Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Selasa, 16 Agustus 2022

#9. Surat Untuk Diriku Tentang Berita Hari Ini



Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Apakah kau ingin berteriak meneriaki seseorang atau kehidupan?
Aku, ingin meneriaki seorang yang dungu dibalik peci, sarung dan label pemuka agama. Bahwa, untuk merasakan pengorbanan orang lain saja, dia sangatlah dungu. Lebih dungu dari seorang atheis atau agnostik yang berjuang hidup sendirian tapi masih memiliki pertanyaan soal ketuhanan yang nantinya akan membawa dirinya dalam perjalanan mencari cahaya Tuhan.

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Kau sedang merasakan kekecewaan bukan? Kekecewaan mendalam pada yang bersangkutan hingga membuatmu sampai dibelit angkara murka.
Ya. Aku kecewa. Kecewa pada kedunguannya. Betapa dangkal akal pikirannya. Betapa mati rasa hatinya. Betapa kerdil kekanak-kanakan jiwanya. Tercermin dari tolol kata-katanya. Mencerminkan bahwa isi tampungan dirinya tak sanggup menadah dan menerima hal yang lebih luas dari kumpulan makna dalam semesta kehidupan. Tampungannya hanya seputar harta, material fana yang berlindung dibalik ayat-ayat agama.

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Tak apa, jika kau ingin mengumpat dengan kata-kata yang mungkin tak nyaman didengar. Itu bagian dari proses untuk kau mendinginkan amarah yang kau pendam bagai api dalam sekam sedari siang.
Ya. Aku marah. Awal mulanya, aku diberondong soal nasib ijazah, yang padahal sudah berulang-ulang kusampaikan setiap perkembangan informasinya di grup yayasan.  Bahkan dari awal proses pengisian data. Tapi, ternyata, memang dia dungu. Kedunguannya tidak mampu mencerna dengan otaknya. Aku bahkan ragu, dia punya otak yang biasa digunakan berpikir dan merenungi hal-hal lain yang lebih esensial dalam kehidupan. Dirinya, masih saja bertanya sesoal ijazah yang belum turun dengan nada kalimat yang arahnya meragukan perjuanganku. Dirinya, seorang "bos besar" yang tidak layak menjadi panutan sebagai pemimpin. Sebab, tidak sanggup melindungi dan mengayomi apa yang seharusnya dilindungi dan diayomi. 
Dia yang memulai perang duluan. Menyulut sistem pertahanan diriku aktif untuk mendebatnya dengan argumen hingga dirinya patah-kalah. Penjelasan panjang yang kuuraikan dari mulai kendala yang dihadapi, prosedur pengajuan, prosedur verifikasi hingga "menamparnya" sesoal resiko dari sebuah lembaga non-formal diformalkan melalui pengajuan proposal penyetaraan, dan akhirnya senjata terakhir itulah yang membungkam si otak udang. Sungguh, berdebat dengannya sangat menguras energi. Tapi, tidak didebat, otaknya akan semakin dungu. Dipikirnya, mungkin, aku akan berlepas tangan begitu saja ketika dihadapkan pada permasalahan yang timbul sebagai dampak dari belum turunnya ijazah. Giliran aku memberi sebuah highlight penting yang intinya begini: "Kalau mau ditanggapi, setidaknya saat mengurus bolak-balik ke kantor PD-Pontren Kemenag jangan hanya membawa diri atau dengan tangan kosong untuk melancarkan urusan kita", jawabannya sungguh lucu. Dia bilang, "Kalau sudah mengeluarkan uang tapi tidak ada hasil, percuma." 
Dungu memang. Tertangkap jelas, maknanya bahwa dia tidak mau berkorban uang untuk lembaganya sendiri. Dungu yang melebihi anak berkebutuhan khusus dengan kondisi retardasi mental.
Dalam hati, seolah ingin meringkas segala penjelasan panjang lebar yang kukemukakan dengan kalimat sederhana, "Hei, Pak, kalau Anda tidak mengerti kondisi di lapangan, lebih baik diam. Jangan sampai Anda malah akhirnya memperlihatkan kedunguan Anda sendiri. Anda sadar tidak, kalau kita hidup di realita dunia yang semacam ini?" 
Tapi aku sudah malas untuk melanjutkan debat kata-kata dengan orang yang linglung akan dirinya sendiri. Bahkan tidak sadar dengan kedunguannya.

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Tak apa, untuk kau melepaskan penat dengan keluh kesah. Mungkin, dirimu sedang di fase (kembali) membutuhkan penerimaan oleh dirimu sendiri.
Ya. Mungkin. Aku, rasanya seperti tengah kembali berada di titik lelah dengan situasi-kondisi yang ada. Orang-orang, kejadian, peristiwa dalam waktu dua bulan ini, banyak membuatku patah-bangkit-berjuang dengan keberanian yang mirip seperti seorang pejalan sunyi. Pejalan sunyi yang berjalan sendirian menghadapi apapun. Pejalan sunyi yang tak bergantung pada perlindungan orang-orang di sekitarnya. Atau mungkin, oleh sebab aku jarang mendapati perlindungan sebagai sulung perempuan sedari kecil, dan lebih banyak berjuang melindungi diriku sendiri sekaligus orang-orang sekitar, aku menjadi lupa apa yang dinamai ketakutan tanpa perlindungan dari manusia manapun. Keadaan semacam ini, yang menyadarkan diriku, bahwa (lagi-lagi), akulah yang mesti bisa menampung diriku sendiri. Dan ketika aku bahkan tidak sanggup menampung diriku sendiri, kepada-Nyalah aku kembalikan segalanya.

Hai, Vinny Erika Putri.
Aku tahu, hari ini, kau sedang tidak baik-baik saja. Tak apa, karena kau adalah manusia yang terus berproses dan berprogres untuk bertumbuh dari setiap rasa sakit yang kau terima.
Ya. Malam ini, aku tengah menangis dan memeluk erat jiwaku sendiri dengan segala kemarahan dan kekecewaan yang kurasakan. 

Hai, Vinny Erika Putri.
Tak apa, untuk menerima dan merasakan rasa yang kau rasakan. Itu bukanlah suatu melankoli yang berlebihan. Tapi, kau memang tengah butuh merasa, agar hatimu tak mati rasa. Sampai, pada saatnya nanti, kau bisa mengatasi dirimu sendiri untuk kembali memaknai semuanya dengan hati yang lebih lapang, akal pikiran yang jernih dan mental yang stabil.


-Vinny Erika Putri, 16.08.22

Minggu, 14 Agustus 2022

Tentang Melambat



Tentang Melambat.
Kata kebanyakan orang, "Itu suatu kemunduran."
Benarkah?
Dulu, aku mengiyakan.
Sekarang?
Tidak lagi memberikan justifikasi semacam itu.

Tentang melambat.
Dulu, ketika masih menjadi bagian dari "kubu" pro percepatan, aku melihat orang-orang yang melambat dengan pertanyaan sejenis ini: "Mengapa mereka lambat dalam mengenali situasi-kondisi sekitar? Mengapa mereka tidak bisa memberikan penanganan yang cepat-tepat-efektif-efisien-asertif dalam menyikapi permasalahan-permasalahan yang terjadi?"
Aku, seperti masih belum bisa menolerir perlambatan meski aku sudah paham arti dari kalimat "Setiap orang memiliki waktunya sendiri dalam pertumbuhannya, tidak cepat, tidak pula lambat." 
Kalimat itu hanya berhenti di kata "paham", belum kuresapi menjadi sesuatu yang menadi dalam akal pikiran-jiwa-hati-lelaku. Kalimat itu hanya sekadar jargon omong kosong yang terekam di memori kepala. 

Tentang melambat.
Aku, "Vinny Erika Putri", hampir 36 tahun hidup didalam sebuah dunia pemikiran sesosok wanita yang "tidak umum" dibandingkan wanita seusianya atau bahkan wanita kebanyakan. Aku, yang tidak umum, dewasa lebih cepat dan matang lebih dulu, sepertinya tengah berada di titik lelah. Lelah melihat segala percepatan di era teknologi yang semakin gila mengobrak-abrik ketenangan hidup. Lelah, melihat orang-orang melakukan percepatan dengan cara yang sangat serampangan. Atau mungkin, justru akulah yang sedang melelah untuk selalu bergegas menjadi yang tercepat sendiri (dan sendirian) dalam pertumbuhan apapun?

Tentang melambat.
Di rentang 3 tahun terakhir, aku menjadi individu yang banyak mempertanyakan tentang percepatan-percepatan yang sudah kulakukan dalam hidup. Putaran roda kehidupan di 3 tahun terakhir banyak menghantam mental-psikisku lebih keras dari tahun-tahun sebelumnya dan nyaris mengikis segala ambisi yang kupunya.
Bahkan, keadaan ini, membawaku bertanya kepada diri sendiri soal ekspektasi dan keinginan diri serta kehendak-Nya terhadap hidupku. Perenungan tersebut melahirkan dialog diri yang dituangkan dalam sebuah tulisan berjudul Manusia Tanpa Ekspekstasi dan Keinginan.

Tentang melambat.
Kini, persepsiku telah banyak mengalami perubahan-bersintesa-terintegrasi dengan makna yang ku-renung-resap-laku-i dari setiap peristiwa yang terjadi didalam hidupku. 
Melambat sejenak di dunia serba cepat terkadang memang perlu. Dengan melambat, aku menjadi lebih bisa mengamati apa yang selama ini luput dari pengamatan dan perhatianku. Satu contoh kecil, soal bernapas.
Disaat melambat, aku menjadi lebih sadar bagaimana ritme napasku sendiri. Apakah aku sudah mulai terengah-engah seperti nyaris kehabisan napas dalam menghadapi hidupku atau masih dalam kondisi yang tenang menerima segala qodo dan qodar-Nya.
Kesadaran kecil tersebut perlahan-lahan menyebar luas menjadi kesadaran yang lebih besar seperti kesadaran batin dalam menyadari alur algoritma berpikir, spektrum jiwa (mental-psikis), pergerakan perasaan dan situasi-kondisi sekitar diri yang sedang berlangsung sehingga membuatku mampu melihat banyak hal yang terpancar baik di dunia internalku maupun dunia eksternalku dengan lebih jeli-jelas-jernih-netral dari segala sisi/sudut pandang.

Tentang melambat.
Melambat, bukanlah suatu kemunduran. Melambat, adalah bagian dari progres memaknai hidup dan denyut nadi alam semesta dengan lebih tenang dan damai.
Jadi, tak apa ... jika kita merasa sedang dalam fase melambat. Siapa tahu kita bisa melihat keindahan yang tak sempat teramati disaat kita terlalu sibuk dengan segala macam percepatan. Sebab, melambat pun, bagian dari seni menemukan warna hidup.


-Vinny Erika Putri, 14.08.22