Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Kamis, 19 Agustus 2021

Narasi Keberadaan Diri


Lagi, aku bertanya, kepadamu yang berada didalam sana,
Apa itu hidup dan kehidupan?
Bagaimana berkehidupan yang hidup sehidup-hidupnya?
Apa tujuan kita hidup?
Bagaimana tujuan hidup menghidupi kita?
Apa yang mengisi hidup kita?
Bagaimana hidup mengisi kita?
Apa yang bercahaya dari hidup?
Bagaimana hidup memaknai cahaya?
Apa yang gelap dari hidup?
Bagaimana hidup memaknai kegelapan?

Kali ini, aku bertanya dengan teriakan lebih kencang kepadamu,
Apa itu makna kehidupan?
Bagaimana kehidupan memaknai makna?
Apa itu kebermaknaan hidup?
Bagaimana kebermaknaan memaknai hidup?
Apa yang kita perjuangkan dalam hidup?
Bagaimana hidup yang kita perjuangkan?

Aku terkepung bingung, kau masih tetap bungkam ...
Hei, diriku, jelaskan padaku, tentang narasi keberadaan diri.

Sunyi beberapa jenak.


Terdengar suara,
Narasi keberadaan diri. Apa itu narasi keberadaan diri? Memangnya, siapa dirimu? Dunia ini sudah penuh dengan ilusi-ilusi eksistensi diri yang diagung-agungkan melalui cahaya, kebermaknaan dan tujuan hidup yang material, dangkal, temporer dan fana. Lampaui dulu fatamorgana-fatamorgana dan ke-bias-an yang tengah kau lihat.

Ah, suara itu menghantam isi kepalaku. Pengar terasa.


-Vinny Erika Putri, 10.08.21

Rabu, 18 Agustus 2021

Tentang Teralienasi, Asing dan Sendiri

 



Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Aku berkali-kali bertanya pada diriku sendiri. Apakah perasaan semacam ini normal? Apakah ini dampak adanya luka batin yang belum kukenali untuk kusembuhkan? Ataukah ada kemungkinan lain dari keterasingan yang kadang kurasakan di episode tertentu dalam hidup.

Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Apakah aku seorang sociopath? Atau intovert dengan HSP akut yang tidak bisa menyeimbangkan diri dalam lingkungan sosial? Nyatanya, realita yang terjadi dan kurasakan tidak begitu. Aku tetap bisa bersosialisasi layaknya manusia normal yang membutuhkan interaksi sosial dengan sesama manusia. Aku mampu menjalani peran sosialku dengan baik dan menangani rintangan-tantangan yang sulit menurut orang-orang di sekitarku. Aku sanggup menyelesaikan konflik atau permasalahan yang terjadi di lingkungan sosial tempatku bekerja dan mengabdi dengan solusi yang diterima akal sehat dan manusiawi bagi kemanusiaan.

Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Aku memahami bagaimana jiwa orang-orang di sekitarku. Aku mampu melihat dan membersamai apa yang mereka rasakan. Kebanyakan dari mereka, merasa bebas-aman-nyaman-lega melepaskan beban emosional mereka melalui kisah-kisah yang mereka titipkan padaku. Aku telah lebih dulu mencapai jauh di depan sana. Tentang titik abu-abu yang mereka rasakan daripada mereka sendiri melalui gambaran perasaan mereka yang kutangkap dengan tepat, hingga akhirnya, mereka bisa lebih jelas memahami diri mereka sendiri. Tapi, ironisnya, bagiku, sungguh sulit, menemukan orang dengan gelombang pemahaman yang sama seiring aku bertumbuh dan terus bertumbuh dari rentetan panjang pengalaman hidupku. Kebanyakan dari mereka hanya sanggup melihat di permukaannya saja dan tak bisa menggapai diriku lebih dalam. Aku lebih sering merasa terasing ketika mesti menjabarkan apa yang ada dalam pikiranku dan apa yang kurasakan tentang banyak hal.

Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Kadang, aku pun merasakan kegilaan sangat, ketika aku sendiri berada di titik abu-abu yang tak bisa kupahami dan kutemukan maknanya. Keterasingan terhadap diri sendiri di fase-fase tertentu adalah hal yang paling menyiksa yang pernah kualami. Berbicara pada orang lain pun terasa percuma. Sebabnya, aku sudah bisa lebih dulu merasakan gelombang mereka tidak beresonansi denganku. Atau dengan kata lain, persepsi, pemikiran, dan wawasan kami berbeda tingkatan. Aku bukan meremehkan mereka atau tidak mempercayai mereka. Hanya saja, aku telah belajar dari babak kehidupan yang berkesudah, ketika aku bercerita pada orang yang tidak berada pada gelombang yang sama, kebingunganku justru akan semakin bertambah. Apalagi, jika yang mereka lakukan hanya menghakimiku dengan dogma atau doktrin agama yang dalam laku hidup mereka sendiri hanya sebagai "hafalan" bukan pengalaman. Mirisnya lagi, aku melihat dengan jelas, mengenali diri sejati mereka sendiri saja masih terbata-bata. Pula, memisahkan ego diri mereka sendiri pun masih tergagap-gagap. Akhirnya, semua berhenti pada percakapan dangkal (bagiku) tanpa makna apapun yang bisa mengisi atau mencerahkan jiwa spiritualku.

Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Lantas, apakah aku menyalahkan orang-orang yang tak sanggup memahamiku atau berpemahaman dangkal? Tidak. Aku menghormati mereka tanpa harus menelan semua opini dan menjadikan core values mereka sebagai milikku. Dangkal atau tidaknya aku pun tidak tahu. Yang aku pahami, mereka bergerak dengan core values yang berbeda denganku sehingga pemikiran dan perasaan mereka dalam mempersepsikan dan menggambarkan sesuatu pun berbeda denganku.

Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Sampai kini pun, kadang, aku, masih mengalami hal-hal seperti ini. Aku bahkan bertanya pada diriku lebih ekstrim, apakah aku tidak memiliki rasa kasih sayang pada orang-orang terdekatku sehingga membuatku merasa teralienasi, asing dan sendiri? Ataukah aku tidak bisa merasakan cinta dari orang lain? Hatiku menjawab, aku menyayangi mereka dan merasakan kasih sayang mereka. Tapi, bukan itu poinnya. Sepeduli apapun mereka terhadapku ataupun sebaliknya, tetap, belum kutemukan seseorang yang mampu berada dalam intensitas kedalaman pemahaman atau frekuensi yang sama persis dengan seluruh bagian dari diriku: hatiku, jiwaku, akal pikiranku.

Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Terasa amat sangat menyesakkan ketika diri berada pada fase tersebut. Bukan karena ketakutan akan kehilangan keterhubungan dengan orang-orang terdekatku atau lingkunganku. Tetapi, kecemasan akan kebingungan yang bisa saja merenggut diriku sendiri menjadi sesuatu yang tidak lagi kukenali. Kesepian paling menakutkan justru ketika aku tak lagi merasa penuh-utuh-terisi oleh diriku sendiri. Sebab, di titik itu, aku tak bisa menemukan petunjuk apapun dari-Nya. Aku kehilangan makna hidup. Dan warna semesta menjadi lebih gelap dari jiwaku sendiri kala itu.

Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Tak semua orang pernah bisa memahami hal seperti ini. Kebanyakan yang terjadi, mereka teralienasi, asing dan sendiri ketika mereka kehilangan keterhubungan dengan orang-orang sekitar dan justru merasa ketidaknyaman berdiam lama bersama diri mereka sendiri. Sementara aku? Adalah orang yang berkebalikan dari orang-orang umum. Yang lebih tenang dan terisi penuh ketika berdiam lama membersamai seluruh bagian dari diriku, melihatnya dengan jernih, sejernih-jernihnya.

Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Adalah, ketika aku tak bisa melihat dengan jelas aku didalam diriku sendiri. Ketika aku tak mampu menangkap atau mendengar pesan yang ingin disampaikan aku didalam sana melalui keasingan yang tengah hadir. Dan, ini, sangat menyedihkan.


-Vinny Erika Putri, 18.08.21

Selasa, 17 Agustus 2021

Abu-Abu



Abu-Abu. 
Tak apa ketika kamu merasakan sesuatu yang terasa abu-abu didalam dirimu. Yang tak bisa kau tegaskan atau maknai dengan hitam gelap atau putih terang. Tentang keasingan perasaanmu. Tentang keburaman pikiranmu. Tentang sesuatu yang berdiam jauh didalam dirimu yang belum kau kenali dengan baik.

Abu-Abu.
Tak selalu muram. Tak selalu kelabu. Ini adalah awal untukmu keluar dari warna hitam putih. Dan menemukan spektrum warna yang lebih luas dengan komposisi yang indah layaknya pelangi.

Grey.
It's okay feeling unknown or getting lost inside your mind. This feeling is just temporary. Accept it as a part of your journey. Thus, everything can be more clear step by step. 

Grey.
It's okay feeling grey. The flower inside you will blossom when you grow up from even unknown feelings and minds at this moment. Don't stop, keep moving on. Flow with your intuition to find the light. That is the thing you can do to see the unknown.


-Vinny Erika Putri, 17.08.21

In Silence When I'm Getting Lost Inside My Mind!

 


In silence ...
I put on my mind here
Trying to speak loudly
But I can't hear anything
Just feel hurts in the depth of my heart

In silence ...
I hide and give myself space here
Trying to talk to me inside there
But I can't tell anything
Just feel emptiness and the unknown of my mind

In silence ...
Haha!
Am I laughing?
Am I crying?
Am I happy?
Am I sad?
Am I angry?

In silence ...
I can't answer the Why-Question
About the emptiness
About the pain
About the happiness
About the grief
Even about the anger
Here, and now, I'm getting lost inside my mind!

In silence ...
At this moment, that is the crazy thing that scares me a lot lost myself 

-Vinny Erika Putri, 17.08.21

Sabtu, 14 Agustus 2021

#8. Surat Untuk Diriku Tentang Berita Hari Ini

  


Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini kamu sedang tidak baik-baik saja. Adakah hal yang ingin kamu ceritakan tentang bagaimana rasamu melihat pemakaman rekan kerjamu hari ini? Aku di sini, hadir mendengarkanmu dan membersamai perasaanmu.
Tepatnya jelang tengah malam, hari Jum'at, aku dikagetkan dengan berita kematiannya. Aku memang tak mengenal dekat sosok dirinya. Tapi, ia tetaplah bagian dari anggota keluarga besar Yayasan Pendidikan Islam yang menaungi kami. Kami amat sangat jarang bertemu dalam keseharian karena kami bekerja di satuan pendidikan yang berbeda. Beliau di satuan pendidikan MDTA, sementara aku di satuan pendidikan PAUDQ. Momen pertemuan dan kebersamaan kami hanya pada saat acara besar akhirussannah dan pelepasan siswa yang menjadi agenda rutin tahunan di yayasan tempat kami bekerja.
Lalu, apa yang membuatmu setertohok itu?
Kisah-kisah dari para tetangganya, tentang kehidupannya yang baru kuketahui siang tadi. Beliau adalah tulang punggung keluarga, yang memiliki cita-cita tinggi untuk bisa menjadi sarjana. Beliau membiayai dirinya, juga adik perempuannya yang tengah berkuliah di semester 2. Beliau berusaha begitu keras selepas kakak pertamanya telah lebih dulu tiada. Beliau melupakan kebutuhan jiwa dan raganya demi cita-cita dalam hidup dan kesejahteraan keluarganya. Dan ketika seorang tetangga mengatakan, bahwa dosennya datang membawakan selempang bertuliskan Alfiyah, S,Pd., hatiku tertikam perih. Beliau baru saja menyelesaikan sidang skripsinya.  
Lantas, saat keranda jenazahnya mulai dipandu orang-orang, aku berdiri disusul rekan kerjaku yang berada disampingku. Tangan kami saling menggenggam bersamaan dengan embun yang membulir di sepasang mata kami. 
Lebih dari itu, sepanjang aku melangkah, kilatan rasa bersalah menyambar-nyambar hatiku. Aku marah pada diriku sendiri. Aku pernah menghakiminya diam-diam. Saat beliau sempat menolak ditugaskan sebagai MC cadangan jelang acara besar akhirussanah dan pelepasan siswa lintas satuan pendidikan, sekitar 3 bulan lalu, aku menjadi teramat sangat kesal dan memintanya secara tegas tetap menugaskannya MC cadangan. Secara sembunyi-sembunyi, aku yang pada saat itu menjadi ketua panitia, melabelinya sebagai seseorang yang tidak bisa diajak bekerjasama secara tim dan tidak memiliki inisiatif untuk berkontribusi dalam organisasi pendidikan tempatnya bekerja yang sedang mempersiapkan acara besar gabungan dari 3 jenis satuan pendidikan. Bahkan, aku berasumsi sendiri, bahwa beliau tidak benar-benar peduli dengan acara wisuda gabungan tahunan yang rutin diselenggarakan yayasan kami. Aku mengambil kesimpulan tanpa tahu bagaimana latar belakang kehidupannya karena jarangnya komunikasi dan pertemuan yang terjalin diantara kami. Aku terlambat menyadari bahwa ada kebutuhan hidup yang memang penting-mendesak dan menjadi skala prioritas utama baginya dikala itu. Aku sempat kehilangan sisi kemanusiaanku.
Ketika kami telah sampai pada tanah pekuburan, dan jenazahnya diturunkan, rekan kerjaku semakin kencang memegang lenganku. Aku merangkulnya. Butiran air mata kami semakin mengalir deras. Dalam hatiku menjerit dan memohon maaf atas segala prasangka burukku padanya. Aku terisak lirih. Pun rekan kerjaku. Dengan penyebab yang berbeda. Hanya diriku sendiri yang tahu alasanku menangis. Sebuah tangis penyesalan. 
Dan saat penggali kubur melilitkan selempang bertuliskan Alfiyah, S.Pd., hatiku semakin tersayat pedih. Aku menyaksikan bagaimana gelar itu mengantarkannya hingga ke liang lahat. Gelar yang diperolehnya dengan perjuangan antara hidup dan mati.  
Maafkan aku. Atas buruk sangka yang pernah kulabelkan padamu. Hidup yang begitu keras, telah kamu lewati di usia yang sangat muda. Dan 23 tahun sudah, kamu memperjuangkan hidup. Sekarang, Allah menginginkanmu kembali. Semoga Allah peluk dan dekap erat dirimu di alam sana dengan kasih sayang-Nya.
Hai, Vinny Erika Putri.
Apakah kamu masih menyalahkan dirimu sendiri sampai dengan saat ini? 
Entahlah. Aku masih merasakan sedikit ketidaknyamanan dan menyesalinya karena tidak pernah mengenal lebih dekat sosoknya selama ini.
Hai, Vinny Erika Putri.
Tidak apa-apa untuk merasakan perasaan seperti itu. Beri dirimu waktu untuk menerima. Lantas, beranjaklah memahami dengan kesadaran diri bahwa menyalahkan dirimu terus-menerus tidak akan mengembalikan segalanya. Kamu bisa lebih mengambil pembelajaran untuk dirimu sendiri. Selain perasaan bersalah yang muncul, apalagi yang kamu pikirkan saat berada di area pemakaman?
Suasana pekuburan begitu lengang. Ada damai yang sempat menelusup saat melihat pepohonan yang mengelilingi area tanah pekuburan bergemerisik dedaunan tertiup angin sendu. Setelah air mataku mereda, aku melamun sembari menatap tanah pusaranya dan bertanya-tanya dalam batinku, "Pergi dalam keadaan tenangkah dirimu? Bagaimana nanti kondisi hati dan jiwaku ketika kematian datang menjemput? Akankah setenang aliran angin di tanah pekuburan ini?"
Orang-orang sebagian ada yang sempat tertawa-tawa, entah menertawai apa. Sebagian terdiam sepertiku. Dan tak tampak pula air mata pada kedua orang tuanya. Entah sedemikian mudahkah mereka mengikhlaskannya atau justru mereka masih mencerna kehilangan yang masih tanak terjadi. Ah, aku tak tahu. Kemudian, saat doa dibacakan, aku hanya menundukkan kepala dan masih menyisir kelebatan ingatanku tentang segala kesalahan yang pernah kuperbuat kepadanya. 
Ya Allah ... ampunilah aku. Berikanlah beliau tempat terbaik di sisi-Mu.
Hai, Vinny Erika Putri. 
Bagaimana perasaanmu sekarang? Apakah sudah lebih lega? Atau masih ada yang menjadi beban pikiranmu?
Aku sudah lebih ringan dan lega setelah menguak sisi jahatku dan kesalahan yang pernah kulakukan padanya. Aku ingin terus mengutuhkan diri dengan mengakui bagian-bagian gelap dari diriku yang mungkin sempat tertolak oleh diriku sendiri atau orang-orang terdekatku. Aku ingin selesai dengan diriku sendiri, mengenali dan mendidik ego tergelap dan terendahku agar setiap penderitaan hidup bukanlah lagi menjadi sebuah penderitaan karena jiwaku sudah bisa menerimanya dengan tenang; dan, agar aku bisa terus berproses lebih baik lagi dalam memanusiakan diriku dan orang-orang di sekitarku. Aku ingin, kelak, ketika aku berpulang kepada penciptaku, Dia tidak memunggungiku dengan kemurkaan-Nya dan benar-benar menantiku di sana dengan riang. 
Hai, Vinny Erika Putri. 
Terima kasih, telah mengungkapkan kejujuranmu dengan terang yang mungkin sulit pada awalnya kamu akui. Sini, biar kupeluk erat jiwamu. Teruslah bertumbuh menjadi versi terbaik, asli dan utuh Seorang Vinny Erika Putri, dari masa ke masa. Aku, kesadaran tertinggimu tak pernah pergi dari dalam hatimu. Aku terus menyaksikanmu bertumbuh sebagai dan menjadi manusia utuh paripurna dengan gembira. Dan selalu menerima apapun proses yang memang menjadi bagian dari warna perjalanan yang mesti kamu lalui.


-Vinny Erika Putri, 14.08.21 

Selasa, 10 Agustus 2021

Tentangmu, Lelaki Sunyi

 


Tentangmu, Lelaki Sunyi
Aku melihat kerentanan hatimu
Yang mati-matian kau sembunyikan
Pada dinding pertahanan yang kau bangun tebal-tebal

Tentangmu, Lelaki Sunyi
Aku melihat kekosongan jiwamu
Yang kau sangkal dengan kesibukanmu
Sebagai caramu melarikan diri dari kepedihan hidupmu

Tentangmu, Lelaki Sunyi
Aku merasakan jerit katarsis lirihmu
Yang kau selimuti rapat-rapat dengan bahak tawamu
Untuk membuat ingatanmu amnesia dari himpitan beban yang kau pikul

Tentangmu, Lelaki Sunyi
Aku merasakan kepelikan hidupmu
Yang kau simpan dalam-dalam di hatimu
Sebab tak kau temukan tempat untuk sekadar berteriak atau menangis seapa-adanya dirimu

Tentangmu, Lelaki Sunyi
Mungkin kau bertanya-tanya atau terheran-heran
Bagaimana aku bisa mengurai perasaanmu-perasaanmu yang terkubur jauh didalam sana dengan tepat?
Bagaimana aku bisa menebak caramu menjalani dan menghidupi kehidupanmu dari penggalan kisahmu?
Pula sedemikian paham lebih dari orang sekitarmu memahamimu?

Tentangmu, Lelaki Sunyi
Aku hadir dan ada bukan karena sesoal cinta atau semacamnya
Tapi, barangkali saja, kita sama
Aku melihat percikan diri terdahuluku didalam dirimu
Dan tidak menginginkan kerusakan parah terjadi pada jiwamu
Jadi, berhentilah berlari dari kejujuran perasaanmu saat di titik rapuh

-Vinny Erika Putri, 10.08.21

#1. Maaf Dan Terima Kasih Untuk Diriku

 


Maafkan aku, Wahai Diriku. 
Atas kesulitan-kesulitan yang kuberikan padamu sebagai seseorang dengan banyak warna dan intensitas kedalaman perasaan yang kualami. Seseorang dengan banyak label pemberian dari lingkaran kehidupan sosialku dan kausalitas yang ditimbulkannya.
Diriku, seseorang bernama SULUNG yang berjuang sedemikian keras untuk tidak limbung dengan banyak tanggung jawab keluarga yang dipikulkan sejak kecil hingga kini dan menjadi tumpuan harapan kedua orang tua kelak ketika mereka berpulang lebih dulu. Yang sudah tidak asing menerima amanah dan bayangan kematian dari lontaran kata-kata orang tua sejak kecil dan mulai terdengar lebih sering sejak 7 tahun silam. Mereka berkata, "Kalau ibu-bapak meninggal duluan, kamu yang akan mengurus dan mengatur keluarga ini. Jaga adik-adikmu dan terima kekurangannya. Yang pada akur satu sama lain." 
Diriku, seseorang bernama SULUNG yang telah banyak diajari cara menghadapi dan menangani semua permasalahan hidupku oleh "aku kecil", "aku remaja" dan "aku dewasa" dengan ketidaksempurnaanku selama bertumbuh menjadi dan sebagai manusia utuh. Yang nyaris selalu disodorkan pada pilihan berpikir untuk menghadapi segala kemungkinan terburuk dari apa yang diberikan kehidupan kepadaku. Yang dipaksa berhadapan dengan ketakutanku sendiri sejak kecil dengan kondisi disfungsional keluarga dimana terjadi kecatatan pola asuh ayah. Beliau tidak bisa mencerna dan mengatasi emosinya sendiri dengan tenang selayaknya seorang ayah sebagai manusia dewasa dan kerap melemparkan kekesalannya kepada ibu dengan verbalisme kekanak-kanakannya. Dan seorang ibu over-independent yang kerap berkata, "Kamu harus bisa menolong dirimu sendiri, karena orang tua tidak selamanya bisa hidup mendampingi." 
Seseorang bernama SULUNG yang sejak berseragam putih-merah telah dikenalkan sesoal makna menjadi "orang tua" bagi diriku, adik-adikku dan kedua orang tuaku. Yang dalam kesendirian panjang, melakukan rentetan perjalanan diri, menaklukan ketakutan-ketakutan akan banyak hal tidak familiar yang hadir di setiap linimasa kehidupanku sebagai sulung perempuan.
Diriku, seseorang bernama PENDENGAR YANG BAIK yang kerap menyediakan telinga dan hatinya untuk mendengarkan luka-luka emosional orang lain pula memberikan mereka kelegaan perasaan. Sementara, aku sendiri belum menemukan seorang manusia pun yang sanggup mendengarkan dengan penuh makna dan benar-benar menghadirkan dirinya untuk membersamai hati dan jiwaku. Tidak semua orang mampu menyelami dan memahami intensitas perasaanku bahkan memberikan respon yang tepat sesuai yang aku butuhkan.
Diriku, seseorang bernama KERAS KEPALA. Yang memiliki caranya sendiri untuk bertahan hidup. Yang sulit dan sangat selektif untuk mengungkapkan apa yang kurasakan kepada orang lain bahkan lebih cenderung menyimpannya sendiri. Yang lebih memilih berdiri dan percaya penuh pada diriku sendiri ketimbang bergantung pada uluran tangan orang lain. Yang semasa bertumbuh, aku telah banyak membunuh ekspektasi-ekspektasi egoku terhadap timbal balik dari orang lain dengan memanusiakan semua respon yang mengalir dan tidak menuntut mereka mesti memahamiku ketika aku berkisah tentang diriku sendiri.
Diriku, seseorang bernama ANDAL. Yang acapkali dipercaya banyak orang untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan mereka atau tempat mereka bertukar saran bahkan terkadang meminta persetujuan keputusan hidup mereka sendiri. Seseorang ANDAL, yang tak jarang mendorong diriku terlalu keras untuk menyelesaikan apa yang telah dimulai meski artinya aku berjalan seorang diri di jalan asing yang belum pernah kutempuh sebelumnya.
Diriku, seseorang bernama SENSITIF. Yang amat peka dengan berbagai pancaran perasaan orang-orang di sekitarku. Yang mudah mengalami kewalahan emosi disaat orang-orang begitu ribut dan bising meminta dengan teriakan untuk ego-ego terendah mereka dipenuhi. Seseorang SENSITIF, yang mudah menyerap dan memahami berbagai emosi kepedihan orang lain serta menggambarkan perasaan mereka dengan tepat. Yang sangat berselaras dengan pergeseran atau naik-turunnya perubahan emosi diri.   
Diriku, seseorang bernama SURVIVOR yang terus berproses untuk merangkul luka-luka batinku sendiri, menyembuhkan diri dan bertumbuh dengan baik selayaknya manusia dewasa yang matang secara akal pikiran, hati dan jiwa dari masa ke masa. 
Diriku, seseorang bernama KESUNYIAN. Yang padanyalah jiwaku menenggat atau menepi sejenak ketika dunia terlampau pelik, rumit dan melelahkan untuk kupahami. Yang didalamnya, aku menemukan ketenangan diri dan merasakan kehadiranmu, Wahai Diriku. Yang di pelatarannya, aku bisa mengeluarkan perasaan asliku, menanggalkan topengku dan mengekspresikannya dengan jelas-bebas, dari yang tergelap hingga yang paling terang, dari yang terjahat sampai yang tersuci, dari sisi iblis hingga sisi malaikat. Yang ketika berdiam lama di sana, bersamamu, aku mampu berdamai dan mendamaikan jiwaku sendiri. 
Dan seseorang-seseorang lainnya, bagian dari diriku yang membuatmu tak bosan-bosannya untuk berkali-kali belajar memahamiku, mengenaliku dan bersama-sama menjalani proses mengutuhkan diri. 

Maafkan aku, Wahai Diriku. 
Yang masih kerap memaksakan diri memasang badan untuk orang-orang diluar diri ini dengan mengatasnamakan tanggung jawab. Yang sesekali masih memunggungi dan melarikan diri dari perasaanku sendiri. Yang terkadang menutup telinga dari suara teriakan jiwa yang sebenarnya tengah merasakan lelah. 

Maafkan aku, Wahai Diriku. 
Yang tak pernah bisa melepaskan kelekatan jiwa dan perasaan denganmu lebih dari manusia manapun sejak aku memahami bahwa dirimu adalah bayangan yang paling setia dan tak pernah berkhianat padaku. Yang masih sulit memberikan kesempatan untukmu bergantung pada pertolongan orang lain dalam menghidupi kehidupanku. Yang kini semakin tak ingin kehilangan eksistensi dirimu sebab luka-luka pengabaianku atas dirimu masih erat melekat ketika aku membabi buta melakukan apapun untuk orang-orang yang kusayangi dengan meniadakan begitu saja kebutuhan jiwamu hingga sempat membuatnya mengalami kerusakan.

Terima kasih, Wahai Diriku. 
Untuk selalu ada bersamaku. Saat di titik tergelapku. Saat di titik terapuhku. Saat di titik sesak penatku. Saat di titik tergamangku. Saat di titik tergila jiwa dan hatiku. Saat di titik ketidakpercayaanku akan seorang manusia pun yang sanggup tenggelam memahami intensitas dan kedalaman perasaan diriku, kecuali dirimu.

Terima kasih, Wahai Diriku. 
Untuk selalu ada bersamaku. Ketika aku bertanya tentang makna kehidupan bagi diri. Ketika aku bertanya tentang apakah aku harus menyerah atau melanjutkan hidup. Ketika aku ingin mengurai kekusutan jiwaku secara sembunyi-sembunyi atau menghilang sementara waktu dari bisingnya suara penghakiman orang-orang yang ingin mencampuri hidupku. Ketika aku ingin mengalirkan teriakan katarsis perih dalam dekapan sunyi. Ketika aku sedang tak bisa mencerna perasaanku sendiri dengan kata-kata kecuali embun yang membulir di kedua sudut mata.

Terima kasih, Wahai Diriku. 
Untuk selalu ada bersamaku. Mengenaliku pada bermacam perasaan diri di kedalaman sana. Mengajariku tentang penerimaan diri secara utuh, penuh, setulus-tulusnya, tanpa tapi, tanpa syarat. Merengkuhku dalam kesadaran diri ditengah-tengah kegilaan yang seringkali ingin merenggut kewarasan hati, jiwa dan akal pikiranku.

Terima kasih, Wahai Diriku. 
Untuk selalu ada bersamaku. Dan bersinar, jauh didalam sana. Tetaplah hidup, di langit hatiku, dengan cahayamu yang muncul entah dari mana saat gelap mengepungku. Tetaplah memintaku hidup dengan baik sampai pada waktu yang telah ditentukan-Nya, saat aku mulai menanyakan kebermaknaan hidup dan ingin mengenyahkan diri dari rangkaian garis takdirku. Tetaplah di sisiku sepanjang hayat, hidup menghidupi jiwaku, meski terkadang aku ingin menyerah dan terpikir untuk mengakhiri semuanya saat pusaran badai kehidupan tengah menguji dan mengebiri nyaliku. Tetaplah menantangku untuk bertahan dan memperjuangkan hidup, walau terkadang di titik tertentu, pada suatu rentang masa, aku melihat dunia tak ubahnya seperti seonggok sampah yang diperebutkan manusia tak berpunya jiwa kemanusiaan. 

Maafkan aku, dan terima kasih, Wahai Diriku. Tetaplah di sini, hidup bersamaku, berdenyut dalam nadi jiwaku seperti titah-Nya, agar aku tak kehilangan kesadaran diri sebagai dan menjadi manusia paripurna yang diinginkan-Nya. Semoga kelak, ketika aku kembali kepada-Nya, jiwaku berpulang dalam keadaan tenang dan telah menunaikan tugasku dengan sebaik-baiknya.


-Vinny Erika Putri, 10.08.21

Minggu, 01 Agustus 2021

#10. Adakah Sesuatu Didalam Sana yang Belum Kuurai?


Adakah sesuatu didalam sana yang belum kuurai? 
Dalam satu tarikan napas yang sesak, aku dicecar bingung, airmata keluar begitu saja tanpa alasan. Entah dengan perasaan apa kumenamainya. Sebab, mencernanya saja masih tergagap-gagap.

Adakah sesuatu didalam sana yang belum kuurai?
Bolak-balik kuatur napas sembari memejamkan mata beberapa kali. Tapi, aku tetap belum bisa mengaksesnya. Warna emosi apa yang sedang ditunjukkan dan kebutuhan apa yang ingin disampaikannya, sungguh, aku terbata-bata untuk bisa memahaminya.

Adakah sesuatu didalam sana yang belum kuurai?
Kelebatan tiba-tiba membawaku menyisir ruang-ruang memori. Tentang tempat. Tentang seseorang. Tentang kenangan. Atau apapun yang mampu memberiku petunjuk dari segala penjuru ingatan jiwa. Tapi, masih juga belum kutemukan titik terangnya.

Adakah sesuatu didalam sana yang belum kuurai? 
Aku bahkan tidak bisa menjawabnya dengan jabaran kata-kata, sekalipun aku benar-benar hadir membersamai diriku. Ataukah, lagi-lagi yang kurasakan adalah sepintasan firasat yang singgah, yang tidak bisa kuterka bentuk kejadian pastinya? Aku berlindung pada-Mu dari segala marabahaya baik yang kasat maupun yang tak kasat mata, Duhai, Rabb Semesta Alam. 


-Vinny Erika Putri, 01.08.21