Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Senin, 31 Desember 2018

Selamat Datang 2019



Aku tahu, aku tidak bisa mendapatkan semua yang aku inginkan.
Maka, aku ingin terus belajar untuk senantiasa bersyukur dengan apa yang kumiliki.

Aku tahu, aku tidak bisa mencapai banyak hal yang aku cita-citakan dalam waktu sekejap.
Maka, aku ingin terus belajar untuk senantiasa pantang menyerah dan gigih meski terpatahkan berkali-kali.

Aku tahu, aku tidak bisa menghentikan duka dan air mata yang singgah dalam kehidupanku.
Maka, aku ingin terus berlajar untuk senantiasa bersabar dan berlapang dada menerimanya.

Aku tahu, hidup tidak akan berjalan semudah yang aku inginkan.
Maka, aku ingin terus belajar untuk semakin tegar menghadapi hidup yang  tak mudah.

Aku tahu, aku tidak bisa menghindari tantangan yang selalu ada dalam kehidupan.
Maka, aku ingin terus belajar untuk semakin kuat menaklukkan tantangan yang ada.

2019.
Aku tak berhenti di sini
Menatap nyalang langit yang berbeda
Meneruskan asa dan cita yang tertunda
Berjalan sepasti matahari
Dengan langkah kaki yang tegas

2019.
Selamat Datang.

-Vinny Erika Putri, 01.01.19

Kamis, 27 Desember 2018

Tsunami Tanjung Lesung Banten



Minggu. Alam membisikkan pertanda kepada orang-orang yang dipercayainya. Bahwa ia harus menjalankan titah dari Sang Kuasa untuk memuntahkan material anak krakatau, mengguncang Tanjung Lesung dan mengayunkan gelombang pasang air laut. Lalu, dalam sekejap, sebagian kecil kehidupan dunia, di belahan bumi Banten lintang-pukang. Sebagian orang-orang terhempas air dan meregang nyawa seketika itu juga. Sebagian lagi berlari menyelamatkan diri dengan menggegam erat hal paling berharga yang ada di tangannya dalam arus ganas: anak-anak, sanak saudara, ataupun jiwa yang masih memiliki nyawa. Harta menjadi tidak lagi berharga. Bahkan nyawa sendiri pun tak mampu lagi terjamin.

Dalam diam, aku melihat banyak watak manusia dan sudut pandangnya. Mereka terpecah menjadi beberapa golongan. Sebagian, yang bergerak dengan empati, segera memberikan bantuannya. Sebagian, yang memandang hubungan secara vertikal dengan Tuhan, merujuk pada azab dan dosa, memperingatkan manusia untuk bertaubat secara halus mendamaikan maupun keras menusuk. Sebagian, berkutat dengan penelitian ilmiah yang bisa dijadikan rujukan sebagai penyebab dan ciri yang dibawanya untuk bisa dijadikan kuda-kuda pertahanan di masa depan.

Bagaimana dengan diriku?
Untuk mengatakan itu adalah azab, terlalu mengerikan, meski itu (mungkin) benar sekalipun. Jauh di lubuk hati mengatakan, kata-kata itu tak tepat untuk diungkapkan saat ini. Kata-kata itu bagai belati yang semakin mengoyak hati orang-orang yang tengah dirundung bencana dan masih berjuang dengan pedihnya rasa kehilangan orang-orang yang mereka sayangi. Terlepas persoalan azab, yang perlu dipahami adalah bahwa itu sudah merupakan kehendak-Nya untuk dijadikan pelajaran bagi manusia. Ia menyisakan manusia yang hidup untuk menjadi saksi dan berpikir. Bukan untuk saling berselisih atau mengotori pikiran dan hati tentang kelayakan mereka menerima azab, yang pada akhirnya menjadi ruang bagi iblis untuk menggoda kita dengan pandangan bahwa mereka tidak lebih beriman dari kita.

Ambillah makna azab itu untuk peringatan diri sendiri bukan untuk menilai orang lain atau bahkan menghakimi suatu penduduk daerah. Jadilah manusia yang berpikir dengan akal dan hati bukan nafsu yang menjerumuskan diri secara tak sadar dalam penghakiman yang tak adil terhadap manusia lainnya. Berbuatlah suatu kebaikan yang mampu menciptakan perubahan yang lebih baik dengan ilmu ataupun bentuk kepedulian lainnya. Kalaupun belum bisa melakukan itu semua, cukuplah berdoa dalam diam dan merenungkan segala khilaf dan dosa yang telah dilakukan diri sendiri lalu mulai memperbaiki diri.

-Vinny Erika Putri, 28.12.18, masih dalam mendung duka Tanjung Lesung Banten.

Rabu, 26 Desember 2018

Sepasang Mata Ini




Sepasang mata ini 
Menyingkap wajah-wajah palsu memuakkan
Pula maksud di sebalik gula-gula manis yang dibawanya

Sepasang mata ini... tersembunyi
Letaknya di bawah permukaan yang tampak tenang
Dia, diam-diam menelisik wajah-wajah di sekitarnya

Sepasang mata ini... siaga
Di sebalik air mata
Di sebalik kerapuhan
Di sebalik keriangan
Di sebalik kelembutan
Di sebalik kehangatan
Di sebalik kerelaan berkorban
Bahkan di sebalik ketenangan

Sepasang mata ini
Merupa kegigihan sekeras baja
Merupa keberanian semerah saga
Merupa pemikir yang kukuh
Merupa kemarahan yang tak terduga
Merupa samudera yang dalam


Sepasang mata ini berkata
: bersahabatlah dengan ketulusan,
berhati-hatilah dengan pengkhianatan dan kepalsuan.

-Vinny Erika Putri, 26.12.18

Rabu, 19 Desember 2018

Selamat Berlibur, Kawan-Kawan.



Lima semester kita melangkah.

Adakalanya kita menyatu dalam riuh tawa canda renyah. Ada kalanya kita menyelisihi perbedaan sudut pandang dan kebiasaan.

Lima semester kita melangkah.

Adakalanya, aku merasa bahu ini tidak terlalu kokoh untuk memikul amanah yang kalian percayakan padaku. Adakalanya, aku merasakan amarah ketika merasakan bahuku nyaris retak dengan pikulan itu hingga tak mampu menciptakan humor apapun yang biasanya kuciptakan untuk menghidupkan suasana. Adakalanya, aku begitu jengkel dengan perbedaan nilai dan prinsip yang kupegang soal tanggung jawab dan totalitas pekerjaan. Adakalanya, aku ingin menyerah mundur ketika aku tak bisa menemukan konfigurasi dan harmoni yang pas untuk menyeiringkan langkah semua individu. Puncaknya, semester ini, ketika ritme emosi begitu banyak mengalami pasang-surut.

Lima semester kita melangkah.

Kita semakin mengenal satu sama lain. Kelemahan dan kekuatan, pola kebiasaan dan karakter masing-masing. Sampai di titik ini ... mungkin, kita telah saling menerima dan paham bagaimana harus menyikapi perbedaan-perbedaan itu.

Lima semester kita melangkah.

Aku tidak bisa menjamin ke depannya gesekan-gesekan kecil itu akan hilang bahkan kepada diriku sendiri. Juga tak bisa menjamin fase-fase yang sama tidak akan terulang. Fase pasang-surut emosi, jatuh-bangun, berselisih-berdamai, tangis-tawa. Semakin ke depan, langkah kita semakin diuji dengan tantangan yang lebih dari sebelumnya. Yang bisa kukatakan, sebanyak apapun gesekan dan fase-fase itu terjadi berulang, selama dalam hati kita masing-masing memiliki “rumah” yang sama, kita akan menemukan tempat ternyaman untuk pulang dan saling memberi kekuatan. Bukankah begitu yang dinamai fase hidup manusia?

Lima semester kita melangkah.

Semoga tidak berhenti sampai di sini. Meski dengan langkah tertatih ataupun bergegas, tangis dan tawa yang saling berselang, jatuh dan bangkit yang silih berganti ... semoga, kaki-kaki kita tetap sanggup untuk terus melangkah mencapai garis finish yang menunggu di depan sana.

Lima semester kita melangkah.

Semoga ... kita tetap bisa menjalankan semuanya sebaik mungkin semampu yang kita bisa. Bangkit sebanyak kita terjatuh. Tertawa lebih keras dari isak tangis yang pecah. Gigih lebih kuat dari tantangan yang terkadang mematahkan cita dan harapan.

Lima semester kita melangkah.

Jangan berhenti di sini. Apa yang telah kita mulai, selesaikanlah. Kesulitan akan takluk pada kegigihan yang dibalut dengan doa-doa.

Malam ini, dalam jeda yang tengah kunikmati... kuucapkan, “Selamat berlibur, Kawan-kawan.”

-Teruntuk, PIAUD V C

Sabtu, 15 Desember 2018

Hai diriku... Dengarlah Suara Terjernih Ini




Hai diriku... dengarlah suara terjernih ini.

Aku tahu, tiga minggu terakhir ini, kau merasakan kekacauan dalam menjalani hari-harimu. Harga dirimu terasa terlukai. Kau merasa terintimidasi. Kau melangkah dengan kaki setengah tertatih juga hati yang berdarah. Apa yang tadinya samar, kini kian terlihat bagaimana orang-orang di sekelilingmu. Dan pandanganmu semakin jelas menyingkap segala motif pikiran dan keaslian wajah yang disembunyikan orang-orang itu. Kau melihat onggokan sampah kehidupan dalam bentuk senioritas dan berbagai tabrakan kepentingan yang saling menekan satu sama lain. Halus, tapi menyayat bagai serpihan beling. Kau ingin marah. Tapi hanya sengguk tangis yang pecah dari kedua matamu.
Tapi... cobalah kau keluar dari kepungan perasaan itu. Selamilah kembali suara hati terjernih dari jiwamu agar kau mampu keluar dari kungkungan yang sempit ke luas dan dalamnya laut samudera. Berkacalah, mungkin ada perilaku dan tutur katamu yang terlebih dahulu menciptakan kekacauan ini. Pahamilah, bahwa semua yang kau hadapi adalah suatu warna hidup memang yang disuguhkan wajah dunia. Belajarlah diam untuk lebih banyak mendengarkan dan melihat masalah dengan lebih jernih. Belajarlah keluar dari sudut pandangmu untuk menyelami sudut pandang orang lain agar kau mampu berlapang dada dan memetik hikmah darinya.
Hai diriku... dengarlah suara terjernih ini.

Aku tahu, tiga minggu terakhir, di satu waktu kemampuanmu diremehkan. Kau dikerdilkan. Persaingan ditunjukkan melalui perbandingan dan sekat-sekat yang jelas meski kau sendiri mawas diri untuk tak membalas perbandingan yang tidak pada tempatnya.
Tapi... cobalah keluar dari prasangka negatif. Berjalanlah dengan langkah yang tegap dan hati yang tetap merunduk. Bekerjalah dengan niat beribadah kepada-Nya. Tetaplah melakukan usaha terbaik yang kau mampu.
Hai diriku... dengarlah suara terjernih ini.
Jiwamu merindukan berdekatan kembali dengan Tuhan-Mu dalam sunyi yang tenang. Jiwamu dahaga akan doa-doa yang lama tak bergema. Simpullah jiwamu dan jiwa orang-orang itu dengan simpul ketulusan doa-doa karena doa-doa yang baik akan memperbaiki segala kekacauan yang terjadi.

-Vinny Erika Putri, 15.12.18 

Sabtu, 08 Desember 2018

Siapa Kau?



Keganjilan begitu mengganggu
Puncaknya, tetas di malam ini
Hingga memaksa jemari meretas aksara

Berkali-kali kubertanya, pada diri sendiri
Siapa kau?
Pesan apa yang hendak kau sampaikan?
Mengapa begitu memerih hati
Seperti kidung kesedihan
Yang sayup-sayup memanggil dari kejauhan

Siapa kau?
Dari belahan bumi mana suara itu memanggil?
Mengapa sampai meletikkan resah yang bergemuruh dalam diam?
Hingga akhirnya melahirkan katarsis lirih berujung embun di mata?

Siapa kau?
Di kepalaku satu per satu bayangan samar berkelebat
Dari tiap rekam jejak emosi yang kuat dalam ingatan hidupku
Tapi... tak kutemukan satu pun titik pangkal makna dari pertanda dalam bentuk rupa wajah

Siapa kau?
Apakah kau mengenalku?

-Vinny Erika Putri, 08.12.18