagi, tamu-tamu mulai berdatangan silih berganti. Aku turut menemani tante dan omku mengobrol ngalor-ngidul dengan para tamu. Diantara para tamu, orang yang paling kutunggu kedatangannya saat itu adalah keluargaku. Aku sudah tidak betah dengan tubuhku dan ingin segera mandi. Begitu keluargaku datang, aku bersorak gembira dalam hati. Akhirnya aku bisa mandi juga. 

Selepas ibuku tiba, aku lebih banyak menyingkir dari hiruk-pikuk tamu-tamu yang datang. Aku memilih duduk di kursi yang terletak di dekat pintu belakang ruangan yang sepi orang. Kubuka notebook yang sengaja kubawa untuk mengerjakan pekerjaan kantor. Beberapa kali, aku mengambil jeda untuk sekedar menikmati hawa rumah sakit dan sudut-sudut yang tak jauh dari tempatku duduk. 

Sudut yang kusukai adalah jendela. Entah mengapa, rumah sakit ini terasa begitu match dengan sisi yang diriku miliki. Asri. Hangat. Ramah. Tapi juga memiliki sisi sunyinya sendiri. Sangat jauh bila dibandingkan dengan figur dan landscap rumah sakit yang ada di kota tempatku dibesarkan.

Aku melangkah mendekati tepi jendela yang letaknya selang satu ruangan dari ruang tempat simbah dirawat. Aku berdiri di sana, melihat apa saja yang tertangkap lingkar mata. Pun melamunkan kejadian sedari aku berada di sini sejak semalam. 

Semalam, aku tak bisa tidur dengan tenang. Aku terbangun saat perawat masuk ke dalam ruangan untuk mengecek infus atau keperluan pemeriksaan. Aku kembali terbangun ketika tante dan omku berusaha menenangkan simbah yang ngeyel sampai nyaris bangun dari pembaringan karena beliau ingin ke belakang untuk BAB. 

Bolak-balik, tante dan omku memberitahukan bahwa dokter belum memperbolehkan simbah bangun dari tempat pembaringan. Berbahaya bagi saraf-saraf simbah yang masih dalam tahap pemulihan. Mereka juga mengatakan, tidak apa-apa simbah BAB di pembaringan. Tapi, tetap saja simbah tidak mau. Katanya, kalau tidak di WC tidak bisa BAB. Simbah masih menganggap dirinya sehat. 

Sampai, tanteku akhirnya mengiyakan.

"Sebentar, ya, Mbah. Tak panggil Sumini. Kula mboten kuat nek piyambek ngeterke simbah teng kamar mandi,"1 ujar tanteku.

Tentu saja tanteku tidak sungguh-sungguh akan mengangkat simbah ke kamar mandi. Dan tidak mungkin tanteku meminta Bulik Sumini ke rumah sakit sekitar jam 2 dini hari hanya untuk mengangkat simbah ke kamar mandi. Itu bagian dari cara meredam ke-ngeyel-an simbahku. Tanteku pergi ke kamar mandi mengambilkan pispot untuk BAB dan menempatkannya di pantat simbah.

"Mbah, sekarang simbah sudah di kamar mandi. Ini sudah duduk di WC. Simbah bisa BAB sekarang."

Simbah pun buang angin. 

"Simbah sampun BAB, nggih?"2 ujar tanteku.

Simbah pun mengangguk dan kembali tenang. Ia tidak menyadari kalau dirinya hanya buang angin, bukan BAB. Dan pagi ini, ketika ditanya oleh anggota keluarga yang lainnya, simbah mengiyakan kalau beliau sudah BAB di WC. Mungkin karena pispot itu dingin, jadi beliau merasa sudah berada di WC. 

Aku menyadari sebuah kondisi yang dialami simbah sejak aku berada di rumah sakit. Simbah berada di ambang batas sadar dan tak sadar. Bahkan, ketika omku yang nomor tiga menanyakan keberadaannya, simbah mengatakan bahwa beliau berada di rumah. Simbah bukan tidak bisa mengingat orang-orang yang dikenalnya. Ingatannya tentang nama dan wajah orang-orang yang dikenalnya masihlah kuat. Hanya saja, tentang keberadaan ruang, baginya terasa samar, di batas nyata dan tidak nyata.

Aku melamunkan segala kejadian yang telah lewat, lalu pikiranku kembali ke masa yang sedang aku pijaki sekarang dan aku kembali berlari menembus masa depan dengan sebuah tanya, "Bagaimana hari tua ibuku nanti?" 
Dan setelah pertanyaan itu melesat, aku kembali mengharapkan hal yang sama dalam sebuah balutan doa. Aku ingin ada di samping ibu di masa tuanya. Sertakan selalu ibu bersamaku hingga akhir hayatnya. Bosan berdiri di tepi jendela, aku kembali duduk di kursi dan mengerjakan pekerjaan kantor. Entah mengapa, rumah sakit ini seperti mengikatku. Terasa akrab, seperti sudah lama aku mengenal rumah sakit ini. Aku merasakan kenyamanan berada di sini.

Mungkin karena rumah sakit dan atmosfer yang berada di sini mengerti apa yang kurasakan. Layaknya sahabat karib yang sedemikian dalam mengenalku. Bahkan, hal yang kusukai pun hadir di sini. Hujan. Ya. Menjelang sore, hujan pun turun. Hujan yang turun, menarikku untuk mengalihkan pandangan dari layar notebook ke kolam ikan yang tak jauh dari kursi tempatku duduk.

Kolam itu terletak di tengah-tengah rumah sakit. Aku melihat tetesan air hujan turun dari atap-atap lalu jatuh membentuk riak-riak lingkaran kecil di permukaan kolam. Kecil mula-mula lantas membesar kemudian dan perlahan menghilang. Riak membuat ikan-ikan menggeliat, mereka berenang kesana kemari. 

Entah berapa lama, aku duduk berdiam di belakang ruangan. Dan entah sudah berapa banyak tamu yang berkunjung di dalam ruangan. Simbah dirawat di rumah sakit dengan ruang jenis VIP kelas 2. Setiap orang bebas menjenguk tanpa batasan jam jenguk.

Sampai, seorang saudara yang datang, ikut duduk bersamaku dan berbincang ringan denganku. Aku berhenti mengerjakan pekerjaan kantor ketika hari menjelang ashar. Aku memilih untuk bergabung dengan saudara-saudaraku dan bermain-main dengan adik sepupuku yang masih kecil. 

Jelang magrib, bapak dan adik-adikku kembali ke rumah simbah. Ibu menginap di rumah sakit bersamaku. Ba'da magrib, tamu-tamu yang datang sudah mulai sedikit. Hanya tinggal empat orang sampai dengan isya. Selepas isya, tamu-tamu pun pulang. Tersisa aku dan ibu.

Aku begitu mensyukuri keadaan ini. Mensyukuri bukan berarti senang dengan penyakit yang sedang diderita simbah. Tapi, aku mensyukuri, 

Momen terindah dan mungkin tidak akan terulang seumur hidupku, saat aku berada dalam satu ruangan bersama dua orang yang paling kusayangi, dua orang yang paling berharga dalam hidupku, dua orang yang menjadi kekuatan hidupku. Ibu dan simbah putri. Kami berada dalam satu ruangan. Hanya kami bertiga. Betapa ini semakin menguatkan ikatan batin kami. Aku dan ibu bergantian shalat isya. Usai shalat isya, ada kelucuan yang membuatku tersenyum-senyum sendiri. Kelucuan saat ibu memintaku untuk SMS bapak. Ibu meyuruhku untuk menanyakan bapak apakah beliau sudah makan atau belum. Meski terkadang ibu mengeluhkan soal bapak padaku, tetap saja, bila berjauhan ibu mengkhawatirkan bapak.

Malam itu, kami memutuskan untuk giliran berjaga.

"Ibu istirahat duluan aja. Sekarang puput yang jagain simbah. Nanti, habis itu gantian," ujarku.

Sebelum ibu berbaring, simbah mengangkat tangan kanannya seperti ingin menggapai sesuatu. Aku dan ibu saling berpandangan, sama-sama tidak mengerti apa yang diinginkan simbah.

"Simbah arep opo?"3 tanya ibu. 

Sampai, simbah berkata dengan lirih, "Nyong arep ndelok TV."4

"Oalah, simbah arepan ndelok TV,"5 ujar ibuku.

Aku dan ibupun tertawa, lalu ibu pun mengambil remote TV dan menyalakannya. 

Ibu merebahkan diri di kasur yang letaknya di sisi kiri pembaringan simbah. Sementara aku menyorong meja yang ada di sisi kanan pembaringan simbah untuk disatukan dengan kursi agar aku bisa duduk berselonjor. Sembari berjaga, aku kembali mengerjakan pekerjaan kantor.

Ibu dan aku sepertinya sama-sama tidak ingin tidur malam itu. Ibu bolak-balik bangun dari rebahnya. Tak kudapati beliau terlelap sedikit pun. Beberapa kali, ibu menanyakan apakah pekerjaanku sudah selesai atau belum, dan menyuruhku untuk beristirahat. Pula mata beliau selalu awas mengamati simbah yang tengah terbaring. 

Berkutat dengan editing sound untuk persiapan drama musikal acara tutup tahun sekolah membuat telingaku menjadi panas. Lelah dan jenuh membuatku mengakhiri sementara pekerjaan itu. Aku merefresh kepala dengan menonton film sampai akhirnya meringkuk tertidur. Dalam kondisi setengah sadar, aku merasakan, ibu menyelimuti tubuhku. 

Ah, ibu... saat itu, jiwaku mendadak bayi. Rasanya, aku ingin tanganmu membelai kepalaku yang terasa panas. Aku ingin kau menepuk-nepuk pundakku hingga aku tertidur pulas. Bu... bila aku bisa mengeluh, ingin kukatakan bahwa tumpukan pekerjaan ini sangat menguras energi dan pikiranku. Tapi, kematangan usia menahanku untuk mengeluh di hadapan ibu. Aku merasakan kedamaian malam itu. Dan ingin waktu berhenti saat itu juga. Agar kita terus bertiga. Tapi, waktu terus berjalan. Menggerus malam. Dan menggantikannya dengan pagi.

Pagi, artinya aku sekeluarga harus kembali ke Cirebon. Saat-saat terberat untuk kaki ini melangkah, terulang kembali.

Berpamitan pada orang yang sangat kita sayangi ketika ia masih terbaring lemah tak berdaya adalah hal yang menyakitkan. Betapa dadaku terasa diremas perih. Pun ibu. Meski beliau tidak menampakkan perasaan itu, aku bisa merasakan perasaan yang disembunyikannya. Tapi, bagaimanapun menyakitkannya, ibu dan aku harus tetap kembali. Kembali ke Cirebon. Kembali ke rumah bapak. Bapak tidak terbiasa melewati hari tanpa ibu, sehari pun. Pula tidak bisa bila sekeluarga tinggal lebih lama lagi menemani simbah. Ibu harus kembali ke kehidupan sebagai seorang istri. Itulah sebuah konsekuensi berkeluarga. Di mana seorang perempuan tidak lagi sepenuhnya milik orang tuanya.

Melihat kenyataan ini di usiaku yang kian matang, semakin membuatku bertanya-tanya tentang konsep berumah tangga dan berbagai konflik keadaan di dalamnya. Dan aku sendiri? Aku harus kembali menjalani kehidupanku. Berjuang meraih apa yang menjadi impian-impianku. 

Aku memandangi wajah yang kian keriput. Aku sungguh tidak tega meninggalkannya.
Inikah yang dinamai siklus hidup? Ketika waktu terus memaksa kita berjalan. Bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Berpindah dari satu tujuan ke tujuan lain. Hingga akhirnya siklus berhenti di titik seperti yang tengah simbah jalani? Titik di mana kunamai "hari tua". 
Mataku mulai berembun. Kutahan-tahan. Tak ingin kumenangis di hadapan siapapun. Aku membiarkan yang lain berpamitan sambil menunggu emosiku sedikit reda. Bapak lebih dulu berpamitan. Disusul ibu. 

"Mbah, Puput pamit, ya, Mbah. Cepet sembuh. Biar simbah bisa terus doain Puput. Sehat-sehat. Biar bisa lihat jodohnya Puput," ujarku seceria mungkin seraya mengelus kepala simbah.

Kukecup kening simbah. Lantas berlalu dari hadapannya.

"Titip simbah, ya, Dek Tari. Maaf, jadi ngerepotin, Dek Tari," ujar ibu pada adik iparnya yang tinggal serumah dengan simbah.

"Iya, Budhe. Jangan ngomong gitulah. Gak ngerepotin. Lah simbah juga orang tua kulo, Budhe."

"Terima kasih banyak, Dek Tari."

"Pamit, ya, semuanya," aku turut berpamitan dengan yang lainnya.

"Iya, Put. Hati-hati dijalan," sahut tanteku. 

Dengan langkah yang berat, aku melangkah keluar ruangan menyusuri koridor rumah sakit. Rumah sakit yang hangat, ramah dan terasa begitu akrab denganku. 

Sepanjang perjalanan, bayang-bayang simbah tak lepas dari kepala. Kenangan dua malam menginap di rumah sakit tak henti-hentinya melintas. Sesekali ibu dan aku membumbui perjalanan dengan cerita yang mengundang tawa selama kami berada di rumah sakit. Ibu dan aku sama-sama mengkhianati perasaan kami. Kami sama-sama mencari cara untuk tidak menangis. Kami memutuskan untuk tertawa. Itulah cara yang kadang kami lakukan untuk mengurangi himpitan di dada.

Meski dari sebalik kacamata cokela tua yang kukenakan aku menitikkan air mata, aku tetap terdengar seperti tertawa. 
------------------------------------------------------------------
Catatan:
1. "..... Saya tidak kuat kalau sendirian mengantar simbah ke kamar mandi."
2. "Simbah sudah BAB, ya?"
3. "Simbah mau apa?"
4. "Simbah mau lihat TV."
5. "Oalah, simbah mau lihat TV." 



Selasa, 07 Juni 2016

#1. Memoar Bulan keenam



Bulan keenam. Kesulitan demi kesulitan yang lebih dari tahun-tahun sebelumnya, kau lewati dengan tersaruk-jatuh-bangun dan bangkit-berdiri-melangkah. Masih tanak dalam ingatanmu, di awal waktu, kau bingung, dari mana dan bagaimana harus memulai semuanya. Semuanya serba baru. Pengalaman yang pernah kau dapatkan sebelumnya terasa hanya sedikit membantu. Kau tetap melihat keburaman di sana, bahkan hingga detik ini. Dalam keburaman, kau hanya mengandalkan intuisimu untuk merangsek maju.

Entah kapan waktu, kau pernah sampai di sebuah titik, di mana kau merasa, tidak ada seorang pun yang benar-benar bisa mengerti bagaimana rasanya berada di posisi ini dengan segala kepelikannya. Kau merasa, tidak seorang pun bisa kau percaya sebagai sandaran saat kepala terlalu berat untuk tegak. Bahkan, lebih parah dari itu, kau sempat kehilangan kepercayaan pada sosok yang kau harapkan (dan kau pikir semestinya) bisa menjadi "The Role of Model". Juga kau kerap melempar tanya pada diri sendiri, apakah dirimu bisa menjadi "The Role of Model" yang layak bagi yang lainnya. 

Acapkali kau "mundur" atau "menepi sejenak" dari ingar-bingar kerumitan yang ada. Menjauh dari rengkuh keakraban. Memagut waktu dengan sunyi. Atau memilih tenggelam dalam geliat ramai yang asing di mana kau bisa melihat bermacam detak kehidupan dari belakang layar layaknya sutradara.

Tak hanya itu, dalam diam, sebuah pertanyaan tentang makna passion, dedikasi, profesionalitas dan komitmen kerap kau pertanyakan. Untukmu sendiri dan terkadang untuk yang lainnya. Sampai kau coba mengosongkan pikiran, menikmati pergerakan hidup di sekitarmu yang bergulir begitu saja dan keluar dari lingkar kerumitan yang membosankan.

Lalu, kau mulai tak peduli dengan apapun yang kau hadapi dan melepaskannya untuk sesaat agar kau bisa "bernapas". Saat itu, kau lebih bisa mendengar suara-suara di dalam hatimu. Suara yang paling kentara berulangkali menguatkan dengan sentakan, "Bersandarlah pada penciptamu! Cukup DIA dan dirimu saja! DIA dan diri sendirilah sahabat terbaik yang selalu ada bagaimanapun dan apapun kondisimu!"

Saat itu, sebenarnya, kau berusaha keras untuk tidak kehilangan dirimu. Atau dengan kata lain, kau tengah berdamai dengan dirimu sendiri. Hingga dirimu sendiri berkata, "Sesulit apapun, berjuanglah untuk tidak bergantung pada orang lain! Bahkan tidak untuk dikasihani sekalipun! Mandirilah! Dan tak usah cari tameng siapapun! Tamengmu adalah dirimu sendiri! Bukan orang lain!" 

Di titik yang lain juga, saat masa-masa sulit, terkadang dalam sebuah tim, kau menemukan kehangatan yang kau rasakan bagai berada dalam keluarga sendiri. Kehangatan yang kerap menurunkan kekeras-kepalaanmu. Kehangatan yang memancingmu turut meramaikan tawa dengan lelucon-lelucon dan tingkah polahmu. Kehangatan tanpa memandang angka usia. Kehangatan yang membuatmu sesaat membuang letak posisimu dalam “garis struktural”. Kehangatan yang membebaskan semuanya menjadi diri sendiri. Kehangatan yang membersitkan kepercayaan bahwa kau tidak menjalani kesulitan-kesulitan itu sendiri. Kehangatan yang bisa melipat-gandakan keyakinanmu untuk melangkah dan tumbuh bersama mereka lebih besar dari sebelumnya. Kehangatan yang terkadang, secara natural, memunculkan sifatmu yang ingin melindungi semuanya.

Namun juga, bersamaan dengan kehangatan itu, kau menjadi lebih waspada untuk sebuah kepahitan: sebuah kehilangan seperti kehilangan-kehilangan sebelumnya. Entah kau sendiri atau yang lainnya yang akan pergi di suatu waktu. Dan semua yang datang dan pergi, selalu mengajarimu hal yang sama: tetaplah mengandalkan dirimu sendiri agar kau bisa hidup dengan baik di mana pun kau berpijak.

Sejauh ini, kau bisa melakukan semua tanggung jawabmu bukanlah sebuah kebanggaan. Tapi pengorbanan dan kerja keras semua yang mendampingimu sepanjang kau melangkah. Kemudian, ketika kau atau yang lain pergi, denyut kehidupan tidak hanya berhenti sampai di situ bukan?

Dan untukmu? Pikulan yang lebih berat menunggumu. Pikulan yang mungkin saja bisa meremuk-redamkan seluruh dirimu, meledakkan emosimu, menuntutmu untuk tetap bangkit-berdiri-melangkah sebanyak kau tersaruk-jatuh-tersungkur dan memintamu berdamai dengan diri sendiri lebih sering. Bahkan, bukan tidak mungkin, fase yang sama akan berulang.

Bulan keenam. Seharusnya, yang kau tulis bisa lebih panjang dari ini. Mungkin saja, nanti, bisa kau jadikan semacam memoar. Atau suatu arsip buku hidupmu. Yang ketika kau membacanya, kau akan menemukan bermacam rasa. Mungkin tawa, mungkin tangis, bahkan mungkin suatu ketakjuban.

Sebuah pergumulan yang akhirnya pecah di malam ini. Lama pena tak menjelmakan kata-kata. Entah berapa lama kata-kata membeku di kepala.

-Vinny Erika Putri, Monolog Diri-

Minggu, 17 April 2016

Tentang Hari Tua dan Bulir Air Mata yang Jatuh



Sebelumnya... aku tak pernah benar-benar memikirkan tentang hari tua siapapun sedemikian dalam.

Sampai... simbah putriku jatuh sakit. Sudah lebih dari sebulan. Sebenarnya, ini bukan kali pertamanya simbahku jatuh sakit sampai harus rawat inap di rumah sakit beberapa hari. Hanya saja, sakit yang diderita sebelumnya, tidak begitu mengkhawatirkan. Penyakit maag yang cukup kronis. Namun, bisa terkurangi dengan mengonsumsi ramuan tradisional sejenis tepung pati yang rutin diminumnya. Kondisi psikisnya pun tidak sedrop sakit kali ini.

Sakit kali ini, berhubungan dengan saluran kencingnya. Hasil analisa sementara dokter, ada infeksi di saluran kandung kemihnya. Namun, apa penyebab pastinya belum diketahui meski sudah beberapa kali kontrol. Simbah putri tidak bisa lepas dari alat yang bernama kateter. Tanpa kateter, simbah putri tidak bisa buang air kecil.

Sebelum aku menerima kabar tentang kondisi simbah putri, malamnya aku merasai semacam firasat buruk. Jum'at pagi harinya, begitu tanteku memberi tahu kabar sakitnya simbah, siang itu juga kami sekeluarga berangkat dari Cirebon ke Wonosobo. Beruntungnya, ketika kudapatkan kabar itu, hari jatuh pada tanggal merah.

Tiga hari dua malam. Aku hanya punya waktu tiga hari dua malam di sana. Hari Minggu aku dan keluarga sudah harus pulang karena hari Senin aku sudah harus kembali bekerja.

Pamitan dan pulang...

Adalah dua hal yang membuat hari itu menjadi hari terberat yang harus ibu dan aku lewati. Kami harus meninggalkan simbah putri, satu-satunya orang tua ibu yang masih hidup.

Ibu berusaha memahamkan simbah putri tentang sebuah takdir. Takdir ketika menjadi tua.

"Pengennya anak-anak di sini semua menemani simbah sepanjang hari. Tapi, semua anak-anak simbah sudah berkeluarga. Punya anak-anak yang harus dinafkahi. Kalau tidak bekerja, nanti bagaimana? Namanya ini takdir, Mbah. Takdir menjadi orang tua. Takdir yang harus dijalani dengan sabar," ujar ibu.

Simbah putri terdiam.

"Nyong1 ya ngerti perasaannya simbah. Ki, Mbah, nek nyong ning umah yo podho2. Anak-anak sibuk sendiri-sendiri. Puput berangkat pagi, pulang sore. Kalau lagi ada kerjaan ya di kamar terus. Libur juga kadang berangkat. Tapi, ya memang itu bagian dari siklus hidup. Makin anak-anak gede, dia punya dunianya sendiri. Ning umah ya paling nyong ngobrole karo bapake bocah-bocah3."

Obrolan pun terhenti sesaat. Tanteku masuk ke dalam kamar. Menemani kami mengobrol bersama simbah putri.

"Opo kulo mboten usah nyambut gawe po, Mbah? Ben iso ngancani simbah?"4 tawar tanteku yang tinggal serumah dengan simbah.

"Nek ora kerja, mengko pada maem apa?5" tanya simbah.

"Ya kan, sampun enten Pak Asih sing nyukupi kulo sareng anak-anak."6

Tanteku menyebut suaminya dengan sebutan Pak Asih -adik bungsu ibu- ketika ia berbicara dengan orang-orang.

"Gak usah, Dek Tari. Ini tadi lagi ngobrolin Puput yang kerjanya dari pagi, pulangnya sore," tanggap ibu dengan cepat seolah menjelaskan bahwa kami tidak sedang membicarakan tanteku yang juga bekerja sedari pagi sampai sore.

Lanjut ibu, "Simbah bersyukur, Mbah. Nduwe menantu sing eman banget karo simbah. Gelem ngurus simbah. Simbah arep opo ae dituruti. Simbah manut ae karo sing nom ning kene ben cepet mari. Nek simbah mari, anak putu pada seneng."7

Dari kedua sudut mata simbah mulai mengalir embun. Melihatnya begitu, ada perih yang berdenyut-denyut di dadaku.

"Mbah, nyong njaluk ngapura. Nyong anak wadon siji-sijine, sing kudune ngurus simbah, tapi ora bisa ngurus. Nek cepak ta ya nyong ngancani simbah ning kene. Tapi ya genahan prige ya. Nyong adoh. Bapak'e anak-anak ora bisa ditinggal,"8 ujar ibu, dengan nada yang mulai bergetar.

Aku semakin ditikam perih. Rasanya, sungguh! Aku enggan pulang!

Kutegar-tegarkan diri, mengatur sekuat mungkin suara agar tak melentingkan getar. Inginnya, aku tak menangis.

"Mbah, Insya Allah, kalau Puput ada libur panjang, Puput ke sini. Simbah terus doain Puput ya. Doain Puput terus dikasih kesehatan, dikasih kelancaran pekerjaan. Simbah yang sehat-sehat di sini."

"Ya, Put. Saling ndonga-dinonga9. Puput semoga cepat dipertemukan jodohnya. Mumpung simbah masih hidup. Mbah pengen lihat Puput sampe ketemu jodohnya."

Air mata ibu mulai pecah. Merintik turun tetes demi tetes.

"Minta doanya terus, Mbah. Pengennya cepet. Tapi, yang namanya takdir Allah, kita gak bisa atur-atur."

Runtuh sudah benteng pertahananku. Hangat rebak di sepasang mataku. Menjelma titik-titik bening yang pelan-pelan turun merayapi pipi. Rasa sayang simbah padaku sampai sedalam ini. Kurasa, ikatan kasih sayang yang sedalam inilah yang kerap melahirkan firasat-firasat di hatiku saat sesuatu terjadi pada simbah.

"Minta keikhlasane simbah, ya, Mbah,"10 ujar ibu diiringi sengguk.

"Mbah cepet sembuh. Puput pengen simbah sehat."

Aku memeluknya dengan rasa perih yang menggumpal di dada. Tangisku kian tumpah. Simbah berlinang air mata. Dan bulir-bulir dari mata ibu tak berhenti mengalir. Sesak yang tertahan di dada kami menjelmakan diri menjadi kubangan air mata. Tak terkecuali tanteku. Aku juga mendengar isak-tangis yang ditahannya.

Entah berapa jenak, kami membiarkan air mata luruh-berjatuhan sampai kami kembali menemukan sedikit ketegaran.

"Simbah ikhlas, si?"11

"Iya, Mi. Nyong ikhlas.

Bapak yang sedari tadi menunggu kami menyelesaikan tangis, akhirnya buka suara.

"Saya pamit ya, Mbah. Maaf, saya gak bisa kasih apa-apa. Maaf juga sudah merepotkan simbah dan keluarga di sini selama menginap di sini."

"Makasih, Nak Epik. Makasih simbah sudah dijenguk."

"Dek Tari, makasih sudah ngurusi simbah selama di sini. Harusnya saya yang ngurus. Tapi ya karena saya jauh, jadinya bulik yang kebrubuhan12. Udah repot ngurus anak, ketambahan ngurus simbah," ucap ibu.

"Gak ngerepotinlah, Budhe. Jangan ngomong gitulah, Budhe," jawab Tante Tari.

"Semoga Dek Tari sekeluarga dikasih kesehatan, rezekinya terus mengalir, anak-anaknya menjadi anak yang sholeh dan bisa nyenengin orang tua," doa ibuku dengan tulus.

"Amiiiin, Budhe."

"Mbah, wis yo, Mbah. Nyong pamit,"13 kata ibu, nadanya sudah terdengar lebih tegar.

"Puput juga pamit ya, Mbah."

Adik-adikku pun menyusul berpamitan. Kami berlalu dari kamar simbah. Langkah kakiku rasanya memberat. Lebih dari ketika aku berpamitan selepas dirinya terkena sakit maag kronis.
Tapi, seberat apapun kaki ini melangkah, aku harus terus berjalan.
*


Dalam perjalanan, ibu bercerita sedikit tentang keluh-kesah simbah yang hanya diungkapkannya pada ibu.

Ketika hari pertama simbah dirawat di rumah sakit, ia ditemani oleh anak lelakinya, adik lelaki ibu yang pertama. Selama semalaman dirawat itu, lebih dari 20 kali, simbah minta diantarkan ke kamar mandi untuk buang air kecil. Simbah merasakan anak lelakinya agak sedikit marah. Sehingga hari berikutnya, simbah minta ditemani oleh anak perempuannya yang merupakan saudara tiri ibu. Ya. Saudara tiri. Baik simbah putri maupun simbah kakung, ketika mereka menikah, masing-masing dari mereka telah mempunyai anak dari pernikahan sebelumnya.


Mendengar keluh-kesah simbah, ibu berusaha bersikap netral. Ibu memberikan segala pandangan dan kemungkinan yang bisa meredakan konflik. Bukan menambah keruh suasana. Tanpa mengabaikan perasan yang simbah rasakan, ibu berusaha memahamkan simbah bahwa mungkin saja kondisi adiknya saat itu tengah lelah dengan tanggung jawab kerja yang menumpuk.

Sepanjang perjalanan, aku memikirkan kata-kata ibu tentang hari tua. Kepalaku memeras tanya.

Bagaimana nanti hari tua ibu?
Bagaimana nanti hari tuaku?


Ketika salah satu pasangan hidup tak menua bersama hingga akhir hayat kita karena Sang Kuasa memanggilnya lebih dulu dari kita atau oleh sebab yang lain...

Ketika kita, sendirian, menyaksikan anak-anak kita yang telah dewasa tenggelam satu per satu ditelan kesibukan dengan urusannya masing-masing...

Ketika kita, seorang anak yang terus tumbuh didewasakan oleh waktu lalu menjalani yang dinamai bekerja dan berkeluarga sebagai bagian dari siklus kehidupan...

Di titik ini, aku bukan hanya menjadi paham bagaimana perasaan ibu juga perasaan simbah putri.

Tentang takdir menjadi tua yang dikatakan ibu pada simbah, sepanjang perjalanan itu, aku meresapi dan merasakannya seperti aku benar-benar berada di posisi mereka. Sepanjang itu pula, kilatan kenangan percakapan barusan ketika kami berpamitan, masih terasa menyesakkan dadaku.

Ibu...
Meski kau paham betul tentang takdir menjadi tua
dan kau telah mempersiapkan diri sekuat mungkin
Aku tahu, perasaan terperih manusia tetaplah sebuah kesepian
Kesepian dan sendiri di hari ketika kita menua
Ibu...
Saat di usiamu yang kian merenta nanti kau mengatakan 
bahwa kau ikhlas dengan kesibukanku
Aku tahu, kata-kata itu hanya untuk menghilangkan rasa bersalahku
Kau tahu, Bu?
Saat kau mengikhlaskan seperti yang telah simbah putri lakukan, 
aku akan merasakan hal yang sama seperti yang kau rasakan saat ini
: sesak
Ibu...
Aku ingin, di hari tuamu kelak, akulah yang mengurusmu
Bukan menantumu atau orang lain
Ibu...
Bila memang Allah memberiku umur yang panjang
Di hari tuaku nanti, saat aku harus menjalaninya sendiri
Aku ingin setegar simbah dan ibu
Dan untukmu simbah, terima kasih... terima kasih atas doa yang tak putus-putusnya untukku. Teruslah bertahan hidup. Teruslah bertahan sekuat yang kau bisa. Semoga aku bisa memenuhi keinginanmu.

Mataku bersembunyi di balik kacamata. Kurasai ada basah yang mulai menggenang di sana dan buru-buru kuseka ketika jatuh menitik.
*
_______________________________________________

Catatan:
1. Saya
2. "Nih, ya, Mbah, kalau saya di rumah ya sama...."
...."Di rumah ya saya paling ngobrolnya sama bapaknya anak-anak"
4. "Apa saya berhenti bekerja saja, Mbah? Biar bisa nemenin simbah?"
5. "Kalau gak kerja, nanti pada makan apa?"
6. "Ya kan, sudah ada Pak Asih yang mencukupi saya dan anak-anak."
7. "Simbah bersyukur, Mbah. Punya menantu yang sayang banget sama simbah. Mau ngurus simbah. Simbah mau apa saja dituruti. Simbah nurut sama yang muda-muda di sini biar cepet sembuh. Kalau simbah sembuh, anak cucu pada seneng.
8. "Mbah, saya mohon ampun. Saya anak perempuan satu-satunya, yang harusnya ngurus simbah, tapi gak bisa ngurus. Kalau dekat sih, ya, saya nemenin simbah di sini. Tapi ya mau gimana ya. Saya jauh. Bapaknya anak-anak gak bisa ditinggal."
9. Saling mendoakan
10. "Minta keikhlasannya simbah, ya?"
11. "Simbah ikhlas, kan?"
12. Ketimpaan
13. "Mbah, sudah ya, saya pamit."