Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Rabu, 30 Januari 2013

Tuhan dan Bahasa


Mereka berbicara banyak tentang Tuhan. Sedang yang satu bungkam terdiam dan hanya menarik segaris senyum ketika menerima satu pertanyaan dari mereka.
Beberapa memincingkan mata dan mengernyitkan alis dengan keterdiamannya. Sebagian lagi tengah bersiap melesatkan lidah yang ketajamannya seumpama bilah-bilah pedang.

Entah beberapa lama 'sang diam' tinggal, mendengarkan perbincangan-perbincangan. Lantas, 'sang diam' beranjak bangun. Bermaksud menyisakan jejak-jejak kaki di situ. Kemudian, bibir-bibir yang tak lagi menjadi emas saling menimpali.

"Lihat dia. Dia bahkan tak tahu mencintai Tuhannya atau tidak." Bibir kesatu berujar.

"Dia telah kehilangan kata-kata untuk melukiskan Tuhannya." Bibir kedua menambahi

"Ha ha ha! Benar. Dia tak sanggup membahasakan Tuhannya sendiri." Bibir ketiga ikut berkicau.

Punggung 'sang diam' yang tadinya telah membelakangi mereka, berputar balik: berdiri sehadapan. Masih dengan tersenyum. Sang diam akhirnya merapal kata, "Api sanggup melahap habis kayu bakar lalu menjadikannya abu. Seperti kesombongan yang memberangus kebaikan. Sedang kebaikan-kebaikan yang naik ke langit belum tentu menembusi lapis tertinggi-Nya. Pun pertanggung-jawaban sebuah pengakuan itu tidaklah ringan. Dan keindahan Tuhan, Sang Pencipta, tak bisa kusentuh dengan bahasa apa pun. Ia terlalu indah untuk dibahasakan."

Seiring berlalunya tapak kaki 'sang diam', hening bertandang.
-Vinny Erika Putri, 30.01.13

Senin, 21 Januari 2013

Nasi Telah Menjadi Bubur



Kita membaca. Lalu terinspirasi. Dan sadar atau tidak, kita mulai menjadi epigon dari ide-ide dan pemikiran-pemikiran dari apa-apa yang kita baca.

Percaya atau tidak, silakan tanya pada diri sendiri, adakah ide-ide atau pemikiran-pemikiran yang 'benar-benar asli' di dunia ini? Menurut saya, jawabannya tidak. Ide-ide atau pemikiran-pemikiran diumpamakan warisan yang ditemurunkan. Lalu, mengalami perkembangan sesuai dengan kapasitas pemikiran seseorang yang terkadang dikaitkan dengan pengalaman-pengalaman yang dialaminya sendiri atau pun mengambil dari pengalaman sekitarnya.

Salahkah jika terucap ungkapan bahwa ide-ide dan pemikiran-pemikiran yang bertebaran dari masa ke masa itu ibarat "nasi telah menjadi bubur"? Lantas, apa yang harus dilakukan terhadap ide-ide dan pemikiran-pemikiran tersebut? Membiarkannya begitu saja tentu akan menjadikan bubur itu basi. Membuangnya pun sayang sebab masih memiliki daya guna.

Yang perlu dilakukan adalah meramu bubur tersebut agar memiliki nilai jual atau nilai manfaat yang lebih baik dari hanya sekadar bubur saja. Dan soal meramu, ada beberapa cara, di antaranya yaitu: tiru, modifikasi, inovasi. Lalu, mana yang akan Anda pilih? Misal, saya ambil contoh soal meramu bubur ayam. Sekalipun resep meramu itu Anda dapatkan dengan cara meniru, ketika mengerjakannya dengan tangan sendiri, pernahkah Anda rasakan hingga mengeluarkan kalimat, "Padahal, bumbu-bumbu dan cara-caranya sudah mengikuti resep. Tapi, rasanya tetap saja tidak sama dengan bubur aslinya, ya?" Pun apakah juga tempat, perlalatan, situasi dan kondisi ketika Anda meramu dengan cara meniru itu sama dengan pembuat bubur yang Anda tiru? Nah, apalagi dengan modifikasi dan inovasi.

Mungkin, seperti itulah memperlakukan 'ide-ide dan pemikiran yang ditemurunkan'. Plagiasi adalah ketika Anda menyuguhkan hasil ramuan bubur yang bukan buatan tangan Anda kepada khalayak dengan mengatakan, "Bubur ayam ini asli buatan saya." Dan..., berbedanya 'rasa' yang dihasilkan dari tangan-tangan tersebut sama seperti cara bertutur setiap orang yang tidak akan sama sekalipun ada kemiripan.

*Ketika berita plagiasi sedang menjadi topik terhangat di jejaring sosial facebook

Vinny Erika Putri, 21.01.13

Selasa, 15 Januari 2013

Suara Itu Seperti Apa, Bun?



"Suara itu seperti apa, Bun?" tanya Rafi.

Sang bunda terdiam. Memikirkan kata-kata yang bisa mendeskripsikan sesuatu yang tidak bisa didengar anaknya tersebab predikat tuna rungu yang disandang Rafi.

"Suara itu seperti warna, Nak," balas sang bunda.

Mulailah sang bunda mengenalkan aneka macam warna kepada Rafi.

"Oh, ya, Bun... ternyata di dalam laut ada kehidupan, ya? Berarti, putri duyung juga ada?"

Pertanyaan itu muncul karena seringnya Rafi menonton film Ariel The Little Mermaid. Pun sebab sang bunda selalu memberikannya reward berupa ikan setiap ia mau berangkat sekolah. Sang bunda bingung bagaimana menjelaskan bentuk abstrak ke bentuk konkret. Nyatanya, putri duyung itu hanya dongeng. Berulang kali sang bunda katakan bahwa itu semu, tapi Rafi tetap pada khayalannya.

Hingga akhirnya sang bunda berkata, "Ya sudah, coba Rafi gambar di kertas. Putri duyungnya diberikan baju."

Sejak itu, mulailah ia menggambar. Seiring pertumbuhannya, nalarnya pun semakin berkembang, putri duyung yang abstrak perlahan menjadi konkret. Kakinya tidak lagi bersirip dan bersisik. Tapi telah bermetamorfosa sebagai manusia. Ia telah mengenal "bentuk konkret" dari suatu benda. Desain baju-bajunya pun semakin berpola indah. Dengan telaten, sang bunda mengkliping setiap desain yang digambar Rafi. Dari desain itulah Rafi memulai impian.

-Kisah Inspiratif dalam Talkshow Hitam Putih