Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Sabtu, 28 November 2020

R.E.H.A.T

 



Wahai Diriku
Mari kita rehat menutup telinga
Dari segala kabar berita yang terdengar di sekelilingmu
Untuk menjernihkan dan memancangkan ulang
Detak apa yang ingin kau hidupi sehidup-hidupnya

Wahai Diriku
Mari kita rehat menutup mata
Dari segala wajah yang diperlihatkan dunia
Untuk membuka lebar-lebar mata hatimu
Akan kedamaian yang sesungguhnya didalam dirimu

Wahai Diriku
Mari kita rehat menarik diri sejenak
Dari hiruk pikuk keterhubunganmu dengan sekeliling 
Untuk menguatkan dan menajamkan rasa
Keterhubungan dirimu dengan diri-Nya

Wahai Diriku
Mari kita rehat menanggalkan semua sementara waktu
Lalu ... kembalilah dengan jiwa yang sehat
Pikiran yang segar dan menyegarkan
Pula hati yang lapang lagi ringan melangkah

-Vinny Erika Putri, 28.11.20

Aku, Elemen Air dan Kebermanfaatan

 


Elemen air adalah elemen yang paling ingin aku serupai dalam menjalani kehidupan dibandingkan elemen dasar lainnya seperti tanah, udara, api. Bukan berarti aku memandang remeh atau mengerdilkan elemen lainnya. Hanya saja, aku lebih bisa terhubung kuat dengan karakteristik, sifat-sifat yang dimiliki dan energi yang dihasilkan elemen air.

Elemen air. Akan selalu mencari celah untuk selalu mengalir dan bergerak dinamis, dengan cara yang halus lembut menyegarkan seperti kesejukan sumber mata air hingga cara menakutkan seperti amukan banjir yang menyapu sekelilingnya. Bahkan, di tempat yang tampak tenang dalam suatu genangan pun, ia sejatinya tetap bergerak dengan pergerakan molekul yang tak bisa dilihat oleh mata telanjang.

Elemen air. Mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah untuk membumi. Ia mengalir ke tempat terendah yang artinya air telah selesai dengan egonya sendiri. Dalam posisi terendahnya, ia tetap bisa memberikan perasaan kesejukan dan kedamaian bukan hanya pada dirinya tapi juga makhluk hidup lainnya.

Elemen air. Mampu mengikuti bentuk apapun dari dunia yang menadahnya. Juga memiliki kesabaran dan kegigihan tak terbatas melunakkan benda-benda sekitarnya.

Elemen air. Yang dititahkan-Nya memberikan awal mula kehidupan bumi. Yang keberadaannya mengalahkan luasnya daratan di bumi. Yang mengisi setiap inci bagian tubuh makhluk hidup penghuni bumi. Air ... selalu bisa selaras dan seimbang menyatu dalam keharmonisan alam semesta.

Aku ... menemukan ketenangan dan kedamaian tersendiri saat mendengar gemericik suara tetesan hujan, debur ombak ataupun aliran air sungai ketika berada di alam bebas. Atau bahkan saat air menyentuh kulitku hingga ke pori, energi yang kudapati lebih segar dan jernih dari elemen apapun.

Aku ingin hidup bermanfaat untuk diri sendiri dan sekelilingku layaknya elemen air. Ya. Bermanfaat. Bukan dimanfaatkan. Bermanfaat dan dimanfaatkan, keduanya berbeda.

Bermanfaat, didalamnya ada keputusan yang bisa aku pilih, berbuat atas dorongan dari dalam diri serta menimbang tindakan mana yang adil lagi bijaksana untuk diri sendiri dan sekeliling. Dimanfaatkan, didalamnya tidak ada otoritas diri sama sekali dan bisa jadi ada ketidaksadaran akan bahaya juga kepalsuan yang mungkin saja disuguhkan "muka dunia" demi tercapainya kepentingan-kepentingan tertentu.

Elemen air bisa sangat bermanfaat bagi kehidupan. Tapi juga bisa menghasilkan dampak kerusakan bagi bumi ketika dunia memberinya racun atau memanfaatkannya dengan semena-mena. Ketika itu benar-benar terjadi, hal terburuk yang bisa terjadi adalah orang-orang akan kehilangan hidup dan kehidupan mereka dengan sendirinya.

-Vinny Erika Putri, 28.11.20

Rabu, 25 November 2020

Aku, Bukan Bagian dari Mimpi Buruk Yang Kau Berikan

 


Kata dunia luarku, aku akan memberikanmu banyak hal dalam hidup:
Ketakutan
Keraguan
Keputusasaan
Ketidakberdayaan
Kubalut semua itu dalam mimpi terburuk yang bisa kuberikan untuk menghantam kekuatanmu

Kata dunia luarku, aku akan memberikanmu banyak hal dalam hidup:
Kehilangan
Kesedihan
Kemarahan
Kekecewaan
Ketidakamanan jiwa
Kubungkus semua itu dalam mimpi buruk yang bisa kulukiskan untuk membuatmu kehilangan dirimu sendiri

Kata dunia luarku, aku akan memberikanmu banyak hal dalam hidup:
Yang sanggup menghancurkan keterhubunganmu dengan dirimu sendiri dan penciptamu
Yang mampu menguji seberapa dalam kebergantungan dan keyakinanmu pada Tuhanmu
Kukemas semua itu dalam mimpi terburuk dari hal terburuk yang bisa kuhadirkan dalam pandanganmu

Lalu, batinku berkata, SILAKAN SAJA
Yang ada didalam diriku
Yang tidak semua orang bisa lihat
Yang dunia luarku sulit memahaminya
Yang aku sendiri tak bisa menduga seberapa jauh batas kekuatanku
Yang aku sendiri tak mampu menakar seberapa keras kegigihanku
Yang aku sendiri tak dapat mengukur dengan skala bilangan soal seberapa erat keterhubunganku dengan diriku sendiri
Yang selalu berusaha kutanamkan berulang-ulang dengan kukuh menetapkan keyakinan dan kebergantunganku kuat-kuat pada-Nya
Itu semua ... lebih besar dari mimpi buruk apapun yang kau berikan padaku

Batinku, berujar padamu, dunia luarku:
Aku, bukan bagian dari mimpi buruk yang kau berikan
Aku telah meminta Tuhan menitipkan denyut nadi dan detak jantung untukku 
Di sana, di setiap babak mimpi yang kau berikan
Oleh sebab itulah, meski menjelma realita terburuk sekalipun
Aku akan selalu menemukan cara untuk bertahan hidup
Siuman dari hati yang koma ataupun sekarat
Lantas, melangkah maju, dari tertatih hingga berlari

Sekali lagi, kukatakan, padamu, dunia luarku:
Aku, bukan bagian dari mimpi buruk yang kau berikan

-Vinny Erika Putri, 25.11.20

Sabtu, 21 November 2020

#8. Untukmu Yang Masih Entah

 



Untukmu yang masih entah ...

Kali ini ... kuperkenalkan keluargaku beserta kehidupan didalamnya. Kehidupan keluarga tak sempurna dan tak melulu seharmonis yang orang-orang sangka. Kehidupan layaknya keluarga pada umumnya. Kehidupan keluarga yang tak mesti baik-baik saja. Tapi juga tak selalu penuh duka lara. Kehidupan yang tak mesti cerah ceria. Tapi juga terkadang bertudung mendung yang menurunkan hujan di langit hati.


Untukmu yang masih entah ...

Kuperkenalkan bapakku. Seorang pengatur yang keras kepala, berkeinginan kuat tapi tak cukup memiliki kemampuan adaptasi sosial yang memadai ketika menghadapi orang-orang dengan ragam perwatakannya. Seorang perencana ulung tapi tak cukup tenang, mudah cemas dan kurang bisa bersikap luwes ketika segala sesuatu tidak berjalan seperti rencananya. Seorang bapak yang kurang bisa membuka komunikasi yang hangat dengan anak-anaknya, cenderung menuntut kepatuhan terhadap aturan dibandingkan membangun kesepakatan dan kesejahteraan mental anak-anaknya, lebih banyak meminta didengarkan ketimbang mendengarkan, lebih sering meminta dipahami daripada menyeimbangkan diri memahami orang lain. Pula, seseorang yang kerapkali berseberangan pemikiran dan perasaan denganku semakin aku mendewasa. Bisakah kau bayangkan bagaimana hubungan kami berdua?

Ya, kami, dua orang berkepala batu. 
Aku bukan lagi seorang anak yang penurut seiring bertambahnya usiaku. Sementara, beliau masih saja menjadi pembuat aturan yang kaku. Aku, yang semakin menyadari akan keberhakan dan otoritas dalam menentukan arah dan tujuan hidupku, tak kalah bersikukuh jika sudah menentukan apa yang menjadi keputusanku.

Kami kerap berselisih paham dan bersilangan pendapat. Tuntutannya yang seringkali berpusat pada ukuran dirinya sendiri akan berhenti ketika aku sudah berbicara dengan nada tegas (sesekali menajam ketika situasi dan kondisiku yang tengah mengalami kelebihan beban tak juga dipahami beliau) dan mendebatnya hingga beliau kalah telak. Setelah itu, ibulah yang menjadi sasaran empuk. Beliau tumpah ruahkan semua kejengkelannya terhadapku kepada ibu saat kami berdua perang dingin memeram riak amarah yang bergolak. 

Saat sesuatu tak berjalan sesuai dengan keinginannya, bapak mudah sekali menjadi lelaki bersumbu pendek. Dan aku, yang berhadapan dengan beliau diwaktu sampah batinku telah penuh, menjelma seorang pemberontak. Amarahku terdesak keluar, sumbu panjangku memendek dan akhirnya terpantik meledak. Tapi, sekalipun kami bersitegang dengan itu semua, kami tak pernah sekalipun melakukan kekerasan fisik. 

Aku, menjadi cerminan beliau soal kekuatan dan kekeraskepalaan tekad sekaligus lawannya yang sulit untuk tunduk ketika aku telah mengetuk palu atas keputusan yang benar-benar penting untuk hidupku. Jika beliau pembuat aturan keluarga, maka, aku adalah perubahan dari aturan yang dibuatnya untukku. Aku, adalah seseorang yang terus berkembang tak terbatasi waktu kecuali aku telah menjadi jenazah yang membujur kaku. Sepanjang jantungku masih berdegup, aku hidup untuk menghidupi kehidupanku.


Untukmu yang masih entah ...

Kuperkenalkan ibuku. Beliau seorang wanita mandiri, kritis, penyabar, problem solver yang kreatif, berempati tinggi terhadap sekitar, welas asih dengan sesamanya, fleksibel dalam menerapkan aturan, menghadirkan tutur kata yang baik saat berkomunikasi dengan lawan bicaranya, sanggup mendengarkan seseorang bercerita dengan sabar dan seksama. Pula, beliau, seorang wanita yang lebih banyak memilih diam ketika bapak mengoceh tak keruan dan meluapkan kekesalannya dengan verbalime yang kurang bijaksana untuk ukuran orang tua matang seusianya. Ibu, menjadi seorang istri yang lebih banyak melakukan seni mengalah dan menanggung lebih sering beban emosi demi terjaganya keharmonisan keluarga. Bisakah kau bayangkan bagaimana hubungan kami berdua?

Kami, dua orang yang saling bergantung dan belajar satu sama lain dalam hal pertukaran pemikiran dan perasaan. Ibu jarang sekali menghakimiku tentang apapun pilihan hidup yang kuambil sekalipun mungkin bertentangan dengan keinginannya. Pengalaman, interaksi dan relasi sosial yang luas yang beliau dapatkan dahulu semasa muda mengajarinya untuk tak terlalu mengekangku dalam menjajal segala tantangan yang ada. Ibu, menjadi dukungan terbesar untukku menapaki dunia dengan berbagai warnanya. Separuh dari sifat dan sikapku adalah penjelmaan dirinya. 

Aku jarang sekali berselisih dengan ibu. Amarah seorang berkepala batu ini akan segera melunak tatkala berhadapan dengan beliau. Terlebih lagi, beliau hanya diam tak bersuara dikala aku menyuarakan dengan lantang dan jelas betapa lelah dan penatnya batinku. Dan saat beliau memilih diam, justru gunungan rasa bersalah padanyalah yang hadir menghimpit hatiku. Aku lebih bisa menahan diri untuk tidak mendebat ibu. Tapi tak cukup sabar untuk berlama-lama menerima ocehan bapak atau dipaksa patuh pada aturan yang terlalu baku lagi merumitkan hidupku.

Aku adalah cerminan ibu yang menjadi pelindung dan penengah. Ibu, adalah seseorang yang dulu pernah satu kali kusaksikan menangis saat terjadi pertengkaran antara beliau dengan bapak di depan mata. Dan disaat itu, akulah yang menjadi penengah pasangan muda yang tengah belajar mendewasa dari pertengkaran yang ada di episode kehidupan pernikahan mereka. Ya. Aku menjadi penengah di saat masih berseragam putih merah dan usiaku masihlah terlampau kencur untuk mengenal makna pembelajaran dari perselisihan yang terjadi dalam sebuah rumah tangga. Aku menjadi pelindung yang tak menginginkan keduanya berpisah bersamaan dengan perih mengoyak hatiku dan menyisakan luka. 

Saat itu, bapak menciderai batin ibu dengan lontaran kata-kata tajam lantas meja kaca pecah dihantam tangan bapak hingga tangannya berdarah dan ibu berpamitan padaku ingin kembali ke kampung halamannya. Semuanya baru mereda setelah tangisku pecah sembari berteriak, "Sudah jangan bertengkar. Ibu jangan pergi. Nanti Puput sama siapa?" Sesudahnya, tidak ada lagi pertengkaran yang membawa kerusakan pada barang atau membuat ibu ingin pergi dari kami, keluarga kecilnya. Itu adalah hal yang kudengar dan kusaksikan pertama sekaligus terakhir kalinya. Tapi, bukan berarti tak terjadi lagi pertengkaran umum sepasang suami istri dalam suatu bahtera rumah tangga. Hingga di usiaku yang sudah sedewasa ini, aku terkadang masih menjadi penengah dan pelindung dari pertengkaran mereka saat lelah membuat keduanya tak lagi sanggup untuk berkomunikasi meluaskan sudut padang dan menyambungkan perasaan yang mereka rasa. 

Pun, ibu, adalah rem otomatis untukku mengendalikan diri dan menggunakan kejernihan akal pikiran saat bersitegang dengan bapak. Jika saja tak ada sentuhan kebijaksanaan dari ibu, saat aku bertengkar dengan bapak, aku telah menjadi seorang pemberontak yang benar-benar puas melihat bapak terpojok tak berkutik. Pemberontak yang bisa saja mengeluarkan kata-kata terkutuk. Ya. Jika saja ibu tak menjadi seorang yang mengalah, memilih diam tak membalas kata-kata yang menciderai batinnya, mungkin saja, aku akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan bapak saat amarahku pada bapak memuncak. Jika saja tidak ada ibu dan aku sebagai dua orang yang saling menengahi dan melindungi, mungkin saja, keluarga ini telah lama luluh lantak. Remuk berselirak.


Untukmu yang masih entah ...

Kau pasti bertanya-tanya padaku?
Apakah aku membenci bapakku?
Apakah aku lebih menyayangi ibuku?

Aku sempat membenci keduanya. Tapi, rasa iba dan kasih sayang untuk mereka melebihi rasa benci yang kadang-kadang datang saat mereka menempatkanku pada situasi dan kondisi yang belum sanggup kucerna, kupahami dan kuterima.

Aku, sempat membenci ibu yang selalu mengalah dan memilih diam setiap kali bapak mengoceh dengan kata-kata yang membuat telingaku terasa panas dan emosiku bergolak. Pernah suatu waktu aku bertanya soal kebertahanan ibu di sisi bapak. Mengapa ibu tak juga beranjak? Katanya, karena anak-anak. Pula, perkara perpisahan itu, bukanlah suatu penyelesaian yang baik setelah dipertimbangkannya masak-masak. Beliau telah menelan pemahaman, tak ada satu biduk rumah tangga pun yang sempurna tanpa terjangan badai juga gulungan ombak. Ibu memilih tetap bersetia selama itu bukanlah pengkhianatan dan tindak kekerasan fisik.

Aku, sempat membenci bapak ketika seringkali memaksakan kehendak dan melemparkan ceracauan kata-kata pedas pada ibu yang membuat emosiku berkecamuk. Pernah suatu saat kuberkata pada ibu bahwa aku tak ingin memiliki pasangan sepertinya yang sungguh lebih sering menyerupai orang tua berkepala anak-anak. Tapi, ibu selalu mengingatkanku akan suatu kisah latar belakang keluarga bapak agar kebencianku pada bapak tak mengerak. Bapak adalah simbol seseorang yang kurang mendapatkan kecukupan kasih sayang orang tua dan teladan yang bijak. Dari ayahnya (kakekku) yang berselingkuh hingga akhirnya menikah dengan wanita selingkuhannya setelah ibu kandung bapak meninggal karena sakit lantas bapak harus menerimanya sebagai ibu tiri, beliau belajar satu hal: tidak akan melakukan hal yang sama dengan ayahnya (kakekku) yang membuat hati perempuan tercabik-cabik. Ia, belajar untuk bersetia dengan pasangannya kelak. Itu, satu-satunya hal yang menjadikannya berpikir bijak. Pula satu-satunya yang menjadi pemakluman yang mampu membuatku sekuat mungkin mengekang mulutku yang ingin membalas ceracauan bapak dengan kata-kata yang sama pedasnya saat amarah kita benar-benar meledak.


Untukmu yang masih entah ...

Kisah ini ... belumlah usai kugelar.
Apakah ini terasa menakutkan saat terdengar di telingamu?
Apakah matamu masih ingin membaca kelanjutan kisah keluargaku?
Dari sepenggal cerita ini, bisakah kau menerka orang seperti apa diriku? 
Dan ... aku yang sekeras kepala ini, siapa yang bisa menggenggam dan bertahan melangkah bersamaku?

-Vinny Erika Putri, 21.11.20

Jumat, 20 November 2020

#2. Surat Untuk Diriku Tentang Berita Hari Ini

 



Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Ah, bukan hari ini saja, belakangan, memang kau kerap mengalami kondisi tidak sedang baik-baik saja. Kau merasakan, semakin dewasa, semakin kau banyak membutuhkan waktu untuk menyederhanakan kompleksitas pemikiran dan perasaanmu dalam menghadapi hidup yang kau hidupi. Semakin dewasa, semakin kau mengiyakan, begitu sulit menemukan sahabat sejati yang benar-benar bisa kau ajak berbagi soal apa yang memenuhi isi kepalamu atau perkara batin yang tengah berkecamuk dalam dadamu. Kau ... bukan tak punya orang tua untuk membagikannya. Hanya saja, kau tahu, semakin senja usia mereka, sungguh tak bijaksana jika kau tambahi pikiran mereka dengan apa yang kau hadapi dalam hidupmu.

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Jika saja kau bisa menyerah, kau ingin, sangat ingin. Tapi yang kaurasakan, katamu sungguh berkebalikan dan terkadang menyiksa. Katamu, "Semakin dunia luar menekanku dengan kesulitan-kesulitan yang menghadirkan banyak kelelahan pikiran dan perasaan, jauh di dalam diriku ... di dalam sana, seorang aku berteriak paling kencang di antara banyak kelemahan yang kadang terasa seperti nyaris membunuh langkahku." Sebuah teriakan penolakan kuat untuk menyerah. Penolakan yang kadang menjadi pertarungan batin yang menjemukan antara dunia dalam dirimu dan keadaan yang disuguhkan dunia luarmu.

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Kau, lagi-lagi, menangisi banyak hal yang tak apa bagiku untukmu menangisinya. Tak apa, saat kau telah merasa terlalu penuh menampungnya, tumpahkanlah air mata itu. Selagi itu bisa memecah sesak yang menghimpit dadamu dan mampu menguatkanmu kembali untuk menjalani hari-harimu.

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Hari ini, izinkan aku meminta maaf, jika kau merasa bahwa aku terlalu memaksakanmu untuk terus maju saat kau di titik lelah dan ingin menyerah. Aku yang selalu melakukan penolakan kuat untukmu menyerah. Aku yang mungkin seringkali menempatkanmu pada pertarungan batin dan membentukmu menjadi seseorang yang tegas ketika pada akhirnya kau memutuskan untuk tetap maju. 
Aku yang berdiam di sana, jauh didalam dirimu, dan difungsikan-Nya begitu. Berteriak untuk meruntuhkan dinding-dinding ketakutan yang akan membunuhmu atau memberikan jejak keputusasaan dalam hidupmu.
Aku akan tetap berteriak kencang, sekencang-kencangnya, "Maju. Teruslah merangsek maju. Dengan airmata sekalipun. Dengan kelemahanmu sekalipun. Ruang hidupmu, tak banyak diperuntukkan kata menyerah. Kau tidak akan tahu, sejauh mana batas kekuatanmu jika kau tak berhadapan dengan ketakutan dan ketidakpastian hidup."

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Aku adalah bagian dari dirimu. Aku tak pernah meninggalkanmu sendirian. Aku terintegrasi dengan bagian dirimu yang lain yang menjadikanmu utuh. Aku adalah sisi kebertahanan hidup yang besama-sama dengan kesadaran menjagamu tetap terhubung dengan dirimu sendiri dan diri-Nya. Aku ada bersama kesadaran, untuk mengeluarkanmu dari keputusasaan, menjagamu tetap hidup. Sehidup-hidupnya. Aku, ada di dalam sini, di tempat biasa kau melebur dengan sunyi.

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Saat kau merasa tak baik-baik saja, tariklah dan embuskan napasmu perlahan-lahan, sambil memejam mata sampai kau tenang. Lalu, dengar ... dengarlah suara ini, jauh didalam hatimu,
Hai, Vinny, aku di sini. Aku bagian dari dirimu yang tak pernah pergi. Aku selalu ada untukmu. Tak apa untukmu merasa tak baik-baik saja. Tak apa dalam hidup merasakan lelah. Bukan berarti kau menyerah. Kau hanya butuh waktu untuk bisa menerima dengan berdiam dalam jeda. Mari, kupeluk dirimu. Kuusap bahumu. Dan tepuk pelan dadamu. Lalu lihatlah cahaya-Nya yang tetap terang benderang dalam kegelapan. Sang Kuasa tak akan membebani sesuatu yang melebihi kapasitasmu. Sang kuasa sudah mendesain semuanya sesuai dengan kesanggupanmu. Kendatipun kau tengah merasakan ketidakberdayaan, pada-Nyalah pada akhirnya kau berpasrah untuk kembali mendapatkan kekuatan.
-Vinny Erika Putri, 20.11.20

Sabtu, 14 November 2020

Terima kasih Telah Membuatku Hadir, Hidup dan Menghidupi Kehidupan

 




Ibu ...
Hari ini ... genap bertambah satu tahun usiaku dari bilangan sebelumnya. Dan pagi tadi, kau memelukku. Tangis kita pecah bersamaan seiring rangkaian pinta kesemogaan yang keluar dari bibirmu dengan nada bergetar. Kesemogaan yang terbungkus dalam rapal doamu kepada-Nya akan hidup yang lebih baik untuk anakmu sekaligus petuah tentang keikhlasan menjalani realita yang terkadang berselisih dengan harapan manusia dan menjadi ketentuan terbaik-Nya untuk kita.

Ibu ...
Kau usap punggungku untuk meringankan segala tanggung jawab dan amanah yang kupikul, yang kau tahu itu kadang menjadi sesuatu yang berat untuk diriku, yang bahkan kau pahami tentang apa yang kurasakan dan kupikirkan disaat-saat ini tanpa harus kuberbicara panjang lebar karena ikatan batin kita begitu kuat terhubung meski dalam diam sekalipun. Pula, kau sangat mengerti, akan ujian, cobaan dan tantangan hidup yang kuhadapi semakin kompleks dan rumit seiring bertambahnya angka usiaku.

Ibu ... 
Terima kasih telah membesarkan dan mendampingiku untuk menjadi manusia dewasa sampai detik ini. Terima kasih, telah menjadi ibu sekaligus sahabat paling pertama yang bisa kutemui kapanpun untuk berbagi cerita dan bertukar pikiran. Terima kasih, telah menjadi ibu terbaik yang kumiliki hingga saat ini. Terima kasih atas perjuangan selama 34 tahun melakukan apa yang kau sanggup lalukan, dan memberikan apa yang mampu kau berikan sebagai ibuku dan adik-adik. Ibu ... terima kasih, untuk segalanya. Panjang umur dan sehat selalu untukmu.

Simbah Putri ...
Bagaimana kabarmu di sana? Aku, di sini, masih dengan harapan yang sama: bisa bertemu dengan sosokmu dalam mimpi. Dan doaku, semoga kau mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya dan berbahagia bersama simbah kakung yang lebih dulu berada di sana.

Simbah Putri ...
Ibu semakin menua di sini, dan beliau kian menjadi seorang ibu dengan kebijaksanaan yang luas dalam menghadapi hidup. Sementara aku, semakin takut akan kehilangan pasak yang paling penting dalam hidupku setelah engkau tiada. Ibu dan engkau adalah pasak utama yang menjadi sokongan kekuatan hidupku. Tahukah, engkau, duhai Simbah? Seberapa seringpun aku mengalami perih kehilangan, hati tak selalu disiapkan untuk selalu kuat menghadapinya dan membutuhkan waktu yang entah singkat entah panjang untuk sembuh darinya. Aku, belum siap dan selalu tidak siap jikalau Tuhan mengambil ibu lebih dulu.

Simbah Putri ...
Terima kasih ... telah melahirkan seorang anak yang hebat. Anak yang sudah 35 tahun Allah pilihkan menjadi istri bapakku dan 34 tahun menjadi ibu kandung yang darahnya mengalir dalam tubuhku. Anak yang tak pernah lupa berbakti kepada orang tua hingga kini meski keduanya telah tiada. Anak yang menjadi seorang istri sekaligus ibu yang luar biasa sabar menghadapi karakter suami dan buah hatinya. Anak yang mampu dengan ikhlas menerima paketan kekurangan dan kelebihan kami. Anak yang bertumbuh dan berkembang menjadi wanita welas asih terhadap sesama. Anak yang mampu membalas keras dan sulitnya ujian, cobaan dan tantangan hidup yang dihadapi beliau dengan kebijaksanaan hati dan segala sisi kemanusiaan yang dimilikinya. Simbah Putri ... terima kasih, untuk segalanya. Sosokmu, tetap hidup di sini, di dalam dadaku, berdetak bersama jantungku.

Bapak ...
Kita lebih banyak berselisih pendapat atau memendam amarah dalam diam hingga perseteruan itu terkadang menjadi gunung es yang sulit mencair jika saja tidak ada sentuhan kebijaksanaan dari ibu. Tapi ... meski kita jarang sekali bercerita dan bertukar pikiran sampai dengan aku sedewasa ini, kau tak pernah melupakan hari ulang tahunkuHari ini pun, kau ucapkan selamat atas perulangan tanggal kelahiranku. 

Bapak ...
Terima kasih ... atas doa yang mungkin kau panjatkan kepada-Nya untukku secara diam-diam atau kau katakan terang-terangan padaku. Terima kasih, telah menjadikanku anak yang akhirnya mampu berdiri di atas kaki sendiri secara mental dalam menyelesaikan masalah demi masalah yang kuhadapi. Terima kasih telah menjadi bapak yang banyak menuntutku dengan aturan-aturan sekaligus menjadikanku tumpuan keluarga sehingga aku berani menolak orang-orang di luar sana ketika melakukan penekanan atau tuntutan yang tidak seimbang padaku. Terima kasih, telah menjadi bapak yang tak sempurna yang tetap menjalankan perannya sebagai bapak dengan cara yang sanggup kau lakukan dan berikan padaku juga adik-adik. Bapak ... terima kasih, untuk segalanya. Semoga kita bisa terus belajar saling memanjangkan sabar untuk saling berdamai dengan keberseberangan pemikiran-pemikiran kita. Jikapun tidak bisa, cukuplah kita tidak saling memaksakan saat masing-masing berkepala batu memegang pendapatnya hingga akhirnya Tuhan menggerakkan hati kita untuk tak lagi berseteru. 

Tuhan ...
Terima kasih ... untuk kehidupan yang kau berikan padaku selama 34 tahun ini. Kehidupan yang tak selalu mudah dijalani tapi juga tak mesti sulit untuk dihadapi dan diselesaikan. Terima kasih ... untuk senantiasa mengawasiku dan tak pernah berpaling dariku meski aku dalam kondisi yang terkadang sebagai manusia rapuh iman dikikis oleh ujian, cobaan dan tantangan hidup. Terima kasih ... untuk tetap bersabar membimbingku dan mengingatkanku kembali pada-Mu dengan cara-Mu saat imanku tak selalu kuat berada di atas. Terima kasih ... untuk pintu ampunan-Mu yang selalu terbuka lebar untukku, seorang manusia yang terus belajar menjadi manusia yang membawa kebermanfaatan juga keberkahan bagi diriku sendiri dan sesama. Seorang manusia yang terus berusaha dan bergerak menjadi manusia yang Engkau inginkan dimana dalam perjalanannya tak selalu mulus tanpa cela, dosa dan kesalahan saat menempuh jalan kebaikan yang Engkau peruntukkan bagiku sesuai potensi yang Engkau bekali padaku.

Hari ini ... kuhaturkan terima kasih untuk-Mu, Ibu, Simbah Putri dan Bapak. Terima kasih, 34 tahun ini, telah membuatku hadir, hidup dan menghidupi kehidupan.

-Vinny Erika Putri, 14.11.20

Selasa, 10 November 2020

#1. Surat Untuk Diriku Tentang Berita Hari ini

 


Hai, Vinny Erika Putri. 
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Hari ini, hari dimana kau kembali memaknai kehilangan secara tiba-tiba. Tentang berita hari ini, berita tak terduga dari rekan kerja rasa ibu sambung, yang mengatakan akan resign. Berita yang membuatmu sangat kacau balau sepanjang hari itu. Dadamu terasa sesak. Lalu, siang hari sepulangnya dari rumah beliau, kau timpali kamar dengan sengguk tangis lirih yang berkali-kali pecah tiap kau ingat kilas balik kebersamaan kalian selama tiga tahun berjalan. Berjuang bersama dari nol, melewati konflik-konflik kecil dengan saling memaafkan, saling menjadi support sistem satu sama lain. Ah ... rasanya, mengingat itu semua, melahirkan rasa nyeri kehilangan yang semakin menjadi-jadi.

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Seberapa pun banyaknya kau mengalami kehilangan yang merupakan bagian dari kelumrahan siklus kehidupan dan kau pahami maknanya, tetap saja, hati tak sekokoh itu. Dan kesedihan membanjiri perasaanmu.

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Kau kalut memikirkan banyak hal yang karut-marut saat ini. Dan membayangkan hari-hari ke depan tanpa beliau, kepalamu bertanya banyak hal. Tentang apa yang bisa kau lakukan dan langkah apa yang akan kau tempuh di hari-hari selanjutnya. Sekaligus menerka-nerka, dampak apa yang akan timbul untuk semuanya. Dan ... bisakah kau mengatasinya?

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Aku adalah bagian dari dirimu. Aku tak pernah meninggalkanmu sendirian. Aku menjaga kesadaranmu untuk tetap terhubung dengan dirimu sendiri dan diri-Nya. Aku ada didalam sini, di tempat biasa kau melebur bersama sunyi.

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Saat kau merasa tak baik-baik saja, tariklah dan embuskan napasmu pelan-pelan, sambil memejam mata sampai kau tenang. Lalu, dengar ... dengarlah suara ini, jauh di dalam hatimu,
Hai, Vinny Erika Putri, aku di sini. Aku bagian dari dirimu yang tak pernah pergi. Aku selalu ada untukmu. Tak apa untukmu merasa tak baik-baik saja. Tak apa dalam hidup merasakan lelah. Bukan berarti kau menyerah. Kau hanya butuh waktu untuk bisa menerima dengan berdiam dalam jeda. Mari, kupeluk dirimu. Kuusap bahumu. Dan tepuk pelan dadamu. Lalu lihatlah cahaya-Nya yang tetap terang benderang dalam kegelapan. Sang Kuasa tak akan membebani sesuatu yang melebihi kapasitasmu. Sang kuasa sudah mendesain semuanya sesuai dengan kesanggupanmu. Kendatipun kau tengah merasakan ketidakberdayaan, pada-Nyalah pada akhirnya kau berpasrah untuk kembali mendapatkan kekuatan.
-Vinny Erika Putri, 08.11.20

Minggu, 08 November 2020

#7. Untukmu Yang Masih Entah

 


Untukmu Yang Masih Entah
Di titik manakah kau berdiri kini?
Bagaimanakah waktu membentuk dirimu dari masa ke masa?
Apakah kau telah mengenali dan memahami dirimu benar-benar?
Apakah kau hidup sebagai dan menjadi dirimu sendiri?
Apa yang sedang kau pikirkan dan jalani saat ini dalam hidupmu?
Impian apa yang tengah kau bangun untuk masa depan?
Ataukah ada sesuatu yang tengah kau ingin lepaskan?
Kali ini, aku bertanya lebih banyak dari biasanya bukan?

Untukmu Yang Masih Entah
Kukatakan padamu:
Aku rumit
Memahamiku kadang terasa sulit
Dan lebih mudah bagi orang-orang memilih berpamit
Apakah kelak kau bisa bertahan dengan kerumitanku?
Seperti banyak pertanyaan yang kuberikan padamu
Seperti pikiranku dan perasaanku sekarang ini

Untukmu Yang Masih Entah
Aku tak lagi ingin bertanya lagi tentang sebuah pertanyaan
Pertanyaan yang orang-orang ajukan padaku dan kuhaturkan pada-Nya
Pertanyaan yang membuat harapan dan realita kerap berseteru
Pertanyaan yang seringkali menyayat perasaanku sendiri
Pertanyaan yang bisa menciderai jiwaku hingga berdarah
Bahkan terkadang membuatku mempertanyakan skenario-Nya
Saat aku di titik jenuh dan lelah dengan kepungan pertanyaan itu
Atau kala kesedihan mengelindan pikiran dan perasaanku

Untukmu Yang Masih Entah
Aku tengah tak peduli dengan pertanyaan soal kapan yang separuh menjadi genap
Pertanyaan yang sama sulitnya dengan pertanyaan, "Kapan aku mati?"
Pertanyaan yang tak berpunya kepastian jawaban bukan?
Lantas, apakah kau berpikir aku telah sampai pada titik putus asa?
Kukatakan, bukan, bukan sebab aku telah menyerah atau sekarat hati
Hanya saja ... saat ini, pikiranku dan perasaanku bukan lagi tentang pertanyaan yang kadang membuat hatiku kehilangan rasa syukur
Kali ini, aku hanya bertanya, pada diriku dan diri-Nya
: hal apa yang bisa kulakukan untuk tetap menghidupi hidupku
sehidup-hidupnya, sebagai dan menjadi diriku
Pula ... kehidupan apa yang diinginkan Tuhan untuk kujalani
Sebelum ajal benar-benar menjemputku

-Vinny Erika Putri, 08.11.20