Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Minggu, 30 Maret 2014

Gadis Penyair dan Kertas yang Berbicara



Mesin-mesin berdesing memekakkan telingaku. Jeritan-jeritan kesakitan melengking menyayat pilu. Jeritan yang tiada satu pun manusia di sini sanggup mendengar, namun menusuk hingga ke jantungku. Pula mengirisi kegagahan hatiku secara  perlahan. Aku menangis tersedu. Di depan mataku, mereka rubuh satu per satu.

"Ayo, lekas selesaikan sebelum matahari mengganti malam dengan terik pagi," perintah lelaki berbadan gempal.

"Mandor itu, sungguh terlalu! Hanya pintar memerintah. Dipikirnya mudah menumbangkan ribuan pohon di hutan perawan ini," ujar lelaki bertubuh pendek tirus dengan nada lirih.

"Sudahlah teman, tak usah kau hirau. Bayangkan saja uang yang akan kita dapatkan. Setimpal dengan yang kita kerjakan," tanggap lelaki bertubuh jangkung kekar.

"Tak setimpal dengan resikonya. Resiko penjara," lelaki pendek tirus masih mengeluh.

"Hei, bukankah kita yang mengingini ini, teman? Kita memilih kesepakatan dengan pihak pengusaha kayu itu daripada kehilangan pekerjaan?"

Kata-kata lelaki bertubuh jangkung kekar membungkam mulut lelaki bertubuh pendek tirus. Kini mereka bersihadap denganku. Nyalang kutatap mereka. Di tangan lelaki bertubuh jangkung kekar tergenggam mesin bergergi tajam. Dan dengan cepat mesin itu melesak ke dalam tubuhku. Dalam sekejap, nyeri meraja sebadan-badan. Pandanganku memburam. Tubuhku kian miring. Aku limbung. Seketika gelap mengepung.

*

Kukira aku telah benar-benar mati. Aku siuman setelah suri yang entah berapa lama. Kudapati pemandangan tak lagi hijau. Bising suara mesin masih terdengar. Dan, Ah tidak! Aku akan mati yang kedua kali. Terlambat untuk ku berlari. Berlari? Andai aku bisa. Dalam hitungan detik sebuah mesin pencacah melahap tubuhku. Kemudian mengubahku menjadi repihan-repihan kecil.

Mereka tak hanya puas mencacah tubuhku. Serat-serat yang menyokong tubuhku dipisahkan paksa. Kurasai tekanan dan panas yang amat sangat. Tubuhku menjelma pulp[1]. Membubur cair. Aku tak lagi ingat berapa kali ku berpindah dari mesin satu ke mesin lainnya. 

Kini, tubuhku berpilin putar dalam mesin gilingan. Putaran mesin giling melahirkan pening. Tetes-tetes air berjatuhan. Lalu, cetakan besar menampaku. Bentukku tak lagi bubur. Mesin itu telah mengambil saripatiku dan menekanku lebih keras dari sebelumnya hingga kumemadat.

Aku tak mati. Aku berevolusi. Dari bongkahan kayu menjadi lembaran tipis. Inikah titah Tuhan? Kutiti garis takdirku selanjutnya. Aku, sang kertas.

*

Aku mengenal gadis ini kali pertama ia mengguratkan sesuatu di tubuhku. Warnanya hitam. Aku tak mengenali makna lekukan-lekukan yang ia goreskan. Mimik wajahnya berubah-ubah. Terkadang ia mengguratkannya sembari tersenyum. Sesekali ada air seperti butiran embun yang menetes di tubuhku. Atau di suatu waktu ia menorehkan warna hitam itu terlalu keras di tubuhku dan disertai hembusan napas panjang.

Waktu mengajariku bahasa gadis ini. Bahasa manusia. Pula memahamkanku berkotak-kotak rasa yang menghidupi hati manusia­. 

Pada senja yang belum lama tenggelam, sepasang mata kita bertaut. Debar mengada tiba-tiba. Menundukkan pandangku seketika. Lalu, kudapati bayangmu terpenjara dalam kepala bermalam-malam.
Tak lagi kutanya pada diri. Tentang kapan mula cinta menadi pada buliran waktu panjang kebersamaan kita. Aku tak menggenggam jawab. Kecuali petunjuk dari rindu yang menyelinap diam-diam.
Duhai Tuhan, hatiku tak berkeberanian menerjemahkannya dalam bahasa tubuh dan kata nyata. Aku wanita. Etika menahanku. 

Aku tertawa geli. Menertawai hari-harinya. Cinta memekarkan bungah di hatinya. Udara yang dihelanya bernapaskan keindahan. Meski perasaan sang penawan masih tak tertebak, ia menyetia pada penantian. Pula sepasang bola matanya tak kehilangan binar.

Aku tergelitik tanya. Tuhan, inikah cara manusia mencintaiku? Mencintai kami–bekas bebatang pohon? Kami ditebas tanpa pandang usia. Demi sebuah evolusi: menjadi kertas. Lalu, kami menjadi saksi kisah hidup mereka.

*

Tanggal memerah. Matahari Minggu masih tampak malu-malu. Gadis ini membawaku ke sebuah taman yang sangat luas dengan rupa pemandangan serba hijau. Suguhan pemandangan ini, menarik ingatanku pada jejak kenangan silam. Kenangan pada masa sebelum aku menjelma kertas. Duhai kenangan, mengapa adamu meredih rindu yang tak menjangkau temu?

Tanah muasal... betapa aku ingin kembali.

Semilir angin membuyarkan lamunanku. Di kejauhan sana, orang-orang hilir-mudik menyiapkan sesuatu. Entah apa yang akan mereka lakukan. Sementara gadis ini, memilih menjauh dari keramaian. Ia duduk di bawah rerimbunan pohon dengan wajah  sendu.

“Hei, sudah kau siapkan puisi untuk dipentaskan nanti?”

Sebuah suara memecahkan sunyi.  Tanpa menoleh, diberikannya jawaban.

“Sebentar lagi.”

“Jangan menyendiri berlama-lama. Acara akan segera dimulai.”

“Aku tahu waktu. Pergilah duluan. Aku masih butuh tenang beberapa saat.”

Seiring punggung lelaki tadi menjauh, kurasakan ia mulai menggurat kata-kata di tubuhku. 

Pada detik waktu yang tak pernah membeku, aku bertanya dengan hati yang kelu, "Kapankah musim kembali terasa sama seperti sebelum penantian menghadirkan harap yang mengurat nadi?"
Kau pergi. Mengingini tetas nyata sebuah asa tinggi. Tanah rantau yang kini kau pijak menggelar  jarak. Aku terbius sepi. 

Itukah puisi yang akan gadis ini sampaikan? Rasanya, sangat jauh dari tema “Save The Earth”. Tiba-tiba, rasa ibaku padanya muncul. Kali pertama aku mengasihani manusia. Begitukah kerinduan anak manusia yang mencinta di atas jarak? Meski hanya mencintai diam-diam.

Ia beranjak mendekati kumpulan orang-orang itu. Lantas duduk di deretan kursi terdepan yang berada di muka panggung. Panggung megah di hadapannya, bertatanan keindahan sedemikan menawan. Ia bercakap-cakap dengan beberapa orang. Rupanya, mereka sesama penyair.

Berlarik-larik kursi, perlahan-lahan mulai penuh dengan orang-orang. Tak lama kemudian acara dimulai. Di atas panggung, aku melihat beberapa penyair berdiri bergantian. Mereka berteriak. Meraung. Menangis. Sesekali terselingi suara tepuk tangan riuh para penonton yang separonya merupakan pembesar negara.

Para penyair itu mempertunjukan semacam jeritan silu. Tentang sekawananku: pepohonan. Tentang alam. Lelaku mereka, katanya, bentuk keprihatinan pada hijau alam yang kian pudar menghilang. Sebabnya, ketamakan manusia. Kecuali mereka, gadis ini maju ke panggung tanpa kertas di tangannya. Cukup lama ia mematung. Apa yang ada di kepalanya, aku sungguh tak tahu. 

Duhai, pepohonan
Pena bumi yang tegak menjulang ke  langit
Puisi alam pemberian Sang Maha Indah
Kidung berudara tak berbanding tak bertara
Tengah menjeritkah kau?
Tengah mengadukah kau pada alam?
Hingga alam murka mengirimi air bah sebab kau dilimbungkan tiada berpilih
Atau, kau tertawa-tawa dalam sosok lain?
Menertawai kami, para manusia
Yang mengurai kehampaan pada wujud barumu
: lembaran-lembaran kertas
Sekarang, kudengar gemerisik bambu seolah mengatakan
: Manusia, sungguh makhluk yang ironi.
Ya. Ironi 

Acara terus berjalan hingga hitungan jam berbilang empat. Semua pertunjukan selesai dipertontonkan. Aku tak tahu, apakah mereka meresapi berupa-rupa kalimat yang bertebaran di panggung.

Sampai acara ini ditutup dengan gerakan menanam seribu pohon secara simbolis, aku sangsi apakah detak alam yang terahim pada raga puisi tadi telah meresap dalam-dalam di kepala mereka. Atau malah menguap tiada bersisa sebelum sempat menyentuh nurani. Entahlah. Kutengarai, sebagian manusia kerap berbasa-basi busuk.

Esoknya, berbagai media cetak dan elektronik mengabarkan kesuksesan acara ini. Bahkan menjadi headline di beberapa berita. Lainnya, buku berisikan puisi-puisi bertema "Save The Earth", karya para penyair bernama besar dan beberapa penyair pendatang baru, terbit sejumlah ribuan eksemplar dalam hitungan sebulan.

Aku menertawai tingkah polah mereka–sebagian manusia. Seribu pohon membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bertumbuh kembang. Pun tak seluruh penjuru bumi melakukannya. Sedang tangan-tangan manusia yang menebangnya, bisa berhektar-hektar dalam sehari di seluruh belahan dunia. Terang-terangan. Ataupun sembunyi-sembunyi.

"Teruslah tebang pepohonan itu, wahai manusia! Tebang dan jadikan kertas! Lama-lama anak cucu kalian mendapati udara segar merupa kertas! Lalu hidup mereka, kian bergantung pada kertas-kertas!"

Aku merutuk. Tapi percuma saja. Suaraku tak terdengar. Pula aku sendiri hanyalah sang kertas yang tanpa nyawa di mata manusia.

Kupikir, mengenai ironi yang dipuisikan oleh gadis ini memang benar adanya. Kebanyakan manusia, hidup tak ubahnya seperti menjalani sebuah lingkaran ironi. 

* 

Pekat malam bercadar mendung. Cahaya benderang sang rembulan lindap memuram. Gadis ini duduk berdiam di sudut jendela kamarnya. Dibiarkannya jendela itu terbuka meski angin terasa dingin menusuk pori. Berkali-kali hembusan angin mengibas-ngibaskanku yang berada di pangkuannya.

Tetes air jatuh di tubuhku. Berbutir-butir, menggenang bagai kaca. Lalu resap di tubuhku menjadi berlingkar-lingkar basah. Kulihat, bola mata gadis ini melinang. Kehampaan apa lagi yang akan ia untai? 

Rindu berlindak-lindak mumur mendebu. Wadah hatiku pecah sempurna. Berkeping-keping. Aku limbung. Tertikam pedih luka. Kini, mengingat kenangan bagai mencium aroma kamboja. Semerbak perkabungan.
Kau telah berpunya. Kutelan nyata: dalam garis tanganmu dan garis tanganku, tak bersatu garis “kita”. Ah, inikah kehampaan? Seketika, sesak terasa.
Duhai duka, seberapa lama kuhabiskan waktu tuk satukan repihan hati yang terserak? Kumenghamba: menelimpuhi waktu. 

*

Tanah lahir memanggil gadis ini pulang. Rindu yang terlewatkan belakangan ini, menjelmakan siluet ibu dalam bunga tidur semalam. Mungkin, duka mengingini rengkuh sang ibu untuk mengusir selaksa perihnya. Atau, batin sang ibu yang terlampau tajam mencium aroma duka anak gadisnya meski terhadang jarak.

Nyaris dua hari meretas jarak, bus menurunkannya pada jalan setapak. Udara tetap memberikan sejuk meski matahari menggarang tepat di atas kepala. Pepohonan memayungi langkah kecilnya.

Tapi, gadis ini mau pergi ke mana? Mengapa ia melangkah menjauhi perkampungan yang sudah mulai tampak dekat. Ia menapaki jalan berbatu dengan tanah yang agak licin. Sepi. Tak banyak lalu-lalang orang. Pelan-pelan, aku mendengar gemericik air. Kurasa itu sungai.

Dan tebakanku tepat. Aku melihat sungai ketika ia mengeluarkanku dari tas kecilnya yang padat barang. Ia tak membiarkanku ikut bersama tas besar yang sudah dikirimkannya terlebih dahulu jauh-jauh hari. Kudapati sebongkah batu besar menjadi sandaran lelahnya. Ia sesap udara dalam-dalam lantas mengembuskannya perlahan. Tubuhku mendingin bersamaan dengan tangannya yang mulai mengukir kata. 

Berbilang tujuh tahun, temu tanah lahir berkelindan dalam penantian. Sepanjang itu, aku berkubang dengan pengap sesak udara ibu kota. Demi satu bara di dada: melebarkan sayap dalam kancah seni merangkai kata.
Aku telah kembali. Namun, kudapati segala berbeda. Meski gemericik sungai masih berbunyi sama, ia perlahan kehilangan jernih sang tirta. Permadani hijau mulai berganti naungan berbata-bata. Dingin udara tak semenusuk dahulu kala. 
Alam mulai berubah. Berluka-luka memerih. Sama, seperti rasaku kini, pedih. 

Setelahnya ia terdiam panjang. Seperti tengah melebur dengan  alam. Sementara aku, mencari-cari ingatan tentang udara yang tak asing. Sampai aku beranjak pergi bersamanya, ingatanku masih saja bertirai.
*

Selasar rumah dengan pekarangan yang ditumbuhi aneka tanaman merekam perbincangan panjang. Ibu dan anak bertukar kisah. Memendekkan benang waktu dengan cerita. Hingga tak terasa, senja perlahan terlelap ditimang malam. Malam di tanah ini bertabur bintang. Dan sang rembulan memurnama langit. Langit turut bergembira merayakan jamuan rindu ibu dan anak.

Perbincangan panjang memancing lelah. Lelah melangkahkan mereka ke ruang peraduan. Tapi tak lantas melelapkan gadis ini. Seperti malam yang berkesudah. Aku akan menampa katarsis-katarsis yang ia tahan atau pemikiran-pemikirannya yang tak biasa seperti kebanyakan orang.

Belum sempat ia torehkan kata-kata pada tubuhku yang terbuka, kulihat alisnya mengernyit, pun otot wajahnya menegang seiring dibukanya laci meja. Lalu, selembar gambar dari laci itu diambilnya. Aku merasai hawa geram yang terpancar dari sorot matanya.

“Mengapa ini masih di sini, Bu?”

Tangannya menunjukkan selembar gambar yang dipegangnya pada sang ibu. Sang ibu terperangah bersamaan datangnya angin yang mengibas-ngibaskan tubuhku. Lalu, dalam hitungan detik, cabikan tangan merepihkan gambar itu. Terlambat untuk sang ibu mengatakan kata jangan.

“Biar bagaimanapun, ia bapakmu, Nak.”

“Tidak lagi sejak ia memilih gemerlap kehidupan kota bersama wanita itu! Tidak lagi sejak ia memberikan luka mendalam pada ibu dan padaku!”

Suara mereka yang masih saling berbicara perlahan terdengar samar. Pikiranku mulai sibuk mengurai jejaring ingatan untuk menemukan satu memori. Udara yang kurasai tak asing. Lalu, jejak gambar yang kutangkap sebelum kecai tercabik. Itu foto seorang anak kecil yang wajahnya diapit seorang lelaki dan perempuan. Masing-masing dari mereka mengecup pipi anak kecil itu.

Ya! Kini, aku ingat! Ah, Tuhan! Lelaki bertubuh jangkung kekar itu! Aku ingat bagaimana seringainya dahulu ketika melimbungkanku dengan menggunakan mesin bergerigi tajam.

Duhai, Tuhan. Betapa, hidup gadis penyair ini...  ironi!

*


[1] Bubur Kertas

*cerpen ini masuk dalam daftar 50 pemenang harapan Lomba Menulis Cerpen Lingkungan hidup yang diselenggarakan oleh Perum Perhutani.