Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Sabtu, 09 Juli 2016

Hari Tua Ibu, Simbah dan Rumah Sakit


Sekitar sebulan setelah aku menuliskan catatan hati berjudul "Tentang Hari Tua dan Bulir Air Mata Yang Jatuh", kondisi simbah putri semakin drop. Simbah putri divonis terkena gejala stroke dan harus dirawat di rumah sakit.

Mendengar kabar itu, aku sekeluarga langsung meluncur ke sana. Dan hal yang patut aku syukuri ketika aku mendapatkan kabar itu adalah, tiga hari ke depan, tanggal memerah. Bertepatan dengan hari libur nasional. Betapa Allah memberiku kemudahan dalam hal ini. 

Tatkala dalam perjalanan menuju ke sana, aku dan ibu mengatakan kepada bapak bahwa akan menginap di rumah sakit menemani simbah di sana. Kami sekeluarga tiba di Wonosobo sekitar ba'da ashar.

Aku sempat bingung. Melihat kondisi bapak yang lelah dan tidak adanya respon dari beliau untuk langsung pergi ke rumah sakit, aku tidak tahu apakah aku bisa langsung menginap di rumah sakit malam itu. Ibu yang paham akan kondisi dan respon bapak pun akhirnya membatalkan menginap di rumah sakit malam itu. Kata ibu, ibu akan menginap di rumah sakit besok malam.

Alhamdulillah, ba'da magrib tanteku mengatakan akan menginap di rumah sakit. Tanpa berpikir lagi, aku mengatakan padanya bahwa aku ingin ikut. Dan tanteku mengiyakan. 

Kupinjam jaket tanteku. Tanpa membawa pakaian ganti dan hanya membawa sedikit uang di dompet juga smartphone, aku pun berangkat naik motor bersama tanteku. Aku tidak sempat bersiap-siap. Kupikir, biar besok bapak dan ibu yang membawakanku pakaian ganti. Karena mereka baru akan menjenguk simbah esok harinya. Untungnya, sore tadi aku sudah mandi. Kami bisa langsung berangkat ke rumah sakit tanpa acara menungguku mandi terlebih dahulu.

Sampai di rumah sakit, aku bertemu dengan adik ibu yang nomor satu dan suami tanteku (adik bungsu ibu). Aku bersalaman dengan mereka. Lantas, berjalan menghampiri simbah. 

Ada yang teriris di dada ini. Aku melihat seorang wanita yang kian sepuh, terbaring lemah, tak berdaya. Kutatap matanya. Kuraih tangannya dan kuletakkan di pipiku. Setelahnya, kubelai lembut kepalanya.

"Ini Puput, Mbah."

Simbah mengangguk, lalu dengan lirih bertanya, "Sama siapa?"

"Sekeluarga, Mbah. Tapi, semuanya masih di rumah simbah. Besok pagi ke sini. Malam ini, puput nginep di sini."

Simbah mengangguk. Lalu, kembali memandangiku dengan pandangan kosong. Dan memejamkan mata sesudahnya. Kemudian, aku pun larut mendengarkan perbincangan orang-orang dalam ruangan itu.

Malam pertama di rumah sakit, aku menginap bersama dengan tante dan adik ibuku yang nomor satu. Tidak banyak yang kulakukan di malam pertama aku menginap. Kebanyakan, waktu kuhabiskan hanya dengan duduk di samping pembaringan simbah sembari membaca ayat-ayat Alquran. Lalu, tidur di pembaringan yang sama dengan tanteku ketika badanku sudah terasa lelah.

Esok paginya, sekitar pukul 9 pagi, tamu-tamu mulai berdatangan silih berganti. Aku turut menemani tante dan omku mengobrol ngalor-ngidul dengan para tamu. Diantara para tamu, orang yang paling kutunggu kedatangannya saat itu adalah keluargaku. Aku sudah tidak betah dengan tubuhku dan ingin segera mandi. Begitu keluargaku datang, aku bersorak gembira dalam hati. Akhirnya aku bisa mandi juga. 

Selepas ibuku tiba, aku lebih banyak menyingkir dari hiruk-pikuk tamu-tamu yang datang. Aku memilih duduk di kursi yang terletak di dekat pintu belakang ruangan yang sepi orang. Kubuka notebook yang sengaja kubawa untuk mengerjakan pekerjaan kantor. Beberapa kali, aku mengambil jeda untuk sekedar menikmati hawa rumah sakit dan sudut-sudut yang tak jauh dari tempatku duduk. 

Sudut yang kusukai adalah jendela. Entah mengapa, rumah sakit ini terasa begitu match dengan sisi yang diriku miliki. Asri. Hangat. Ramah. Tapi juga memiliki sisi sunyinya sendiri. Sangat jauh bila dibandingkan dengan figur dan landscap rumah sakit yang ada di kota tempatku dibesarkan.

Aku melangkah mendekati tepi jendela yang letaknya selang satu ruangan dari ruang tempat simbah dirawat. Aku berdiri di sana, melihat apa saja yang tertangkap lingkar mata. Pun melamunkan kejadian sedari aku berada di sini sejak semalam. 

Semalam, aku tak bisa tidur dengan tenang. Aku terbangun saat perawat masuk ke dalam ruangan untuk mengecek infus atau keperluan pemeriksaan. Aku kembali terbangun ketika tante dan omku berusaha menenangkan simbah yang ngeyel sampai nyaris bangun dari pembaringan karena beliau ingin ke belakang untuk BAB. 

Bolak-balik, tante dan omku memberitahukan bahwa dokter belum memperbolehkan simbah bangun dari tempat pembaringan. Berbahaya bagi saraf-saraf simbah yang masih dalam tahap pemulihan. Mereka juga mengatakan, tidak apa-apa simbah BAB di pembaringan. Tapi, tetap saja simbah tidak mau. Katanya, kalau tidak di WC tidak bisa BAB. Simbah masih menganggap dirinya sehat. 

Sampai, tanteku akhirnya mengiyakan.

"Sebentar, ya, Mbah. Tak panggil Sumini. Kula mboten kuat nek piyambek ngeterke simbah teng kamar mandi,"1 ujar tanteku.

Tentu saja tanteku tidak sungguh-sungguh akan mengangkat simbah ke kamar mandi. Dan tidak mungkin tanteku meminta Bulik Sumini ke rumah sakit sekitar jam 2 dini hari hanya untuk mengangkat simbah ke kamar mandi. Itu bagian dari cara meredam ke-ngeyel-an simbahku. Tanteku pergi ke kamar mandi mengambilkan pispot untuk BAB dan menempatkannya di pantat simbah.

"Mbah, sekarang simbah sudah di kamar mandi. Ini sudah duduk di WC. Simbah bisa BAB sekarang."

Simbah pun buang angin. 

"Simbah sampun BAB, nggih?"2 ujar tanteku.

Simbah pun mengangguk dan kembali tenang. Ia tidak menyadari kalau dirinya hanya buang angin, bukan BAB. Dan pagi ini, ketika ditanya oleh anggota keluarga yang lainnya, simbah mengiyakan kalau beliau sudah BAB di WC. Mungkin karena pispot itu dingin, jadi beliau merasa sudah berada di WC. 

Aku menyadari sebuah kondisi yang dialami simbah sejak aku berada di rumah sakit. Simbah berada di ambang batas sadar dan tak sadar. Bahkan, ketika omku yang nomor tiga menanyakan keberadaannya, simbah mengatakan bahwa beliau berada di rumah. Simbah bukan tidak bisa mengingat orang-orang yang dikenalnya. Ingatannya tentang nama dan wajah orang-orang yang dikenalnya masihlah kuat. Hanya saja, tentang keberadaan ruang, baginya terasa samar, di batas nyata dan tidak nyata.

Aku melamunkan segala kejadian yang telah lewat, lalu pikiranku kembali ke masa yang sedang aku pijaki sekarang dan aku kembali berlari menembus masa depan dengan sebuah tanya, "Bagaimana hari tua ibuku nanti?" 
Dan setelah pertanyaan itu melesat, aku kembali mengharapkan hal yang sama dalam sebuah balutan doa. Aku ingin ada di samping ibu di masa tuanya. Sertakan selalu ibu bersamaku hingga akhir hayatnya. Bosan berdiri di tepi jendela, aku kembali duduk di kursi dan mengerjakan pekerjaan kantor. Entah mengapa, rumah sakit ini seperti mengikatku. Terasa akrab, seperti sudah lama aku mengenal rumah sakit ini. Aku merasakan kenyamanan berada di sini.

Mungkin karena rumah sakit dan atmosfer yang berada di sini mengerti apa yang kurasakan. Layaknya sahabat karib yang sedemikian dalam mengenalku. Bahkan, hal yang kusukai pun hadir di sini. Hujan. Ya. Menjelang sore, hujan pun turun. Hujan yang turun, menarikku untuk mengalihkan pandangan dari layar notebook ke kolam ikan yang tak jauh dari kursi tempatku duduk.

Kolam itu terletak di tengah-tengah rumah sakit. Aku melihat tetesan air hujan turun dari atap-atap lalu jatuh membentuk riak-riak lingkaran kecil di permukaan kolam. Kecil mula-mula lantas membesar kemudian dan perlahan menghilang. Riak membuat ikan-ikan menggeliat, mereka berenang kesana kemari. 

Entah berapa lama, aku duduk berdiam di belakang ruangan. Dan entah sudah berapa banyak tamu yang berkunjung di dalam ruangan. Simbah dirawat di rumah sakit dengan ruang jenis VIP kelas 2. Setiap orang bebas menjenguk tanpa batasan jam jenguk.

Sampai, seorang saudara yang datang, ikut duduk bersamaku dan berbincang ringan denganku. Aku berhenti mengerjakan pekerjaan kantor ketika hari menjelang ashar. Aku memilih untuk bergabung dengan saudara-saudaraku dan bermain-main dengan adik sepupuku yang masih kecil. 

Jelang magrib, bapak dan adik-adikku kembali ke rumah simbah. Ibu menginap di rumah sakit bersamaku. Ba'da magrib, tamu-tamu yang datang sudah mulai sedikit. Hanya tinggal empat orang sampai dengan isya. Selepas isya, tamu-tamu pun pulang. Tersisa aku dan ibu.

Aku begitu mensyukuri keadaan ini. Mensyukuri bukan berarti senang dengan penyakit yang sedang diderita simbah. Tapi, aku mensyukuri, 

Momen terindah dan mungkin tidak akan terulang seumur hidupku, saat aku berada dalam satu ruangan bersama dua orang yang paling kusayangi, dua orang yang paling berharga dalam hidupku, dua orang yang menjadi kekuatan hidupku. Ibu dan simbah putri. Kami berada dalam satu ruangan. Hanya kami bertiga. Betapa ini semakin menguatkan ikatan batin kami. Aku dan ibu bergantian shalat isya. Usai shalat isya, ada kelucuan yang membuatku tersenyum-senyum sendiri. Kelucuan saat ibu memintaku untuk SMS bapak. Ibu meyuruhku untuk menanyakan bapak apakah beliau sudah makan atau belum. Meski terkadang ibu mengeluhkan soal bapak padaku, tetap saja, bila berjauhan ibu mengkhawatirkan bapak.

Malam itu, kami memutuskan untuk giliran berjaga.

"Ibu istirahat duluan aja. Sekarang puput yang jagain simbah. Nanti, habis itu gantian," ujarku.

Sebelum ibu berbaring, simbah mengangkat tangan kanannya seperti ingin menggapai sesuatu. Aku dan ibu saling berpandangan, sama-sama tidak mengerti apa yang diinginkan simbah.

"Simbah arep opo?"3 tanya ibu. 

Sampai, simbah berkata dengan lirih, "Nyong arep ndelok TV."4

"Oalah, simbah arepan ndelok TV,"5 ujar ibuku.

Aku dan ibupun tertawa, lalu ibu pun mengambil remote TV dan menyalakannya. 

Ibu merebahkan diri di kasur yang letaknya di sisi kiri pembaringan simbah. Sementara aku menyorong meja yang ada di sisi kanan pembaringan simbah untuk disatukan dengan kursi agar aku bisa duduk berselonjor. Sembari berjaga, aku kembali mengerjakan pekerjaan kantor.

Ibu dan aku sepertinya sama-sama tidak ingin tidur malam itu. Ibu bolak-balik bangun dari rebahnya. Tak kudapati beliau terlelap sedikit pun. Beberapa kali, ibu menanyakan apakah pekerjaanku sudah selesai atau belum, dan menyuruhku untuk beristirahat. Pula mata beliau selalu awas mengamati simbah yang tengah terbaring. 

Berkutat dengan editing sound untuk persiapan drama musikal acara tutup tahun sekolah membuat telingaku menjadi panas. Lelah dan jenuh membuatku mengakhiri sementara pekerjaan itu. Aku merefresh kepala dengan menonton film sampai akhirnya meringkuk tertidur. Dalam kondisi setengah sadar, aku merasakan, ibu menyelimuti tubuhku. 

Ah, ibu... saat itu, jiwaku mendadak bayi. Rasanya, aku ingin tanganmu membelai kepalaku yang terasa panas. Aku ingin kau menepuk-nepuk pundakku hingga aku tertidur pulas. Bu... bila aku bisa mengeluh, ingin kukatakan bahwa tumpukan pekerjaan ini sangat menguras energi dan pikiranku. Tapi, kematangan usia menahanku untuk mengeluh di hadapan ibu. Aku merasakan kedamaian malam itu. Dan ingin waktu berhenti saat itu juga. Agar kita terus bertiga. Tapi, waktu terus berjalan. Menggerus malam. Dan menggantikannya dengan pagi.

Pagi, artinya aku sekeluarga harus kembali ke Cirebon. Saat-saat terberat untuk kaki ini melangkah, terulang kembali.

Berpamitan pada orang yang sangat kita sayangi ketika ia masih terbaring lemah tak berdaya adalah hal yang menyakitkan. Betapa dadaku terasa diremas perih. Pun ibu. Meski beliau tidak menampakkan perasaan itu, aku bisa merasakan perasaan yang disembunyikannya. Tapi, bagaimanapun menyakitkannya, ibu dan aku harus tetap kembali. Kembali ke Cirebon. Kembali ke rumah bapak. Bapak tidak terbiasa melewati hari tanpa ibu, sehari pun. Pula tidak bisa bila sekeluarga tinggal lebih lama lagi menemani simbah. Ibu harus kembali ke kehidupan sebagai seorang istri. Itulah sebuah konsekuensi berkeluarga. Di mana seorang perempuan tidak lagi sepenuhnya milik orang tuanya.

Melihat kenyataan ini di usiaku yang kian matang, semakin membuatku bertanya-tanya tentang konsep berumah tangga dan berbagai konflik keadaan di dalamnya. Dan aku sendiri? Aku harus kembali menjalani kehidupanku. Berjuang meraih apa yang menjadi impian-impianku. 

Aku memandangi wajah yang kian keriput. Aku sungguh tidak tega meninggalkannya.
Inikah yang dinamai siklus hidup? Ketika waktu terus memaksa kita berjalan. Bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Berpindah dari satu tujuan ke tujuan lain. Hingga akhirnya siklus berhenti di titik seperti yang tengah simbah jalani? Titik di mana kunamai "hari tua". 
Mataku mulai berembun. Kutahan-tahan. Tak ingin kumenangis di hadapan siapapun. Aku membiarkan yang lain berpamitan sambil menunggu emosiku sedikit reda. Bapak lebih dulu berpamitan. Disusul ibu. 

"Mbah, Puput pamit, ya, Mbah. Cepet sembuh. Biar simbah bisa terus doain Puput. Sehat-sehat. Biar bisa lihat jodohnya Puput," ujarku seceria mungkin seraya mengelus kepala simbah.

Kukecup kening simbah. Lantas berlalu dari hadapannya.

"Titip simbah, ya, Dek Tari. Maaf, jadi ngerepotin, Dek Tari," ujar ibu pada adik iparnya yang tinggal serumah dengan simbah.

"Iya, Budhe. Jangan ngomong gitulah. Gak ngerepotin. Lah simbah juga orang tua kulo, Budhe."

"Terima kasih banyak, Dek Tari."

"Pamit, ya, semuanya," aku turut berpamitan dengan yang lainnya.

"Iya, Put. Hati-hati dijalan," sahut tanteku. 

Dengan langkah yang berat, aku melangkah keluar ruangan menyusuri koridor rumah sakit. Rumah sakit yang hangat, ramah dan terasa begitu akrab denganku. 

Sepanjang perjalanan, bayang-bayang simbah tak lepas dari kepala. Kenangan dua malam menginap di rumah sakit tak henti-hentinya melintas. Sesekali ibu dan aku membumbui perjalanan dengan cerita yang mengundang tawa selama kami berada di rumah sakit. Ibu dan aku sama-sama mengkhianati perasaan kami. Kami sama-sama mencari cara untuk tidak menangis. Kami memutuskan untuk tertawa. Itulah cara yang kadang kami lakukan untuk mengurangi himpitan di dada.

Meski dari sebalik kacamata cokela tua yang kukenakan aku menitikkan air mata, aku tetap terdengar seperti tertawa. 
------------------------------------------------------------------
Catatan:
1. "..... Saya tidak kuat kalau sendirian mengantar simbah ke kamar mandi."
2. "Simbah sudah BAB, ya?"
3. "Simbah mau apa?"
4. "Simbah mau lihat TV."
5. "Oalah, simbah mau lihat TV."