Rasanya terlampau lancang aku merangkai dua yang berbeda menjadi kata kita. Kau bukanlah diri. Kau adalah Dzat yang tak mengenal kata mati. Dzat yang memegang kendali hidupku.
Kali ini, izinkan kumenyebut-Mu dalam kata kita. Kita yang romantis. Ah, bukan kita. Tapi, Kau. Kau yang romantis.
Luput ataupun tidak, entah seberapa sering aku menggugat pada hidup. Mengukirnya dengan keluh. Tapi, Kau tak pernah bosan mendengar. Telinga-Mu selalu terbuka. Kau memaklumi hatiku yang manusia. Bahkan, Kau merahasiakan segala keluhku.
Sampai di suatu titik puncak kepalaku terasa penuh, segala keluh menjelma airmata. Ketika itu, sunyi menjadi pelataran terbaik untuk kita berdua. Hanya Kau dan aku.
Lalu, dalam sunyi yang berlinang perih, Kau memandangku lebih dekat. Kau tak menghapus buliran bening di mataku. Kau paham aku butuh itu. Itu sebabnya, kau hadirkan air mata. Bukan untuk sebuah kecengengan atau tanda kerapuhan. Tapi untuk memberiku lega.
Kepalaku telungkup, lelah untuk tegak. Aku terus mengaliri sunyi dengan sengguk dan sembab. Kau masih tak menghapus basah di mataku. Tapi, Kau menungguiku hingga sesakku menguap dan linang mengering dengan sendirinya.
Setelahnya, aku kerap mempertanyakan hal yang sama, "Tak apakah aku begini pada-Mu? Mengeluh lantas menangis."
Kau membelai kepalaku. Damai menelusup. Kepalaku terangkat. Kau tersenyum dan mengulurkan tangan mengajakku berdiri. Berdiri dan tak langsung berlari.
Kau tunjukkan langit-Mu, dimana catatan doa-doaku begitu jelas terlihat. Pula dimana aku menggoreskan cita dan impian. Kau menggenggam tanganku. Mengajakku melangkah setapak demi setapak untuk kembali memulai siklus hidup.
Itu Kau. Yang selalu romantis.
Malam ini, seperti malam yang berkesudah. Kau menungguiku sampai buliran embun di mataku meruap tiada bersisa. Bersama gelap yang kental, kutuliskan catatan sunyiku untuk-Mu.
Satu dari sekian banyak keromantisan-Mu malam ini. Kau paham, aku tak suka purnama. Bagusnya, purnama tak pernah menengokku di sudut jendela. Kau beri aku temaram sabit. Sabit yang lengkungnya bagai senyum di tengah pekat malam.
-On the corner of window, seeing moonlight in silence, Vinny Erika Putri