Untukmu yang masih entah ...
Kali ini ... kuperkenalkan keluargaku beserta kehidupan didalamnya. Kehidupan keluarga tak sempurna dan tak melulu seharmonis yang orang-orang sangka. Kehidupan layaknya keluarga pada umumnya. Kehidupan keluarga yang tak mesti baik-baik saja. Tapi juga tak selalu penuh duka lara. Kehidupan yang tak mesti cerah ceria. Tapi juga terkadang bertudung mendung yang menurunkan hujan di langit hati.
Untukmu yang masih entah ...
Kuperkenalkan bapakku. Seorang pengatur yang keras kepala, berkeinginan kuat tapi tak cukup memiliki kemampuan adaptasi sosial yang memadai ketika menghadapi orang-orang dengan ragam perwatakannya. Seorang perencana ulung tapi tak cukup tenang, mudah cemas dan kurang bisa bersikap luwes ketika segala sesuatu tidak berjalan seperti rencananya. Seorang bapak yang kurang bisa membuka komunikasi yang hangat dengan anak-anaknya, cenderung menuntut kepatuhan terhadap aturan dibandingkan membangun kesepakatan dan kesejahteraan mental anak-anaknya, lebih banyak meminta didengarkan ketimbang mendengarkan, lebih sering meminta dipahami daripada menyeimbangkan diri memahami orang lain. Pula, seseorang yang kerapkali berseberangan pemikiran dan perasaan denganku semakin aku mendewasa. Bisakah kau bayangkan bagaimana hubungan kami berdua?
Ya, kami, dua orang berkepala batu.
Aku bukan lagi seorang anak yang penurut seiring bertambahnya usiaku. Sementara, beliau masih saja menjadi pembuat aturan yang kaku. Aku, yang semakin menyadari akan keberhakan dan otoritas dalam menentukan arah dan tujuan hidupku, tak kalah bersikukuh jika sudah menentukan apa yang menjadi keputusanku.
Kami kerap berselisih paham dan bersilangan pendapat. Tuntutannya yang seringkali berpusat pada ukuran dirinya sendiri akan berhenti ketika aku sudah berbicara dengan nada tegas (sesekali menajam ketika situasi dan kondisiku yang tengah mengalami kelebihan beban tak juga dipahami beliau) dan mendebatnya hingga beliau kalah telak. Setelah itu, ibulah yang menjadi sasaran empuk. Beliau tumpah ruahkan semua kejengkelannya terhadapku kepada ibu saat kami berdua perang dingin memeram riak amarah yang bergolak.
Saat sesuatu tak berjalan sesuai dengan keinginannya, bapak mudah sekali menjadi lelaki bersumbu pendek. Dan aku, yang berhadapan dengan beliau diwaktu sampah batinku telah penuh, menjelma seorang pemberontak. Amarahku terdesak keluar, sumbu panjangku memendek dan akhirnya terpantik meledak. Tapi, sekalipun kami bersitegang dengan itu semua, kami tak pernah sekalipun melakukan kekerasan fisik.
Aku, menjadi cerminan beliau soal kekuatan dan kekeraskepalaan tekad sekaligus lawannya yang sulit untuk tunduk ketika aku telah mengetuk palu atas keputusan yang benar-benar penting untuk hidupku. Jika beliau pembuat aturan keluarga, maka, aku adalah perubahan dari aturan yang dibuatnya untukku. Aku, adalah seseorang yang terus berkembang tak terbatasi waktu kecuali aku telah menjadi jenazah yang membujur kaku. Sepanjang jantungku masih berdegup, aku hidup untuk menghidupi kehidupanku.
Untukmu yang masih entah ...
Kuperkenalkan ibuku. Beliau seorang wanita mandiri, kritis, penyabar, problem solver yang kreatif, berempati tinggi terhadap sekitar, welas asih dengan sesamanya, fleksibel dalam menerapkan aturan, menghadirkan tutur kata yang baik saat berkomunikasi dengan lawan bicaranya, sanggup mendengarkan seseorang bercerita dengan sabar dan seksama. Pula, beliau, seorang wanita yang lebih banyak memilih diam ketika bapak mengoceh tak keruan dan meluapkan kekesalannya dengan verbalime yang kurang bijaksana untuk ukuran orang tua matang seusianya. Ibu, menjadi seorang istri yang lebih banyak melakukan seni mengalah dan menanggung lebih sering beban emosi demi terjaganya keharmonisan keluarga. Bisakah kau bayangkan bagaimana hubungan kami berdua?
Kami, dua orang yang saling bergantung dan belajar satu sama lain dalam hal pertukaran pemikiran dan perasaan. Ibu jarang sekali menghakimiku tentang apapun pilihan hidup yang kuambil sekalipun mungkin bertentangan dengan keinginannya. Pengalaman, interaksi dan relasi sosial yang luas yang beliau dapatkan dahulu semasa muda mengajarinya untuk tak terlalu mengekangku dalam menjajal segala tantangan yang ada. Ibu, menjadi dukungan terbesar untukku menapaki dunia dengan berbagai warnanya. Separuh dari sifat dan sikapku adalah penjelmaan dirinya.
Aku jarang sekali berselisih dengan ibu. Amarah seorang berkepala batu ini akan segera melunak tatkala berhadapan dengan beliau. Terlebih lagi, beliau hanya diam tak bersuara dikala aku menyuarakan dengan lantang dan jelas betapa lelah dan penatnya batinku. Dan saat beliau memilih diam, justru gunungan rasa bersalah padanyalah yang hadir menghimpit hatiku. Aku lebih bisa menahan diri untuk tidak mendebat ibu. Tapi tak cukup sabar untuk berlama-lama menerima ocehan bapak atau dipaksa patuh pada aturan yang terlalu baku lagi merumitkan hidupku.
Aku adalah cerminan ibu yang menjadi pelindung dan penengah. Ibu, adalah seseorang yang dulu pernah satu kali kusaksikan menangis saat terjadi pertengkaran antara beliau dengan bapak di depan mata. Dan disaat itu, akulah yang menjadi penengah pasangan muda yang tengah belajar mendewasa dari pertengkaran yang ada di episode kehidupan pernikahan mereka. Ya. Aku menjadi penengah di saat masih berseragam putih merah dan usiaku masihlah terlampau kencur untuk mengenal makna pembelajaran dari perselisihan yang terjadi dalam sebuah rumah tangga. Aku menjadi pelindung yang tak menginginkan keduanya berpisah bersamaan dengan perih mengoyak hatiku dan menyisakan luka.
Saat itu, bapak menciderai batin ibu dengan lontaran kata-kata tajam lantas meja kaca pecah dihantam tangan bapak hingga tangannya berdarah dan ibu berpamitan padaku ingin kembali ke kampung halamannya. Semuanya baru mereda setelah tangisku pecah sembari berteriak, "Sudah jangan bertengkar. Ibu jangan pergi. Nanti Puput sama siapa?" Sesudahnya, tidak ada lagi pertengkaran yang membawa kerusakan pada barang atau membuat ibu ingin pergi dari kami, keluarga kecilnya. Itu adalah hal yang kudengar dan kusaksikan pertama sekaligus terakhir kalinya. Tapi, bukan berarti tak terjadi lagi pertengkaran umum sepasang suami istri dalam suatu bahtera rumah tangga. Hingga di usiaku yang sudah sedewasa ini, aku terkadang masih menjadi penengah dan pelindung dari pertengkaran mereka saat lelah membuat keduanya tak lagi sanggup untuk berkomunikasi meluaskan sudut padang dan menyambungkan perasaan yang mereka rasa.
Pun, ibu, adalah rem otomatis untukku mengendalikan diri dan menggunakan kejernihan akal pikiran saat bersitegang dengan bapak. Jika saja tak ada sentuhan kebijaksanaan dari ibu, saat aku bertengkar dengan bapak, aku telah menjadi seorang pemberontak yang benar-benar puas melihat bapak terpojok tak berkutik. Pemberontak yang bisa saja mengeluarkan kata-kata terkutuk. Ya. Jika saja ibu tak menjadi seorang yang mengalah, memilih diam tak membalas kata-kata yang menciderai batinnya, mungkin saja, aku akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan bapak saat amarahku pada bapak memuncak. Jika saja tidak ada ibu dan aku sebagai dua orang yang saling menengahi dan melindungi, mungkin saja, keluarga ini telah lama luluh lantak. Remuk berselirak.
Untukmu yang masih entah ...
Kau pasti bertanya-tanya padaku?
Apakah aku membenci bapakku?
Apakah aku lebih menyayangi ibuku?
Aku sempat membenci keduanya. Tapi, rasa iba dan kasih sayang untuk mereka melebihi rasa benci yang kadang-kadang datang saat mereka menempatkanku pada situasi dan kondisi yang belum sanggup kucerna, kupahami dan kuterima.
Aku, sempat membenci ibu yang selalu mengalah dan memilih diam setiap kali bapak mengoceh dengan kata-kata yang membuat telingaku terasa panas dan emosiku bergolak. Pernah suatu waktu aku bertanya soal kebertahanan ibu di sisi bapak. Mengapa ibu tak juga beranjak? Katanya, karena anak-anak. Pula, perkara perpisahan itu, bukanlah suatu penyelesaian yang baik setelah dipertimbangkannya masak-masak. Beliau telah menelan pemahaman, tak ada satu biduk rumah tangga pun yang sempurna tanpa terjangan badai juga gulungan ombak. Ibu memilih tetap bersetia selama itu bukanlah pengkhianatan dan tindak kekerasan fisik.
Aku, sempat membenci bapak ketika seringkali memaksakan kehendak dan melemparkan ceracauan kata-kata pedas pada ibu yang membuat emosiku berkecamuk. Pernah suatu saat kuberkata pada ibu bahwa aku tak ingin memiliki pasangan sepertinya yang sungguh lebih sering menyerupai orang tua berkepala anak-anak. Tapi, ibu selalu mengingatkanku akan suatu kisah latar belakang keluarga bapak agar kebencianku pada bapak tak mengerak. Bapak adalah simbol seseorang yang kurang mendapatkan kecukupan kasih sayang orang tua dan teladan yang bijak. Dari ayahnya (kakekku) yang berselingkuh hingga akhirnya menikah dengan wanita selingkuhannya setelah ibu kandung bapak meninggal karena sakit lantas bapak harus menerimanya sebagai ibu tiri, beliau belajar satu hal: tidak akan melakukan hal yang sama dengan ayahnya (kakekku) yang membuat hati perempuan tercabik-cabik. Ia, belajar untuk bersetia dengan pasangannya kelak. Itu, satu-satunya hal yang menjadikannya berpikir bijak. Pula satu-satunya yang menjadi pemakluman yang mampu membuatku sekuat mungkin mengekang mulutku yang ingin membalas ceracauan bapak dengan kata-kata yang sama pedasnya saat amarah kita benar-benar meledak.
Untukmu yang masih entah ...
Kisah ini ... belumlah usai kugelar.
Apakah ini terasa menakutkan saat terdengar di telingamu?
Apakah matamu masih ingin membaca kelanjutan kisah keluargaku?
Dari sepenggal cerita ini, bisakah kau menerka orang seperti apa diriku?
Dan ... aku yang sekeras kepala ini, siapa yang bisa menggenggam dan bertahan melangkah bersamaku?
-Vinny Erika Putri, 21.11.20