Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Aku berkali-kali bertanya pada diriku sendiri. Apakah perasaan semacam ini normal? Apakah ini dampak adanya luka batin yang belum kukenali untuk kusembuhkan? Ataukah ada kemungkinan lain dari keterasingan yang kadang kurasakan di episode tertentu dalam hidup.
Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Apakah aku seorang sociopath? Atau intovert dengan HSP akut yang tidak bisa menyeimbangkan diri dalam lingkungan sosial? Nyatanya, realita yang terjadi dan kurasakan tidak begitu. Aku tetap bisa bersosialisasi layaknya manusia normal yang membutuhkan interaksi sosial dengan sesama manusia. Aku mampu menjalani peran sosialku dengan baik dan menangani rintangan-tantangan yang sulit menurut orang-orang di sekitarku. Aku sanggup menyelesaikan konflik atau permasalahan yang terjadi di lingkungan sosial tempatku bekerja dan mengabdi dengan solusi yang diterima akal sehat dan manusiawi bagi kemanusiaan.
Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Aku memahami bagaimana jiwa orang-orang di sekitarku. Aku mampu melihat dan membersamai apa yang mereka rasakan. Kebanyakan dari mereka, merasa bebas-aman-nyaman-lega melepaskan beban emosional mereka melalui kisah-kisah yang mereka titipkan padaku. Aku telah lebih dulu mencapai jauh di depan sana. Tentang titik abu-abu yang mereka rasakan daripada mereka sendiri melalui gambaran perasaan mereka yang kutangkap dengan tepat, hingga akhirnya, mereka bisa lebih jelas memahami diri mereka sendiri. Tapi, ironisnya, bagiku, sungguh sulit, menemukan orang dengan gelombang pemahaman yang sama seiring aku bertumbuh dan terus bertumbuh dari rentetan panjang pengalaman hidupku. Kebanyakan dari mereka hanya sanggup melihat di permukaannya saja dan tak bisa menggapai diriku lebih dalam. Aku lebih sering merasa terasing ketika mesti menjabarkan apa yang ada dalam pikiranku dan apa yang kurasakan tentang banyak hal.
Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Kadang, aku pun merasakan kegilaan sangat, ketika aku sendiri berada di titik abu-abu yang tak bisa kupahami dan kutemukan maknanya. Keterasingan terhadap diri sendiri di fase-fase tertentu adalah hal yang paling menyiksa yang pernah kualami. Berbicara pada orang lain pun terasa percuma. Sebabnya, aku sudah bisa lebih dulu merasakan gelombang mereka tidak beresonansi denganku. Atau dengan kata lain, persepsi, pemikiran, dan wawasan kami berbeda tingkatan. Aku bukan meremehkan mereka atau tidak mempercayai mereka. Hanya saja, aku telah belajar dari babak kehidupan yang berkesudah, ketika aku bercerita pada orang yang tidak berada pada gelombang yang sama, kebingunganku justru akan semakin bertambah. Apalagi, jika yang mereka lakukan hanya menghakimiku dengan dogma atau doktrin agama yang dalam laku hidup mereka sendiri hanya sebagai "hafalan" bukan pengalaman. Mirisnya lagi, aku melihat dengan jelas, mengenali diri sejati mereka sendiri saja masih terbata-bata. Pula, memisahkan ego diri mereka sendiri pun masih tergagap-gagap. Akhirnya, semua berhenti pada percakapan dangkal (bagiku) tanpa makna apapun yang bisa mengisi atau mencerahkan jiwa spiritualku.
Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Lantas, apakah aku menyalahkan orang-orang yang tak sanggup memahamiku atau berpemahaman dangkal? Tidak. Aku menghormati mereka tanpa harus menelan semua opini dan menjadikan core values mereka sebagai milikku. Dangkal atau tidaknya aku pun tidak tahu. Yang aku pahami, mereka bergerak dengan core values yang berbeda denganku sehingga pemikiran dan perasaan mereka dalam mempersepsikan dan menggambarkan sesuatu pun berbeda denganku.
Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Sampai kini pun, kadang, aku, masih mengalami hal-hal seperti ini. Aku bahkan bertanya pada diriku lebih ekstrim, apakah aku tidak memiliki rasa kasih sayang pada orang-orang terdekatku sehingga membuatku merasa teralienasi, asing dan sendiri? Ataukah aku tidak bisa merasakan cinta dari orang lain? Hatiku menjawab, aku menyayangi mereka dan merasakan kasih sayang mereka. Tapi, bukan itu poinnya. Sepeduli apapun mereka terhadapku ataupun sebaliknya, tetap, belum kutemukan seseorang yang mampu berada dalam intensitas kedalaman pemahaman atau frekuensi yang sama persis dengan seluruh bagian dari diriku: hatiku, jiwaku, akal pikiranku.
Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Terasa amat sangat menyesakkan ketika diri berada pada fase tersebut. Bukan karena ketakutan akan kehilangan keterhubungan dengan orang-orang terdekatku atau lingkunganku. Tetapi, kecemasan akan kebingungan yang bisa saja merenggut diriku sendiri menjadi sesuatu yang tidak lagi kukenali. Kesepian paling menakutkan justru ketika aku tak lagi merasa penuh-utuh-terisi oleh diriku sendiri. Sebab, di titik itu, aku tak bisa menemukan petunjuk apapun dari-Nya. Aku kehilangan makna hidup. Dan warna semesta menjadi lebih gelap dari jiwaku sendiri kala itu.
Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Tak semua orang pernah bisa memahami hal seperti ini. Kebanyakan yang terjadi, mereka teralienasi, asing dan sendiri ketika mereka kehilangan keterhubungan dengan orang-orang sekitar dan justru merasa ketidaknyaman berdiam lama bersama diri mereka sendiri. Sementara aku? Adalah orang yang berkebalikan dari orang-orang umum. Yang lebih tenang dan terisi penuh ketika berdiam lama membersamai seluruh bagian dari diriku, melihatnya dengan jernih, sejernih-jernihnya.
Tentang teralienasi, asing dan sendiri.
Adalah, ketika aku tak bisa melihat dengan jelas aku didalam diriku sendiri. Ketika aku tak mampu menangkap atau mendengar pesan yang ingin disampaikan aku didalam sana melalui keasingan yang tengah hadir. Dan, ini, sangat menyedihkan.
-Vinny Erika Putri, 18.08.21