Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Senin, 11 Januari 2021

Aku Adalah Cahaya Yang Terlahir Dari Kegelapan Manusia


Kesedihan
Ketakutan
Kekhawatiran
Kekecewaan
Amarah
Kebencian
Dendam
Keputusasaan
Kerentanan
Ketidakamanan
Sisi-sisi gelap lainnya yang tersembunyi 
Yang lebih mudah untuk dihindari ketimbang dihadapi manusia

Sisi-sisi gelap yang tersembunyi 
Mengapa tak kau coba ketuk pintu-pintu mereka yang ada di dalam dirimu?
Berdiamlah di sana beberapa jenak untuk berkenalan dengan mereka
Menjadilah telinga untuk mendengarkan dari tiap kisah yang dibawanya
Terima, pahami dan rengkuhlah kejujuran perasaan dari setiap kata-kata yang ingin menyuarakan diri
Berdialoglah dengan mengakui mereka adalah bagian dari pembentuk diri
Lantas, temani mereka untuk keluar dari kisah-kisah yang menyebabkan mereka hadir
Lewati segala kesulitan yang menghadangmu untuk menyembuhkan mereka

Jika kau bersedia menemui dan memahami kegelapanmu sendiri
Membersamai mereka dengan sabar dan penuh kesadaran
Maka, kau akan mulai bisa melihatku perlahan-lahan
Tahukah kau, siapa aku?

Aku Adalah Cahaya Yang Terlahir Dari Kegelapan Manusia

-Vinny Erika Putri, 11.01.21

Sabtu, 09 Januari 2021

#4. Peluk Sayang Untukmu, Dari Diri Yang Terus Belajar Mengutuhkan Diri

 


Hai, Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan, maukah kau mengikuti kata-katamu sendiri untuk mulai memaafkan mereka?
 
Sebelum kau menuliskannya, berikan rileksasi terlebih dahulu pada tubuhmu. Tegakkan badanmu. Lantas, pejamkan mata. Tarik napas dalam-dalam, dan embuskan perlahan-lahan. Lakukan berulang-ulang sampai kau benar-benar merasakan kenyamanan dan keselarasan dengan tubuhmu

Kau sendiri yang akan memulai proses pemaafaan. Tak mesti terdengar tegar. Tapi juga bukan berarti kau rapuh berdiam dengan pasrah dikepung bayangan lelaki-lelaki yang pernah mengkhianatimu. Tetaplah berbicara dengan kejujuran perasaanmu di sana. Temukan kalimat-kalimat penyembuhanmu sendiri untuk bisa memaafkan dengan caramu. 

Bisa kita mulai? Sekarang, lakukan!
Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan, menerima bahwa kalian ditakdirkan singgah menjadi pembelajaran hidup dalam perjalanan cintaku yang tak berjalan sesuai harapan. 
Hidupku, bukan lagi untuk menebus waktu yang sia-sia karena pernah salah mencintai kalian. Kesuksesan cita-citaku sudah tak ada lagi hubungannya dengan kalian. 
Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan, berlepas diri dari belenggu dendam, amarah dan kebencianku pada kalian untuk ketenangan diriku. 
Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan, berdamai seutuhnya dengan segala ingatan buruk dan menyakitkan tentang kalian untuk kesembuhan hatiku.   
Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan, memaafkan kalian karena aku menyayangi diriku sendiri. 
Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan, memaafkan kalian karena kita adalah manusia. 
Terima kasih, telah menjadi bagian dari salah satu sejarah yang takkan kuulangi sesadar-sadarnya. 

Hai, Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan. Kau, telah menumpahkan air mata saat menuliskan ini. Ada sesak yang terbata-bata mengeja rasa dalam kata dan menghadirkan jeda untuk kau kembali mengatur napas. Terima kasih, telah berusaha menghadapinya dengan baik.

Aku tersenyum untukmu sekarang. Dan aku, Diri yang Terus Belajar Mengutuhkan Diri, tak memintamu pergi. Tapi, hiduplah berdampingan denganku untuk bersama-sama membentuk kesadaran diri hingga kita menjadi utuh. Mulai detik ini, kita akan jauh lebih ringan dalam melangkah.

Peluk sayang untukmu, dari Diri yang Terus Belajar Mengutuhkan Diri.

-Vinny Erika Putri, 09.01.21

Jumat, 08 Januari 2021

#3. Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan

 


Penjelajahan Bayangan Diri
-Pola Shadow Self di Luka Kedua-

Hai, Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan, biar kutepuk pundakmu. Aku bangga padamu. Kau berhasil tetap hidup dengan baik bersama luka-luka itu. Sekarang, mari kita melanjutkan cerita.

Sejak kau putus dengan lelaki kedua, empati seorang Aku yang Berkalang Luka mulai terbangun. Kau mampu memproyeksikan dirimu pada kondisi orang lain yang serupa melalui pengalaman tersebut. Saat sahabatmu yang lain mengalami pengkhianatan, kau dengan sigap membersamainya melewati masa-masa perih itu. Kau dengan cepat terdorong merasakan pedih sekaligus amarah dalam satu waktu. Kau pedih melihat sahabatmu yang taruhlah kau lihat sebagai "korban" dari sudut pandangmu saat itu. Sekaligus marah pada lelakinya yang kau labeli "pengkhianat". 

Tahukah kau? Ada satu pola lagi yang bisa terlihat di sini. Oleh sebab dendam, amarah dan kebencianmu pada luka pengkhianatan, kau akan mudah terhubung dengan luka serupa. Kau melihat sahabatmu sebagai korban yang mesti kau selamatkan yang sejatinya itu adalah bayangan Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan. Dan amarahmu pada perbuatan lelakinya, sebenarnya, adalah bayangan lelaki pertama yang mengkhianatimu yang kau tak bisa keluarkan amarahmu padanya di saat itu. 

Kemudian, pola-pola yang didapati dari hubunganmu dengan lelaki pertama dan kedua, mewarnai perjalanan cintamu yang selanjutnya.

Sejak kau tak lagi memikirkan cinta, kau kira akan sulit kembali menemukan cinta. Tapi, realita menyuguhkan sesuatu yang berbeda. Kau tertarik dengan teman seangkatanmu di dua semester jelang akhir perkuliahan. Dulu, kalian tak pernah saling melihat dan peduli. Kalian memiliki kelompok pertemanannya masing-masing. Sederhananya, kalian tak begitu dekat dan hanya sebatas tahu. 

Sampai, kau pindah kos dari Purwokerto ke Purbalingga setelah mengalami kecelakaan. Orang tuamu memintamu pindah kos karena kondisimu yang tak mungkin bolak-balik Purwokerto-Purbalingga menggunakan motor untuk berkuliah. Kau sedang dalam masa pemulihan luka jahitan ringan di kaki. Saat itu, kau masih berkuliah mengulang beberapa mata kuliah yang sudah pernah diambil untuk memperbaiki nilai yang dirasa masih kurang sembari mengerjakan skripsi. Dan posisi kampusmu saat itu sudah menetap di Purbalingga. Lantas, kepindahanmu ke Purbalingga, membuka ruang kalian untuk saling memahami lebih dekat.

Apa yang membuatmu tertarik padanya?
Aku melihatnya sebagai seseorang yang unik. Dia berkeringat ketika berhadapan dengan sahabatku. Aku membaca ketidaknyamanan dari bahasa tubuhnya yang menandakan dia ingin segera pergi dari kami setiap kali diajak mengobrol. Semakin sahabatku meledeknya, semakin gugup bahasa tubuhnya. Dari informasi teman angkatanku yang juga satu kos dengannya, dia memang seperti itu ketika berhadapan dengan perempuan. Gugupan. Apalagi ketika perempuan itu berusaha mendekatinya, justru dia akan menjauh.
Biar kubantu membaca polamu di sini saat kau mulai "melihatnya". Sedikit gambaran bapakmu saat muda yang terpantul darinya. Bapakmu, yang kau dengar dari cerita ibumu, adalah seorang yang gugup ketika mesti berhadapan dengan orang-orang di luar lingkaran pertemanannya, terutama perempuan. Tapi, juga, beliau orang yang gigih berjuang ketika sudah menetapkan cintanya pada ibumu. Sekilas gambaran bapakmulah yang membuatmu penasaran dengan isi kepala dan hati lelaki ketiga untuk kau pahami. Dan rasa penasaranmu, lambat laun, telah menarik keluar apa yang ada didalam dirinya. Ia menjadi lebih akrab padamu dan lebih santai menghadapi ledekan sahabatmu. Tidak segugup diawal-awal. 

Lantas, kau dan lelaki ketiga, semakin dekat seiring banyaknya kesempatan mempertemukan kalian bersama. Dosen pembimbing skripsi kalian adalah dosen yang sama. Kalian pun tak canggung lagi membangun komunikasi dua arah dan kerap pergi bersama untuk bimbingan dengan dosen pembimbing yang rumahnya berlokasi di Purwokerto. Kau sering menebeng motornya.

Perlahan-lahan, persepsimu soal lelaki dan cinta yang telah merestruktur diri dari kegagalan sebelumnya, telah melihat dan memproyeksikannya pada lelaki ketiga. Tapi, perkaranya adalah, disaat perasaanmu diam-diam tumbuh padanya, kau mengetahui bahwa salah satu teman dekatmu juga menyukainya. Kau mulai bisa mengintegrasikan kerumitan yang tercipta melalui prediksi dampak-dampak yang akan timbul jika perasaanmu diteruskan. 

Sayangnya, perasaanmu semakin tak bisa ditekan ketika sosoknya kian terlihat mendekati persepsi barumu soal lelaki dan cinta. Kenyamanan yang terbangun diantara kalian tak bisa ditepis lagi. Kau ingin memilikinya. Semesta merestui. Ia menyatakan perasaannya. Dan, dialah lelaki yang kau terima tanpa ragu, karena titik perasaanmu tepat bertemu dengan perasaan yang sama. Darinyalah, kau berekspektasi tinggi dengan hubungan kalian. Gambaran rumah tangga yang sempat hancur, kau bangun ulang.

Tapi, kalian berdua dihadapkan pada kondisi dimana ada salah satu pihak yang tersakiti. Dan itu menjadi beban tersendiri bagimu. Pola-pola sebelumnya muncul kembali. Pola untuk bisa selalu menyenangkan orang dan tak menyakiti siapapun. Kau terkadang mencaci dirimu sendiri yang telah kau anggap menggadaikan empatimu demi cinta. Kau seolah tiada beda dengan lelaki yang pernah mengkhianatimu. Sebagai akibatnya, kau kembali memikul rasa bersalah. Dalam benakmu, kau telah melakukan pelanggaran nilai moral dengan menyakitinya. Rasa bersalahmu kian menjadi saat temanmu memberikan kado dan selalu bersikap baik padamu.

Kau tahu? Ada pola baru lahir di sini. Sisi posesifmu pada cinta mulai muncul. Sisi ini, yang selama ini belum kau sadari, bangun dari tidurnya dan bertarung dengan empatimu. Sisi ini terdesak keluar untuk memaksamu belajar memperjuangkan cinta yang ingin kau miliki. Sisi ini ingin membebaskan diri dari dirimu yang selama ini lebih cenderung mengutamakan kebutuhan orang lain tapi abai dengan kebutuhan diri sendiri.

Pikiranmu mulai mencari-cari alasan pembelaan diri setiap rasa bersalah datang menyerangmu. Tapi, hatimu, tak pernah bisa selaras dengan kebohongan apapun, baik yang sumbernya dari dalam dirimu ataupun luar dirimu. Ketidaknyamanan perasaanmu saat membayangkan wajah temanmu adalah manifestasi nilai-nilai kejujuranmu yang kau pegang kuat-kuat. Sisi posesif, rasa bersalah dan kejujuran saling mengkonfrontir satu sama lain. Sisi posesif membuatmu bersikukuh mempertahankan apa yang telah kau miliki. Sementara, rasa bersalah berulang-ulang mempertanyakan empatimu. Dan kejujuran menantangmu untuk menghadapi ketakutanmu akan adanya kemungkinan kehilangan teman baik.

Lalu, kau putuskan memilih kejujuran. Kejujuran yang kau pilih, akhirnya meretas semua kerumitan pikiran dan perasaanmu. Kau tak bisa memiliki dan memaksakan semua hubungan untuk bisa tetap berjalan baik. Kau mulai belajar menghadapi suatu resiko bahwa akan ada hubungan lainnya terancam lepas. Dan keputusanmu adalah, melepaskan hubungan pertemananmu untuk menyelamatkan hubunganmu dengan lelaki ketiga.

Kau mengatakan pada teman perempuanmu, orang yang dia sukai telah menjalin hubungan denganmu. Lantas, kalian berdua, mengeluarkan semua perasaan yang kalian pendam. Dia terluka. Hatimu sakit. Kau, menangisi lukanya. Tapi, hatinya jauh lebih tegar dan sanggup menyembunyikan kekecewaannya. Dia merelakan hubungan kalian. Setelahnya, kau memilih untuk menghindarinya sebisa mungkin. Kau telah belajar dari luka pengkhianatan yang diukir lelaki pertama. Bahwa, untuk bisa meringankan luka hati, apa yang menjadi sumber luka itu, lebih baik tidak sering-sering menampakkan diri.

Kau lega. Sebab, kau tak perlu lagi berbohong pada dirimu sendiri dan menutupi keadaan yang sebenarnya dari temanmu. Tapi, proyeksi sosok Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan dari lelaki pertama, membuat rasa bersalahmu tak semudah itu menghilang. Kau masih merasa bertanggung jawab atas luka hati temanmu. Kau membayangkan temanmu sebagai dirimu saat hatimu hancur dilumat luka pertama. 

Lalu, seiring waktu, lelaki ketiga bisa melakukan dua hal untukmu: melupakan bahwa kau pernah terluka oleh lelaki pertama sekaligus meniadakan rasa bersalahmu pada temanmu. Kau bahagia bersamanya. Setahun pertama, adalah keindahan bagimu. Sampai, kalian mulai diuji oleh bentang jarak. Diawal-awal, segalanya berjalan baik-baik saja. Dia rutin mengunjungimu sebulan sekali ke Cirebon. Sebabnya, sulit bagimu mendapatkan izin dari orang tua jika kau yang pergi mengunjunginya. Dan dia tidak keberatan dengan kondisimu.

Menapaki tahun kedua hubungan kalian mulai diwarnai pertengkaran-pertengkaran. Kesibukan kerja dan teman-temannya cukup menggesermu dari prioritas lelaki ketiga. Komunikasi kalian mulai banyak mengalah dengan kesibukan kerja lelaki ketiga. Kondisimu yang masih pengangguran pada saat itu, menambah parah pasang surut emosimu. Waktumu habis hanya untuk memikirkannya ketika ia mulai bertingkah tak seperti biasanya. Kau mulai merasakan berkurangnya perhatian dari lelaki ketiga. 

Seiring berkurangnya perhatian dari lelaki ketiga, sisi posesifmu semakin membesar dan berkarib akrab dengan sosok Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan. Puncaknya, saat dia mengirimkan sebuah foto studio dalam kolom chat pribadi akun facebookmu, kau semakin uring-uringan. Dia mengenalkan teman-teman satu timnya di foto itu padamu. Kau lihat ada dua perempuan di situ. Tapi, matamu hanya tertuju pada satu perempuan berjilbab yang entah mengapa pada saat itu kau merasa tak menyukainya. Padahal kalian tak pernah bertemu. Kau tak mengenalnya. Lelakimu tak pernah menceritakannya dan kau pun enggan bertanya.

Bulan terus berjalan, hubungan kalian semakin parah. Saat itu, sudah enam bulan lelakimu tak berkunjung menemuimu ke Cirebon. Orang tuamu menanyakan kabarnya. Kau belum bisa menjelaskan apapun selain mengatakannya bahwa dia sedang sibuk. Sementara, hatimu mulai dihinggapi kejanggalan-kejanggalan yang membuatmu merasakan hubungan kalian tengah tidak aman. Kau pernah menguji dirimu sendiri dan dirinya. Kau tak menghubunginya selama dua minggu untuk mengatur ritme perasaanmu yang tengah kacau dan melihat bagaimana sikapnya mengatasi diammu. Nyatanya, dia pun tak acuh. Dia tak berusaha menghubungimu selama dua minggu itu. Kau mulai ragu dengan hubungan kalian melihat sikapnya.

Tapi, kau masih berharap untuk bisa memperbaiki semua. Kau belum sanggup kehilangannya. Kau pun mengalah. Setelah dua minggu tak mengabarinya apapun, kau lebih dulu menghubunginya. Tapi, lelakimu, saat itu juga, meminta waktu untuk kalian berdua kembali mempertimbangkan hubungan kalian jelang akhir tahun 2011. Kalian dalam masa "pertimbangan", belum benar-benar putus. 

Lantas, kau dapati kejutan di awal tahun 2012. Ketika kau menghubunginya, suara seorang perempuan menyambutmu. Ia yang saat itu mengaku hanya sebagai temannya, mengatakan padamu, bahwa HP lelakimu ada di tangannya dan mereka tengah bertukar HP. Sesak dan gemetar menjalari tubuhmu saat mendengarnya. Terpecahkan sudah apa yang selama ini menjadi kejanggalan-kejanggalan bagimu. Sejak itu, menjadi begitu sulit untukmu bisa berbicara dan menyelesaikan masalah dengan lelaki ketiga. Perempuan itu selalu ada di tengah-tengah kalian.

Kau telusuri diam-diam sosok perempuan itu. Kau lacak jejaknya melalui alamat email dan facebook lelaki ketiga. Waktu itu, dia belum mengganti password-nya sehingga kau berhasil masuk dan meretas isi akunnya. Kau membaca salah satu chat di fitur gmail dimana perempuan itu menyebut lelakimu dengan panggilan "kungkung". Pula beberapa percakapan mereka di kolom chat facebook milik lelakimu. Ternyata, perempuan itu adalah perempuan yang tidak kau sukai di foto yang pernah lelakimu tunjukkan.

Kau tahu? Sebenarnya, saat melihat perempuan dalam foto itu, emosimu tengah menyampaikan sesuatu padamu. Kau telah mengalami luka pengkhianatan. Kau juga pernah menyakiti orang yang menyayangimu dengan bepura-pura mencintainya. Pengalaman-pengalamanmu dengan hubungan cinta sebelumnya mengasah kepekaanmu mengenali suatu pola ketika seseorang sudah tak lagi memiliki rasa cinta terhadap pasangannya dan akan mengakhiri suatu hubungan.
Ya, dan aku merasakan siksaan yang lebih dari sebelumnya. Aku kembali marah dengan kebodohanku. Aku merasa telah mencintainya cinta dengan sia-sia. Selain itu, berakhirnya hubungan kami, mengingatkan rasa bersalahku pada teman perempuanku. Aku semakin menyalahkan diriku sendiri. Bahkan sempat merasa, bahwa aku pantas mendapatkan luka ini. Lantas, ketika mendapati kabar bahwa teman perempuan yang pernah kulukai akan menikah, aku bahagia dan benar-benar terbebas dari rasa bersalahku padanya.
Hai, Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan, maukah kuberitahukan lagi penyebab sesuatu yang mengerikan tercipta dalam benakmu?
Soal balasan untuk lelaki-lelaki pengkhianat itu yang kumohonkan kepada Tuhan?
Ya, termasuk itu. Biar kujelaskan untuk kau pahami.

Polamu menangani rasa bersalah berulang seperti yang pernah terjadi setelah kau putus dengan lelaki kedua. Rasa bersalahmu akan hilang saat orang yang kau sakiti mendapatkan kebahagiannya. Saat kau membayangkan teman perempuanmu dan mengatakan pada dirimu sendiri bahwa kau layak mendapatkan luka pengkhianatan kedua, secara tak sadar, kau pun tengah memproyeksikan lukamu pada dua lelaki yang menyakitimu. Bahwa mereka pantas mendapatkan hukuman sepertimu yang telah menyakiti temanmu. Dari proyeksi ini, lahirlah imajinasi mengerikan dari dirimu. Kau menginginkan mereka mati dengan cara sekejam mungkin sebagai balasan terbayarnya lukamu.

Dendam, amarah dan kebencian yang berlipat ganda dari sebelumnya membuatmu lebih sulit menghadapi luka keduamu. Yang coba kau hadapi saat itu bukan hanya bayangan lelaki-lelaki yang melukaimu, tapi juga dirimu sendiri, si Bayangan Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan. Kau lebih banyak menyalahkan dirimu sendiri atas peristiwa yang terjadi. Kau merasa bersalah dan malu pada orang tuamu atas kegagalan hubungan kalian.

Tapi, lagi-lagi, Tuhan ingin tetap melihatmu gembira dan menyembuhkan diri. Kugambarkan dengan lebih dalam dan luas lagi soal ini. 

Kau tahu, mengapa Tuhan masih tetap menjaga hubunganmu dengan sahabat terbaikmu yang pertama kali menolongmu di luka pertama dari lelaki pertama? Tuhan ingin kau belajar darinya. Perjalanan yang telah dia lalui adalah perjalanan yang sedang kau hadapi saat itu. 

Saat kau menyalahkan diri sendiri dan mengatakan pada sahabatmu, "Aku layak mendapatkan ini karena telah menyakiti teman kita," sahabatmu menjawab, "Kamu berhak bahagia seperti teman kita sekarang." Sahabatmu tetap bersabar menemanimu disaat semua terasa salah dalam pandanganmu.

Saat kau tak kuat menanggung lagi semua, dan tak mungkin terus menyembunyikannya dari orang tua, kau menangis di pangkuan ibumu. Kau memuntahkan semua pahit getir rasa sakitmu dengan tumpahan air mata. Kau katakan, "Aku mau dia mati sengsara atau adik perempuannya mengalami hal yang sama."

Ibumu yang sama sakitnya melihatmu terluka, mengusap lembut punggungmu. Pertama kali dalam 25 tahun perjalanan hidupmu, kau menangisi soal cinta dan lelaki di hadapan ibumu. Bapakmu benar-benar marah mendengar apa yang kau alami. Marah kepada lelaki itu. Sumpah serapah keluar dari mulutnya.

Tapi, ibumu berkata kepadamu, "Kita tidak perlu berdoa yang jelek-jelek untuknya, cukup berdoa untuk kebahagianmu sendiri."

Di titik inilah aku, Diri yang Terus Belajar Mengutuhkan Diri, mulai muncul. Aku berusaha berteman akrab denganmu, memahamimu, Wahai Bayangan Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan.
Lantas, apakah aku sudah bisa memaafkannya dan benar-benar berlepas diri dari dendam, amarah dan kebencianku kepada mereka yang mengkhianatiku sekarang?
Kuberitahu sekarang. Rasa bersalah hadir untuk memahamkanmu bahwa setiap manusia memiliki peluang untuk bersalah, termasuk lelaki pertama, lelaki ketiga dan dirimu sendiri. Sementara, sebuah kejujuran yang terkadang pahit tengah mengajarimu, bahwa setiap manusia punya jatah untuk terluka dan melukai dalam menjalani hidupnya. Yang kesemuanya berujung pada proses memaafkan diri sendiri dan orang lain. Memaafkan dua perbuatan: menyakiti dan disakiti.

Kau telah berproses memaafkan dirimu sendiri. Kini, saatnya kau berproses memaafkan mereka. Aku, Diri yang Terus Belajar Mengutuhkan Diri, selanjutnya, akan terus merangkul Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan dan menuntunnya agar kau bisa memaafkan lelaki-lelaki yang memberikanmu luka pengkhianatan.

-Vinny Erika Putri, 08.01.21

Minggu, 03 Januari 2021

#2. Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan

 


Penjelajahan Bayangan Diri
-Pola Shadow Self di Luka Pertama-

Hai, Aku yang Berkalang Luka, biar kupeluk dirimu. Pastilah masa-masa itu menjadi suatu neraka bagi dunia batinmu. Yang bahkan saat ini, ketika kau berusaha membongkarnya kembali dari kuburan lukamu, dadamu masih terasa sedikit nyeri. Tak apa-apa. Kau tengah berproses untuk benar-benar merangkulnya. 

Sekarang, apakah kau siap, untuk mengurai satu per satu apa yang dipikul bayangan Aku yang Berkalang Luka? Jika kau masih membutuhkan ruang untuk bertanya atau meneriakkan apapun yang masih kau peram, tak apa, keluarkanlah. Aku, Diri yang Terus Belajar Mengutuhkan Diri, ada di sini, bersamamu juga mungkin bagian dari diri kita yang lainnya untuk saling berintegrasi menjadi satu kesatuan Diri yang Utuh.

Hai, Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan, 18 tahun usiamu kala itu. Kau memasuki fase yang dinamai "quarter life crisis" dimana fase pendewasaanmu dimulai dengan banyaknya tantangan hidup dan kau dihadapkan dengan berbagai tuntutan sosial yang lebih pelik dari sebelumnya di lingkungan yang lebih luas. 

Memasuki usia tersebut, kau, atas persetujuan dan arahan orang tua, memutuskan untuk keluar dari cangkang rumahmu. Purwokerto menjadi tempat pertama kau membentangkan asa dan cita yang lebih besar. Kau melanjutkan jenjang pendidikan kesarjanaanmu di sana. Saat membayangkan kata merantau, kau merasa bahwa akan ada banyak hal yang menyenangkan menantimu. Perantauan bagimu berarti petualangan hidup, kebebasan menentukan aturanmu sendiri dan kemandirianmu tumbuh terasah melalui tantangan-tantangan yang ada. Di kota orang tempat kau berkuliah, kelak, kau akan bertemu dengan pergaulan yang lebih luas, teman-temanmu orang-orang dari berbagai kota dan kejutan-kejutan lainnya. 

Kau tak takut menghadapi apapun saat itu. Tapi, sayangnya, kau tak dibekali cukup kesiapan menghadapi cinta dan polanya. Keluargamu sangat ketat dalam hal hubungan lawan jenis. Kedua orang tuamu, mengedepankan aturan dan larangan tanpa komunikasi dua arah yang intens soal ini sebagai bentuk perlindungan mereka atas kekhawatiran pergaulan remaja yang bisa saja salah arah tanpa adanya doktrin aturan tersebut. Dan remaja kecil dalam dirimu ketika itu adalah seorang penurut yang banyak menyimpan pertanyaan bagaimana sebuah relasi antara lawan jenis dibangun. Kau hanya mengenal suatu hubungan emosional antara lawan jenis dari gambaran keluargamu sendiri, yaitu bapak dan ibumu. Gambaran itu menjadi sisi idealismemu soal sosok lelaki impian dalam cintamu. 

Sekarang, bisakah kita bahas soal cinta pertamamu? Sebuah titik awal perjalanan seorang remaja kecil tengah belajar menjadi remaja dewasa. Titik dimana kau mencoba memahami segala hal yang dihasilkan dari cinta dalam produk kata-kata maupun tindakan.

Kutanya padamu, apakah saat pertama kali kau menerimanya, perasaanmu padanya telah tumbuh?
Aku belum merasakan perasaan apapun pada saat itu. Pertemuanku dengannya, berawal dari satu kelompok yang sama pada saat orientasi studi mahasiwa baru. Terus berlanjut ke pertemanan biasa yang belum begitu dekat tapi cukup komunikatif. Dan entah tepatnya kapan (sudah kulupakan dan benar-benar lupa), dia menyatakan cintanya. Aku terkaget-kaget. Aku belum bisa meraba perasaanku sendiri. Tapi jawaban "ya" atau "tidak" dia minta saat itu juga. Dia berkata, jika aku tidak menerima perasaannya, kita tidak lagi bisa menjadi teman.
Baiklah, Diri yang Terus Belajar Mengutuhkan Diri ini, bisa menyimpulkan sesuatu yang dulu belum bisa kau cerna. Dia mengarahkan fokusmu tanpa kau sadari dengan kalimat, "kita tidak lagi bisa menjadi teman", terlepas dari apakah dia benar-benar mencintaimu atau tidak pada saat itu. Dan kau tengah gambling dengan perasaanmu sendiri. Titik poin yang menjadi sudut pandangmu, kau tak ingin kehilangan teman. 

Kau bertaruh dengan sebuah pepatah "cinta akan tumbuh seiring kebersamaan yang sering". Kau tak memberikan dirimu ruang dan waktu untuk menyelami bagaimana perasaanmu yang sebenarnya. Kau menerima perasaannya dan mengiyakan memulai hubungan yang orang-orang bilang saat itu "pacaran".
Aku manusia bodoh bukan? Di awal-awal keterpurukanku, mengingat bahwa aku pernah mencintainya adalah memori yang paling ingin kuhapus. Tapi semakin keras kumenolak ingatan itu, bayang-bayangnya justru semakin menyiksaku.
Tidak. Kau bukan manusia bodoh, Wahai Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan. Kalau kau tidak menghadapi fase itu, belum tentu Diri yang Terus Belajar Mengutuhkan Diri memahami banyak pembelajaran hidup yang didapat darimu. Kau telah banyak melalui proses yang sulit untuk bisa berdamai dengan dirimu sendiri. Memori itu ada bukan untuk menyiksamu meski terkadang kau masih merasakan sesak saat mengingatnya. Dia ada untuk membuka banyak jalur hidup yang bisa kau tempuh dengan banyak belajar darinya.

Izinkan kulanjutkan bercerita untuk mengurai pola-pola darimu.
Silakan dan lengkapilah ingatanku.
Sejak berpacaran, kebersamaan kalian kian intens. Adanya seseorang yang selalu bisa kau andalkan disaat kapanpun kau membutuhkannya; mau mendengarkan segala keluh kesahmu; memberikanmu perhatian penuh; mengukirkan kenangan-kenangan lainnya yang bagimu adalah hal baru, pelan-pelan memekarkan perasaanmu padanya. Titik lemah sisi seorang wanita telah terpanah. Saat itu, kau sudah bisa dengan jelas melihat dimana kau bergantung dan meletakkan hati. 

Impianmu sebagai wanita pun mulai dibangun. Impian yang dianggap sebagai aktualisasi tertinggi soal cinta: ikatan pernikahan. Kau adalah tipikal yang benar-benar serius ketika telah menetapkan diri pada cinta. Saat itu, kau belum menyadarinya bahwa hal ini juga yang menyebabkanmu terindikasi memiliki sisi gelap bernama obsesi dan posesif. Pasangan sisi terang dari dedikasi dan kesetiaan.

Dalam impianmu, kau mulai memasukkan gambaran idealismu dalam berumah tangga. Juga menyelipkan sebagian fantasi dari roman-roman film atau buku-buku novel yang pernah kau baca. Kemudian, merestrukturnya dalam versimu sendiri dimana kau menggabungkan animus yang diturunkan dari sisi baik ayahmu, anima yang diturunkan dari sisi baik ibumu dan fantasimu sendiri. Penggabungan itu dijadikanmu acuan untuk membentuk sosok lelaki dan bagaimana seharusnya lelaki memperlakukan wanita dalam cinta. Termasuk soal kesetiaan terhadap pasangan.

Lalu, impian itu remuk-redam oleh sebuah pengkhianatan. Di titik ini, bayangan gelapmu mulai muncul. Bayangan Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan. Kau memandang makna cinta secara realita. Realitanya, kau dikhianati. Gambaran antara idealismemu dan realita soal cinta berseberangan. Realita membunuh semua asa dan cita tentang cinta yang kau bangun. Cintamu berubah menjadi energi kegelapan yang sedemikian pekat oleh dendam, amarah dan kebencian. Awal mula kebangkitanmu pun didorong oleh bahan bakar itu.

Kau yang tengah menempa kemandirianmu dan merasa sudah cukup dewasa untuk belajar menyelesaikan masalahmu sendiri, memilih tak banyak bercerita pada keluargamu. Lainnya, kau pernah merasa telah mengecewakan keluargamu karena lelaki itu memecah konsentrasimu dalam belajar yang berimbas pada nilai-nilai akademikmu di perkuliahan. Alih-alih kau bersikap mandiri, menutupi kerapuhanmu pada keluarga saat itu, kau membutuhkan seseorang yang bisa memahami dan menerima kondisimu. 

Saat itu, Tuhan Yang Maha Penyayang tetap ingin melihatmu gembira. Sang Maha Penyayang, tak ingin kau jauh lebih dalam terpuruk. Kau diberikan-Nya sahabat perempuan yang melindungi dan menarik tanganmu untuk bangkit. Sebabnya, dia pernah merasakan berada di posisimu. Luka yang sama menjadi katalis keterikatan dan keterkaitan emosi kalian.

"Terlalu berharga air mata yang kamu keluarkan untuk menangisi orang yang tidak penting," ujar sahabatmu.

Kata-kata dan keberadaannya yang membersamaimu saat itu menyalakan semangatmu untuk bangkit. Sekaligus memperbesar dendam, amarah dan kebencianmu pada lelaki pertama yang teralihkan dalam bentuk energi lain bahwa kau bertekad untuk bisa hidup dengan baik dan lulus kuliah tanpanya di sisimu. Kau kategorikan lelaki itu pada folder masa lalu dan label tidak penting. Meski pada awalnya tidaklah mudah menyingkirkan segala memori tentangnya. 

Dimasa-masa sulit itu, sahabatmu mendekatkanmu dengan lelaki teman seangkatan kalian. Yang kau tahu, pada awalnya, dia sempat menyukai sahabatmu sementara sahabatmu hanya menganggapnya sebagai teman biasa. Seiring lelaki itu sering mengobrol denganmu tentang apapun, hatinya berputar haluan menujumu. Sahabatmu menangkap sinyal tersebut. Dan itu serupa kegembiraan baginya. Dalam sudut pandangnya, menjalin hubungan dengan lelaki itu adalah peluang untukmu sembuh.

Sahabatmu pun memintamu untuk menerima lelaki itu jika kau masih menganggapnya sebagai sahabat baikmu. Dengan kata lain, kau mesti mencoba untuk membuka hatimu dan membiarkan lelaki itu masuk dalam hidupmu.
Aku merasakan maksud baik dan tulus sahabatku. Dia benar-benar tak ingin melihatku terus-menerus terkungkung dalam kesedihan dan segera melupakan lelaki pengkhianat itu.
Benar. Sahabatmu tulus. Hatimu merasakan itu. Darinyalah, perasaanmu belajar memindai mana orang-orang yang palsu dan mana orang-orang yang tulus di sekitarmu. Sahabatmu adalah awal pembuka gerbang bagimu untuk menaruh kepercayaan dan bisa terbuka soal kerentananmu pada orang lain diluar keluarga. Darinya pula, kau mulai belajar menyeleksi orang-orang yang bisa kau izinkan untuk mengetahui kehidupan personalmu.

Tapi, ada suatu pola berulang yang bisa kau pelajari di sini, bahwa yang mendasari kau menerima lelaki itu bukan sebab didahului oleh ketegasan perasaanmu sendiri. Kau melakukan itu karena tidak ingin kehilangan status pertemanan atau persahabatan dengan kesemuanya. Pola pertama, kau tidak ingin bermusuhan dengan lelaki pertama yang kau rasa bisa saja terjadi jika kau menolaknya, meskipun ujungnya kau terluka juga. Pola kedua, kau tidak ingin kehilangan sahabatmu dan lelaki kedua sebagai temanmu.

Kau sudah paham polanya? Lalu, tahukah kau penyebabnya?
Yang kupahami saat itu, cukup sulit untuk mengatakan tidak pada orang lain, terutama orang-orang terdekatku. Ada kecenderungan untuk bisa menyenangkan atau membalas budi orang-orang yang telah menolongku.
Penyebabnya adalah remaja kecil dalam dirimu yang cenderung terbentuk menjadi anak penurut dari aturan moral dan monitoring ketat keluarga. Ibumu adalah sumber keteguhan nilai-nilai moral terutama tentang relasi antar manusia. Sementara bapakmu, simbol ketegasan dan pendirian yang sulit ditentang ketika telah menetapkan aturan. Sehingga kau menjadi remaja kecil yang tidak banyak mengeluarkan isi pemikiran dan perasaannya demi bisa diterima dan beradaptasi dengan kondisi apapun di lingkungan keluargamu.
Lantas, mengapa hubunganku dengan lelaki kedua gagal? 
Kau masih mengalami kekecewaan dan kekhawatiran dari bayangan Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan. Kau juga masih terganggu dengan persepsi sebelumnya yang telah kau bangun. Persepsimu tentang cinta dan lelaki dari pengalaman sebelumnya tidak menghilang, tapi persepsi itu terus merestruktur diri. Kau membongkar dan membuang apa yang terasa cacat dari hubungan cintamu sebelumnya. Lalu berusaha menambahkan gambaran baru dalam persepsimu soal cinta dan sosok lelaki yang kau inginkan agar tak mengulangi kegagalan yang sama.

Lelaki kedua, tak memberikan persepsi apapun yang lebih kuat dari persepsimu tentang lelaki sebelumnya. Lebih tepatnya, sulit untuk benar-benar melihatnya sebagai "lelakimu". Kala itu, lelaki pertama, belum benar-benar menghilang dari penglihatanmu. Kalian masih bertemu secara tidak sengaja di kampus. Bahkan beberapa kali, ia sempat mampir ke kosmu menemui kakak angkatannya untuk urusan tugas. 

Sekuat apapun kau berusaha tak peduli, kabar lelaki pertama tetap saja mampir ke telingamu dari mulut teman-temanmu atau temannya yang juga temanmu. Itu cukup membuat perasaanmu terdistraksi oleh campuran rasa sakit, dendam, amarah dan kebencianmu dari segala kenangan yang muncul saat melihatnya. Pula, jauh di dalam dirimu, sebenarnya kau menyadari, hatimu tak bisa langsung diisi oleh orang baru saat kau masih terluka. Hatimu butuh tenggat waktu untuk dirangkul dan dimengerti oleh dirimu sendiri.

Lantas, sampailah pada titik kau memutuskan untuk berhenti dari lelaki kedua setelah enam bulan berpacaran. Kau kesulitan menemukan alasan yang tepat untuk mengakhiri sebuah hubungan. Diantara kalian tak ada pertengkaran hebat dan cenderung baik-baik saja. Tapi, dirinya tak pernah berada dalam hatimu. Akhirnya, hatimu yang tak bisa dipaksakan menjadi kalimatmu kepadanya yang menegaskan hubungan kalian tak bisa dilanjutkan. Saat kau berpisah dengannya, kau tak mengalami perasaan sakit apapun seperti yang dialami Bayangan Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan.
Benar. Setelah memutuskan hubungan dengannya, aku merasa lega sekaligus bersalah. Lega karena aku tak lagi mesti berpura-pura mencintainya. Dan bersalah karena aku telah menyakiti kebaikan cintanya dengan kepura-puraanku.
Kau tahu? Perasaan bersalah itu membuatmu tetap berusaha untuk bersikap baik kepadanya, meski sebenarnya, kau tak lagi peduli dengan kabarnya. Kau tak pernah mengontaknya lebih dulu. Tapi, segala pesan yang berasal darinya, masih kau balas sewajarnya dan dengan batasan tertentu yang dia sangat pahami untuk tidak melampauinya. Bahkan, kau menyertakan doa tulus untuknya menemukan seseorang yang lebih baik darimu dan mengucapkan selamat ketika ia mengabarkan pernikahannya. Kau benar-benar bahagia untuknya. Berita itu seperti sebuah kompensasi yang membayar lunas rasa bersalahmu. 

Dari lelaki kedua ini, kuberitahukan satu pola lagi yang menjadi polamu dalam menjalani hubungan. 

Berpisah secara baik-baik ataupun tidak baik-baik, bagimu sama saja. Kau tak akan merepetisi cerita yang serupa. Saat hatimu menyatakan hubungan itu berakhir, artinya benar-benar berakhir dan tidak ada jalan untuk kembali ke belakang. Kau lebih memilih bergerak ke depan untuk menjalani kehidupanmu. 

-Vinny Erika Putri, 03.01.21

Jumat, 01 Januari 2021

#1. Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan

 


Penjelajahan Bayangan Diri
-Shadow Self-

Kujelajahi sisi gelap yang ada didalam diriku. Kutemui bayangan-bayangan yang jauh tersembunyi di sana. Bayangan yang kuabaikan dan kukira telah menyembuhkan diri. Bayangan yang menjadi awal mula kutemukan "hewan primitif"  lainnya yang bisa muncul ke permukaan dan memanifestasikan diri dalam alam sadarku melalui spontanitas tingkah laku. 

Bayangan pertama kutemui. Bayangan yang paling ingin kupahami emosi-emosi apa saja yang tidak bisa dialirkannya pada saat itu. Bayangan ini, kunamai, Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan. Bayangan ini merupakan bayangan seorang aku yang memendam dendam, amarah dan kebencian sebagai dampak dari luka-luka tersebut.

Cinta menjadi awal mula cerita keberadaannya.

Cinta. Darinya, terlahir suatu kata kerja aktif "mencintai" dan kata kerja pasif "dicintai", yang keduanya membutuhkan kebaikan kata "saling" sebagai jembatan penghubung agar bisa berjalan seimbang dan terjaga keberlangsungannya.

Cinta menempati urutan teratas yang pernah berakibat fatal dalam hidupku. Saat kebaikan kata saling tak berhasil menjalankan fungsinya dengan baik, jembatan penghubung itu pun terputus. Mencintai dan dicintai menjadi sesuatu yang sama rumitnya. Aku tidak lagi dicintai orang yang kucintai saat aku masih mencintainya. Dan orang yang kucintai, tak bisa lagi mencintaiku saat aku masih mencintainya. 

Apa yang menyakitkan dalam posisi ini? Ketika pihak yang tak bisa lagi mencintai, memilih suatu pengkhianatan untuk melepaskan diri dari yang masih mencintainya. 

Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan, terlahir dari kondisi ini. Aku terpuruk. Roda perputaran hidupku sempat kacau. Aku kehilangan arah tujuan. Langkahku gamang. Hatiku yang sekarat mempertanyakan definisi cinta dari syair para pujangga yang memberi cinta dengan warna merah jambu. 

Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan, setengah mati mencari-cari pegangan dan kekuatan dalam diriku untuk bangkit, dari mulai merangkak, berdiri, berjalan tertatih hingga akhirnya berlari menebus waktu yang telah banyak kusia-siakan. Tapi, dendam, amarah dan kebencian itu masih terasa detaknya. Mereka  hadir membersamai langkah hidupku.
Hai, Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan, mengapa cinta purbamu bisa berubah energi menjadi dendam, amarah dan kebencian yang sedemikian pekat? Apakah ada sesuatu yang sulit kaulepaskan hingga dendam, amarah dan kebencian mengerak begitu kuat dan dalam? Mengapa memaafkan mereka, yang semestinya sederhana dan mudah, menjadi hal yang sulit kaulakukan? 
Entahlah.

Pernah ada suatu keinginan, yang mengerikan dalam hatiku, di fase awal aku mengalami keterpurukan dimana luka itu masih menganga lebar dan keperihan-keperihan masih nyata terasa. Aku menginginkan mereka mati dengan cara sekejam mungkin, oleh tangan orang lain, pada saat itu.

Kuceritakan terlebih dahulu tentang dua orang lelaki dalam kisah cintaku. Dua orang lelaki yang meninggalkan ingatan buruk dan menciptakan bayangan gelap seorang Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan.

Sebutlah dia sebagai lelaki pertama yang mengenaliku pada rasa cinta. Dia telah membangun suatu impian yang tertidur di dalam hatiku. Impian yang melahirkan harapan tinggi untuk mencapai gambaran rumah tangga ideal disaat aku masihlah terlalu polos dan tak terlalu cerdas dalam memaknai cinta. 

Aku tidak tahu, cinta itu tepatnya seperti apa. Yang kurasakan pada saat itu, dia adalah duniaku, yang bersamanya ingin kubangun dunia kami. Kepada cinta kami, kukerahkan energi yang kupunya untuk mewujudkan idealisme asa, cita dan cinta dalam gambaranku.

Lantas, impian itu hancur. Dia mencintai cinta yang lain di belakangku. Tanpa sepengetahuanku, menyusun skenario kebohongan yang sama sekali tak kusadari dan membuatku seperti orang bodoh disaat orang lain sudah mengetahuinya lebih dulu. Skenarionya adalah perjodohan. 

Lelaki pertama mengatakan bahwa dia dijodohkan oleh orang tuanya dengan teman SMA yang pernah menyelamatkan hidupnya. Saat penyakit lemah jantung lelaki pertama kumat di sekolah, perempuan itulah yang membawanya ke Rumah Sakit. Perempuan itu menyukainya, sementara dia tidak. Tapi, dia tak bisa menolak permintaan orang tuanya. Dan perempuan itu, tengah ada di kota Purwokerto. 

Aku sama sekali tak mencurigai ceritanya. Sampai, aku memberanikan diri bertanya pada teman sejurusanku yang sekaligus merupakan teman SMA lelaki pertama. Darinyalah, awal mula semuanya terbongkar. Perempuan yang diceritakan lelaki pertama, tak pernah memiliki hubungan dekat dengannya. Informasi lainnya, lelaki pertama tidak memiliki riwayat penyakit jantung semasa SMA seperti yang pernah diceritakannya padaku.

Apa yang diceritakan temanku, membuat mataku kian terbuka. Saat itu, barulah kusadari, mengapa dahulu lelaki pertama begitu marah dan tak suka setiap kali melihatku mengobrol dengan teman laki-lakiku yang padahal teman SMA-nya juga. Saat itu, kemarahannya yang kuanggap sebagai rasa cemburu, membuatku menjaga jarak dengan temanku demi hubungan kami tetap berjalan baik.

Setelah kudapati informasi tentang lelaki pertama dari temanku, aku pun menemukan informasi lainnya dari sumber yang berbeda. Arus informasi itu seolah datang tanpa kuminta. Lalu, benang merah kebohongannya mulai bisa kuurai satu per satu. Kejanggalan-kejanggalan yang kulewatkan, mendapatkan jawabannya saat itu juga. Aku membaca kenyataan yang selama ini luput dari jangkauanku. Kenyataan bahwa dia berkhianat padaku disaat aku sunguh-sungguh mempercayainya. 

Aku bahkan terlalu bodoh untuk menyadari bahwa dia sempat menyatakan perasaannya pada teman sejurusannya tanpa sepengetahuanku. Saat itu, dia menempatkanku pada urutan kedua. Yang artinya, saat perempuan itu menolaknya, dia akan kembali memilihku. Aku baru paham, makna tatapan mata teman-temannya padaku saat berpapasan denganku atau melihat kebersamaan kami berdua di kampus. Sebagian memandangku dengan mata memincing, sebagian lagi menatapku dengan pandangan iba.

Hatiku sakit. Aku marah pada diriku sendiri. Aku marah padanya. Aku marah pada kebodohanku dan pengkhianatannya.

Pada akhirnya, kami tak memiliki kesempatan untuk memperbaikinya. Tak ada lagi yang bisa disatukan dari sebuah kepercayaan akan cinta yang sudah diluluh-lantakkan oleh pengkhianatan. Pengkhianatannya adalah hal yang paling menyakitkan dibandingkan luka kehilangan yang kurasakan saat berpisah dengannya. 

Keluargaku, terutama bapak sebagai lelaki, tak pernah berkhianat pada ibu meski umum dalam rumah tangga pastinya ada pertengkaran diantara mereka. Bapak dan ibu, tetap memilih bersetia pada pasangan apapun masalahnya. Mungkin, sebab itu, kesetiaan adalah nilai yang kunjunjung tinggi saat menjalin hubungan apapun dengan siapapun.

Aku tak pernah menginginkannya kembali. Sesakit apapun hatiku. Selimbung apapun hidupku. Mekanisme pertahanan diriku mencegahku untuk mengulang sejarah yang sama.

Orang-orang mengatakan, cinta pertama sulit dilupakan. Kuiyakan. Bukan soal cintanya. Tapi ingatan yang disisakannya. Ingatan tentang luka pengkhianatan yang mempengaruhi persepsiku dalam memandang cinta terhadap lawan jenis dan sosok lelaki itu sendiri.

Aku sempat kembali membuka hati. Kuterima lelaki kedua dalam perjalanan cintaku. Lelaki yang pernah menjadi teman seperjuangan saat kami berkuliah. Kukira, hubungan ini akan menyembuhkan lukaku. Nyatanya, kutinggalkan dia dengan perasaan bersalah. 

Aku memutuskan berhenti dengan hubungan kami. Dan dia memilih menyerah menghadapi cintanya. Lantas, dia lulus lebih dulu dariku. Aku tak lagi mengontaknya. Dia pria baik yang menyayangiku kala itu. Tetapi, waktu yang membersamai kami tak juga menumbuhkan kepercayaan dalam hatiku akan cinta itu sendiri. Aku yang bermasalah. Bukan dia. Aku masih mencari-cari persepsi baru tentang cinta dan lelaki.

Sampai, Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan melihat persepsi yang sesuai pada lelaki ketiga. Lelaki itu adalah teman kuliahku sekaligus teman lelaki kedua yang pernah menjalin hubungan denganku. Waktu dan kesempatan yang kerap kami lalui bersama, menumbuhsuburkan perasaanku padanya. Sekaligus menempatkanku pada perang batin yang semakin besar antara ingin memiliki dan melepaskannya.

Pada saat itu, kami sama-sama tahu, ada teman perempuan kami yang entah sejak kapan diam-diam menyukainya. Bahkan mungkin tanpa dia sadari perasaannya lebih jauh dari itu. Cinta berada dalam kondisi yang pelik untukku. Seperti sisi gelap dan terang yang saling berperang untuk menang.

Di titik ini, aku menemukan sisi gelap lainnya dari diriku. Aku mulai mencari pembenaran diri untuk menutupi sisi gelap ini. Aku menepis pemahaman empati mengenai perasaan sesama perempuan yang harusnya kukuatkan. Pun, menyangkal sisi terang yang berusaha menyadarkanku, bahwa apa yang aku peroleh dengan jalan menyakiti, tidak akan berdampak baik dan hanya akan membuatku menanggung rasa bersalah

Sisi gelapku berulang-ulang mengatakan bahwa ini bukan suatu kesalahan. Kami bertiga tidak dalam status keterikatan apapun. Kami bertiga berada dalam zona pertemanan yang masing-masing memiliki perasaan terpendamnya. Aku tak mengambilnya dari siapapun. Semua orang berhak mencintai dan dicintai.

Sisi gelapku menang. Realita yang terjadi menegaskannya. Cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Lelaki itu menyatakan cintanya setelah kami melewati proses saling mengenal lebih dekat yang terjadi secara natural jelang semester akhir perkuliahan. Dan aku, menerimanya, meski rasa bersalah pada temanku menghantuiku.

Kalimat-kalimat dari dunia luarku pun bermunculan. Sebagian menyuarakan, "Toh, kamu tak berada dalam satu lokasi yang berdekatan dengannya dan sudah jarang bertemu. Kalian ada di semester akhir, sebentar lagi lulus dan tidak akan lagi bertemu dengannya." Sebagian menunjukkan jalan yang bertentangan dengan kalimat penenangan semu itu. Dan sebagian berada dalam posisi netral yang tidak ingin mencampuri urusan kami karena kami semua adalah teman-teman mereka.

Dalam kungkungan rasa bersalah, aku tak bisa terus menghindarinya. Sesak rasanya bagiku ketika aku dipaksa terus-menerus menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. Sesuatu dari dalam diriku mendesakku untuk jujur kepada teman perempuanku yang terbilang cukup dekat denganku. Meski aku tahu kejujuran itu akan menyakitkannya.

Pada akhirnya, aku memang benar-benar menyakitinya. Kejujuran itu, di satu sisi, cukup membuatku bernapas lega. Sementara di sisi lain, perasaan bersalahku tak juga hilang dengan permintaan maaf dan tangisku padanya setelah pengakuan itu. Namun, seiring berjalannya waktu, rasa bersalahku padanya menipis, tergantikan rasa bahagia yang memenuhi dada di tahun pertama aku dan lelaki ketiga menjalani hubungan.

Di tahun kedua, Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan, dibayangi proyeksi ketakutan-ketakutan luka yang sama akan menimpaku kembali. Proyeksi itu muncul menguat seiring pertemuan kami terkendala jarak dan waktu. Dia dan aku tinggal di kota yang berbeda. Dia telah mendapatkan pekerjaan di sebuah kota di Jawa Tengah. Sementara aku masih bergulat mencari pekerjaan di kota domisiliku. Kepercayaanku bolak-balik goyah saat komunikasi kami tersendat tak berjalan lancar. Saling mengabari dalam intensitas yang tinggi adalah kebutuhan utamaku pada saat itu.

Hingga, sampailah di titik Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan menjadi tajam dan peka mengenali sesuatu yang mengancam hubungan kami. Lelaki itu, menunjukkan sebuah foto yang memperkenalkan teman-teman satu timnya di tempat dia bekerja. Mataku, tertuju pada seorang perempuan berjilbab dengan perasaan bercampur yang tak bisa kujelaskan mengapa aku tak begitu suka dengan perempuan itu.

Benar saja firasatku, perempuan itu benar-benar menjadi awal lukaku berulang. Perasaan yang tak bisa kujelaskan saat pertama kali melihat fotonya pun terjawab sudah. Di saat komunikasi kami tersendat dan pertengkaran-pertengkaran tengah mengada diantara kami, perempuan itu, menjadi cinta yang lain bagi lelakiku. 

Sang perempuan baru, terus mengintimidasiku agar melepaskan diri dari lelakiku. Dikatakannya via SMS bahwa lelakiku adalah lelaki yang dikirimkan Tuhan untuknya. Perihnya, tak ada pembelaan apapun dari lelaki ketiga untukku. Saat kupinta jawaban yang jujur darinya, apakah hubungan kami masih bisa diperbaiki atau tidak, lelaki yang masih kucintai kala itu, dalam satu kalimat suara, dengan jelas mengatakan bahwa dia telah melenyapkan seluruh rasa sayangnya padaku. 

Hatiku koyak-moyak. Sakit. Teramat sangat. Benci dan cintaku padanya masih saling bertarung dalam perih kehilangan dari suatu perpisahan pada saat itu.

Pada akhirnya, aku benar-benar memutuskan mundur, membiarkan lelaki ketiga menjalani pilihannya. Kujadikan dia orang asing dalam sekejap meski dia menginginkan silaturahmi kami tetap terjalin. Dia sempat beberapa kali menghubungiku dan aku tak menggubrisnya. Aku memilih pergi, tak lagi berada diantara mereka. Itu pun masih tak cukup untuk dia dan perempuan yang dipilihnya merasakan ketenangan. Mereka terus menghadirkan bayanganku di awal-awal tahun hubungan mereka dengan beberapa kali mengusik hidupku baik dari pihak perempuan maupun lelaki itu sendiri.

Perempuan itu, sempat mengatakan, via SMS, "Kamu hanya masa lalunya yang sudah tidak penting."

Sedangkan lelaki itu pernah menghubungiku tengah malam, yang kuyakini tanpa sepengetahuan perempuannya. Lelaki itu menanyakan kabarku disaat telah kuhapus nomor kontaknya dan kubuang semua benda pemberiannya.

Aku tertawa sinis dengan hati yang pedih. 

Jika memang aku adalah masa lalunya yang tidak penting, mengapa kalian masih saja mencari perkara denganku?" hatiku berkata-kata kala itu. 

Amarahku semakin mendidih. Tapi kumenekannya dan memilih diam. Aku tak tahu harus menyusun kata seperti apa. SMS-SMS perempuan itu, hanya kukirimkan pada dua sahabat terbaikku yang tahu betul bagaimana kondisiku sebenarnya saat itu.

Beberapa bulan sesudahnya, saat hidupku mulai tenang, dan aku telah menemukan sebuah pekerjaan yang membahagiakanku, lelaki itu kembali muncul. Atas nama Tuhan yang Maha Pengampun, meminta maaf padaku via SMS dan dengan ringannya sedikit menceramahiku soal saling memaafkan. Aku tak tahu saat dia menuliskannya apakah dirinya bisa merasakan lukaku atau tidak. Lukaku kembali basah. Yang dilakukannya padaku sama saja dengan lelaki pertama.

Apa yang kudapatkan dari mencintainya berujung pada berlipat gandanya dendam, amarah dan kebencianku pada pengkhianatan cinta. Bertumpuk dengan dendam, amarah dan kebencian dari luka sebelumnya yang diberikan lelaki pertama. Bertahun-tahun, aku hidup dalam bayang-bayang Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan. Sukses yang kukejar bukan soal memaafkan mereka, tapi soal sukses dalam hal apapun atas waktu yang telah mereka renggut dariku. Seolah penebusan waktu atas cinta yang salah: mencintai mereka dengan sia-sia.

Bayangan lelaki-lelaki itu, selalu ada dalam bayanganku yang dipenuhi dengan dendam, amarah dan kebencian kepada mereka di setiap langkah sukses yang ingin kuwujudkan.
Hai, Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan, setelah bertahun-tahun berlalu, apakah kau masih merasakan sakit itu? Apakah kau sudah cukup lega atau masih membutuhkan banyak pengulangan cerita untuk kau benar-benar melepaskan amarah, dendam dan kebencian yang berada dalam kegelapanmu?

Entah aku sudah benar-benar lega atau belum. Yang kurasakan, meski tidak separah dahulu, sedikit sesak dan air mata masih ada saat kumenceritakan bagian ini.

Apakah kau ingin memahami semua bentuk emosi apapun yang kau punya saat memorimu kembali mengeja ingatan tentang mereka dan dampaknya terhadap kehidupanmu? Apakah kau ingin menelusuri kebenaran bahwa emosi negatif yang terpedam sudah benar-benar tersembuhkan dan bersinergi dengan dirimu menjadi energi yang lebih positif? Maukah kita menguraikannya satu per satu bersama-sama? Bersamaku, Diri yang Terus Belajar Mengutuhkan Diri.
Aku ingin. Diri yang Terus Belajar Mengutuhkan Diri ... bantu bayangan Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan, untuk keluar dari persepsi fana yang bisa saja menjebakku mengulang kesalahan yang sama. Bantu aku memahami polanya. Bantu aku berproses untuk memaafkannya.

-Vinny Erika Putri, 01.01.21