Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Sabtu, 08 April 2017

Hujan yang Luruh di Penghujung Usiamu



Kubuka layar smartphone. SMS dari omku.

Sudah sampai mana, Put?

Kukirim SMS balasan. Gagal terkirim. Padahal, jaringan sinyal ada, pulsa masih memenuhi untuk mengirim SMS. Pesan kukirim ulang. Gagal lagi. Dengus kesal keluar bersamaan embus napas. Ku-restart smartphone. Pesan kukirim kembali. Berkali-kali. Tetap nihil. Pesan tidak ada yang terkirim satu pun. Entah apa yang bermasalah.

Jengkel karena pengiriman pesan berkali-kali gagal, aku pun berhenti mengirim SMS. Dengan menggunakan HP "pinjaman kantor" yang kebetulan kubawa, aku meng-SMS rekanku untuk memintanya mengisikan pulsa ke nomorku. Sembari menunggu pulsa masuk, aku menghabiskan makanan yang sudah dipesan. Selesai makan, pulsa yang dikirim rekanku berhasil masuk. Bergegas kumenelpon omku.

"Assalamu'alaikum. Om, Puput udah ngelewatin Sawangan. Ini lagi pada makan dulu. Ruang kamar tempat simbah dirawat namanya apa sama nomornya berapa, Om?"

"Nanti kalau udah sampe, om dikabarin. Om nunggu di parkiran rumah sakit. Ke ruangannya nanti diantar sama om," jawabnya.

"Oh. Ya wis. Nanti tak kabari kalau udah di situ."

"He eh, Put. Ati-ati di jalan, ya."

"Iya, Om. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Telepon ditutup. Kumembuang napas keras-keras serupa mengurai pikiran yang mulai kalut. Di langit, mendung kian memekat. Lalu, pecah menjelma rintik gerimis. Jalanan perlahan membasah. Selintas, lingkar mataku menatap ibu yang diam membisu. Kami seolah merasakan hal yang sama dalam keheningan.

"Istirahatnya udah cukup. Kita berangkat lagi sekarang," kata Bapak selang beberapa menit aku menelepon omku.

Ibu menuju kasir. Setelahnya, kami masuk ke dalam mobil. Seiring mobil melaju, teleponku berdering. Panggilan dari omku.

"Udah sampai mana, Put?" tanyanya.

"Sampe Kelerang, Om," jawabku.

"Ya sudah. Cepet, ya. Ditunggu di rumah sakit."

"Ya, Om."

*

Sekitar pukul 14.30 WIB, kami tiba di R.S PKU Wonosobo. Tampak sepupuku menunggu di situ. Aku turun dari mobil diikuti ibu dan adik perempuanku. Sementara adik laki-lakiku menemani bapak mencari tempat parkir untuk mobil.

Tadinya, sepanjang perjalanan, aku optimis dengan membayangkan kejadian serupa setahun silam: aku menginap di rumah sakit menemani simbah, kondisi simbah perlahan membaik lalu aku kembali ke Cirebon dengan membawa keyakinan simbah juga akan kembali ke rumah dan keyakinan itu pun terwujud. Tapi, semenjak omku meminta kami datang secepatnya ke rumah sakit dan dari cara sepupuku menyambut kami di pintu masuk rumah sakit, aku hanya berusaha untuk mengendalikan emosi yang mulai bergolak.

"Simbah gimana?" tanyaku pada Mas Aris, sepupuku, sambil kami berjalan menelusuri koridor rumah sakit.

Raut mukanya serius. Ia tak menjawab pertanyaanku. Ia hanya menyentuh punggungku yang bisa kuartikan "berjalanlah terus, segera temui simbah".

"Simbah kritis? Dari kapan?" cecarku meminta jawaban.

"Pagi tadi," akhirnya ia menjawab.

Aku membisu. Dan sepanjang langkah berderap, dengan perasaan tak keruan, berulang-ulang kupinta pada diriku sendiri: tolong tenang, tolong kendalikan dirimu.

Kami sampai di sebuah ruangan. Begitu kubuka pintu, kurasai penyangga tubuhku seperti tercabut. Tubuh ringkih dalam keadaan setengah koma terbujur pasrah di pembaringan. Di tubuhnya, terpasang beberapa selang yang terhubung pada alat deteksi tubuh.

"Jangan nangis. Jangan nangis. Kasihan simbah," ujar beberapa saudara begitu mereka melihatku mulai kesulitan mengendalikan perasaan.

Kata-kata mereka, justru membuatku hatiku makin rusuh. Sesak menjalar. Kupunggungi simbah untuk menyembunyikan sengguk. Pula, dalam hati, kusentak diri ini lebih keras lagi untuk tenang. Kuatur napas sembari menyeka basah mata dan mendongakkan kepala untuk menghentikan bulir air yang menetes.

Setelah rusuh gemuruh di dada mereda, kubalikkan badan dan berjalan mendekati sisi pembaringan diiringi ibu di belakangku. Tak terpikirkan olehku untuk menyapa sesiapa saja yang ada di situ. Penglihatanku hanya tertuju pada satu orang. Tangan kananku memegang tangannya. Sementara tangan kiriku membelai rambutnya. Dan bibirku mencium keningnya. 

Kupendekkan jarak bibirku dan telinga simbah, lalu berbisik, "Mbah... ini Puput. Puput dateng. Lengkap sekeluarga."

Ia sudah tidak bisa berkata-kata. Tapi, aku bisa merasakan, ia melihatku dengan mata kanannya yang terbuka lebih lebar dari mata kirinya.

"Puput minta maaf, ya, Mbah. Maaf kalau sudah banyak bikin simbah sedih. Puput sayang simbah."

Setelah aku, bergantian ibu yang membisiki -mungkin- kata-kata serupa di telinganya. Ada rasa nyeri yang mengoyak hatiku pada saat itu. Kakinya sudah sangat dingin. Begitu juga tangannya. Aku bisa melihat lebih rinci selang-selang yang terpasang di tubuhnya. Selang-selang tersebut bermuara ke sebuah monitor pendeteksi detak jantung, pernapasan dan tekanan darah.

"Dibacain dzikir, Put. Dzikirnya jangan lepas," ujar seorang saudara.

Aku mengangguk. Bergantian dengan ibu, aku membisiki simbah kalimat syahadat. Sementara bapak meminta Al-Quran dan mengaji di sudut yang lain lalu keluar ruangan setelah adzan ashar berkumandang.

Tiba-tiba, aku teringat murotal yang ada di smartphone-ku. Sedari tadi aku berdiri di situ, tidak ada yang menyetel ayat-ayat Al-Quran. Hanya bacaan dzikir yang dilantunkan di telinga simbah secara bergiliran. Kadang-kadang, bacaan dzikir terhenti karena para tamu silih berganti datang berkunjung.

Aku sempat menyetel Q.S Yaseen sekali. Setelahnya, tak kusetel lagi karena ada beberapa ayat yang rusak sehingga terdengar meleot. Kuganti dengan menyetel Q.S Ar-Rahman berulang-ulang. 

Tidak ada pengkhususan atau kesengajaan aku menyetel dua surat ini. Aku menyetel apa yang ada di smartphone-ku dan bertujuan agar telinga simbah tidak kosong, agar kalimat-kalimat-Nya tetap berdengung di telinganya. Karena yang kutahu, pada saat demikian, kita tengah beradu dengan setan yang terus membujuk orang yang berada dalam kondisi sakaratul maut untuk ikut dengannya.

Tiba-tiba, murotal terhenti. Teleponku berdering, kuangkat telepon sembari keluar kamar. Aku menarik napas panjang. Pekerjaan tak pernah memandang bagaimana kondisi kita. Dan kita kerap harus memaksakan diri berpura-pura baik-baik saja dalam keadaan bagaimana pun bila sudah berhubungan dengan pekerjaan. 

Orang tua yang kukira tidak jadi memasukkan anaknya ke lembaga tempat kubekerja dan lama tak berkabar mendadak meminta anaknya untuk diizinkan masuk hari Senin. Aku berbicara dengannya, bla bla bla... yang ujungnya... sepakat hari Senin setelah aku berkoordinasi dengan rekanku di sana.

Kututup telepon. Lalu, masuk kembali ke dalam ruangan. Dan murotal Q.S Ar-Rahman kuputar kembali.

*

Aku menyentuh leher simbah. Masih terasa hangat. Beralih kuraba bagian perut simbah dari balik selimut yang menutupinya. Tidak sepanas saat awal aku memegangnya. Panasnya mulai turun. Kubuka perut simbah. Kudapati tonjolan besar di perutnya. Istri sepupuku yang berada di sampingku memberitahuku.

"Tumor ganas?"

Aku tercenung. Karena sebelumnya, simbah tidak punya riwayat tumor ganas.

"Iya, tumor itu kedeteksi 3 hari yang lalu. Harusnya, hari ini jadwal operasi. Keluarga optimis simbah bisa sembuh, karna kemauan simbah untuk sembuh sangat kuat. Tapi... ngeliat kondisinya yang drop tadi pagi, semua udah pasrah," ungkapnya dengan mata berkilap.

Kumengalihkan titik emosi. Kuambil tissue. Kubersihkan cairan yang keluar dari hidung simbah. Di hidung simbah, terpasang dua selang. Selang oksigen dan selang yang terhubung dari hidung ke lambungnya. Hidung simbah mengeluarkan cairan yang warnanya seperti betadin. Mereka bilang itu cairan asam lambung. Beberapa hari yang lalu, sebelum selang tersebut dipasang, simbah bolak-balik muntah karena asam lambungnya meningkat. Aku melihat kantong buangan asam lambung dari selang sudah mencapai separuh isi kantong.

Kubelai kepalanya sembari berbisik, "Puput sayang simbah." 

Simbah tetap tak berkata-kata. Lekat-lekat kupandangi wajahnya. Ada basah yang menggenangi pelupuk matanya.

Kusapu pelan-pelan dengan tissue lantas kubisiki di telinganya, "Aku rela Allah Tuhanku. Aku rela Islam agamaku. Aku rela Muhammad nabi dan rasulku. Aku rela Alquran sebagai petunjuk dan hukum."

Lanjutku, "Ya Allah, ampunilah segala dosa-dosaku. Terimalah segala amal ibadahku. Aku rela menghadap-Mu. Aku ikhlas menghadap-Mu. Terimalah aku di sisi-Mu."

Kepalaku terasa berputar saat kutegakkan. Kupejamkan mata sesaat untuk mengembalikan keseimbangan. Lalu berjalan perlahan menjauhi pembaringan.

*

Aku duduk dan menyandarkan kepala di sofa yang tak jauh dari pembaringan tempat simbah rebah. Aku butuh tenggat untuk menata kekuatan diri agar tidak limbung. Dalam jeda mengumpulkan kekuatan, jejaring mataku tak lepas menatap monitor yang menunjukkan detak jantung. Tiba-tiba, alat deteksi jantung berbunyi 3 kali lantas detak jantung simbah menghilang 

Spontan aku berseru, "Simbah! Simbah!" sembari bangun diiringi orang-orang mendekat serentak ke pembaringan begitu mendengar seruanku.

Detak jantungnya kembali. Kakiku melemas. Aku dan ibuku berdiri bersehadap. Aku di sisi pembaringan sebelah kiri, ibu di sebelah kanan.

"Bu, barangkali simbah nunggu Om Par. Tinggal Om Par yang belum dateng. Coba dihubungi," ujarku pada ibu.

Ibu berbicara dengan adiknya yang kedua, "Yon, deke hubungi Parkiyo. Ben ngendika karo simbah. Mboan simbah ngenteni Parkiyo,"1

"Iya, iki Mas Par jarene agi wae pelatihan ning Jakarta. Sesuk jarene arep mrene. Iki arep tak hubungi meneh."2

Om Yono menghubungi Om Par.

"Mas, sampeyan esih ning Jakarta? Iki mas, tolong, sampeyan ngendika karo simbah. Kondisine simbah makin kritis."3

Telepon pun diserahkan kepadaku. Kuletakkan telepon tepat di telinga kanan simbah. Dan aku bisa mendengar jelas suara di seberang sana.

"Mbah, kulo Parkiyo. Kulo badhe ngendika sareng simbah. Kulo nyuwun ngapurane nggih. Insya Allah, sesuk kulo wangsul teng riku. Simbah ngucap niruake kulo nggih."4

Om Parkiyo mengucapkan dua kalimat syahadat. Dua kali. Pertama, kalimat syahadat masih terlantun dengan tabah. Sama tabahnya saat beliau ngendika. Kedua kalinya, kalimat syahadat yang diucapkannya terdengar pelan dan makin menipis di ujungnya. 

Segera kuberikan telepon kepada Om Yono untuk melanjutkan pembicaraan dengan Om Par. Aku sempat melihat simbah merespon setelah Om Par menelepon. Simbah mengembuskan napas sembari melontarkan kata "aaaaah" dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya. Dan itu adalah suara terakhir yang kudengar darinya.

Sejak detak jantungnya sempat menghilang, orang-orang bersiaga penuh. Dan aku tak beranjak dari sisi simbah. Dari monitor, detak jantung mulai menyentuh angka 86. Sebelumnya, hanya berkisar diantara 91-92.

"Put, dzikir lagi," titah omku.

Bacaan dzikir pun kembali bersahut-sahutan. Disamping murotal yang tidak berhenti diputar, aku mulai mentalqin kembali kalimat syahadat di telinga kanannya. Sementara di sisi kirinya, orang-orang mengucapkan kata "Allah" berulang-ulang.

Omku terus memantau detak jantung lewat monitor pendeteksi detak jantung. Sekilas, di tengah-tengah mentalqin, aku melirik monitor. Detak jantung konsisten di angka 86. Aku berhenti mentalqin sejenak untuk mengendalikan sesak dan mengusap genangan yang mulai rebak di mata.

Konsentrasiku mulai oleng. Aku mulai mengucapkan kata "Allah" mengikuti yang orang-orang ucapkan. 

Sampai Om Yono mengatakan dengan nada tegas, "Syahadat lagi, Put."

Mungkin, sudah cukup beliau memberikan kesempatan pada orang-orang berdzikir menyebut kata "Allah" atau berdzikir dengan cara yang diyakini masing-masing. Secara tidak langsung, beliau menginginkan satu bacaan yang sama yang diucapkan orang-orang dalam ruangan itu. Dan apa yang ibu dan aku lakukan sedari tadi, sepemahaman dengannya.

Aku kembali mentalqinkan kalimat syahadat. Dan diikuti yang lainnya setelah omku berkata demikian. Masih dalam keadaan terus mentalqin simbah, kulihat liurnya pelan-pelan mulai keluar. Kerongkonannya sudah tidak bisa menelan liurnya sendiri. Atau mungkin tanda penarikan ruh itu mulai mencapai kerongkonan. Di sudut mata kanannya, keluar setitik embun. Aku mengepalkan tangan untuk menekan gemuruh di dada.

Tante Tari, yang berada di belakangku, menyentuh punggungku agar aku tidak berhenti mentalqin ketika dilihatnya aku mulai kepayahan menjaga ritme emosi. Ia juga mengusap-usap punggungguku dan memintaku untuk tabah di sela-sela syahadat yang juga diucapkannya tanpa putus.

Ekor mataku melirik alat deteksi detak jantung. Kali ini, tidak ada angka yang menunjukkan kisaran detak jantung. Hanya grafik yang menunjukkan detak jantung kian melemah mendekati garis lurus. Tubuhku gemetar. Omku terus mengingatkanku untuk mengucapkan kalimat syahadat dengan kuat. Sikapnya yang demikian bermaksud membantuku dalam menjaga konsentrasi selama aku mentalqin.

Tubuh simbah tidak memperlihatkan gerakan apapun yang mengindikasikan penolakan atau kesakitan yang teramat sangat. Tubuh itu begitu pasrah, tenang, dan tabah meski dari bibirnya, liur yang mengandung asam lambung terus mengalir. Sampai kemudian, liur yang tadinya hanya keluar sedikit-sedikit, mulai menggelontor banyak. 

Kurasai sekujur tubuhku memanas. Tante Tari membersihkan liur simbah yang menetes dengan tissue. Kalimat syahadat yang terucap dari bibirnya mulai bergetar. Ruangan pun mendadak berhiruk-pikuk. Orang-orang sebagian sudah bersiap-siap menghubungi pihak rumah sakit dan mungkin rumah duka untuk penangangan jenazah. Aroma kematian kental tercium.

Muntahan liur kedua keluar lebih banyak dari liur pertama. Tante Tari mulai terisak. Aku semakin kacau. Kupejamkan mata dan kian mengencangkan kepalan tangan. Kutekan kuat-kuat kalimat talqin yang kuucapkan agar tidak tetas menjadi sengguk. Kalimat syahadat, murotal surat Ar-Rahman, kumandang adzan magrib bercampur aduk dalam satu waktu. Dalam hati, kumemohon pada-Nya: permudah, ampuni segala dosanya dan berikan ia tempat terbaik di sisi-Mu.

Muntahan liur ketiga keluar bersamaan dengan selesainya iqomat maghrib. Kalimat syahadat yang kuucapkan semakin terdengar meninggi. Lalu lenyap seketika seiring berhentinya liur mengalir, dan menutupnya mulut serta mata simbah. Muntahan terakhir, seperti kelegaan bagi simbah. 

Bersamaan dengan itu pula, pertahananku runtuh total. Aku terduduk lemas di kursi dekat pembaringan. Lalu, kuberbalik badan dan membenamkan muka di perut tanteku. Kami berpelukan. Tangis kami tumpah berbarengan.

Dan masih saja ada yang mengatakan, "Sudah. Sudah. Jangan nangis. Kasihan simbah," meski mata mereka sendiri juga berembun.

Ingin kuberkata, Ini hati. Bukan baja. Ada perasaan di dalamnya. Kami sudah mengekangnya untuk tidak melepas tangis kencang sepanjang pergulatan perasaan tadi. Tidak bisakah untuk melepaskan setitik emosi tangis barang sebentar. 

Tapi kata-kata seperti kehilangan suara, terbungkam kelu-kebas.

Kami mundur dari sisi pembaringan. Di sofa, kami duduk seperti orang linglung. Dan pada saat yang bersamaan, kami merasakan mual yang amat sangat. Lantas muntah berbarengan.

*

Para lelaki sibuk mengurus persiapan jenazah untuk dibawa ke rumah duka. Aku duduk untuk menetralkan lambungku yang masih terasa mual dan kepala yang terasa berat untuk tegak. Sementara, kulihat kondisi Tante Tari lebih kepayahan dariku. Fisik dan psikis. Ia amat terpukul, karena sehari-hari beliaulah yang mengurus simbah. Beliau menantu yang tinggal serumah dengan simbah. Ibu sebagai anak perempuan simbah, tidak bisa terus berada di dekat simbah karena semenjak menikah, ibu tinggal bersama bapak di kota kelahiran bapak.

Smartphone-ku berbunyi. Nomor asing. Kukira dari sanak-keluarga Wonosobo. Kuangkat seraya keluar dari ruangan. Ternyata, orang tua calon murid baru yang sebelumnya sempat meneleponku.

"Bu, setelah saya diskusi dengan keluarga, gimana kalau saya masukkan anak saya hari Kamis besok. Kita coba setengah hari dulu. Takutnya nanti kalau masuk Senin langsung full day, anaknya nangis."

Rasanya aku ingin marah. Ingin kuberkata, aku tidak ingin pekerjaan menggangguku sementara ini! Tapi, sekali lagi, bukankah pekerjaan kebanyakan begitu? Meminta kita tetap berpura-pura baik-baik saja bagaimana pun kondisi kita? Siapa yang salah? Aku yang hanya manusia biasa dengan segala emosi yang kupunya saat situasi menempatku pada posisi seperti ini? Atau ia yang tidak tahu situasi yang terjadi ketika dia menelepon? Tidak ada yang salah... yang ada pemakluman atas bentrokan situasi dan kepentingan.

Aku menarik napas dalam-dalam, dengan nada ditekan, kujawab, "Bunda, maaf. Kalau minggu ini saya belum bisa mengizinkan anak bunda untuk masuk. Butuh satu orang untuk menyamankan anak baru. Kondisi tidak memungkinkan kalau minggu ini. Saya masih di luar kota. Kalau hari Senin, Insya Allah bisa. Nanti saya yang pegang."

"Oh, gak bisa, ya, Bu? Saya khawatir anaknya nangis," eyelnya.

"Tenang aja, Bun. Anak yang baru pertama masuk sekolah atau berada di lingkungan baru dengan orang asing yang belum dia kenal, biasanya memang seperti itu. Paling nangisnya di awal-awal. Kita sudah biasa menghadapi kondisi seperti itu," eyelku tidak mau kalah.

"Jadi Senin ya, Bu, bisanya?"

"Iya, Bun. Senin Insya Allah saya yang pegang. Sekarang sayanya lagi di luar kota. Lagi di rumah sakit," ujarku dengan nada yang agak menajam.

"Oh. Maaf, Bu. Lagi di rumah sakit, ya? Maaf ya, Bu. Maaf, jadi mengganggu."

"Gak apa-apa, Bu. Santai aja. Besok ibu bisa ketemu langsung dengan rekan saya untuk informasi lebih lanjut. Atau soal biaya, boleh langsung bertanya dengan pihak yayasan," ujarku dengan nada yang mulai melunak.

Setelah mengucapkan terima kasih dan berbalasan salam, telepon pun ditutup. Aku masuk kembali ke dalam ruangan. Dari celah tirai yang menutup area tempat tidur, aku melihat jenazah simbah sudah ditutupi kain. Tepat lurus dari pandanganku, tampak biji-biji air merayap turun di kaca jendela. Hujan yang turun sedari tadi belum juga berhenti.

Aku menghampiri Tante Tari yang masih terduduk lemas di sofa. Ibu berbicara dengan Om Asih, adik bungsunya. Yang juga suami dari Tante Tari.

"Dek Tari ke sini naik apa?"

"Motor," jawab Om Asih.

"Dek Tari pulangnya ikut kita aja. Kondisinya udah kecapean. Terus juga perlu ada orang yang nunggu di sana sampe jenazahnya simbah dibawa ke rumah," kata ibuku.

Ibu juga mengajak orang tua tanteku untuk ikut bersama mobil yang kami tumpangi. Aku merasakan ketegaran di nada bicara ibu. Ibu pasti menitikkan air mata. Tapi tidak dengan lengking ratapan. Ibu lebih bisa menguasai diri di hadapan banyak orang. Entah saat ia sendirian.

Aku, ibu dan orang tua tanteku memapah tanteku menuju mobil. Tapi begitu aku menyarankan untuk naik lift, ibuku mendadak takut. Lift identik dengan naik atau turun dari ketinggian. Ibu lebih memilih turun lewat anak tangga. Akhirnya, aku dan orang tua tanteku yang memapah tanteku. Sementara ibu, menunggu di lantai pertama. 

Sampai di lantai pertama, tanteku mulai mengeluhkan kakinya yang kram. Pun asmanya kambuh. Ia limbung. Pingsan. Lantas, dilarikan ke IGD untuk mendapatkan oksigen. Ibu meminta saudara perempuan yang lain untuk menemani tanteku beserta ibunya. Karena aku sekeluarga akan pulang duluan untuk persiapan jenazah di rumah duka.

Seusai situasi lintang-pukang itu berlalu, kami keluar dari rumah sakit. Aku mengekor di belakang ibu. Bapak sudah menunggu di mobil. Di luar rumah sakit, hujan menghantarkan dingin yang menggigilkan tubuh.
Hujan luruh di penghujung usiamu. Hujan ini membawa satu ingatan yang lain pada kotak kenangan dalam hidupku: rumah sakit, kalimat syahadat, waktu magrib dan detik-detik terakhir bersamamu.
Mobil melaju menjauhi rumah sakit. Hangat rebak di sepasang bola mata. Menjelma bulir air. Jatuh menitik. Lalu hilang tersamarkan gelap.

*

R.S PKU Wonosobo, 05.04.2017

____________________________

1. "Yon, coba kamu hubungi Parkiyo. Biar ngomong sama simbah. Barangkali simbah nungguin Parkiyo.
2. "Iya. Mas Par katanya lagi pelatihan di Jakarta. Besok katanya mau ke sini. Ini mau tak hubungi lagi."
3. "Mas, kamu masih di Jakarta? Ini mas, tolong, kamu ngomong sama simbah. Kondisinya simbah makin kritis.
4. "Mbah, saya Parkiyo. Saya mau ngomong sama simbah. Saya minta maaf, ya, Mbah. Insya Allah, besok saya pulang ke situ. Simbah ngucap niruin saya, ya."