Demi Juni yang mengharu-biru, perempuan
itu rela membelah sungai rawa-rawa di atas perahu bangkong. Atas nama emban
tugas, menyusuri perkampungan di wilayah pedalaman. Bermaksud menyaksikan
perhelatan bulan pengarak ritual. Warisan yang ditemurunkan dari tengkorak-tengkorak.
Peradaban yang tak lekang dimakan zaman.
*
Desa Sebujit ramai menggeliat. Di depan
kamera, perempuan itu telah siap memaparkan sedari awal persiapan ritual di
rumah balug. Para penyambut tamu memakai selempang kain merah yang diikatkan di
pinggang, hiasan manik-manik melingkar di kepala dan kalung gigi binatang di
leher. Simlog dan alat tabuh lainnya
beradu bunyi.
Tetua
adat menari pelan. Seorang pemuda mengambil senjata laras panjang.
Menyerahkannya kepada tetua adat. Usia yang kian merenta tak membuat tangannya
kehabisan daya menarik picu senapan lantak. Dalam hitungan detik, suara letusan
pecah. Suara yang menjadi tanda bahwa tetamu hendak memasuki batas desa. Pun
cara tetua adat merengkuh restu ruh leluhur.
Para
penyambut turun dari rumah balug. Seekor anak anjing dan ayam menyertai
berpasang-pasang kaki. Antara para tetamu dan penyambut menjamu temu di batas
desa. Saat itu, peparu anak anjing dan ayam berada pada detik-detik penghelaan
udara terakhir.
Penyambutan
dimulai. Salah satu tamu agung yang dipercayakan untuk menebas anak anjing,
mengacung-ngacungkan mandau
yang telah diasah sebelumnya. Tetua adat melempar anak anjing. Sang tamu
mengayun mandau. Sayangnya, tamu
agung itu bukanlah penebas ulung. Anjing bersorak gembira sebab desah napas
masih berembus.
Tapi, ritual harus
tetap berjalan dengan semestinya. Tak bisa ditawar. Takdir anak anjing itu
adalah mati. Sesampainya di tanah, satu tebasan membayar kegagalan tadi. Anak
anjing kehilangan degup jantung. Kemudian, menyusul seekor ayam yang segaris perlakuan
dengan anjing.
Para
tetamu itu tetaplah agung. Sebab, dengan hati yang bagaimana mereka menjejakkan
kaki, masih dalam tirai. Akan diketahui setelah tetua adat membidik mereka
dengan telur-telur. Dari telur-telur itu terupa petunjuk.
Beruntung,
telur-telur itu pecah. Pertanda mereka datang dengan hati yang ikhlas. Bila
para penyambut mendapati telur-telur tetap utuh, tersiar anggapan bahwa para tetamu
tidak tulus. Itulah kepercayaan terdahulu yang mengakar di kepala.
Tubuh
para tetamu laksana papan bidik yang pasrah menerima lesatan segala
benda-benda. Pun mengebalkan-ngebalkan hidung sebab aroma tak sedap yang melekapi
pakaian kebesaran mereka. Setelah telur-telur itu, beras putih dan kuning melesat
mengenai pakaian tetamu dari berbagai arah. Beras putih dan kuning sekaligus menandai
ritual pelemparan usai. Lalu, para penyambut memandu tetamu memasuki
perkampungan hingga ke rumah balug, tempat ritual nyobeng digelar.
*
Tapak-tapak kaki itu masih mencecapi
ritual. Yang dinamai pepasan. Diawali
tetua adat menginjak buah kundur yang diletakkan di atas nampan kemudian
diikuti langkah para tetamu. Para penyambut melakukan tarian mamiamis sembari mengitari rumah balug.
Dahulunya, tarian mamiamis dipersembahkan bagi para pembela tanah leluhur yang baru
datang dari mengayau.
Suatu tradisi yang menempatkan kepala sebagai harga diri suku dan simbol
keperkasaan lelaki. Lelaki yang berhasil mengayau akan disegani di kalangannya.
Juga menjadi pujaan bagi para perempuan. Sebab, terpatri keyakinan bahwa yang
pulang membawa kepala musuh adalah orang yang mampu melindungi keluarga dan
sukunya. Namun, telah lama tradisi mengayau terpusarakan setelah adanya Tumbang Anoi.
Sebilah bambu rebah di titik yang telah
ditentukan. Tarian berhenti. Barisan mengumpul. Berkerumun. Salah seorang
pemuda tanggung yang menggenggam mandau
melangkah ke depan untuk ritual selanjutnya. Memotong bambu. Dalam sekali tebas
bambu terbelah. Pertanda baik.
Zaman
ketika leluhur mereka saling berperang, keberadaan bambu disetarakan dengan
perdamaian. Kedua suku adat yang berperang saling mengirimkan utusan. Setelah
mencapai kata sepakat, kedua suku bertemu. Menyudahi peperangan dengan cara potong
bambu.
Tari-tarian
kembali dilakukan. Kali ini, para perempuan yang mengenakan pakaian adat dan telah
bersolek turut meramaikan. Membawa tuak untuk para penyambut dan tetamu.
Seorang
pria dengan kamera di tangannya, yang mengabadikan segala detak gerak di
Sebujit, memberikan kode sebagai isyarat untuk perempuan itu kembali menggulir
kata.
“Sekarang sedang
diadakan tari-tarian oleh masyarakat baik sebagai penyambut maupun yang
disambut-”
Perkataan
perempuan itu terhenti sejenak. Seorang gadis menyodorkan segelas tuak. Tuak
dari pohon niru yang dicampur kulit pohon pakak yang telah dikeringkan.
“Baru saja saya
merasakan air tapai-”
Kali kedua,
perempuan itu ditawari tuak oleh gadis lainnya.
“Sudah tadi.”
Bibir dan tangan
tak sejalan. Kesadaran telah lebih dulu menyentaknya. Bahwa tuak itu sebagai
penghormatan untuk tetamu. Sehingga nuraninya meredam penolakan. Kembali tuak
itu direguknya.
“Tuak yang
rasanya seperti air tapai ini merupakan minuman tradisonal masyarakat dayak
ketika sedang berpesta-pora.” Perempuan itu melanjutkan perkataannya yang
sempat terjeda.
Tetamu
masih setia memaku kaki di tanah Sebujit. Sebab, puncak ritual belumlah sampai.
Titik tersakral dari ritual nyobeng jatuh pada malam hari. Sementara langit baru
menjemput senja. Kepada para tetamu, hiburan-hiburan disuguhkan untuk memendekkan
lipatan waktu. Membunuh bosan yang mulai menggerogoti penantian.
*
Waktu merambat naik. Perlahan senja sirna.
Langit mewarna gelap pekat. Peram penantian para tetamu tetas sudah. Puncak
ritual mulai dipertunjukkan. Tahap di mana kotak berharga yang diagung-agungkan
akan dikeluarkan dari tempat persembunyiannya.
Alat
tabuh dipukul-pukul. Lonceng-lonceng bergemerincing. Gema bebunyian sontak riuh
bersahutan. Tetua adat mengibas-ngibaskan daun anjuang yang telah diperciki air kepada para penyambut dan tetamu.
Air bertuah yang telah dimantrai. Serupa rapal mantra tolak bala.
Selanjutnya,
tetua adat bersama sesepuh lainnya menaiki rumah balug. Mengambil kotak yang
berada di bubungan. Kotak tempat persemayaman tengkorak-tengkorak yang
dikeramatkan tidur bersama kalung dari taring babi hutan. Setelah kotak dibuka,
tengkorak-tengkorak dilumuri dengan ramuan khusus dan darah ayam yang telah
dipotong kepalanya hingga putus. Selesai disucikan, tengkorak-tengkorak kembali
dimasukkan ke dalam kotak dan disimpan di bubungan.
Tengkorak-tengkorak
itu merupakan hasil mengayau para leluhur suku Dayak Bidayuh. Pada
kepala-kepala itu, mereka menyematkan kepercayaan. Kekuatan terukur dari seberapa
banyak jumlah kepala yang ada.
Kepala
yang dikeringkan diyakini memiliki sihir yang paling kuat di dunia. Kepala yang
baru dipenggal, sanggup meniadakan wabah penyakit. Sedang kepala yang diberi
ramu-ramuan sangat ampuh untuk mengundang hujan, meningkatkan hasil panen dan
mengusir ruh-ruh jahat.
Titik
nadir ritual ditutup dengan acara mandi-mandi. Tetua adat mendulang air
bermantra dari tempayan besar. Lantas, mengalirkannya dengan daun anjuang. Segenap masyarakat turut larut
dalam ritual akhir yang diiyakan sebagai ritual pembersihan jiwa. Dengan
pakaian yang masih melekati badan.
Perempuan
itu telah beroleh pemahaman. Kepala-kepala musuh telah mereka serupai sebagai
pelindung, sahabat dan pembawa rezeki. Penyerupaan yang tidak didapati kepala-kepala
itu semasa masih menyatu dengan badan.
Catatan:
Cerpen ini masuk nominator dan dibukukan dalam Antologi Rumah Kambira terbitan WR-Publishing