Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Minggu, 31 Mei 2020

Bertahan Atau Lepaskan



Katamu,
Entah harus kunamai apa perasaan ini. Obsesi yang diperkuat dengan repetisi harapan kosongkah? Atau memang arah jalan takdir yang membutuhkan kesabaran dalam doa-doa panjangku?
Kau tahu?
Mungkin kaulah
Seseorang yang bodoh
Bukan dia
Hanya kau
Seseorang yang dengan bodohnya
Sendirian berkubang dengan pergulatan perasaan
Yang kerap membelitmu dalam keentahan panjang

Dan berulang-ulang menanyai hatimu dengan pertanyaan yang sama:
bertahan atau lepaskan

Terkadang... kau tertawa tersenyum sendiri
Terkadang... kau meneteskan air mata tanpa sadar
Yang kesemuanya tentang satu hal:
seseorang dengan kebodohannya sendiri.
Kebodohan yang nyaris berulang

Kau, yang membutuhkan waktu untuk membuka hati
Kau, yang tak mudah menjatuhkan diri pada cinta lawan jenis
Tapi... justru kerapkali terjebak 
Pada pusaran kisah semacam begini:
melihat dari jauh atau menyukai dalam diam

Luka-luka masa lampau
Kehilangan yang silih berganti datang dan pergi
Kepercayaan yang jatuh bangun dipatahkan-sambungkan
Kesemuanya itu... membesarkan kehati-hatianmu
untuk lebih terang menyukai bahkan mencintai
Juga memudahkan melepaskan
Untuk melindungi hatimu dari rasa sakit

Kali ini, aku mendengar kembali pertanyaan itu
Jauh di lubuk hatimu

Tanyamu, 
Bertahan atau lepaskan? Bertahan untuk apa? Bertahan pada suatu penantian yang bahkan terkadang terasa seperti kebodohan?
Bertahan atau lepaskan? Melepaskan apa? Untuk cinta seseorang yang bahkan belum pernah kugenggam, apa yang harus kulepaskan?

Apa yang harus kujawab untuk pertanyaan lirihmu?
Haruskah kau bertahan atau melepaskan perasaanmu pergi begitu saja?
Entahlah... hatiku pun dikepung bingung

Kau, yang sedang bimbang, kuhanya bisa berkata hal ini untukmu:
Biarlah semesta-Nya yang bekerja
Biarlah semesta-Nya yang menentukan ujung doa-doamu
Lihatlah kembali luasnya semesta batinmu
Temukan miliyaran cahaya bintang-bintang yang terhampar di sana

Dan... tetaplah hidup dengan baik
Sebaik-baiknya hidup yang telah Pencipta berikan padamu
Sebagai dirimu!
 

-Vinny Erika Putri, 31.05.20

Sabtu, 30 Mei 2020

Pohon Jiwa



Pada sebatang pohon
Yang kokoh berdiri
Di tengah kegelapan hutan batin
Keping-keping jiwa bersemayam
Pohon ini dinamai pohon jiwa

Suara pertama bertanya, dengan hati yang kacau balau, rusuh bergemuruh,
Dimana kubisa menemuinya kembali? Dahulu, aku dengan mudah melihatnya dan berada di sana.
Lantas, suara yang lainnya menyahuti,
Mengapa kau tak lagi mudah melihatnya? Apakah kini kau tengah gentar? Gentar untuk menelusuri kegelapanmu sendiri?
Bahkan, teriakanmu terdengar layaknya orang bingung. Dengan emosi yang tak bisa dibaca. Dan kata-kata yang sesak napas menjelaskan makna.
Suara pertama pun kembali berujar,
Emosi apa yang harus kusampaikan untuk menemukannya? Sungguh, aku tak tahu. Marahkah aku? Sedihkah aku? Senangkah aku?
Pohon jiwa memanggil,
Aku menunggu, keping-keping cahayamu. Yang muncul dan bermetamorfosa dari dasar tergelap. Kau tak akan melihatku, bila segenap emosi itu, gelap ataupun terang, tak kau lepaskan dengan jujur. Setidaknya, pada dirimu sendiri.
Ketika kau mampu menemukan kembali utuh dirimu, tabir itu terangkat dengan sendirinya. Aku tak pernah kemana-mana. Masih di tempat yang sama, saat dahulu kau menatapku dan berdiam di sana.

-Vinny Erika Putri, 30.05.20 

Jumat, 29 Mei 2020

Katarsis Lirih Seorang Perempuan Sunyi

Puisi - Kesunyian Jiwa | Media Agus


Ada rindu
Diam-diam bergemuruh
Pada jiwa seorang perempuan 
Yang berdiri sendirian
Di hamparan padang batinnya


Tanyanya lirih, pada sosok yang telah menyentuh hatinya entah sejak kapan,
Bagaimana kabarmu? Apakah kau baik-baik saja? Kemanakah kau belakangan ini? Marahkah kau kepadaku? Mengapa padang ini menjadi terlampau luas untuk kujelajahi tiap jengkalnya?
Hei, kalian berdua 
Mungkinkah kalian adalah dua orang yang sama:
Sama-sama saling menguji?
Sama-sama bersikukuh dengan gengsi?

Ataukah kalian serupa dua orang pemalu
yang hanya bisa saling melihat dari jauh
dengan gumaman rasa yang terpendam?


Katarsis lirihnya bergema, lagi, 
Aku rindu! Tapi tak tahu bagaimana aku harus melukiskannya. Rinduku, setara dengan ketakutanku. Ya. Ketakutan. Takut ketika kenyataan berhasil memberi getah pahit awar-awar pada harapan yang bertumbuh hingga akhirnya mati bahkan sebelum sempat melayu.

Mata perempuan itu basah
Bersamaan dengan rasa yang menggelisah

Tanyanya lirih, dengan rasa yang entah mesti diterjemahkan dengan apa, 
Apakah hanya aku seorang yang merasakan ini? Dan haruskah kulepaskan sekarang juga?
Perempuan itu terkepung bingung
Aku jatuh iba padanya
Lalu, tiba-tiba saja kumerasakan perihnya
Katarsis lirih seorang perempuan sunyi

Seketika, kekhawatiran menjalari pemikiranku,
Menghempaskanku ke dalam relung hatinya
Menenggelami batinnya
Dan bertelimpuh sembari menangkupkan kedua tangan

Lantas merapalkan doa-doa dengan harapan melangit untuknya:
Semoga ini tidak bertepuk sebelah tangan. Atau berujung pada rasa sakit yang sama. Sesoal menyukai, mengagumi atau (bahkan mungkin saja) mencintai seseorang diam-diam.


-Vinny Erika Putri, 29.05.20