Penjelajahan Bayangan Diri
-Shadow Self-
Kujelajahi sisi gelap yang ada didalam diriku. Kutemui bayangan-bayangan yang jauh tersembunyi di sana. Bayangan yang kuabaikan dan kukira telah menyembuhkan diri. Bayangan yang menjadi awal mula kutemukan "hewan primitif" lainnya yang bisa muncul ke permukaan dan memanifestasikan diri dalam alam sadarku melalui spontanitas tingkah laku.
Bayangan pertama kutemui. Bayangan yang paling ingin kupahami emosi-emosi apa saja yang tidak bisa dialirkannya pada saat itu. Bayangan ini, kunamai, Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan. Bayangan ini merupakan bayangan seorang aku yang memendam dendam, amarah dan kebencian sebagai dampak dari luka-luka tersebut.
Cinta menjadi awal mula cerita keberadaannya.
Cinta. Darinya, terlahir suatu kata kerja aktif "mencintai" dan kata kerja pasif "dicintai", yang keduanya membutuhkan kebaikan kata "saling" sebagai jembatan penghubung agar bisa berjalan seimbang dan terjaga keberlangsungannya.
Cinta menempati urutan teratas yang pernah berakibat fatal dalam hidupku. Saat kebaikan kata saling tak berhasil menjalankan fungsinya dengan baik, jembatan penghubung itu pun terputus. Mencintai dan dicintai menjadi sesuatu yang sama rumitnya. Aku tidak lagi dicintai orang yang kucintai saat aku masih mencintainya. Dan orang yang kucintai, tak bisa lagi mencintaiku saat aku masih mencintainya.
Apa yang menyakitkan dalam posisi ini? Ketika pihak yang tak bisa lagi mencintai, memilih suatu pengkhianatan untuk melepaskan diri dari yang masih mencintainya.
Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan, terlahir dari kondisi ini. Aku terpuruk. Roda perputaran hidupku sempat kacau. Aku kehilangan arah tujuan. Langkahku gamang. Hatiku yang sekarat mempertanyakan definisi cinta dari syair para pujangga yang memberi cinta dengan warna merah jambu.
Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan, setengah mati mencari-cari pegangan dan kekuatan dalam diriku untuk bangkit, dari mulai merangkak, berdiri, berjalan tertatih hingga akhirnya berlari menebus waktu yang telah banyak kusia-siakan. Tapi, dendam, amarah dan kebencian itu masih terasa detaknya. Mereka hadir membersamai langkah hidupku.
Hai, Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan, mengapa cinta purbamu bisa berubah energi menjadi dendam, amarah dan kebencian yang sedemikian pekat? Apakah ada sesuatu yang sulit kaulepaskan hingga dendam, amarah dan kebencian mengerak begitu kuat dan dalam? Mengapa memaafkan mereka, yang semestinya sederhana dan mudah, menjadi hal yang sulit kaulakukan?
Entahlah.
Pernah ada suatu keinginan, yang mengerikan dalam hatiku, di fase awal aku mengalami keterpurukan dimana luka itu masih menganga lebar dan keperihan-keperihan masih nyata terasa. Aku menginginkan mereka mati dengan cara sekejam mungkin, oleh tangan orang lain, pada saat itu.
Kuceritakan terlebih dahulu tentang dua orang lelaki dalam kisah cintaku. Dua orang lelaki yang meninggalkan ingatan buruk dan menciptakan bayangan gelap seorang Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan.
Sebutlah dia sebagai lelaki pertama yang mengenaliku pada rasa cinta. Dia telah membangun suatu impian yang tertidur di dalam hatiku. Impian yang melahirkan harapan tinggi untuk mencapai gambaran rumah tangga ideal disaat aku masihlah terlalu polos dan tak terlalu cerdas dalam memaknai cinta.
Aku tidak tahu, cinta itu tepatnya seperti apa. Yang kurasakan pada saat itu, dia adalah duniaku, yang bersamanya ingin kubangun dunia kami. Kepada cinta kami, kukerahkan energi yang kupunya untuk mewujudkan idealisme asa, cita dan cinta dalam gambaranku.
Lantas, impian itu hancur. Dia mencintai cinta yang lain di belakangku. Tanpa sepengetahuanku, menyusun skenario kebohongan yang sama sekali tak kusadari dan membuatku seperti orang bodoh disaat orang lain sudah mengetahuinya lebih dulu. Skenarionya adalah perjodohan.
Lelaki pertama mengatakan bahwa dia dijodohkan oleh orang tuanya dengan teman SMA yang pernah menyelamatkan hidupnya. Saat penyakit lemah jantung lelaki pertama kumat di sekolah, perempuan itulah yang membawanya ke Rumah Sakit. Perempuan itu menyukainya, sementara dia tidak. Tapi, dia tak bisa menolak permintaan orang tuanya. Dan perempuan itu, tengah ada di kota Purwokerto.
Aku sama sekali tak mencurigai ceritanya. Sampai, aku memberanikan diri bertanya pada teman sejurusanku yang sekaligus merupakan teman SMA lelaki pertama. Darinyalah, awal mula semuanya terbongkar. Perempuan yang diceritakan lelaki pertama, tak pernah memiliki hubungan dekat dengannya. Informasi lainnya, lelaki pertama tidak memiliki riwayat penyakit jantung semasa SMA seperti yang pernah diceritakannya padaku.
Apa yang diceritakan temanku, membuat mataku kian terbuka. Saat itu, barulah kusadari, mengapa dahulu lelaki pertama begitu marah dan tak suka setiap kali melihatku mengobrol dengan teman laki-lakiku yang padahal teman SMA-nya juga. Saat itu, kemarahannya yang kuanggap sebagai rasa cemburu, membuatku menjaga jarak dengan temanku demi hubungan kami tetap berjalan baik.
Setelah kudapati informasi tentang lelaki pertama dari temanku, aku pun menemukan informasi lainnya dari sumber yang berbeda. Arus informasi itu seolah datang tanpa kuminta. Lalu, benang merah kebohongannya mulai bisa kuurai satu per satu. Kejanggalan-kejanggalan yang kulewatkan, mendapatkan jawabannya saat itu juga. Aku membaca kenyataan yang selama ini luput dari jangkauanku. Kenyataan bahwa dia berkhianat padaku disaat aku sunguh-sungguh mempercayainya.
Aku bahkan terlalu bodoh untuk menyadari bahwa dia sempat menyatakan perasaannya pada teman sejurusannya tanpa sepengetahuanku. Saat itu, dia menempatkanku pada urutan kedua. Yang artinya, saat perempuan itu menolaknya, dia akan kembali memilihku. Aku baru paham, makna tatapan mata teman-temannya padaku saat berpapasan denganku atau melihat kebersamaan kami berdua di kampus. Sebagian memandangku dengan mata memincing, sebagian lagi menatapku dengan pandangan iba.
Hatiku sakit. Aku marah pada diriku sendiri. Aku marah padanya. Aku marah pada kebodohanku dan pengkhianatannya.
Pada akhirnya, kami tak memiliki kesempatan untuk memperbaikinya. Tak ada lagi yang bisa disatukan dari sebuah kepercayaan akan cinta yang sudah diluluh-lantakkan oleh pengkhianatan. Pengkhianatannya adalah hal yang paling menyakitkan dibandingkan luka kehilangan yang kurasakan saat berpisah dengannya.
Keluargaku, terutama bapak sebagai lelaki, tak pernah berkhianat pada ibu meski umum dalam rumah tangga pastinya ada pertengkaran diantara mereka. Bapak dan ibu, tetap memilih bersetia pada pasangan apapun masalahnya. Mungkin, sebab itu, kesetiaan adalah nilai yang kunjunjung tinggi saat menjalin hubungan apapun dengan siapapun.
Aku tak pernah menginginkannya kembali. Sesakit apapun hatiku. Selimbung apapun hidupku. Mekanisme pertahanan diriku mencegahku untuk mengulang sejarah yang sama.
Orang-orang mengatakan, cinta pertama sulit dilupakan. Kuiyakan. Bukan soal cintanya. Tapi ingatan yang disisakannya. Ingatan tentang luka pengkhianatan yang mempengaruhi persepsiku dalam memandang cinta terhadap lawan jenis dan sosok lelaki itu sendiri.
Aku sempat kembali membuka hati. Kuterima lelaki kedua dalam perjalanan cintaku. Lelaki yang pernah menjadi teman seperjuangan saat kami berkuliah. Kukira, hubungan ini akan menyembuhkan lukaku. Nyatanya, kutinggalkan dia dengan perasaan bersalah.
Aku memutuskan berhenti dengan hubungan kami. Dan dia memilih menyerah menghadapi cintanya. Lantas, dia lulus lebih dulu dariku. Aku tak lagi mengontaknya. Dia pria baik yang menyayangiku kala itu. Tetapi, waktu yang membersamai kami tak juga menumbuhkan kepercayaan dalam hatiku akan cinta itu sendiri. Aku yang bermasalah. Bukan dia. Aku masih mencari-cari persepsi baru tentang cinta dan lelaki.
Sampai, Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan melihat persepsi yang sesuai pada lelaki ketiga. Lelaki itu adalah teman kuliahku sekaligus teman lelaki kedua yang pernah menjalin hubungan denganku. Waktu dan kesempatan yang kerap kami lalui bersama, menumbuhsuburkan perasaanku padanya. Sekaligus menempatkanku pada perang batin yang semakin besar antara ingin memiliki dan melepaskannya.
Pada saat itu, kami sama-sama tahu, ada teman perempuan kami yang entah sejak kapan diam-diam menyukainya. Bahkan mungkin tanpa dia sadari perasaannya lebih jauh dari itu. Cinta berada dalam kondisi yang pelik untukku. Seperti sisi gelap dan terang yang saling berperang untuk menang.
Di titik ini, aku menemukan sisi gelap lainnya dari diriku. Aku mulai mencari pembenaran diri untuk menutupi sisi gelap ini. Aku menepis pemahaman empati mengenai perasaan sesama perempuan yang harusnya kukuatkan. Pun, menyangkal sisi terang yang berusaha menyadarkanku, bahwa apa yang aku peroleh dengan jalan menyakiti, tidak akan berdampak baik dan hanya akan membuatku menanggung rasa bersalah.
Sisi gelapku berulang-ulang mengatakan bahwa ini bukan suatu kesalahan. Kami bertiga tidak dalam status keterikatan apapun. Kami bertiga berada dalam zona pertemanan yang masing-masing memiliki perasaan terpendamnya. Aku tak mengambilnya dari siapapun. Semua orang berhak mencintai dan dicintai.
Sisi gelapku menang. Realita yang terjadi menegaskannya. Cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Lelaki itu menyatakan cintanya setelah kami melewati proses saling mengenal lebih dekat yang terjadi secara natural jelang semester akhir perkuliahan. Dan aku, menerimanya, meski rasa bersalah pada temanku menghantuiku.
Kalimat-kalimat dari dunia luarku pun bermunculan. Sebagian menyuarakan, "Toh, kamu tak berada dalam satu lokasi yang berdekatan dengannya dan sudah jarang bertemu. Kalian ada di semester akhir, sebentar lagi lulus dan tidak akan lagi bertemu dengannya." Sebagian menunjukkan jalan yang bertentangan dengan kalimat penenangan semu itu. Dan sebagian berada dalam posisi netral yang tidak ingin mencampuri urusan kami karena kami semua adalah teman-teman mereka.
Dalam kungkungan rasa bersalah, aku tak bisa terus menghindarinya. Sesak rasanya bagiku ketika aku dipaksa terus-menerus menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. Sesuatu dari dalam diriku mendesakku untuk jujur kepada teman perempuanku yang terbilang cukup dekat denganku. Meski aku tahu kejujuran itu akan menyakitkannya.
Pada akhirnya, aku memang benar-benar menyakitinya. Kejujuran itu, di satu sisi, cukup membuatku bernapas lega. Sementara di sisi lain, perasaan bersalahku tak juga hilang dengan permintaan maaf dan tangisku padanya setelah pengakuan itu. Namun, seiring berjalannya waktu, rasa bersalahku padanya menipis, tergantikan rasa bahagia yang memenuhi dada di tahun pertama aku dan lelaki ketiga menjalani hubungan.
Di tahun kedua, Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan, dibayangi proyeksi ketakutan-ketakutan luka yang sama akan menimpaku kembali. Proyeksi itu muncul menguat seiring pertemuan kami terkendala jarak dan waktu. Dia dan aku tinggal di kota yang berbeda. Dia telah mendapatkan pekerjaan di sebuah kota di Jawa Tengah. Sementara aku masih bergulat mencari pekerjaan di kota domisiliku. Kepercayaanku bolak-balik goyah saat komunikasi kami tersendat tak berjalan lancar. Saling mengabari dalam intensitas yang tinggi adalah kebutuhan utamaku pada saat itu.
Hingga, sampailah di titik Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan menjadi tajam dan peka mengenali sesuatu yang mengancam hubungan kami. Lelaki itu, menunjukkan sebuah foto yang memperkenalkan teman-teman satu timnya di tempat dia bekerja. Mataku, tertuju pada seorang perempuan berjilbab dengan perasaan bercampur yang tak bisa kujelaskan mengapa aku tak begitu suka dengan perempuan itu.
Benar saja firasatku, perempuan itu benar-benar menjadi awal lukaku berulang. Perasaan yang tak bisa kujelaskan saat pertama kali melihat fotonya pun terjawab sudah. Di saat komunikasi kami tersendat dan pertengkaran-pertengkaran tengah mengada diantara kami, perempuan itu, menjadi cinta yang lain bagi lelakiku.
Sang perempuan baru, terus mengintimidasiku agar melepaskan diri dari lelakiku. Dikatakannya via SMS bahwa lelakiku adalah lelaki yang dikirimkan Tuhan untuknya. Perihnya, tak ada pembelaan apapun dari lelaki ketiga untukku. Saat kupinta jawaban yang jujur darinya, apakah hubungan kami masih bisa diperbaiki atau tidak, lelaki yang masih kucintai kala itu, dalam satu kalimat suara, dengan jelas mengatakan bahwa dia telah melenyapkan seluruh rasa sayangnya padaku.
Hatiku koyak-moyak. Sakit. Teramat sangat. Benci dan cintaku padanya masih saling bertarung dalam perih kehilangan dari suatu perpisahan pada saat itu.
Pada akhirnya, aku benar-benar memutuskan mundur, membiarkan lelaki ketiga menjalani pilihannya. Kujadikan dia orang asing dalam sekejap meski dia menginginkan silaturahmi kami tetap terjalin. Dia sempat beberapa kali menghubungiku dan aku tak menggubrisnya. Aku memilih pergi, tak lagi berada diantara mereka. Itu pun masih tak cukup untuk dia dan perempuan yang dipilihnya merasakan ketenangan. Mereka terus menghadirkan bayanganku di awal-awal tahun hubungan mereka dengan beberapa kali mengusik hidupku baik dari pihak perempuan maupun lelaki itu sendiri.
Perempuan itu, sempat mengatakan, via SMS, "Kamu hanya masa lalunya yang sudah tidak penting."
Sedangkan lelaki itu pernah menghubungiku tengah malam, yang kuyakini tanpa sepengetahuan perempuannya. Lelaki itu menanyakan kabarku disaat telah kuhapus nomor kontaknya dan kubuang semua benda pemberiannya.
Aku tertawa sinis dengan hati yang pedih.
Jika memang aku adalah masa lalunya yang tidak penting, mengapa kalian masih saja mencari perkara denganku?" hatiku berkata-kata kala itu.
Amarahku semakin mendidih. Tapi kumenekannya dan memilih diam. Aku tak tahu harus menyusun kata seperti apa. SMS-SMS perempuan itu, hanya kukirimkan pada dua sahabat terbaikku yang tahu betul bagaimana kondisiku sebenarnya saat itu.
Beberapa bulan sesudahnya, saat hidupku mulai tenang, dan aku telah menemukan sebuah pekerjaan yang membahagiakanku, lelaki itu kembali muncul. Atas nama Tuhan yang Maha Pengampun, meminta maaf padaku via SMS dan dengan ringannya sedikit menceramahiku soal saling memaafkan. Aku tak tahu saat dia menuliskannya apakah dirinya bisa merasakan lukaku atau tidak. Lukaku kembali basah. Yang dilakukannya padaku sama saja dengan lelaki pertama.
Apa yang kudapatkan dari mencintainya berujung pada berlipat gandanya dendam, amarah dan kebencianku pada pengkhianatan cinta. Bertumpuk dengan dendam, amarah dan kebencian dari luka sebelumnya yang diberikan lelaki pertama. Bertahun-tahun, aku hidup dalam bayang-bayang Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan. Sukses yang kukejar bukan soal memaafkan mereka, tapi soal sukses dalam hal apapun atas waktu yang telah mereka renggut dariku. Seolah penebusan waktu atas cinta yang salah: mencintai mereka dengan sia-sia.
Bayangan lelaki-lelaki itu, selalu ada dalam bayanganku yang dipenuhi dengan dendam, amarah dan kebencian kepada mereka di setiap langkah sukses yang ingin kuwujudkan.
Hai, Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan, setelah bertahun-tahun berlalu, apakah kau masih merasakan sakit itu? Apakah kau sudah cukup lega atau masih membutuhkan banyak pengulangan cerita untuk kau benar-benar melepaskan amarah, dendam dan kebencian yang berada dalam kegelapanmu?
Entah aku sudah benar-benar lega atau belum. Yang kurasakan, meski tidak separah dahulu, sedikit sesak dan air mata masih ada saat kumenceritakan bagian ini.
Apakah kau ingin memahami semua bentuk emosi apapun yang kau punya saat memorimu kembali mengeja ingatan tentang mereka dan dampaknya terhadap kehidupanmu? Apakah kau ingin menelusuri kebenaran bahwa emosi negatif yang terpedam sudah benar-benar tersembuhkan dan bersinergi dengan dirimu menjadi energi yang lebih positif? Maukah kita menguraikannya satu per satu bersama-sama? Bersamaku, Diri yang Terus Belajar Mengutuhkan Diri.
Aku ingin. Diri yang Terus Belajar Mengutuhkan Diri ... bantu bayangan Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan, untuk keluar dari persepsi fana yang bisa saja menjebakku mengulang kesalahan yang sama. Bantu aku memahami polanya. Bantu aku berproses untuk memaafkannya.
-Vinny Erika Putri, 01.01.21