Tentang patah hati terhebatku,
aku bertanya pada diriku sendiri, "Patah hati terhebat apa yang pernah kualami dalam hidup?"
Lalu, ingatanku berputar tentang banyak hal: orang-orang dan kenangan yang disisakannya, rasa pahit kehilangan, cita-cita/impian yang dibunuh-paksa atau dilepaskan dengan ikhlas dan sesuatu lainnya yang sempat melukai hati.
Tentang patah hati terhebatku,
aku bertanya pada diriku sendiri, "Apakah tentang luka pengkhianatan atas cinta pertamaku atau cinta yang datang berkesudah?"
Jika memang peristiwa tersebut menjadi patah hati terhebatku, mengapa aku sanggup bertahan hidup hingga sejauh ini? Apakah kehilangan orang-orang tersebut menjadi patah hati terhebatku?
Tentang patah hati terhebatku,
aku bertanya pada diriku sendiri, "Apakah tentang luka kehilangan sebab dipisahkan kematian dengan orang yang aku sayangi?"
Jika memang rasa sakit kehilangan Simbah Putri Wonosobo, aku mengiyakan kesakitan yang nyeri perihnya tak lekang dimakan waktu hingga sekarang. Tapi, mengapa aku masih bertahan hidup sampai kini? Apakah tercabutnya bagian dari jiwaku menjadi patah hati terhebatku?
Tentang patah hati terhebatku,
aku bertanya pada diriku sendiri, "Apakah tentang membunuh paksa atau merelakan cita-cita dilepaskan demi hal lain yang mau tidak mau mesti dipilih?"
Jika memang kehilangan cita-cita/impian membuatku gamang dalam melangkah, aku menganggukkan kepala sebab pernah berada di fase tersebut. Tapi, mengapa aku masih saja gigih mempertahankan nyawa hingga detik ini?
Lantas, jauh didalam sana, sebuah suara berkata padaku, dan menjadi percakapan singkat antara aku dan dirinya. Dirinya, yang menjadi bagian dari diriku.
"Saat ini, hatiku patah."
"Karena siapa?"
"Karenamu."
"Karenaku? Mengapa?"
"Kau mulai menghadirkan yang lain ketimbang diriku."
Tentang patah hati terhebatku,
malam ini aku terperangah, dan kembali bertanya pada diriku, "Patah hati terhebat apa yang pernah kualami dalam hidup?"
Langit hati tertikam ngilu. Seolah mencari jawab. Sesoal patah hati terhebat dalam hidupku.
Tentang patah hati terhebatku,
adalah ketika aku tidak bisa melihat dan memahami diriku sendiri dengan jelas, jernih dan yakin;
adalah ketika aku tak mampu menemukan kedamaian batin bersama diriku yang autentik di kedalaman sana;
adalah ketika aku tak lagi percaya kepada diriku sendiri untuk menghadapi dan melewati segala hantaman tantangan dan kesulitan hidup yang kadang membuatku sekarat;
adalah ketika aku kehilangan keterikatan dengan diriku sehingga aku tak mampu merasakan kehadiran-Nya dalam wujud petunjuk apapun;
adalah ketika aku kehilangan diriku, yang artinya ... aku tak lagi bisa mengenali diriku sendiri, sehingga aku pun akan kehilangan-Nya.
Kemudian, aku bertanya pada semesta batinku,
Adakah manusia lainnya yang pernah merasakan patah hati dengan diri sendiri?
Aku rasa, mungkin jawabannya tidak.
Atau mungkin ... tentang patah hati terhebat yang terjangkau dalam pandanganku dan terasa oleh diriku, hanya bisa dipahami 1% dari populasi manusia di dunia.
-V.E.P, Dialog Malam, Monolog Diri.