Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Minggu, 27 Desember 2020

The Second Graduation


The Second Graduation
Swiss-Belhotel
Wisuda Pascasarjana dan Sarjana Angkatan XIV
Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon
Gelombang 1

Pagi itu, menjadi pagi yang sibuk bagi kami. Hari bersejarah kembali akan kuukir dalam perjalanan hidupku. Pukul 06.30, aku bersama kedua orangtua berangkat dari rumah menuju Swiss-Belhotel. Sepanjang mobil yang kami tumpangi melaju, hatiku dipenuhi rasa syukur. Aku bersyukur, Allah masih memanjangkan umur dan menyehatkan kedua orang tuaku sehingga mereka bisa membersamaiku dalam momen puncak yang paling dinanti oleh para mahasiswa yang berhasil menyelesaikan studinya.

Sekitar pukul 07.00, kami tiba di Swiss-Belhotel. Kondisi Ballroom masih lengang. Hanya tampak para panitia tengah sibuk bertugas dan hilir-mudik beberapa wisudawan/wisudawati yang sudah berada di ballroom. Aku berfoto dengan orang tuaku di dalam dan luar ruangan menggunakan kamera smartphone pribadi. Lalu, aku memisahkan diri dari mereka ketika satu per satu teman-temanku berdatangan. Sembari menunggu acara dimulai, aku dan teman-teman saling menyapa, merangkul, memberikan ucapan selamat juga berfoto bersama.

Pukul 08.30, ruang ballroom sudah terisi oleh para wisudawan/wisudawati  dan para pendamping. Para wisudawan/wisudawati dan para pendamping telah menempati tempat duduknya masing-masing. Acara perayaan kelulusan ini telah mendapat izin, disaksikan dan diawasi oleh satgas COVID-19. Para wisudawan/wisudawati, pendamping wisudawan/wisudawati, panitia acara, jajaran senat dan pejabat yang diundang, hadir dengan mengikuti dan menaati aturan protokoler kesehatan yang berlaku. Pendamping wisudawan/wisudawati yang dibolehkan masuk pun hanya dibatasi untuk dua orang. Sisanya, para pengantar, dikondisikan di luar area ballroom.

Master of Ceremony membuka acara prosesi wisuda. Senat memasuki ruangan. Acara yang telah disusun panita dari mulai pembukaan hingga sambutan pun berjalan sesi demi sesi. Sampai, tibalah waktunya, aku bersama 3 wisudawan/wisudawati lainnya diminta bersiap-siap untuk melaksanakan prosesi pembacaan prasetya (janji alumnus). Kami berempat didapuk sebagai perwakilan wisudawan/wisudawati yang akan membacakan janji alumnus di depan para senatTatkala Wakil Rektor 1 sedang membacakan SK Penetapan Lulusan Terbaik dari setiap Program Studi, kami berdiri di barisan paling belakang dan sudah dalam posisi siap. 

Usai SK Penetapan Lulusan Terbaik diumumkan, prosesi pembacaan prasetya pun dimulai. MC memberikan aba-aba. Kami, didampingi dua pemandu yang membawa bendera di kanan kiri, melangkah sesuai dengan arahan dan latihan singkat yang dilakukan pada saat gladi bersih. Sepanjang kaki mengayun, jantungku berdetak lebih cepat dan kencang dari biasanya. Sepasang kakiku gemetar kecil kala aku berdiri tepat di hadapan para senat dan pejabat penting yang diundang dari mulai anggota DPR-RI hingga Bupati Cirebon. Kami mulai membacakan janji alumnus diikuti para wisudawan lainnya. Pembacaan prasetya selesai. Aku pun bernapas lega. 

Kemudian, panitia memberikan aku setangkai mawar sebelum aku kembali ke tempat duduk. Tidak hanya aku. Tiga wisudawan/wisudawati yang ditetapkan sebagai lulusan terbaik dan beberapa wisudawan/wisudawati lainnya yang sudah diplotkan penyebarannya saat gladi bersih, masing-masing telah memegang bunga yang diberikan panitia. Kami akan memberikan kejutan di sesi acara berikutnya.

Acara selanjutnya adalah acara yang cukup membuat dadaku berdebar. MC memanggil satu per satu nama-nama wisudawan/wisudawati lulusan terbaik. Aku bersama tiga wisudawan terbaik lainnya dari prodi dan strata pendidikan yang berbeda, kembali maju, berdiri di hadapan ratusan pasang mata dalam ballroom. Masing-masing dari kami menerima kain selempang dengan label "terbaik" dan penghargaan lainnya yang disematkan oleh rektor dan pejabat penting yang diundang. Entah ada berapa kamera baik dari pihak kampus maupun media massa yang mengabadikan momen tersebut. 

Saat itu, aku bertanya pada diriku sendiri, "Apakah ini membahagiakan dan membanggakan untuk kedua orang tuaku?". Meski aku tahu, tanpa itu semua, orang tuaku akan tetap bangga padaku karena mereka selalu menjadi support sistem utama dan pertama bagiku.

The second graduation

Perasaan yang kurasakan jauh berbeda dari wisuda yang pertama kali kualami saat mengambil pendidikan sarjana di Program Studi Teknik Sipil, Jurusan Teknik, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Kali ini, aku mendapatkan makna yang lebih luas dan mendalam. Aku tidak mengerdilkan pendidikan kesarjanaan yang pernah kutempuh sebelumnya. Tidak ada yang bisa dibandingkan atau disetarakan diantara keduanya.

Setiap perguruan tinggi memiliki karakteristik dan budaya organisasi yang khas lagi unik baik dari sistem pendidikan maupun kedinamisan civitas akademianya. Aku tetap berterima kasih kepada UNSOED sebagai almamater dan tempat dimana gelar kesarjanaan yang pertama kuperoleh. Darinya, aku telah mendapatkan pondasi yang memudahkanku untuk terus berkembang saat aku kembali menempuh pendidikan sarjana yang kedua dengan latar belakang bidang keilmuan yang berbeda. 

Detik itu, aku berdiri di sana, dengan predikat lulusan terbaik dari Prodi PIAUD. Apa yang kupikirkan saat berdiri disaksikan banyak pasang mata dan lensa kamera? 

Berdiri di sana, serupa estafet janji alumnus yang kuteruskan dari almamater sebelumnya. Berdiri di sana, bukanlah tentang prestasi yang membanggakan atau ajang bergengsi untuk mendapatkan pengakuan dari banyak mata dan mulut manusia atau riuh tepuk tangan dari mereka. Pencapaian ini bukan tentangku. Tapi ... tentang baktiku kepada kedua orang tua. Tentang rasa terima kasih kepada segenap dosen yang telah memberikanku ilmu, dan kepada teman-teman seperjuangan semasa perkuliahan, khususnya PIAUD kelas C, yang banyak memberikanku pembelajaran hidup dimana aku bisa semakin mendewasa bersama-sama mereka. Tentang suatu janji dalam diriku kepada-Nya atas karunia yang dipercayakan-Nya padaku. Pula, kesemogaan yang kusemogakan untuk bisa terus belajar hidup sebagai dan menjadi sebaik-baiknya manusia yang bermanfaat bagi sesama dan lingkungannya.

Prosesi pemberian penghargaan kepada 4 wisudawan/wisudawati lulusan terbaik selesai. Berikutnya, dua orang wisudawan/wisudawati dari strata pendidikan S1 dan S2 bergantian berdiri di podium memberikan pidato. 

Lalu, tibalah pada acara yang bagiku paling menggugah perasaan. Riak emosi dimulai ketika denting piano mengalun syahdu. Seorang mahasiswa dari kelompok paduan suara berjalan dari posisi yang sama dengan posisiku dan perwakilan tiga wisudawan saat bersiap membacakan prasetya. Dari bibirnya, mengalir lagu berjudul "Bunda" karya Melly Goeslaw. Nyanyiannya adalah kode bagi para pemegang bunga mawar untuk menyebarkan diri pada titik-titik yang sudah ditentukan saat gladi bersih.

Aku merentak berdiri. Dadaku menghangat. Sesuatu meledak tak bersuara dalam hatiku. Sekujur tubuhku gemertap. Dengan perasaan yang berkecamuk, aku berjalan, melewati barisan demi barisan di depan, menuju titik dimana bunga ini akan kupersembahkan.

Perempuan paruh baya berkerudung biru dan lelaki berpakaian batik berusia setengah abad lebih, semakin terlihat jelas di mataku. Aku tersenyum kepada mereka. Lalu, setangkai mawar ini kuberikan pada beliau, ibuku. Mata ibu membasah. Pun, hangat merebak di sepasang mataku. Kami berdua berpelukan. Erat. Kubelai lembut kepala beliau. Banyak kata yang tak sanggup kuungkapkan. Kata-kata yang lebih dari sekadar ucapan "Selamat hari ibu". Tangis kami berdua pecah. Dan kuambil waktu sedikit lama untuk ini. 

Bibir ini bungkam seribu bahasa. Tapi batinku berkata-kata. Lirih.

Ibu ... terima kasih atas hidupmu yang kau berikan untuk menghidupi hidupku.
Ibu ... terima kasih, telah menerimaku dengan segala kekuatan, kelemahan, kelebihan, kekurangan dan keterbatasanku sebagai anak maupun makhluk individu.
Ibu ... terima kasih, atas segala kebijaksanaanmu yang mengajariku banyak hal hingga aku bisa terus belajar hidup menghidupi hidupku.
Ibu ... terima kasih, telah menjadi "rumah" yang senantiasa terbuka saat hatiku membutuhkan tempat untuk menguatkan langkah dan menegakkan kembali kepala yang tertunduk lesu.
Ibu ... maafkan atas segala dosa-dosa yang pernah kuperbuat kepadamu.
Ibu ... maafkan aku, maafkan atas semua bagian dari diriku yang pernah mengecewakanmu, menyakitimu dan melukaimu.
Ibu ... detakmu adalah detakku, napasmu adalah napasku, dan duniamu adalah duniaku.

Jika saja aku tak mengingat ada durasi waktu yang perlu diperhatikan, rasanya, pelukan ini tak ingin kulepas sampai semua yang tak mampu kuucapkan teralirkan. Sesudah memeluk ibu, bergantian kurengkuh bapak. Kuusap punggung beliau. Kurasakan kasih sayang beliau yang mungkin selama ini tak bisa beliau utarakan seperti yang bisa dilakukan oleh ibu. Lalu, aku merangkul keduanya.

Batinku masih menggumam lirih.

Bapak ... terima kasih, telah menyayangiku dengan kapasitas dan cara yang engkau mampu sebagai ayah.
Bapak, maafkan untuk kekeras-kepalaanku, yang terkadang menyisakan kejengkelan di hatimu dan membuat kita berselisih paham.
Dan ... Duhai Tuhan, panjangkanlah umur kedua orang tuaku, lindungilah mereka dari segala marabahaya yang tampak maupun tak kasat mata.

Putaran lagu mendekati selesai. Aku izin kepada mereka untuk kembali ke posisiku. Sepanjang berjalan menuju tempat duduk, kurasakan atmosfer ruangan begitu sendu entah untuk berapa jenak. Seolah, di satu titik itu, perasaan kami dibawa pada hawa yang sama.

Setibanya di tempat duduk, kuperhatikan sahabat seperjuanganku yang duduk bersebelahan denganku. Matanya memerah. Seketika, aku menyadari dan memahami satu hal pada saat itu. Mungkin tidak hanya sahabatku, tapi juga para wisudawan/wisudawati yang lainnya tengah mengeja memori sesoal kenangan bersama orang tua mereka yang telah lebih dulu berpulang kepada-Nya.

Dadaku terasa nyeri. Perih menyayat hati. Mungkin saja, dengan melihat momen barusan yang begitu membahagiakan dan mengharukan bagiku, banyak ataupun sedikit, menorehkan kesedihan di hati mereka. Doaku, semoga, sanak keluarga yang telah tiada, menyaksikan para wisudawan/wisudawati dari alam sana dengan haru bahagia. Alfatihah untuk mereka semua. Euforia saat itu, bercampur. Kesedihan dan kebahagiaan saling berpasang. Seperti dua mata pisau yang bersisian. 

Kepalaku sempat tertuduk, memaknai tentang peringkat terbaik ke-1 dari Program Studi PIAUD. Dan saat itu, mataku kembali berkaca-kaca. Andai Allah tak memberikanku predikat itu, aku tak akan mendapatkan kesempatan untuk memahat salah satu momen terbaik dalam hidupku yang baru saja terjadi. Semua ini hadiah dari Allah, kenangan yang diberikan-Nya, yang mungkin suatu saat akan menguatkan langkahku dalam menjalani hidup. Bahwa, aku pernah diberikan-Nya keberuntungan berada di titik ini bersama kedua orang tuaku.

Acara kejutan di Hari Ibu yang bertepatan dengan seremonial wisuda IAI BBC, Institut Pergururan Tinggi Swasta di mana aku menimba ilmu, menjadi momen terbaik bagiku dan (semoga) juga bagi yang lainnya. Momen ini, lebih berharga dari penghargaan predikat terbaik yang disematkan pada hari itu.

Kami pun tiba di sesi acara yang paling ditunggu. Pelantikan wisudawan/wisudawati. Satu per satu wisudawan/wisudawati yang namanya disebutkan naik ke panggung senat mengikuti prosesi pemindahan tali toga oleh Rektor, penyerahan ijazah oleh Wakil Rektor 1 dan diakhiri dengan pemberian cenderamata oleh Kaprodi PIAUD. Aku turut berbahagia untuk semuanya.

Dan, batinku berkata pada diriku sendiri, "Terima kasih, Vinny, untuk tetap keras kepala tak tunduk pada kata menyerah. Terima kasih, telah berjuang sampai di titik ini. Dan ... mari, kita berjuang kembali untuk apapun yang ingin kau raih di langkah selanjutnya dalam hidup."

Terakhir, MC menutup acara dengan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang hadir dan meminta kami untuk membubarkan diri dengan tertib dan tetap mengikuti protokoler kesehatan.

Acara berakhir. Mata kami saling mencari teman-teman yang kami kenal untuk bisa menyempatkan kembali berfoto bersama. Sayangnya, hanya beberapa yang berhasil bertemu dan ditemui. Setelahnya, semua wisudawan/wisudawati sibuk dengan keluarganya masing-masing. Begitu pula denganku.

Dalam momen ini, aku juga berterima kasih kepada dua rekan kerjaku di sekolah yang telah menyempatkan diri menemuiku setelah acara selesai. Mereka juga merupakan support sistem bagiku yang dengan tulus memahami kondisiku saat berkuliah sambil bekerja.

The Second Graduation
Terima kasih
Telah menjadikan belajar dan belajar sebagai napasku.

-Vinny Erika Putri, Memoar 22.12.20

Kamis, 24 Desember 2020

D.E.T.A.K

 



DETAK
Deg!
Rindukah?

DETAK
Deg!
Kehilangankah?

DETAK
Deg!
Cintakah?

DETAK
Deg!
Mengapa aku takut?

DETAK
Deg!
Mengapa aku sedih?

DETAK
Deg!
Mengapa aku benci?

DETAK
Deg!
Mati-matian kupertahankan detakku
Mengenyahkan sesuatu yang bisa melukaiku
Seperti saat dahulu kurasakan detak lain
Yang menghilangkan degup jantungku sendiri
Hingga kurasakan sekarat hati saat dikhianati

DETAK
Deg!
Detak ini, tetap milikku
Bukan miliknya
Meski kuakui, rindu itu ada

-Vinny Erika Putri, 25.12.20

Minggu, 13 Desember 2020

Dengan Pujian, Kepada-Nyalah Kukembalikan Segala Pujian

 



07.12.20

Hari itu, pukul 13.00, adalah giliran Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) dan Program Studi Manajemen Pendidikan Islam (MPI) yang menghadiri yudisium. Pelaksanaan yudisium saat itu, menjadi sesuatu yang biasa saja bagiku karena sebelumnya aku sudah pernah melaksanakannya saat aku menempuh program sarjana dengan bidang studi teknik sipil di Universitas Jenderal Soedirman. Sampai dengan tiba pembacaan 5 lulusan terbaik dari kedua program studi tersebut. Entah mengapa ada debar yang bertalu-talu mengetuk dadaku. Peringkat lima besar mulai dibacakan hingga peringkat kedua. Aku semakin tak keruan.

"Peringkat terbaik pertama Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini Institut Agama Islam Bunga Bangsa diraih oleh .... mari kita tunggu setelah pesan-pesan berikut," canda, Bapak Drs. Sulaiman, wakil rektor 1 lantas melanjutkan kembali perkataannya, "Peringkat terbaik pertama diraih oleh Vinny Erika Putri, S.Pd."

Sesuatu kurasakan meledak tanpa suara di dalam dadaku. Aku berjalan dengan kepala agak tertunduk. Hati tertatih-tatih memaknai semua dari kilas balik perjuangan di tempat ini yang berkelebat sepanjang langkahku mengayun.

Sampai di depan, aku berdiri sejajar dengan lima lulusan terbaik lainnya dari Prodi PIAUD. Satu per satu dari kami berlima menerima piagam penghargaan dan cinderamata dari kampus. Kameramen kampus mendokumentasikan kami. Aku mendapatkan giliran pertama untuk maju menerima piagam dan cinderamata tersebut. Lalu mundur kembali ke barisan sembari menunggu yang lainnya selesai menerima penghargaan. Saat prosesi itu berlangsung, Pak Rektor, yang duduk di belakang kami, di jejeran kursi petinggi kampus, memanggil namaku hingga membuatku menoleh ke belakang.

"Vin ... selamat ya," ucap beliau.

Aku, masih dengan kekagetan yang belum sepenuhnya reda, tersenyum lalu mengangguk halus sebagai bentuk penghormatan sembari mengucapkan terima kasih kepada beliau.

Setelah acara prosesi itu selesai, kami kembali ke bangku masing-masing dengan membawa piagam penghargaan dan cendramata. Aku masih saja tergeragap dengan apa yang baru saja kuterima. Usai acara yudisium, ucapan selamat pun berdatangan dari kolega kampus hingga rekan kerja.

Lantas, saat pulang, aku pun dijemput bapak. Sahabatku, yang kuajak ikut bersamaku menumpang dalam mobil karena jalur mereka menuju terminal searah, memberitahukan soal predikat lulusan terbaik Prodi PIAUD yang kusandang.

Respon bapak, tidak begitu kaget. Bagi beliau, begitulah aku, toh sebelumnya aku sudah pernah berkuliah. Semasa SMA, beliau pun tahu anaknya masuk dalam peringkat 1-5 besar. Kurasa, beliau saat itu, membanggakanku sebagai anak dengan porsi yang wajar. Tidak melebih-lebihkan seperti yang kadang-kadang beliau lakukan saat menceritakan prestasiku kepada orang-orang.

Sesampainya di rumah, aku pun bercerita pada ibu tentang segala prosesi yang kulalui saat yudisium siang tadi. Dan menunjukkan piagam yang kudapatkan. Aku melihat kebanggaan di mata ibu. Pun, bapak, baru menampakkannya saat kita sudah berada di rumah.

Lalu ... setelah usai dengan itu semua, malam itu menjadi malam perenunganku atas sesuatu yang tak kuduga sama sekali. Aku berdialog dengan diriku sendiri dalam hening malam.
Hai, diriku, apa yang kau rasakan saat ini? Harukah? Banggakah? Sedihkah?
Aku ... merasa terharu. Terharu, sebab, dengan begitu banyak perjuangan yang kulakukan, tak kukira hasil yang kudapatkan diluar dugaan. Allah memberikan lebih dari apa yang kuharapkan. Dan, aku mengiyakan, bahwa ketika kita telah memancangkan tekad, menetapkan tujuan, mengerjakan dengan fokus dan tekun, bersetia dengan proses, tak jemu-jemu mengevaluasi hasil dan tak menyerahkan diri pada apa yang dinamai kesulitan ... Allah akan membayarnya dengan sesuatu yang tak kubayangkan sama sekali. 
Aku ... merasa bangga. Bangga membanggakan perjuangan diriku yang telah mendapatkan pencapaian inikah? Bukan sama sekali. Kebanggaanku tak berpusat pada diriku. Aku bangga, bisa membuat orang tuaku merasa bangga. Aku bangga, bahwa dengan prinsipku tentang membantu orang lain untuk sama-sama tumbuh berkembang tak mengurangi nilaiku sedikit pun.

Sekaligus aku ... merasa sedih. Aku tak bisa menunjukkan ini kepada Almarhumah simbah putri. Dan betapa aku merindukan beliau hadir di momen-momen seperti ini.

Benarkah hanya itu yang kaurasakan? Apakah kau begitu terlarut dalam gegap gempita suasana itu? Adakah yang lebih berkilau dari itu? Kau tahu bukan, bahwa perasaan yang tengah memenuhi dadamu, semua itu hanyalah keduniawian yang sifatnya sementara?
Entahlah. Ada sesuatu yang kurasai kosong dalam ruang batinku. Kehadiran penyakit hati mulai teraba saat kebanggaan mulai masuk melebihi batas kewajaran. Dan aku, mulai merasakan ketidaknyamanan. Aku ingin kembali mengnolkan itu semua. 
Kemudian, apa yang bisa membuat batinmu terasa penuh terisi?
Dialah, Sang Maha Kuasa yang memampukan apa yang dulu terasa sulit dan berat bagiku. Dialah, Sang Maha Perkasa, yang menguatkanku bahkan disaat aku tak mempercayai diriku sendiri.  Dialah, Sang Maha Penyayang, yang selalu menemani saat aku merasa sendirian menjalani masa-masa sulit itu. Dialah yang meringankan segalanya. Dialah, Sang Pencipta, satu-satunya tempatku bersandar dan bergantung.
Kupandangai lekat-lekat, piagam penghargaan yang ada di hadapanku. Jika ucapan selamat dari keluarga, sahabat dan para kolega yang berdatangan tak mengisi kekosongan batinku ... maka, yang mesti kupahami adalah hatiku tengah memaknai pujian yang sesungguhnya. Pujian yang sifatnya kekal abadi. Bukan hanya euforia semata. Maka predikat DENGAN PUJIAN kulanjutkan dengan kalimat KEPADANYALAH KUKEMBALIKAN SEGALA PUJIAN. 

Sunyi malam itu ... terasa hidup, menyala dan hangat.

-Vinny Erika Putri, 13.12.20

Selasa, 01 Desember 2020

TITIK DUA

 


Titik dua
Tempat dimana aku tengah berada
Yang di sepanjang narasi kalimat memiliki banyak tanda baca
Dari koma yang memberikan diri ini ruang untuk bernapas dalam jeda
Hingga titik yang mengakhiri sekaligus menjadi awal mula narasi kalimat selanjutnya

Titik dua
Tempat dimana aku tengah meletakkan rasa
Dan menempatkan ragam pikiran di kepala
Dengan tantangan-tantangan yang mesti diterima
Pula pilihan-pilihan yang butuh diputuskan dengan tangan terbuka

Titik dua
Tempat dimana aku tengah memijak dunia
Yang mesti kutuntaskan gelaran tantangan di depan mata
Dan kuhadapi resiko dari pilihan-pilihan yang ada
Dengan hati yang lapang lagi tekad sekeras baja
Agar diri ini tak mudah menyerah begitu saja
Sampai aku mencapai tanda titik dalam satu kalimat narasi kehidupan yang disuguhkan semesta

Titik dua
Meski mungkin aku akan berdiam entah singkat entah panjang di beberapa tanda koma
Langkah ini tak akan terhenti hingga yang terkenang dari itu semua saat menapaki tanda titik adalah haru bahagia
Dan menjadi kekuatan baru untuk keberlanjutan narasi kalimat kehidupan berikutnya

-Vinny Erika Putri, 01.12.20

Sabtu, 28 November 2020

R.E.H.A.T

 



Wahai Diriku
Mari kita rehat menutup telinga
Dari segala kabar berita yang terdengar di sekelilingmu
Untuk menjernihkan dan memancangkan ulang
Detak apa yang ingin kau hidupi sehidup-hidupnya

Wahai Diriku
Mari kita rehat menutup mata
Dari segala wajah yang diperlihatkan dunia
Untuk membuka lebar-lebar mata hatimu
Akan kedamaian yang sesungguhnya didalam dirimu

Wahai Diriku
Mari kita rehat menarik diri sejenak
Dari hiruk pikuk keterhubunganmu dengan sekeliling 
Untuk menguatkan dan menajamkan rasa
Keterhubungan dirimu dengan diri-Nya

Wahai Diriku
Mari kita rehat menanggalkan semua sementara waktu
Lalu ... kembalilah dengan jiwa yang sehat
Pikiran yang segar dan menyegarkan
Pula hati yang lapang lagi ringan melangkah

-Vinny Erika Putri, 28.11.20

Aku, Elemen Air dan Kebermanfaatan

 


Elemen air adalah elemen yang paling ingin aku serupai dalam menjalani kehidupan dibandingkan elemen dasar lainnya seperti tanah, udara, api. Bukan berarti aku memandang remeh atau mengerdilkan elemen lainnya. Hanya saja, aku lebih bisa terhubung kuat dengan karakteristik, sifat-sifat yang dimiliki dan energi yang dihasilkan elemen air.

Elemen air. Akan selalu mencari celah untuk selalu mengalir dan bergerak dinamis, dengan cara yang halus lembut menyegarkan seperti kesejukan sumber mata air hingga cara menakutkan seperti amukan banjir yang menyapu sekelilingnya. Bahkan, di tempat yang tampak tenang dalam suatu genangan pun, ia sejatinya tetap bergerak dengan pergerakan molekul yang tak bisa dilihat oleh mata telanjang.

Elemen air. Mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah untuk membumi. Ia mengalir ke tempat terendah yang artinya air telah selesai dengan egonya sendiri. Dalam posisi terendahnya, ia tetap bisa memberikan perasaan kesejukan dan kedamaian bukan hanya pada dirinya tapi juga makhluk hidup lainnya.

Elemen air. Mampu mengikuti bentuk apapun dari dunia yang menadahnya. Juga memiliki kesabaran dan kegigihan tak terbatas melunakkan benda-benda sekitarnya.

Elemen air. Yang dititahkan-Nya memberikan awal mula kehidupan bumi. Yang keberadaannya mengalahkan luasnya daratan di bumi. Yang mengisi setiap inci bagian tubuh makhluk hidup penghuni bumi. Air ... selalu bisa selaras dan seimbang menyatu dalam keharmonisan alam semesta.

Aku ... menemukan ketenangan dan kedamaian tersendiri saat mendengar gemericik suara tetesan hujan, debur ombak ataupun aliran air sungai ketika berada di alam bebas. Atau bahkan saat air menyentuh kulitku hingga ke pori, energi yang kudapati lebih segar dan jernih dari elemen apapun.

Aku ingin hidup bermanfaat untuk diri sendiri dan sekelilingku layaknya elemen air. Ya. Bermanfaat. Bukan dimanfaatkan. Bermanfaat dan dimanfaatkan, keduanya berbeda.

Bermanfaat, didalamnya ada keputusan yang bisa aku pilih, berbuat atas dorongan dari dalam diri serta menimbang tindakan mana yang adil lagi bijaksana untuk diri sendiri dan sekeliling. Dimanfaatkan, didalamnya tidak ada otoritas diri sama sekali dan bisa jadi ada ketidaksadaran akan bahaya juga kepalsuan yang mungkin saja disuguhkan "muka dunia" demi tercapainya kepentingan-kepentingan tertentu.

Elemen air bisa sangat bermanfaat bagi kehidupan. Tapi juga bisa menghasilkan dampak kerusakan bagi bumi ketika dunia memberinya racun atau memanfaatkannya dengan semena-mena. Ketika itu benar-benar terjadi, hal terburuk yang bisa terjadi adalah orang-orang akan kehilangan hidup dan kehidupan mereka dengan sendirinya.

-Vinny Erika Putri, 28.11.20

Rabu, 25 November 2020

Aku, Bukan Bagian dari Mimpi Buruk Yang Kau Berikan

 


Kata dunia luarku, aku akan memberikanmu banyak hal dalam hidup:
Ketakutan
Keraguan
Keputusasaan
Ketidakberdayaan
Kubalut semua itu dalam mimpi terburuk yang bisa kuberikan untuk menghantam kekuatanmu

Kata dunia luarku, aku akan memberikanmu banyak hal dalam hidup:
Kehilangan
Kesedihan
Kemarahan
Kekecewaan
Ketidakamanan jiwa
Kubungkus semua itu dalam mimpi buruk yang bisa kulukiskan untuk membuatmu kehilangan dirimu sendiri

Kata dunia luarku, aku akan memberikanmu banyak hal dalam hidup:
Yang sanggup menghancurkan keterhubunganmu dengan dirimu sendiri dan penciptamu
Yang mampu menguji seberapa dalam kebergantungan dan keyakinanmu pada Tuhanmu
Kukemas semua itu dalam mimpi terburuk dari hal terburuk yang bisa kuhadirkan dalam pandanganmu

Lalu, batinku berkata, SILAKAN SAJA
Yang ada didalam diriku
Yang tidak semua orang bisa lihat
Yang dunia luarku sulit memahaminya
Yang aku sendiri tak bisa menduga seberapa jauh batas kekuatanku
Yang aku sendiri tak mampu menakar seberapa keras kegigihanku
Yang aku sendiri tak dapat mengukur dengan skala bilangan soal seberapa erat keterhubunganku dengan diriku sendiri
Yang selalu berusaha kutanamkan berulang-ulang dengan kukuh menetapkan keyakinan dan kebergantunganku kuat-kuat pada-Nya
Itu semua ... lebih besar dari mimpi buruk apapun yang kau berikan padaku

Batinku, berujar padamu, dunia luarku:
Aku, bukan bagian dari mimpi buruk yang kau berikan
Aku telah meminta Tuhan menitipkan denyut nadi dan detak jantung untukku 
Di sana, di setiap babak mimpi yang kau berikan
Oleh sebab itulah, meski menjelma realita terburuk sekalipun
Aku akan selalu menemukan cara untuk bertahan hidup
Siuman dari hati yang koma ataupun sekarat
Lantas, melangkah maju, dari tertatih hingga berlari

Sekali lagi, kukatakan, padamu, dunia luarku:
Aku, bukan bagian dari mimpi buruk yang kau berikan

-Vinny Erika Putri, 25.11.20

Sabtu, 21 November 2020

#8. Untukmu Yang Masih Entah

 



Untukmu yang masih entah ...

Kali ini ... kuperkenalkan keluargaku beserta kehidupan didalamnya. Kehidupan keluarga tak sempurna dan tak melulu seharmonis yang orang-orang sangka. Kehidupan layaknya keluarga pada umumnya. Kehidupan keluarga yang tak mesti baik-baik saja. Tapi juga tak selalu penuh duka lara. Kehidupan yang tak mesti cerah ceria. Tapi juga terkadang bertudung mendung yang menurunkan hujan di langit hati.


Untukmu yang masih entah ...

Kuperkenalkan bapakku. Seorang pengatur yang keras kepala, berkeinginan kuat tapi tak cukup memiliki kemampuan adaptasi sosial yang memadai ketika menghadapi orang-orang dengan ragam perwatakannya. Seorang perencana ulung tapi tak cukup tenang, mudah cemas dan kurang bisa bersikap luwes ketika segala sesuatu tidak berjalan seperti rencananya. Seorang bapak yang kurang bisa membuka komunikasi yang hangat dengan anak-anaknya, cenderung menuntut kepatuhan terhadap aturan dibandingkan membangun kesepakatan dan kesejahteraan mental anak-anaknya, lebih banyak meminta didengarkan ketimbang mendengarkan, lebih sering meminta dipahami daripada menyeimbangkan diri memahami orang lain. Pula, seseorang yang kerapkali berseberangan pemikiran dan perasaan denganku semakin aku mendewasa. Bisakah kau bayangkan bagaimana hubungan kami berdua?

Ya, kami, dua orang berkepala batu. 
Aku bukan lagi seorang anak yang penurut seiring bertambahnya usiaku. Sementara, beliau masih saja menjadi pembuat aturan yang kaku. Aku, yang semakin menyadari akan keberhakan dan otoritas dalam menentukan arah dan tujuan hidupku, tak kalah bersikukuh jika sudah menentukan apa yang menjadi keputusanku.

Kami kerap berselisih paham dan bersilangan pendapat. Tuntutannya yang seringkali berpusat pada ukuran dirinya sendiri akan berhenti ketika aku sudah berbicara dengan nada tegas (sesekali menajam ketika situasi dan kondisiku yang tengah mengalami kelebihan beban tak juga dipahami beliau) dan mendebatnya hingga beliau kalah telak. Setelah itu, ibulah yang menjadi sasaran empuk. Beliau tumpah ruahkan semua kejengkelannya terhadapku kepada ibu saat kami berdua perang dingin memeram riak amarah yang bergolak. 

Saat sesuatu tak berjalan sesuai dengan keinginannya, bapak mudah sekali menjadi lelaki bersumbu pendek. Dan aku, yang berhadapan dengan beliau diwaktu sampah batinku telah penuh, menjelma seorang pemberontak. Amarahku terdesak keluar, sumbu panjangku memendek dan akhirnya terpantik meledak. Tapi, sekalipun kami bersitegang dengan itu semua, kami tak pernah sekalipun melakukan kekerasan fisik. 

Aku, menjadi cerminan beliau soal kekuatan dan kekeraskepalaan tekad sekaligus lawannya yang sulit untuk tunduk ketika aku telah mengetuk palu atas keputusan yang benar-benar penting untuk hidupku. Jika beliau pembuat aturan keluarga, maka, aku adalah perubahan dari aturan yang dibuatnya untukku. Aku, adalah seseorang yang terus berkembang tak terbatasi waktu kecuali aku telah menjadi jenazah yang membujur kaku. Sepanjang jantungku masih berdegup, aku hidup untuk menghidupi kehidupanku.


Untukmu yang masih entah ...

Kuperkenalkan ibuku. Beliau seorang wanita mandiri, kritis, penyabar, problem solver yang kreatif, berempati tinggi terhadap sekitar, welas asih dengan sesamanya, fleksibel dalam menerapkan aturan, menghadirkan tutur kata yang baik saat berkomunikasi dengan lawan bicaranya, sanggup mendengarkan seseorang bercerita dengan sabar dan seksama. Pula, beliau, seorang wanita yang lebih banyak memilih diam ketika bapak mengoceh tak keruan dan meluapkan kekesalannya dengan verbalime yang kurang bijaksana untuk ukuran orang tua matang seusianya. Ibu, menjadi seorang istri yang lebih banyak melakukan seni mengalah dan menanggung lebih sering beban emosi demi terjaganya keharmonisan keluarga. Bisakah kau bayangkan bagaimana hubungan kami berdua?

Kami, dua orang yang saling bergantung dan belajar satu sama lain dalam hal pertukaran pemikiran dan perasaan. Ibu jarang sekali menghakimiku tentang apapun pilihan hidup yang kuambil sekalipun mungkin bertentangan dengan keinginannya. Pengalaman, interaksi dan relasi sosial yang luas yang beliau dapatkan dahulu semasa muda mengajarinya untuk tak terlalu mengekangku dalam menjajal segala tantangan yang ada. Ibu, menjadi dukungan terbesar untukku menapaki dunia dengan berbagai warnanya. Separuh dari sifat dan sikapku adalah penjelmaan dirinya. 

Aku jarang sekali berselisih dengan ibu. Amarah seorang berkepala batu ini akan segera melunak tatkala berhadapan dengan beliau. Terlebih lagi, beliau hanya diam tak bersuara dikala aku menyuarakan dengan lantang dan jelas betapa lelah dan penatnya batinku. Dan saat beliau memilih diam, justru gunungan rasa bersalah padanyalah yang hadir menghimpit hatiku. Aku lebih bisa menahan diri untuk tidak mendebat ibu. Tapi tak cukup sabar untuk berlama-lama menerima ocehan bapak atau dipaksa patuh pada aturan yang terlalu baku lagi merumitkan hidupku.

Aku adalah cerminan ibu yang menjadi pelindung dan penengah. Ibu, adalah seseorang yang dulu pernah satu kali kusaksikan menangis saat terjadi pertengkaran antara beliau dengan bapak di depan mata. Dan disaat itu, akulah yang menjadi penengah pasangan muda yang tengah belajar mendewasa dari pertengkaran yang ada di episode kehidupan pernikahan mereka. Ya. Aku menjadi penengah di saat masih berseragam putih merah dan usiaku masihlah terlampau kencur untuk mengenal makna pembelajaran dari perselisihan yang terjadi dalam sebuah rumah tangga. Aku menjadi pelindung yang tak menginginkan keduanya berpisah bersamaan dengan perih mengoyak hatiku dan menyisakan luka. 

Saat itu, bapak menciderai batin ibu dengan lontaran kata-kata tajam lantas meja kaca pecah dihantam tangan bapak hingga tangannya berdarah dan ibu berpamitan padaku ingin kembali ke kampung halamannya. Semuanya baru mereda setelah tangisku pecah sembari berteriak, "Sudah jangan bertengkar. Ibu jangan pergi. Nanti Puput sama siapa?" Sesudahnya, tidak ada lagi pertengkaran yang membawa kerusakan pada barang atau membuat ibu ingin pergi dari kami, keluarga kecilnya. Itu adalah hal yang kudengar dan kusaksikan pertama sekaligus terakhir kalinya. Tapi, bukan berarti tak terjadi lagi pertengkaran umum sepasang suami istri dalam suatu bahtera rumah tangga. Hingga di usiaku yang sudah sedewasa ini, aku terkadang masih menjadi penengah dan pelindung dari pertengkaran mereka saat lelah membuat keduanya tak lagi sanggup untuk berkomunikasi meluaskan sudut padang dan menyambungkan perasaan yang mereka rasa. 

Pun, ibu, adalah rem otomatis untukku mengendalikan diri dan menggunakan kejernihan akal pikiran saat bersitegang dengan bapak. Jika saja tak ada sentuhan kebijaksanaan dari ibu, saat aku bertengkar dengan bapak, aku telah menjadi seorang pemberontak yang benar-benar puas melihat bapak terpojok tak berkutik. Pemberontak yang bisa saja mengeluarkan kata-kata terkutuk. Ya. Jika saja ibu tak menjadi seorang yang mengalah, memilih diam tak membalas kata-kata yang menciderai batinnya, mungkin saja, aku akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan bapak saat amarahku pada bapak memuncak. Jika saja tidak ada ibu dan aku sebagai dua orang yang saling menengahi dan melindungi, mungkin saja, keluarga ini telah lama luluh lantak. Remuk berselirak.


Untukmu yang masih entah ...

Kau pasti bertanya-tanya padaku?
Apakah aku membenci bapakku?
Apakah aku lebih menyayangi ibuku?

Aku sempat membenci keduanya. Tapi, rasa iba dan kasih sayang untuk mereka melebihi rasa benci yang kadang-kadang datang saat mereka menempatkanku pada situasi dan kondisi yang belum sanggup kucerna, kupahami dan kuterima.

Aku, sempat membenci ibu yang selalu mengalah dan memilih diam setiap kali bapak mengoceh dengan kata-kata yang membuat telingaku terasa panas dan emosiku bergolak. Pernah suatu waktu aku bertanya soal kebertahanan ibu di sisi bapak. Mengapa ibu tak juga beranjak? Katanya, karena anak-anak. Pula, perkara perpisahan itu, bukanlah suatu penyelesaian yang baik setelah dipertimbangkannya masak-masak. Beliau telah menelan pemahaman, tak ada satu biduk rumah tangga pun yang sempurna tanpa terjangan badai juga gulungan ombak. Ibu memilih tetap bersetia selama itu bukanlah pengkhianatan dan tindak kekerasan fisik.

Aku, sempat membenci bapak ketika seringkali memaksakan kehendak dan melemparkan ceracauan kata-kata pedas pada ibu yang membuat emosiku berkecamuk. Pernah suatu saat kuberkata pada ibu bahwa aku tak ingin memiliki pasangan sepertinya yang sungguh lebih sering menyerupai orang tua berkepala anak-anak. Tapi, ibu selalu mengingatkanku akan suatu kisah latar belakang keluarga bapak agar kebencianku pada bapak tak mengerak. Bapak adalah simbol seseorang yang kurang mendapatkan kecukupan kasih sayang orang tua dan teladan yang bijak. Dari ayahnya (kakekku) yang berselingkuh hingga akhirnya menikah dengan wanita selingkuhannya setelah ibu kandung bapak meninggal karena sakit lantas bapak harus menerimanya sebagai ibu tiri, beliau belajar satu hal: tidak akan melakukan hal yang sama dengan ayahnya (kakekku) yang membuat hati perempuan tercabik-cabik. Ia, belajar untuk bersetia dengan pasangannya kelak. Itu, satu-satunya hal yang menjadikannya berpikir bijak. Pula satu-satunya yang menjadi pemakluman yang mampu membuatku sekuat mungkin mengekang mulutku yang ingin membalas ceracauan bapak dengan kata-kata yang sama pedasnya saat amarah kita benar-benar meledak.


Untukmu yang masih entah ...

Kisah ini ... belumlah usai kugelar.
Apakah ini terasa menakutkan saat terdengar di telingamu?
Apakah matamu masih ingin membaca kelanjutan kisah keluargaku?
Dari sepenggal cerita ini, bisakah kau menerka orang seperti apa diriku? 
Dan ... aku yang sekeras kepala ini, siapa yang bisa menggenggam dan bertahan melangkah bersamaku?

-Vinny Erika Putri, 21.11.20

Jumat, 20 November 2020

#2. Surat Untuk Diriku Tentang Berita Hari Ini

 



Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Ah, bukan hari ini saja, belakangan, memang kau kerap mengalami kondisi tidak sedang baik-baik saja. Kau merasakan, semakin dewasa, semakin kau banyak membutuhkan waktu untuk menyederhanakan kompleksitas pemikiran dan perasaanmu dalam menghadapi hidup yang kau hidupi. Semakin dewasa, semakin kau mengiyakan, begitu sulit menemukan sahabat sejati yang benar-benar bisa kau ajak berbagi soal apa yang memenuhi isi kepalamu atau perkara batin yang tengah berkecamuk dalam dadamu. Kau ... bukan tak punya orang tua untuk membagikannya. Hanya saja, kau tahu, semakin senja usia mereka, sungguh tak bijaksana jika kau tambahi pikiran mereka dengan apa yang kau hadapi dalam hidupmu.

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Jika saja kau bisa menyerah, kau ingin, sangat ingin. Tapi yang kaurasakan, katamu sungguh berkebalikan dan terkadang menyiksa. Katamu, "Semakin dunia luar menekanku dengan kesulitan-kesulitan yang menghadirkan banyak kelelahan pikiran dan perasaan, jauh di dalam diriku ... di dalam sana, seorang aku berteriak paling kencang di antara banyak kelemahan yang kadang terasa seperti nyaris membunuh langkahku." Sebuah teriakan penolakan kuat untuk menyerah. Penolakan yang kadang menjadi pertarungan batin yang menjemukan antara dunia dalam dirimu dan keadaan yang disuguhkan dunia luarmu.

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Kau, lagi-lagi, menangisi banyak hal yang tak apa bagiku untukmu menangisinya. Tak apa, saat kau telah merasa terlalu penuh menampungnya, tumpahkanlah air mata itu. Selagi itu bisa memecah sesak yang menghimpit dadamu dan mampu menguatkanmu kembali untuk menjalani hari-harimu.

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Hari ini, izinkan aku meminta maaf, jika kau merasa bahwa aku terlalu memaksakanmu untuk terus maju saat kau di titik lelah dan ingin menyerah. Aku yang selalu melakukan penolakan kuat untukmu menyerah. Aku yang mungkin seringkali menempatkanmu pada pertarungan batin dan membentukmu menjadi seseorang yang tegas ketika pada akhirnya kau memutuskan untuk tetap maju. 
Aku yang berdiam di sana, jauh didalam dirimu, dan difungsikan-Nya begitu. Berteriak untuk meruntuhkan dinding-dinding ketakutan yang akan membunuhmu atau memberikan jejak keputusasaan dalam hidupmu.
Aku akan tetap berteriak kencang, sekencang-kencangnya, "Maju. Teruslah merangsek maju. Dengan airmata sekalipun. Dengan kelemahanmu sekalipun. Ruang hidupmu, tak banyak diperuntukkan kata menyerah. Kau tidak akan tahu, sejauh mana batas kekuatanmu jika kau tak berhadapan dengan ketakutan dan ketidakpastian hidup."

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Aku adalah bagian dari dirimu. Aku tak pernah meninggalkanmu sendirian. Aku terintegrasi dengan bagian dirimu yang lain yang menjadikanmu utuh. Aku adalah sisi kebertahanan hidup yang besama-sama dengan kesadaran menjagamu tetap terhubung dengan dirimu sendiri dan diri-Nya. Aku ada bersama kesadaran, untuk mengeluarkanmu dari keputusasaan, menjagamu tetap hidup. Sehidup-hidupnya. Aku, ada di dalam sini, di tempat biasa kau melebur dengan sunyi.

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Saat kau merasa tak baik-baik saja, tariklah dan embuskan napasmu perlahan-lahan, sambil memejam mata sampai kau tenang. Lalu, dengar ... dengarlah suara ini, jauh didalam hatimu,
Hai, Vinny, aku di sini. Aku bagian dari dirimu yang tak pernah pergi. Aku selalu ada untukmu. Tak apa untukmu merasa tak baik-baik saja. Tak apa dalam hidup merasakan lelah. Bukan berarti kau menyerah. Kau hanya butuh waktu untuk bisa menerima dengan berdiam dalam jeda. Mari, kupeluk dirimu. Kuusap bahumu. Dan tepuk pelan dadamu. Lalu lihatlah cahaya-Nya yang tetap terang benderang dalam kegelapan. Sang Kuasa tak akan membebani sesuatu yang melebihi kapasitasmu. Sang kuasa sudah mendesain semuanya sesuai dengan kesanggupanmu. Kendatipun kau tengah merasakan ketidakberdayaan, pada-Nyalah pada akhirnya kau berpasrah untuk kembali mendapatkan kekuatan.
-Vinny Erika Putri, 20.11.20

Sabtu, 14 November 2020

Terima kasih Telah Membuatku Hadir, Hidup dan Menghidupi Kehidupan

 




Ibu ...
Hari ini ... genap bertambah satu tahun usiaku dari bilangan sebelumnya. Dan pagi tadi, kau memelukku. Tangis kita pecah bersamaan seiring rangkaian pinta kesemogaan yang keluar dari bibirmu dengan nada bergetar. Kesemogaan yang terbungkus dalam rapal doamu kepada-Nya akan hidup yang lebih baik untuk anakmu sekaligus petuah tentang keikhlasan menjalani realita yang terkadang berselisih dengan harapan manusia dan menjadi ketentuan terbaik-Nya untuk kita.

Ibu ...
Kau usap punggungku untuk meringankan segala tanggung jawab dan amanah yang kupikul, yang kau tahu itu kadang menjadi sesuatu yang berat untuk diriku, yang bahkan kau pahami tentang apa yang kurasakan dan kupikirkan disaat-saat ini tanpa harus kuberbicara panjang lebar karena ikatan batin kita begitu kuat terhubung meski dalam diam sekalipun. Pula, kau sangat mengerti, akan ujian, cobaan dan tantangan hidup yang kuhadapi semakin kompleks dan rumit seiring bertambahnya angka usiaku.

Ibu ... 
Terima kasih telah membesarkan dan mendampingiku untuk menjadi manusia dewasa sampai detik ini. Terima kasih, telah menjadi ibu sekaligus sahabat paling pertama yang bisa kutemui kapanpun untuk berbagi cerita dan bertukar pikiran. Terima kasih, telah menjadi ibu terbaik yang kumiliki hingga saat ini. Terima kasih atas perjuangan selama 34 tahun melakukan apa yang kau sanggup lalukan, dan memberikan apa yang mampu kau berikan sebagai ibuku dan adik-adik. Ibu ... terima kasih, untuk segalanya. Panjang umur dan sehat selalu untukmu.

Simbah Putri ...
Bagaimana kabarmu di sana? Aku, di sini, masih dengan harapan yang sama: bisa bertemu dengan sosokmu dalam mimpi. Dan doaku, semoga kau mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya dan berbahagia bersama simbah kakung yang lebih dulu berada di sana.

Simbah Putri ...
Ibu semakin menua di sini, dan beliau kian menjadi seorang ibu dengan kebijaksanaan yang luas dalam menghadapi hidup. Sementara aku, semakin takut akan kehilangan pasak yang paling penting dalam hidupku setelah engkau tiada. Ibu dan engkau adalah pasak utama yang menjadi sokongan kekuatan hidupku. Tahukah, engkau, duhai Simbah? Seberapa seringpun aku mengalami perih kehilangan, hati tak selalu disiapkan untuk selalu kuat menghadapinya dan membutuhkan waktu yang entah singkat entah panjang untuk sembuh darinya. Aku, belum siap dan selalu tidak siap jikalau Tuhan mengambil ibu lebih dulu.

Simbah Putri ...
Terima kasih ... telah melahirkan seorang anak yang hebat. Anak yang sudah 35 tahun Allah pilihkan menjadi istri bapakku dan 34 tahun menjadi ibu kandung yang darahnya mengalir dalam tubuhku. Anak yang tak pernah lupa berbakti kepada orang tua hingga kini meski keduanya telah tiada. Anak yang menjadi seorang istri sekaligus ibu yang luar biasa sabar menghadapi karakter suami dan buah hatinya. Anak yang mampu dengan ikhlas menerima paketan kekurangan dan kelebihan kami. Anak yang bertumbuh dan berkembang menjadi wanita welas asih terhadap sesama. Anak yang mampu membalas keras dan sulitnya ujian, cobaan dan tantangan hidup yang dihadapi beliau dengan kebijaksanaan hati dan segala sisi kemanusiaan yang dimilikinya. Simbah Putri ... terima kasih, untuk segalanya. Sosokmu, tetap hidup di sini, di dalam dadaku, berdetak bersama jantungku.

Bapak ...
Kita lebih banyak berselisih pendapat atau memendam amarah dalam diam hingga perseteruan itu terkadang menjadi gunung es yang sulit mencair jika saja tidak ada sentuhan kebijaksanaan dari ibu. Tapi ... meski kita jarang sekali bercerita dan bertukar pikiran sampai dengan aku sedewasa ini, kau tak pernah melupakan hari ulang tahunkuHari ini pun, kau ucapkan selamat atas perulangan tanggal kelahiranku. 

Bapak ...
Terima kasih ... atas doa yang mungkin kau panjatkan kepada-Nya untukku secara diam-diam atau kau katakan terang-terangan padaku. Terima kasih, telah menjadikanku anak yang akhirnya mampu berdiri di atas kaki sendiri secara mental dalam menyelesaikan masalah demi masalah yang kuhadapi. Terima kasih telah menjadi bapak yang banyak menuntutku dengan aturan-aturan sekaligus menjadikanku tumpuan keluarga sehingga aku berani menolak orang-orang di luar sana ketika melakukan penekanan atau tuntutan yang tidak seimbang padaku. Terima kasih, telah menjadi bapak yang tak sempurna yang tetap menjalankan perannya sebagai bapak dengan cara yang sanggup kau lakukan dan berikan padaku juga adik-adik. Bapak ... terima kasih, untuk segalanya. Semoga kita bisa terus belajar saling memanjangkan sabar untuk saling berdamai dengan keberseberangan pemikiran-pemikiran kita. Jikapun tidak bisa, cukuplah kita tidak saling memaksakan saat masing-masing berkepala batu memegang pendapatnya hingga akhirnya Tuhan menggerakkan hati kita untuk tak lagi berseteru. 

Tuhan ...
Terima kasih ... untuk kehidupan yang kau berikan padaku selama 34 tahun ini. Kehidupan yang tak selalu mudah dijalani tapi juga tak mesti sulit untuk dihadapi dan diselesaikan. Terima kasih ... untuk senantiasa mengawasiku dan tak pernah berpaling dariku meski aku dalam kondisi yang terkadang sebagai manusia rapuh iman dikikis oleh ujian, cobaan dan tantangan hidup. Terima kasih ... untuk tetap bersabar membimbingku dan mengingatkanku kembali pada-Mu dengan cara-Mu saat imanku tak selalu kuat berada di atas. Terima kasih ... untuk pintu ampunan-Mu yang selalu terbuka lebar untukku, seorang manusia yang terus belajar menjadi manusia yang membawa kebermanfaatan juga keberkahan bagi diriku sendiri dan sesama. Seorang manusia yang terus berusaha dan bergerak menjadi manusia yang Engkau inginkan dimana dalam perjalanannya tak selalu mulus tanpa cela, dosa dan kesalahan saat menempuh jalan kebaikan yang Engkau peruntukkan bagiku sesuai potensi yang Engkau bekali padaku.

Hari ini ... kuhaturkan terima kasih untuk-Mu, Ibu, Simbah Putri dan Bapak. Terima kasih, 34 tahun ini, telah membuatku hadir, hidup dan menghidupi kehidupan.

-Vinny Erika Putri, 14.11.20