Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Selasa, 17 Juni 2014

Catatan Sunyiku untuk-Mu



Rasanya terlampau lancang aku merangkai dua yang berbeda menjadi kata kita. Kau bukanlah diri. Kau adalah Dzat yang tak mengenal kata mati. Dzat yang memegang kendali hidupku.

Kali ini, izinkan kumenyebut-Mu dalam kata kita. Kita yang romantis. Ah, bukan kita. Tapi, Kau. Kau yang romantis.

Luput ataupun tidak, entah seberapa sering aku menggugat pada hidup. Mengukirnya dengan keluh. Tapi, Kau tak pernah bosan mendengar. Telinga-Mu selalu terbuka. Kau memaklumi hatiku yang manusia. Bahkan, Kau merahasiakan segala keluhku.

Sampai di suatu titik puncak kepalaku terasa penuh, segala keluh menjelma airmata. Ketika itu, sunyi menjadi pelataran terbaik untuk kita berdua. Hanya Kau dan aku.

Lalu, dalam sunyi yang berlinang perih, Kau memandangku lebih dekat. Kau tak menghapus buliran bening di mataku. Kau paham aku butuh itu. Itu sebabnya, kau hadirkan air mata. Bukan untuk sebuah kecengengan atau tanda kerapuhan. Tapi untuk memberiku lega.

Kepalaku telungkup, lelah untuk tegak. Aku terus mengaliri sunyi dengan sengguk dan sembab. Kau masih tak menghapus basah di mataku. Tapi, Kau menungguiku hingga sesakku menguap dan linang mengering dengan sendirinya.

Setelahnya, aku kerap mempertanyakan hal yang sama, "Tak apakah aku begini pada-Mu? Mengeluh lantas menangis."

Kau membelai kepalaku. Damai menelusup. Kepalaku terangkat. Kau tersenyum dan mengulurkan tangan mengajakku berdiri. Berdiri dan tak langsung berlari.

Kau tunjukkan langit-Mu, dimana catatan doa-doaku begitu jelas terlihat. Pula dimana aku menggoreskan cita dan impian. Kau menggenggam tanganku. Mengajakku melangkah setapak demi setapak untuk kembali memulai siklus hidup.

Itu Kau. Yang selalu romantis.

Malam ini, seperti malam yang berkesudah. Kau menungguiku sampai buliran embun di mataku meruap tiada bersisa. Bersama gelap yang kental, kutuliskan catatan sunyiku untuk-Mu.

Satu dari sekian banyak keromantisan-Mu malam ini. Kau paham, aku tak suka purnama. Bagusnya, purnama tak pernah menengokku di sudut jendela. Kau beri aku temaram sabit. Sabit yang lengkungnya bagai senyum di tengah pekat malam.

-On the corner of window, seeing moonlight in silence, Vinny Erika Putri

Masih antara Aku dan Ibu: Bagianmu Saja



"Sudah. Bagianmu saja yang kau proritaskan. Jalani dengan tanggung jawab. Yang bukan bagianmu, biarkan."

"Tapi, akankah aku terkesan egois?"

"Jangan mengambil terlalu banyak tanggung jawab dalam satu waktu. Prioritas dan fokus perlu. Membiarkan yang bukan bagianmu bukan berarti kamu tak peduli. Tapi, itu memberikan kesempatan bagian lainnya untuk menjalani tanggung jawab masing-masing. Kalau bola itu bukan kamu yang seharusnya pegang, arahkan dan lempar ke yang seharusnya memegang bola."

Aku merasai nada tegas dalam saranmu. Itulah kau. Tahu kapan bersikap bagai ibu dan kapan bagai sahabat bagiku. Dan dari nada tegas itu, artinya aku harus mempertimbangkannya baik-baik. Kau berbicara sebagai ibu. Kau paham, cara mengontrol batas inisiatifku agar tak semua beban pekerjaan terlimpah padaku.

"Kepalaku pening."

"Kamu terlalu pemikir dan akan mendadak ruwet di saat-saat begini. Satu lagi, hindari menangani anak yang tengah bermasalah saat ritme emosimu tak stabil. Kalau dipaksakan, kamu akan dominan menggunakan ketidak stabilan emosimu, bukan ketepatan berpikir. Menjauhlah sesaat dari anak-anak dan hiruk-pikuknya daripada kamu memperbesar energi negatifmu. Menjauh dan diam. Atur napas dan jernihkan pikiran."

Ah, ibu, kau paham, aku kerap butuh sunyi di sela-sela keruwetan itu. Ya. Saat-saat itu aku sungguh ingin bersembunyi dari hiruk-pikuk meski hanya beberapa jenak untuk menyederhanakan pikiranku.

Ibu, kepalaku hanya berisi benang kusut bila tak sering bertukar pikiran denganmu. Kau akan menawariku bermacam solusi saat kugelontorkan ganjalan-ganjalan isi kepalaku. Selama kepalaku belum penuh, kau biarkan aku menyelesaikannya sendiri. Meski aku tahu, pengalaman-pengalamanmu bisa membantuku. Katamu, kau ingin aku merasai tempaannya. Merasai likunya. Mempelajarinya. Lantas mengambil mana yang tepat dan tidak untuk diterapkan sebagai sebuah solusi.

Ibu, aku ingin meleluconi diriku sendiri saat ini. Seperti ini lelucon itu: santai dan banyak-banyak mengamati hiruk-pikuk dalam diam.

Mungkin, dengan begitu aku bisa menertawai keadaan. Menertawai sifat manusiawi bagian lainnya yang tengah bergulat dengan keadaan dalam satu ruang. Tapi sepertinya, alisku akan tetap mengernyit seperti alis wajah orang serius. Mengernyit mencari sebuah gagasan untuk diuji-cobakan pada sehiruk-pikuk keadaan.

Ibu dan Hari Sibukku



Ibu, aku tahu lelahmu meski bibirmu tak berkeluh. Aku menggugat tumpukan sibuk hariku. Sebab, tak enak hati melihatmu kelelahan. Kau bilang, "Jalani bagianmu dengan tanggung jawab. Tak perlu pikirkan urusan rumah."

Aku mengkhawatirkan sehatmu. Memasak, mencuci, menyetetika, menggalang usaha warung kelontong dan urusan rumah tangga lainnya, kau lakoni sendiri saat hariku sibuk. Aku sempat memendam gusar saat kedapatan pakaianku sendiri yang telah kucuci kau seterika. Aku bukan tak tahu cara berterima kasih. Aku hanya ingin meringankan pekerjaanmu di sela sibukku dengan mengerjakan apa yang seharusnya kukerjakan. Sebenarnya, aku ingin sedikit membalikkan kata-katamu, "Biarkan. Ini bagian anakmu. Anakmu ingin menjalani tanggung jawabnya." Tapi, aku tak setega itu menyinggungmu. Mungkin, niatmu sama seperti niatku. Sama-sama ingin meringankan.

Dari dulu, kau tak pernah mengandalkan khodimat. Semasa kecil, saat kau masih berkarir sebagai praktisi pendidikan, khodimat kau tugaskan hanya untuk menjagaku dan adik selama kau mengajar. Kau membawaku, adikku dan khodimat ke tempat kerjamu. Selebihnya, usai bergulat dengan kewajiban pekerjaan, waktumu untuk kami dan melakoni pekerjaan ibu rumah tangga. Sampai, kau dihadapkan pada pilihan ketika berada di puncak karir. Kau mengerti, sakit-sakitannya adik keduaku merupa petunjuk-Nya untuk kau menentukan pilihan. Dengan lapang dada, kau lepaskan puncak karir. Pula lepaslah peran khodimat menjaga kami. Ya. Menjaga. Bukan mendidik. Saat itu, aku mungkin belum genap lima tahun. Sebab, saat aku TK, kau menemani hari-hariku di sekolah.

Kau menjadi ibu rumah tangga yang handal. Sehandal saat kau masih berkarir. Melihat penampilanmu sekarang, mungkin, orang-orang takkan percaya bahwa kau pernah bertemu dengan orang-orang besar di zamanmu. Katamu, tak penting orang-orang tahu, apalagi percaya. Orang-orang percaya atau tidak, pengalaman-pengalaman itu tetap milik ibu. Dan membagi kisah pengalamanmu padaku, bagimu, itu sudah cukup. Tapi, malam ini, kumeluaskan kabar.

Aku melihat fotomu dengan Kak Seto di albummu yang masih terawat baik. Baik Kak Seto dengan dirimu atau bersama rekan-rekan kerjamu terdahulu. Atas izinmu, aku mengambil fotomu bersama Kak Seto yang ada di albummu, lalu menyimpannya. Katamu juga, cucu-cucu petinggi negara menjadi murid-murid sekolahmu kala itu. Kau juga pernah berkesempatan terlibat dalam kegiatan mengajar di sekolah berkebutuhan khusus yang dinaungi Almarhumah Bu Kasur. Lingkungan pergaulanmu luas. Meski kau hanya mengantongi ijazah SMA dan berasal dari kampung pelosok. Itu masa mudamu, saat aku belum ada di rahimmu. Sebelum ada kata "kita" dalam janur kuning antara kau dan ayah.

Lantas, setelah kau mengambil pilihan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya? Bau dapur dan deterjen menjadi wewangian harimu. Daster menjadi pakaian favoritmu, pakaian ibu rumah tangga yang kadang masih dijadikan lelucon oleh orang-orang. Tapi, bagimu itu tak penting. Biarkan saja. Pernah mencecapi masa-masa hingar-bingar kejayaan, tak lantas membuatmu "gila sosialita". Petuahmu, "Takkan ada yang abadi dari masa. Setiap masa mengalami perguliran. Dan di setiap perguliran selalu terbentang pilihan yang perlu keputusan."

Ibu, kini kau beranjak menua. Setengah abad lebih usiamu. Fisikmu tak seterusnya handal. Sedangkan waktu meringkusku dengan bermacam kesibukan. Kesibukan yang akan terus bertumbuh tiap jenjang masanya. Acap aku berkeinginan menundukkan hari sibuk. Lalu menjadikannya di atas kendaliku. Saat itu, aku akan menyerahkan waktuku untukmu. Kupegang semua pekerjaan yang hari-hari kau lakoni agar napasmu lebih panjang.

Malam ini, saat tubuhku terasa remuk-redam, aku melihat ibu jarimu bengkak. Dan entah sakit apa lagi yang kau pendam. Mukamu pucat. Ya. Kau memang sering menahan sakit. Bahkan beraktivitas seperti biasa disaat demikian. Kau lebih tahan banting dari ayah. Mental. Pula Fisik.

Di lain sudut, kumelihat ember-ember penuh pakaian kotor masih terbengkalai. Dua kamar mandi yang biasa kubersihkan sudah terasa licin. Aku khawatir kau terpeleset.

Ibu. Ibu. Ibu.

Jangan terlampau lelah. Biar badanku saja yang remuk-redam. Dan, hei kau hari sibuk! Aku akan jalani bagianku dengan tanggung jawab. Ya. Bagianku saja.

-Vinny Erika Putri-

Perempuan di Sebuah Gerbang Rumah



Aku kerap melihatmu duduk termenung di selasar rumah. Sendiri. Tepat di sisi gerbang. Pandanganmu selalu mengarah ke jalan. Kau tak mengenalku. Pula aku. Aku hanya sekilas memperhatikan saat kuda besi yang kukendarai melewati gerbang rumahmu.

Awalnya, aku tak hirau. Tapi sedemikian sering aku mendapatimu duduk termenung, membuatku bertanya-tanya. Apakah kau sedang menunggu sesuatu? Atau mengenang sesuatu? Atau kau sama sepertiku yang senang menyambut kedatangan senja?

Tapi, nanti dulu, biar kuterka lagi. Pakaian yang kau kenakan selalu sama. Kebaya model zaman dahulu. Mungkinkah lingkar matamu tengah mengurai sejarah perubahan daerah ini dari waktu ke waktu? Atau kau tengah menyatukan remah-remah kenangan hidup dalam belantara sejarah?

Ah, mengapa aku menjadi sepeduli itu? Tahukah kau, aku bahkan bertanya-tanya saat tak mendapatimu duduk termenung di gerbang itu. Apakah kau sakit atau memang sedang tak ada di rumah.

Aku tak mampu menerka tepat usiamu dari keriput kulitmu. Kulitmu keriput, tapi tak begitu dengan rambutmu. Rambutmu tak putih menua. Warna hitam legam masih perkasa memudakan kepalamu. Namun, hitam legam rambutmu tak seperkasa tubuhmu. Tubuhmu renta. Ringkih.

Kau tahu? Entah mengapa, terbesit keinginanku untuk mengenalmu. Siapa tahu kita bisa mengisi waktu senja dengan melodi kisah. Aku ingin memahami isi kepalamu. Pun menyelami duniamu.

Catatan ini, untukmu, Perempuan di Sebuah Gerbang Rumah.

-Vinny Erika Putri-

Tuan Tanpa Nama


Bagaimana aku mengeja namamu, lelaki? Kau masih tertutup tabir. Jadi, tak apa bukan, aku memanggilmu dengan sebutan Tuan Tanpa Nama? Oh ya. Aku menyebutmu Tuan Tanpa Nama. Lantas, bagaimana kau menyebutku?

Aku tak romantis. Itu bukan keahlianku. Tapi soal romantis, apakah kau setuju bahwa kau dan aku punya Dzat yang Maha Romantis? Aku yakin, kau setuju.

Tuan Tanpa Nama, aku tak mau mengeluhkan sunyi. Entah di belahan bumi mana, aku yakin, kau melimpahiku doa-doa. Pula sebaliknya, aku di sini.

Sesoal sunyi, mengapa sebagian orang takut atau resah? Bagiku, tak melulu ingar-bingar yang menjadi warna hidup. Ada saatnya aku membutuhkan sunyi untuk mencari mutiara hikmah. Bahkan dalam hiruk-pikuk keramaian, aku kerap mencuri sunyi. Bagaimana denganmu, Tuan Tanpa Nama? Aku tertawa geli menerka-nerka.

Tuan Tanpa Nama, aku tak akan melukiskan rasaku di kanvas mimpimu. Mimpi terkadang menipu. Lagipula, ini terlalu rahasia. Maaf, bukan aku tak percaya padamu. Biarlah ini menjadi rahasia antara aku dan Penciptaku. Biarlah Dia, Sang Pemilik Jiwa, yang memantapkan keteguhan di hatimu dan hatiku untuk menjadi "kita" di atas titian waktu-Nya.

Tahukah kau, Tuan Tanpa Nama? Sang Pencipta tak sembarang mengukir garis-garis telapak tangan. Kunamai itu garis takdir. Tapi, aku tak perlu berpayah-payah memburu cenayang untuk mengurai satu persatu garis-garis itu lalu mencari eja namamu di sana. Kau juga pasti begitu. Kita memiliki-Nya. Dia Maha Tahu, kapan waktu menunjukkan garis takdir "kita" di telapak tanganmu dan telapak tanganku.

Tuan Tanpa Nama, aku terus melangkah menggenggam impian demi impian. Aku yakin kau pun begitu. Biarlah begitu, sampai aku dan kau dipertemukan di titik yang dinamai "kita".

-Vinny Erika Putri, 17.06.14

Apakah Kau Merindukan Ayah?



Apakah kau merindukan ayah?

Bagaimana rasanya?

Kau tahu? Aku punya seorang kawan yang juga seperti dirimu. Seorang kawan yang kerap merindui ayahnya. Bedanya, ia seorang perempuan. Ayahnya berpulang ke sisi-Nya saat ia masih mengenakan seragam putih-merah.

Ia kerap mengingatkanku saat puncak kesalku pada ayah tetas di telinganya. Ya. Aku lebih sering berseberangan pendapat dengan ayah. Jarang menemui titik temu. Ibulah yang menjadi penengah. Penengah yang menyarankan aku untuk mengalah seperti yang sering ibu lakukan. Mengalah untuk menang. Itu kata ibu.

Aku dan ayah, sebenarnya memiliki karakter yang sama. Sama-sama keras. Bulat bila sudah menginginkan sesuatu. Tanpa adanya ibu sebagai penyeimbang, mungkin dua karakter yang sama ini akan kaku beku. Ya. Kaku beku. Di antara kami, tak pernah ada tukar pikiran. Tak pernah berdialog dari hati ke hati atau empat mata. Ayahku tak pandai berdialog. Beliau ditakdirkan menjadi perencana ulung. Saking ulungnya, saat segala tak berjalan sempurna, itu sangat mengganggunya. Beliau terkadang lupa. Rencana manusia berada di bawah rencana-Nya. Tanpa adanya kearifan ibu, karakterku akan persis sepersis-persisnya seperti ayah. Tapi, di sisi lain, kuacungkan jempol untuk kesetiaannya pada ibu sebagai lelaki.

Kata kawanku, seharusnya aku bersyukur karena masih bisa berseberangan pemikiran atau pendapat dengan ayah. Katanya pula, aku tak tahu rasanya merindukan ayah.

Lainnya, aku pernah menanyai ibu, mengapa ibu selalu mengalah. Saat itu, aku merasa gerah. Ayah terlalu egois dalam kacamata pandangku. Dan aku benar-benar tidak terima keegoisannya pada ibu.

Tahukah kau, apa yang ibu katakan? Kata ibu, aku harus bersikap netral. Katanya juga, ibu tidak tahu, siapa yang akan lebih dulu dipanggil. Ibu atau ayah. Ibu tak ingin menyesal di kemudian hari. Bila ayah ditakdirkan terlebih dahulu berpulang, ibu tak ingin mengenangnya dengan penuh rasa bersalah karena perlakuan ibu pada beliau semasa hidupnya. Ibu ingin mengenangnya dengan keindahan. Lalu, bila ibu yang lebih dulu dipanggil, ibu tak ingin menyisakan ingatan buruk di kepala ayah. Jadi, lebih baik, mengalahlah. Itu bagian dari bersabar. Itu juga menjadi konsep dasar suatu hubungan rumah tangga bila memang menginginkan kalimat hingga maut memisahkan menyata.

Dua kepala tak bisa dilebur-satukan. Kepala itu tetap berdiri sendiri. Yang bisa diusahakan adalah cara menyeiringkan langkah untuk mencapai satu tujuan yang sama.

Mengalah. Itu cara ibu menyeiringkan langkah.

Apakah kau merindukan ayah?

Bagaimana rasanya?

Ajari aku rasa merindukan ayah. Sebelum kehilangan menyudutkanku pada titik penyesalan.

Apakah kau merindukan ayah?

-Vinny Erika Putri-