Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Minggu, 17 April 2016

Tentang Hari Tua dan Bulir Air Mata yang Jatuh



Sebelumnya... aku tak pernah benar-benar memikirkan tentang hari tua siapapun sedemikian dalam.

Sampai... simbah putriku jatuh sakit. Sudah lebih dari sebulan. Sebenarnya, ini bukan kali pertamanya simbahku jatuh sakit sampai harus rawat inap di rumah sakit beberapa hari. Hanya saja, sakit yang diderita sebelumnya, tidak begitu mengkhawatirkan. Penyakit maag yang cukup kronis. Namun, bisa terkurangi dengan mengonsumsi ramuan tradisional sejenis tepung pati yang rutin diminumnya. Kondisi psikisnya pun tidak sedrop sakit kali ini.

Sakit kali ini, berhubungan dengan saluran kencingnya. Hasil analisa sementara dokter, ada infeksi di saluran kandung kemihnya. Namun, apa penyebab pastinya belum diketahui meski sudah beberapa kali kontrol. Simbah putri tidak bisa lepas dari alat yang bernama kateter. Tanpa kateter, simbah putri tidak bisa buang air kecil.

Sebelum aku menerima kabar tentang kondisi simbah putri, malamnya aku merasai semacam firasat buruk. Jum'at pagi harinya, begitu tanteku memberi tahu kabar sakitnya simbah, siang itu juga kami sekeluarga berangkat dari Cirebon ke Wonosobo. Beruntungnya, ketika kudapatkan kabar itu, hari jatuh pada tanggal merah.

Tiga hari dua malam. Aku hanya punya waktu tiga hari dua malam di sana. Hari Minggu aku dan keluarga sudah harus pulang karena hari Senin aku sudah harus kembali bekerja.

Pamitan dan pulang...

Adalah dua hal yang membuat hari itu menjadi hari terberat yang harus ibu dan aku lewati. Kami harus meninggalkan simbah putri, satu-satunya orang tua ibu yang masih hidup.

Ibu berusaha memahamkan simbah putri tentang sebuah takdir. Takdir ketika menjadi tua.

"Pengennya anak-anak di sini semua menemani simbah sepanjang hari. Tapi, semua anak-anak simbah sudah berkeluarga. Punya anak-anak yang harus dinafkahi. Kalau tidak bekerja, nanti bagaimana? Namanya ini takdir, Mbah. Takdir menjadi orang tua. Takdir yang harus dijalani dengan sabar," ujar ibu.

Simbah putri terdiam.

"Nyong1 ya ngerti perasaannya simbah. Ki, Mbah, nek nyong ning umah yo podho2. Anak-anak sibuk sendiri-sendiri. Puput berangkat pagi, pulang sore. Kalau lagi ada kerjaan ya di kamar terus. Libur juga kadang berangkat. Tapi, ya memang itu bagian dari siklus hidup. Makin anak-anak gede, dia punya dunianya sendiri. Ning umah ya paling nyong ngobrole karo bapake bocah-bocah3."

Obrolan pun terhenti sesaat. Tanteku masuk ke dalam kamar. Menemani kami mengobrol bersama simbah putri.

"Opo kulo mboten usah nyambut gawe po, Mbah? Ben iso ngancani simbah?"4 tawar tanteku yang tinggal serumah dengan simbah.

"Nek ora kerja, mengko pada maem apa?5" tanya simbah.

"Ya kan, sampun enten Pak Asih sing nyukupi kulo sareng anak-anak."6

Tanteku menyebut suaminya dengan sebutan Pak Asih -adik bungsu ibu- ketika ia berbicara dengan orang-orang.

"Gak usah, Dek Tari. Ini tadi lagi ngobrolin Puput yang kerjanya dari pagi, pulangnya sore," tanggap ibu dengan cepat seolah menjelaskan bahwa kami tidak sedang membicarakan tanteku yang juga bekerja sedari pagi sampai sore.

Lanjut ibu, "Simbah bersyukur, Mbah. Nduwe menantu sing eman banget karo simbah. Gelem ngurus simbah. Simbah arep opo ae dituruti. Simbah manut ae karo sing nom ning kene ben cepet mari. Nek simbah mari, anak putu pada seneng."7

Dari kedua sudut mata simbah mulai mengalir embun. Melihatnya begitu, ada perih yang berdenyut-denyut di dadaku.

"Mbah, nyong njaluk ngapura. Nyong anak wadon siji-sijine, sing kudune ngurus simbah, tapi ora bisa ngurus. Nek cepak ta ya nyong ngancani simbah ning kene. Tapi ya genahan prige ya. Nyong adoh. Bapak'e anak-anak ora bisa ditinggal,"8 ujar ibu, dengan nada yang mulai bergetar.

Aku semakin ditikam perih. Rasanya, sungguh! Aku enggan pulang!

Kutegar-tegarkan diri, mengatur sekuat mungkin suara agar tak melentingkan getar. Inginnya, aku tak menangis.

"Mbah, Insya Allah, kalau Puput ada libur panjang, Puput ke sini. Simbah terus doain Puput ya. Doain Puput terus dikasih kesehatan, dikasih kelancaran pekerjaan. Simbah yang sehat-sehat di sini."

"Ya, Put. Saling ndonga-dinonga9. Puput semoga cepat dipertemukan jodohnya. Mumpung simbah masih hidup. Mbah pengen lihat Puput sampe ketemu jodohnya."

Air mata ibu mulai pecah. Merintik turun tetes demi tetes.

"Minta doanya terus, Mbah. Pengennya cepet. Tapi, yang namanya takdir Allah, kita gak bisa atur-atur."

Runtuh sudah benteng pertahananku. Hangat rebak di sepasang mataku. Menjelma titik-titik bening yang pelan-pelan turun merayapi pipi. Rasa sayang simbah padaku sampai sedalam ini. Kurasa, ikatan kasih sayang yang sedalam inilah yang kerap melahirkan firasat-firasat di hatiku saat sesuatu terjadi pada simbah.

"Minta keikhlasane simbah, ya, Mbah,"10 ujar ibu diiringi sengguk.

"Mbah cepet sembuh. Puput pengen simbah sehat."

Aku memeluknya dengan rasa perih yang menggumpal di dada. Tangisku kian tumpah. Simbah berlinang air mata. Dan bulir-bulir dari mata ibu tak berhenti mengalir. Sesak yang tertahan di dada kami menjelmakan diri menjadi kubangan air mata. Tak terkecuali tanteku. Aku juga mendengar isak-tangis yang ditahannya.

Entah berapa jenak, kami membiarkan air mata luruh-berjatuhan sampai kami kembali menemukan sedikit ketegaran.

"Simbah ikhlas, si?"11

"Iya, Mi. Nyong ikhlas.

Bapak yang sedari tadi menunggu kami menyelesaikan tangis, akhirnya buka suara.

"Saya pamit ya, Mbah. Maaf, saya gak bisa kasih apa-apa. Maaf juga sudah merepotkan simbah dan keluarga di sini selama menginap di sini."

"Makasih, Nak Epik. Makasih simbah sudah dijenguk."

"Dek Tari, makasih sudah ngurusi simbah selama di sini. Harusnya saya yang ngurus. Tapi ya karena saya jauh, jadinya bulik yang kebrubuhan12. Udah repot ngurus anak, ketambahan ngurus simbah," ucap ibu.

"Gak ngerepotinlah, Budhe. Jangan ngomong gitulah, Budhe," jawab Tante Tari.

"Semoga Dek Tari sekeluarga dikasih kesehatan, rezekinya terus mengalir, anak-anaknya menjadi anak yang sholeh dan bisa nyenengin orang tua," doa ibuku dengan tulus.

"Amiiiin, Budhe."

"Mbah, wis yo, Mbah. Nyong pamit,"13 kata ibu, nadanya sudah terdengar lebih tegar.

"Puput juga pamit ya, Mbah."

Adik-adikku pun menyusul berpamitan. Kami berlalu dari kamar simbah. Langkah kakiku rasanya memberat. Lebih dari ketika aku berpamitan selepas dirinya terkena sakit maag kronis.
Tapi, seberat apapun kaki ini melangkah, aku harus terus berjalan.
*


Dalam perjalanan, ibu bercerita sedikit tentang keluh-kesah simbah yang hanya diungkapkannya pada ibu.

Ketika hari pertama simbah dirawat di rumah sakit, ia ditemani oleh anak lelakinya, adik lelaki ibu yang pertama. Selama semalaman dirawat itu, lebih dari 20 kali, simbah minta diantarkan ke kamar mandi untuk buang air kecil. Simbah merasakan anak lelakinya agak sedikit marah. Sehingga hari berikutnya, simbah minta ditemani oleh anak perempuannya yang merupakan saudara tiri ibu. Ya. Saudara tiri. Baik simbah putri maupun simbah kakung, ketika mereka menikah, masing-masing dari mereka telah mempunyai anak dari pernikahan sebelumnya.


Mendengar keluh-kesah simbah, ibu berusaha bersikap netral. Ibu memberikan segala pandangan dan kemungkinan yang bisa meredakan konflik. Bukan menambah keruh suasana. Tanpa mengabaikan perasan yang simbah rasakan, ibu berusaha memahamkan simbah bahwa mungkin saja kondisi adiknya saat itu tengah lelah dengan tanggung jawab kerja yang menumpuk.

Sepanjang perjalanan, aku memikirkan kata-kata ibu tentang hari tua. Kepalaku memeras tanya.

Bagaimana nanti hari tua ibu?
Bagaimana nanti hari tuaku?


Ketika salah satu pasangan hidup tak menua bersama hingga akhir hayat kita karena Sang Kuasa memanggilnya lebih dulu dari kita atau oleh sebab yang lain...

Ketika kita, sendirian, menyaksikan anak-anak kita yang telah dewasa tenggelam satu per satu ditelan kesibukan dengan urusannya masing-masing...

Ketika kita, seorang anak yang terus tumbuh didewasakan oleh waktu lalu menjalani yang dinamai bekerja dan berkeluarga sebagai bagian dari siklus kehidupan...

Di titik ini, aku bukan hanya menjadi paham bagaimana perasaan ibu juga perasaan simbah putri.

Tentang takdir menjadi tua yang dikatakan ibu pada simbah, sepanjang perjalanan itu, aku meresapi dan merasakannya seperti aku benar-benar berada di posisi mereka. Sepanjang itu pula, kilatan kenangan percakapan barusan ketika kami berpamitan, masih terasa menyesakkan dadaku.

Ibu...
Meski kau paham betul tentang takdir menjadi tua
dan kau telah mempersiapkan diri sekuat mungkin
Aku tahu, perasaan terperih manusia tetaplah sebuah kesepian
Kesepian dan sendiri di hari ketika kita menua
Ibu...
Saat di usiamu yang kian merenta nanti kau mengatakan 
bahwa kau ikhlas dengan kesibukanku
Aku tahu, kata-kata itu hanya untuk menghilangkan rasa bersalahku
Kau tahu, Bu?
Saat kau mengikhlaskan seperti yang telah simbah putri lakukan, 
aku akan merasakan hal yang sama seperti yang kau rasakan saat ini
: sesak
Ibu...
Aku ingin, di hari tuamu kelak, akulah yang mengurusmu
Bukan menantumu atau orang lain
Ibu...
Bila memang Allah memberiku umur yang panjang
Di hari tuaku nanti, saat aku harus menjalaninya sendiri
Aku ingin setegar simbah dan ibu
Dan untukmu simbah, terima kasih... terima kasih atas doa yang tak putus-putusnya untukku. Teruslah bertahan hidup. Teruslah bertahan sekuat yang kau bisa. Semoga aku bisa memenuhi keinginanmu.

Mataku bersembunyi di balik kacamata. Kurasai ada basah yang mulai menggenang di sana dan buru-buru kuseka ketika jatuh menitik.
*
_______________________________________________

Catatan:
1. Saya
2. "Nih, ya, Mbah, kalau saya di rumah ya sama...."
...."Di rumah ya saya paling ngobrolnya sama bapaknya anak-anak"
4. "Apa saya berhenti bekerja saja, Mbah? Biar bisa nemenin simbah?"
5. "Kalau gak kerja, nanti pada makan apa?"
6. "Ya kan, sudah ada Pak Asih yang mencukupi saya dan anak-anak."
7. "Simbah bersyukur, Mbah. Punya menantu yang sayang banget sama simbah. Mau ngurus simbah. Simbah mau apa saja dituruti. Simbah nurut sama yang muda-muda di sini biar cepet sembuh. Kalau simbah sembuh, anak cucu pada seneng.
8. "Mbah, saya mohon ampun. Saya anak perempuan satu-satunya, yang harusnya ngurus simbah, tapi gak bisa ngurus. Kalau dekat sih, ya, saya nemenin simbah di sini. Tapi ya mau gimana ya. Saya jauh. Bapaknya anak-anak gak bisa ditinggal."
9. Saling mendoakan
10. "Minta keikhlasannya simbah, ya?"
11. "Simbah ikhlas, kan?"
12. Ketimpaan
13. "Mbah, sudah ya, saya pamit."