Jumat, 08 Januari 2021

#3. Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan

 


Penjelajahan Bayangan Diri
-Pola Shadow Self di Luka Kedua-

Hai, Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan, biar kutepuk pundakmu. Aku bangga padamu. Kau berhasil tetap hidup dengan baik bersama luka-luka itu. Sekarang, mari kita melanjutkan cerita.

Sejak kau putus dengan lelaki kedua, empati seorang Aku yang Berkalang Luka mulai terbangun. Kau mampu memproyeksikan dirimu pada kondisi orang lain yang serupa melalui pengalaman tersebut. Saat sahabatmu yang lain mengalami pengkhianatan, kau dengan sigap membersamainya melewati masa-masa perih itu. Kau dengan cepat terdorong merasakan pedih sekaligus amarah dalam satu waktu. Kau pedih melihat sahabatmu yang taruhlah kau lihat sebagai "korban" dari sudut pandangmu saat itu. Sekaligus marah pada lelakinya yang kau labeli "pengkhianat". 

Tahukah kau? Ada satu pola lagi yang bisa terlihat di sini. Oleh sebab dendam, amarah dan kebencianmu pada luka pengkhianatan, kau akan mudah terhubung dengan luka serupa. Kau melihat sahabatmu sebagai korban yang mesti kau selamatkan yang sejatinya itu adalah bayangan Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan. Dan amarahmu pada perbuatan lelakinya, sebenarnya, adalah bayangan lelaki pertama yang mengkhianatimu yang kau tak bisa keluarkan amarahmu padanya di saat itu. 

Kemudian, pola-pola yang didapati dari hubunganmu dengan lelaki pertama dan kedua, mewarnai perjalanan cintamu yang selanjutnya.

Sejak kau tak lagi memikirkan cinta, kau kira akan sulit kembali menemukan cinta. Tapi, realita menyuguhkan sesuatu yang berbeda. Kau tertarik dengan teman seangkatanmu di dua semester jelang akhir perkuliahan. Dulu, kalian tak pernah saling melihat dan peduli. Kalian memiliki kelompok pertemanannya masing-masing. Sederhananya, kalian tak begitu dekat dan hanya sebatas tahu. 

Sampai, kau pindah kos dari Purwokerto ke Purbalingga setelah mengalami kecelakaan. Orang tuamu memintamu pindah kos karena kondisimu yang tak mungkin bolak-balik Purwokerto-Purbalingga menggunakan motor untuk berkuliah. Kau sedang dalam masa pemulihan luka jahitan ringan di kaki. Saat itu, kau masih berkuliah mengulang beberapa mata kuliah yang sudah pernah diambil untuk memperbaiki nilai yang dirasa masih kurang sembari mengerjakan skripsi. Dan posisi kampusmu saat itu sudah menetap di Purbalingga. Lantas, kepindahanmu ke Purbalingga, membuka ruang kalian untuk saling memahami lebih dekat.

Apa yang membuatmu tertarik padanya?
Aku melihatnya sebagai seseorang yang unik. Dia berkeringat ketika berhadapan dengan sahabatku. Aku membaca ketidaknyamanan dari bahasa tubuhnya yang menandakan dia ingin segera pergi dari kami setiap kali diajak mengobrol. Semakin sahabatku meledeknya, semakin gugup bahasa tubuhnya. Dari informasi teman angkatanku yang juga satu kos dengannya, dia memang seperti itu ketika berhadapan dengan perempuan. Gugupan. Apalagi ketika perempuan itu berusaha mendekatinya, justru dia akan menjauh.
Biar kubantu membaca polamu di sini saat kau mulai "melihatnya". Sedikit gambaran bapakmu saat muda yang terpantul darinya. Bapakmu, yang kau dengar dari cerita ibumu, adalah seorang yang gugup ketika mesti berhadapan dengan orang-orang di luar lingkaran pertemanannya, terutama perempuan. Tapi, juga, beliau orang yang gigih berjuang ketika sudah menetapkan cintanya pada ibumu. Sekilas gambaran bapakmulah yang membuatmu penasaran dengan isi kepala dan hati lelaki ketiga untuk kau pahami. Dan rasa penasaranmu, lambat laun, telah menarik keluar apa yang ada didalam dirinya. Ia menjadi lebih akrab padamu dan lebih santai menghadapi ledekan sahabatmu. Tidak segugup diawal-awal. 

Lantas, kau dan lelaki ketiga, semakin dekat seiring banyaknya kesempatan mempertemukan kalian bersama. Dosen pembimbing skripsi kalian adalah dosen yang sama. Kalian pun tak canggung lagi membangun komunikasi dua arah dan kerap pergi bersama untuk bimbingan dengan dosen pembimbing yang rumahnya berlokasi di Purwokerto. Kau sering menebeng motornya.

Perlahan-lahan, persepsimu soal lelaki dan cinta yang telah merestruktur diri dari kegagalan sebelumnya, telah melihat dan memproyeksikannya pada lelaki ketiga. Tapi, perkaranya adalah, disaat perasaanmu diam-diam tumbuh padanya, kau mengetahui bahwa salah satu teman dekatmu juga menyukainya. Kau mulai bisa mengintegrasikan kerumitan yang tercipta melalui prediksi dampak-dampak yang akan timbul jika perasaanmu diteruskan. 

Sayangnya, perasaanmu semakin tak bisa ditekan ketika sosoknya kian terlihat mendekati persepsi barumu soal lelaki dan cinta. Kenyamanan yang terbangun diantara kalian tak bisa ditepis lagi. Kau ingin memilikinya. Semesta merestui. Ia menyatakan perasaannya. Dan, dialah lelaki yang kau terima tanpa ragu, karena titik perasaanmu tepat bertemu dengan perasaan yang sama. Darinyalah, kau berekspektasi tinggi dengan hubungan kalian. Gambaran rumah tangga yang sempat hancur, kau bangun ulang.

Tapi, kalian berdua dihadapkan pada kondisi dimana ada salah satu pihak yang tersakiti. Dan itu menjadi beban tersendiri bagimu. Pola-pola sebelumnya muncul kembali. Pola untuk bisa selalu menyenangkan orang dan tak menyakiti siapapun. Kau terkadang mencaci dirimu sendiri yang telah kau anggap menggadaikan empatimu demi cinta. Kau seolah tiada beda dengan lelaki yang pernah mengkhianatimu. Sebagai akibatnya, kau kembali memikul rasa bersalah. Dalam benakmu, kau telah melakukan pelanggaran nilai moral dengan menyakitinya. Rasa bersalahmu kian menjadi saat temanmu memberikan kado dan selalu bersikap baik padamu.

Kau tahu? Ada pola baru lahir di sini. Sisi posesifmu pada cinta mulai muncul. Sisi ini, yang selama ini belum kau sadari, bangun dari tidurnya dan bertarung dengan empatimu. Sisi ini terdesak keluar untuk memaksamu belajar memperjuangkan cinta yang ingin kau miliki. Sisi ini ingin membebaskan diri dari dirimu yang selama ini lebih cenderung mengutamakan kebutuhan orang lain tapi abai dengan kebutuhan diri sendiri.

Pikiranmu mulai mencari-cari alasan pembelaan diri setiap rasa bersalah datang menyerangmu. Tapi, hatimu, tak pernah bisa selaras dengan kebohongan apapun, baik yang sumbernya dari dalam dirimu ataupun luar dirimu. Ketidaknyamanan perasaanmu saat membayangkan wajah temanmu adalah manifestasi nilai-nilai kejujuranmu yang kau pegang kuat-kuat. Sisi posesif, rasa bersalah dan kejujuran saling mengkonfrontir satu sama lain. Sisi posesif membuatmu bersikukuh mempertahankan apa yang telah kau miliki. Sementara, rasa bersalah berulang-ulang mempertanyakan empatimu. Dan kejujuran menantangmu untuk menghadapi ketakutanmu akan adanya kemungkinan kehilangan teman baik.

Lalu, kau putuskan memilih kejujuran. Kejujuran yang kau pilih, akhirnya meretas semua kerumitan pikiran dan perasaanmu. Kau tak bisa memiliki dan memaksakan semua hubungan untuk bisa tetap berjalan baik. Kau mulai belajar menghadapi suatu resiko bahwa akan ada hubungan lainnya terancam lepas. Dan keputusanmu adalah, melepaskan hubungan pertemananmu untuk menyelamatkan hubunganmu dengan lelaki ketiga.

Kau mengatakan pada teman perempuanmu, orang yang dia sukai telah menjalin hubungan denganmu. Lantas, kalian berdua, mengeluarkan semua perasaan yang kalian pendam. Dia terluka. Hatimu sakit. Kau, menangisi lukanya. Tapi, hatinya jauh lebih tegar dan sanggup menyembunyikan kekecewaannya. Dia merelakan hubungan kalian. Setelahnya, kau memilih untuk menghindarinya sebisa mungkin. Kau telah belajar dari luka pengkhianatan yang diukir lelaki pertama. Bahwa, untuk bisa meringankan luka hati, apa yang menjadi sumber luka itu, lebih baik tidak sering-sering menampakkan diri.

Kau lega. Sebab, kau tak perlu lagi berbohong pada dirimu sendiri dan menutupi keadaan yang sebenarnya dari temanmu. Tapi, proyeksi sosok Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan dari lelaki pertama, membuat rasa bersalahmu tak semudah itu menghilang. Kau masih merasa bertanggung jawab atas luka hati temanmu. Kau membayangkan temanmu sebagai dirimu saat hatimu hancur dilumat luka pertama. 

Lalu, seiring waktu, lelaki ketiga bisa melakukan dua hal untukmu: melupakan bahwa kau pernah terluka oleh lelaki pertama sekaligus meniadakan rasa bersalahmu pada temanmu. Kau bahagia bersamanya. Setahun pertama, adalah keindahan bagimu. Sampai, kalian mulai diuji oleh bentang jarak. Diawal-awal, segalanya berjalan baik-baik saja. Dia rutin mengunjungimu sebulan sekali ke Cirebon. Sebabnya, sulit bagimu mendapatkan izin dari orang tua jika kau yang pergi mengunjunginya. Dan dia tidak keberatan dengan kondisimu.

Menapaki tahun kedua hubungan kalian mulai diwarnai pertengkaran-pertengkaran. Kesibukan kerja dan teman-temannya cukup menggesermu dari prioritas lelaki ketiga. Komunikasi kalian mulai banyak mengalah dengan kesibukan kerja lelaki ketiga. Kondisimu yang masih pengangguran pada saat itu, menambah parah pasang surut emosimu. Waktumu habis hanya untuk memikirkannya ketika ia mulai bertingkah tak seperti biasanya. Kau mulai merasakan berkurangnya perhatian dari lelaki ketiga. 

Seiring berkurangnya perhatian dari lelaki ketiga, sisi posesifmu semakin membesar dan berkarib akrab dengan sosok Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan. Puncaknya, saat dia mengirimkan sebuah foto studio dalam kolom chat pribadi akun facebookmu, kau semakin uring-uringan. Dia mengenalkan teman-teman satu timnya di foto itu padamu. Kau lihat ada dua perempuan di situ. Tapi, matamu hanya tertuju pada satu perempuan berjilbab yang entah mengapa pada saat itu kau merasa tak menyukainya. Padahal kalian tak pernah bertemu. Kau tak mengenalnya. Lelakimu tak pernah menceritakannya dan kau pun enggan bertanya.

Bulan terus berjalan, hubungan kalian semakin parah. Saat itu, sudah enam bulan lelakimu tak berkunjung menemuimu ke Cirebon. Orang tuamu menanyakan kabarnya. Kau belum bisa menjelaskan apapun selain mengatakannya bahwa dia sedang sibuk. Sementara, hatimu mulai dihinggapi kejanggalan-kejanggalan yang membuatmu merasakan hubungan kalian tengah tidak aman. Kau pernah menguji dirimu sendiri dan dirinya. Kau tak menghubunginya selama dua minggu untuk mengatur ritme perasaanmu yang tengah kacau dan melihat bagaimana sikapnya mengatasi diammu. Nyatanya, dia pun tak acuh. Dia tak berusaha menghubungimu selama dua minggu itu. Kau mulai ragu dengan hubungan kalian melihat sikapnya.

Tapi, kau masih berharap untuk bisa memperbaiki semua. Kau belum sanggup kehilangannya. Kau pun mengalah. Setelah dua minggu tak mengabarinya apapun, kau lebih dulu menghubunginya. Tapi, lelakimu, saat itu juga, meminta waktu untuk kalian berdua kembali mempertimbangkan hubungan kalian jelang akhir tahun 2011. Kalian dalam masa "pertimbangan", belum benar-benar putus. 

Lantas, kau dapati kejutan di awal tahun 2012. Ketika kau menghubunginya, suara seorang perempuan menyambutmu. Ia yang saat itu mengaku hanya sebagai temannya, mengatakan padamu, bahwa HP lelakimu ada di tangannya dan mereka tengah bertukar HP. Sesak dan gemetar menjalari tubuhmu saat mendengarnya. Terpecahkan sudah apa yang selama ini menjadi kejanggalan-kejanggalan bagimu. Sejak itu, menjadi begitu sulit untukmu bisa berbicara dan menyelesaikan masalah dengan lelaki ketiga. Perempuan itu selalu ada di tengah-tengah kalian.

Kau telusuri diam-diam sosok perempuan itu. Kau lacak jejaknya melalui alamat email dan facebook lelaki ketiga. Waktu itu, dia belum mengganti password-nya sehingga kau berhasil masuk dan meretas isi akunnya. Kau membaca salah satu chat di fitur gmail dimana perempuan itu menyebut lelakimu dengan panggilan "kungkung". Pula beberapa percakapan mereka di kolom chat facebook milik lelakimu. Ternyata, perempuan itu adalah perempuan yang tidak kau sukai di foto yang pernah lelakimu tunjukkan.

Kau tahu? Sebenarnya, saat melihat perempuan dalam foto itu, emosimu tengah menyampaikan sesuatu padamu. Kau telah mengalami luka pengkhianatan. Kau juga pernah menyakiti orang yang menyayangimu dengan bepura-pura mencintainya. Pengalaman-pengalamanmu dengan hubungan cinta sebelumnya mengasah kepekaanmu mengenali suatu pola ketika seseorang sudah tak lagi memiliki rasa cinta terhadap pasangannya dan akan mengakhiri suatu hubungan.
Ya, dan aku merasakan siksaan yang lebih dari sebelumnya. Aku kembali marah dengan kebodohanku. Aku merasa telah mencintainya cinta dengan sia-sia. Selain itu, berakhirnya hubungan kami, mengingatkan rasa bersalahku pada teman perempuanku. Aku semakin menyalahkan diriku sendiri. Bahkan sempat merasa, bahwa aku pantas mendapatkan luka ini. Lantas, ketika mendapati kabar bahwa teman perempuan yang pernah kulukai akan menikah, aku bahagia dan benar-benar terbebas dari rasa bersalahku padanya.
Hai, Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan, maukah kuberitahukan lagi penyebab sesuatu yang mengerikan tercipta dalam benakmu?
Soal balasan untuk lelaki-lelaki pengkhianat itu yang kumohonkan kepada Tuhan?
Ya, termasuk itu. Biar kujelaskan untuk kau pahami.

Polamu menangani rasa bersalah berulang seperti yang pernah terjadi setelah kau putus dengan lelaki kedua. Rasa bersalahmu akan hilang saat orang yang kau sakiti mendapatkan kebahagiannya. Saat kau membayangkan teman perempuanmu dan mengatakan pada dirimu sendiri bahwa kau layak mendapatkan luka pengkhianatan kedua, secara tak sadar, kau pun tengah memproyeksikan lukamu pada dua lelaki yang menyakitimu. Bahwa mereka pantas mendapatkan hukuman sepertimu yang telah menyakiti temanmu. Dari proyeksi ini, lahirlah imajinasi mengerikan dari dirimu. Kau menginginkan mereka mati dengan cara sekejam mungkin sebagai balasan terbayarnya lukamu.

Dendam, amarah dan kebencian yang berlipat ganda dari sebelumnya membuatmu lebih sulit menghadapi luka keduamu. Yang coba kau hadapi saat itu bukan hanya bayangan lelaki-lelaki yang melukaimu, tapi juga dirimu sendiri, si Bayangan Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan. Kau lebih banyak menyalahkan dirimu sendiri atas peristiwa yang terjadi. Kau merasa bersalah dan malu pada orang tuamu atas kegagalan hubungan kalian.

Tapi, lagi-lagi, Tuhan ingin tetap melihatmu gembira dan menyembuhkan diri. Kugambarkan dengan lebih dalam dan luas lagi soal ini. 

Kau tahu, mengapa Tuhan masih tetap menjaga hubunganmu dengan sahabat terbaikmu yang pertama kali menolongmu di luka pertama dari lelaki pertama? Tuhan ingin kau belajar darinya. Perjalanan yang telah dia lalui adalah perjalanan yang sedang kau hadapi saat itu. 

Saat kau menyalahkan diri sendiri dan mengatakan pada sahabatmu, "Aku layak mendapatkan ini karena telah menyakiti teman kita," sahabatmu menjawab, "Kamu berhak bahagia seperti teman kita sekarang." Sahabatmu tetap bersabar menemanimu disaat semua terasa salah dalam pandanganmu.

Saat kau tak kuat menanggung lagi semua, dan tak mungkin terus menyembunyikannya dari orang tua, kau menangis di pangkuan ibumu. Kau memuntahkan semua pahit getir rasa sakitmu dengan tumpahan air mata. Kau katakan, "Aku mau dia mati sengsara atau adik perempuannya mengalami hal yang sama."

Ibumu yang sama sakitnya melihatmu terluka, mengusap lembut punggungmu. Pertama kali dalam 25 tahun perjalanan hidupmu, kau menangisi soal cinta dan lelaki di hadapan ibumu. Bapakmu benar-benar marah mendengar apa yang kau alami. Marah kepada lelaki itu. Sumpah serapah keluar dari mulutnya.

Tapi, ibumu berkata kepadamu, "Kita tidak perlu berdoa yang jelek-jelek untuknya, cukup berdoa untuk kebahagianmu sendiri."

Di titik inilah aku, Diri yang Terus Belajar Mengutuhkan Diri, mulai muncul. Aku berusaha berteman akrab denganmu, memahamimu, Wahai Bayangan Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan.
Lantas, apakah aku sudah bisa memaafkannya dan benar-benar berlepas diri dari dendam, amarah dan kebencianku kepada mereka yang mengkhianatiku sekarang?
Kuberitahu sekarang. Rasa bersalah hadir untuk memahamkanmu bahwa setiap manusia memiliki peluang untuk bersalah, termasuk lelaki pertama, lelaki ketiga dan dirimu sendiri. Sementara, sebuah kejujuran yang terkadang pahit tengah mengajarimu, bahwa setiap manusia punya jatah untuk terluka dan melukai dalam menjalani hidupnya. Yang kesemuanya berujung pada proses memaafkan diri sendiri dan orang lain. Memaafkan dua perbuatan: menyakiti dan disakiti.

Kau telah berproses memaafkan dirimu sendiri. Kini, saatnya kau berproses memaafkan mereka. Aku, Diri yang Terus Belajar Mengutuhkan Diri, selanjutnya, akan terus merangkul Aku yang Berkalang Luka Pengkhianatan dan menuntunnya agar kau bisa memaafkan lelaki-lelaki yang memberikanmu luka pengkhianatan.

-Vinny Erika Putri, 08.01.21

0 komentar:

Posting Komentar