Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Minggu, 23 Juni 2013

Rindu Sahabat



Ketika dera jenuh menikam-nikam, aku menelan kenangan-kenangan bersama sahabat. Tentang wangi bunga dan manis gula saat kita menapaki tanah berduri dan berbatu cadas. Duri dan batu cadas yang menggores kaki hingga langkah kita menjadi tertatih. Dengan langkah dan kaki yang menanah darah, tangan kita erat mengkait satu sama lain. Saling membagi kekuatan. Memecah linang air mata dengan tawa.

Kita dipertemukan-Nya oleh beberapa sebab kepahitan yang sama tentang cinta dan detak kehidupan. Kejadian-kejadian susul-menyusul. Seolah Tuhan menitipkan intuisi untuk kita merasai benang merah tak kasat satu sama lain. Intuisi yang meretas batas jarak.

Adakah waktu telimpuh di tangan kita untuk tetasnya sebuah rindu dengan temu?

Vinny Erika Putri, Cirebon, 230613.

Minggu, 16 Juni 2013

Rinai Gerimis


Pada denting aksara kumemintal kata
Pada kenangan yang menyairkan duri, kumendaras airmata
Pada dingin yang mengepung malam, sunyi menampaku mesra

Duhai Tuhan, di manakah lingkar rembulan yang mengangkasa?
Rupa-rupanya, malam ini Kau menebarkan bulir-bulir permata
Pada rinai gerimis yang terjala mata
Dan aroma tanah basah tuk memberi damai mengusir lara
Agar perahuku berlayar kembali mengarungi dunia

-Vinny Erika Putri, 16.06.13

Senin, 03 Juni 2013

Nyobeng di Sebujit


Demi Juni yang mengharu-biru, perempuan itu rela membelah sungai rawa-rawa di atas perahu bangkong. Atas nama emban tugas, menyusuri perkampungan di wilayah pedalaman. Bermaksud menyaksikan perhelatan bulan pengarak ritual. Warisan yang ditemurunkan dari tengkorak-tengkorak. Peradaban yang tak lekang dimakan zaman.

*
Desa Sebujit ramai menggeliat. Di depan kamera, perempuan itu telah siap memaparkan sedari awal persiapan ritual di rumah balug. Para penyambut tamu memakai selempang kain merah yang diikatkan di pinggang, hiasan manik-manik melingkar di kepala dan kalung gigi binatang di leher. Simlog dan alat tabuh lainnya beradu bunyi.

Tetua adat menari pelan. Seorang pemuda mengambil senjata laras panjang. Menyerahkannya kepada tetua adat. Usia yang kian merenta tak membuat tangannya kehabisan daya menarik picu senapan lantak. Dalam hitungan detik, suara letusan pecah. Suara yang menjadi tanda bahwa tetamu hendak memasuki batas desa. Pun cara tetua adat merengkuh restu ruh leluhur.

Para penyambut turun dari rumah balug. Seekor anak anjing dan ayam menyertai berpasang-pasang kaki. Antara para tetamu dan penyambut menjamu temu di batas desa. Saat itu, peparu anak anjing dan ayam berada pada detik-detik penghelaan udara terakhir.

Penyambutan dimulai. Salah satu tamu agung yang dipercayakan untuk menebas anak anjing, mengacung-ngacungkan mandau[1] yang telah diasah sebelumnya. Tetua adat melempar anak anjing. Sang tamu mengayun mandau. Sayangnya, tamu agung itu bukanlah penebas ulung. Anjing bersorak gembira sebab desah napas masih berembus.

Tapi, ritual harus tetap berjalan dengan semestinya. Tak bisa ditawar. Takdir anak anjing itu adalah mati. Sesampainya di tanah, satu tebasan membayar kegagalan tadi. Anak anjing kehilangan degup jantung. Kemudian, menyusul seekor ayam yang segaris perlakuan dengan anjing. 

Para tetamu itu tetaplah agung. Sebab, dengan hati yang bagaimana mereka menjejakkan kaki, masih dalam tirai. Akan diketahui setelah tetua adat membidik mereka dengan telur-telur. Dari telur-telur itu terupa petunjuk. 

Beruntung, telur-telur itu pecah. Pertanda mereka datang dengan hati yang ikhlas. Bila para penyambut mendapati telur-telur tetap utuh, tersiar anggapan bahwa para tetamu tidak tulus. Itulah kepercayaan terdahulu yang mengakar di kepala.

Tubuh para tetamu laksana papan bidik yang pasrah menerima lesatan segala benda-benda. Pun mengebalkan-ngebalkan hidung sebab aroma tak sedap yang melekapi pakaian kebesaran mereka. Setelah telur-telur itu, beras putih dan kuning melesat mengenai pakaian tetamu dari berbagai arah. Beras putih dan kuning sekaligus menandai ritual pelemparan usai. Lalu, para penyambut memandu tetamu memasuki perkampungan hingga ke rumah balug, tempat ritual nyobeng digelar.

*
Tapak-tapak kaki itu masih mencecapi ritual. Yang dinamai pepasan. Diawali tetua adat menginjak buah kundur yang diletakkan di atas nampan kemudian diikuti langkah para tetamu. Para penyambut melakukan tarian mamiamis sembari mengitari rumah balug.

Dahulunya, tarian mamiamis dipersembahkan bagi para pembela tanah leluhur yang baru datang dari mengayau[2]. Suatu tradisi yang menempatkan kepala sebagai harga diri suku dan simbol keperkasaan lelaki. Lelaki yang berhasil mengayau akan disegani di kalangannya. Juga menjadi pujaan bagi para perempuan. Sebab, terpatri keyakinan bahwa yang pulang membawa kepala musuh adalah orang yang mampu melindungi keluarga dan sukunya. Namun, telah lama tradisi mengayau terpusarakan setelah adanya Tumbang Anoi[3].

Sebilah bambu rebah di titik yang telah ditentukan. Tarian berhenti. Barisan mengumpul. Berkerumun. Salah seorang pemuda tanggung yang menggenggam mandau melangkah ke depan untuk ritual selanjutnya. Memotong bambu. Dalam sekali tebas bambu terbelah. Pertanda baik.

Zaman ketika leluhur mereka saling berperang, keberadaan bambu disetarakan dengan perdamaian. Kedua suku adat yang berperang saling mengirimkan utusan. Setelah mencapai kata sepakat, kedua suku bertemu. Menyudahi peperangan dengan cara potong bambu.

Tari-tarian kembali dilakukan. Kali ini, para perempuan yang mengenakan pakaian adat dan telah bersolek turut meramaikan. Membawa tuak untuk para penyambut dan tetamu.

Seorang pria dengan kamera di tangannya, yang mengabadikan segala detak gerak di Sebujit, memberikan kode sebagai isyarat untuk perempuan itu kembali menggulir kata.

“Sekarang sedang diadakan tari-tarian oleh masyarakat baik sebagai penyambut maupun yang disambut-”

Perkataan perempuan itu terhenti sejenak. Seorang gadis menyodorkan segelas tuak. Tuak dari pohon niru yang dicampur kulit pohon pakak yang telah dikeringkan.

“Baru saja saya merasakan air tapai-”

Kali kedua, perempuan itu ditawari tuak oleh gadis lainnya.

“Sudah tadi.”

Bibir dan tangan tak sejalan. Kesadaran telah lebih dulu menyentaknya. Bahwa tuak itu sebagai penghormatan untuk tetamu. Sehingga nuraninya meredam penolakan. Kembali tuak itu direguknya.

“Tuak yang rasanya seperti air tapai ini merupakan minuman tradisonal masyarakat dayak ketika sedang berpesta-pora.” Perempuan itu melanjutkan perkataannya yang sempat terjeda.

Tetamu masih setia memaku kaki di tanah Sebujit. Sebab, puncak ritual belumlah sampai. Titik tersakral dari ritual nyobeng jatuh pada malam hari. Sementara langit baru menjemput senja. Kepada para tetamu, hiburan-hiburan disuguhkan untuk memendekkan lipatan waktu. Membunuh bosan yang mulai menggerogoti penantian.

*
Waktu merambat naik. Perlahan senja sirna. Langit mewarna gelap pekat. Peram penantian para tetamu tetas sudah. Puncak ritual mulai dipertunjukkan. Tahap di mana kotak berharga yang diagung-agungkan akan dikeluarkan dari tempat persembunyiannya. 

Alat tabuh dipukul-pukul. Lonceng-lonceng bergemerincing. Gema bebunyian sontak riuh bersahutan. Tetua adat mengibas-ngibaskan daun anjuang yang telah diperciki air kepada para penyambut dan tetamu. Air bertuah yang telah dimantrai. Serupa rapal mantra tolak bala.

Selanjutnya, tetua adat bersama sesepuh lainnya menaiki rumah balug. Mengambil kotak yang berada di bubungan. Kotak tempat persemayaman tengkorak-tengkorak yang dikeramatkan tidur bersama kalung dari taring babi hutan. Setelah kotak dibuka, tengkorak-tengkorak dilumuri dengan ramuan khusus dan darah ayam yang telah dipotong kepalanya hingga putus. Selesai disucikan, tengkorak-tengkorak kembali dimasukkan ke dalam kotak dan disimpan di bubungan.

Tengkorak-tengkorak itu merupakan hasil mengayau para leluhur suku Dayak Bidayuh. Pada kepala-kepala itu, mereka menyematkan kepercayaan. Kekuatan terukur dari seberapa banyak jumlah kepala yang ada. 

Kepala yang dikeringkan diyakini memiliki sihir yang paling kuat di dunia. Kepala yang baru dipenggal, sanggup meniadakan wabah penyakit. Sedang kepala yang diberi ramu-ramuan sangat ampuh untuk mengundang hujan, meningkatkan hasil panen dan mengusir ruh-ruh jahat.

Titik nadir ritual ditutup dengan acara mandi-mandi. Tetua adat mendulang air bermantra dari tempayan besar. Lantas, mengalirkannya dengan daun anjuang. Segenap masyarakat turut larut dalam ritual akhir yang diiyakan sebagai ritual pembersihan jiwa. Dengan pakaian yang masih melekati badan.

Perempuan itu telah beroleh pemahaman. Kepala-kepala musuh telah mereka serupai sebagai pelindung, sahabat dan pembawa rezeki. Penyerupaan yang tidak didapati kepala-kepala itu semasa masih menyatu dengan badan.      
           

[1] Senjata tajam sejenis parang berasal dari kebudayaan Dayak di Kalimantan
[2] Memenggal kepala musuh
[3] Lokasi dimana seluruh suku dayak mengadakan pertemuan untuk mengakhiri tradisi mengayau


Catatan:
Cerpen ini masuk nominator dan dibukukan dalam Antologi Rumah Kambira terbitan WR-Publishing