Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Minggu, 21 Desember 2014

Sintren dan Cerita Hujan Ketika Bulan Tak Memerah



Ada kebencian... yang ingin kuhapus dari penggalan cerita yang dibawa hujan. Hujan ketika bulan tak memerah[1].
*
Lingkar bulan memurnama langit. Bulat, kuning merona. Keberadaannya serupa mata satu yang merekam denyut semesta kala hari menggelap. Malam ini, di bawah kilaunya, sebuah pertunjukan akan dipersembahkan.

Prosesi dupan[2] mengawali pertunjukan. Kau duduk didampingi seorang pawang sintren dan empat orang cantrik[3]. Balutan kebaya sederhana memberimu keanggunan. Binar mata menenggelamkan duka yang menghuni hatimu tujuh malam lalu. Hatimu bungah. Sebab, malam ini, kau bergelar ratu sintren. Lainnya, ada harap yang musykil menyata, tumbuh di kepalamu.

Tambak-tambak pawon. Isie dandang kukusan. Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul.

Tembang mengalun dari bibir para penggerong[4]. Pengrawit[5] memainkan gamelan khas laras slendro. Denting dan tembang merupa mantra pengundang. Dalam waktu singkat, jubelan manusia memadati arena pertunjukan: lapangan luas berumput gersang, bermahkotakan panggung kayu sederhana di atasnya. Di sekeliling panggung, keberadaan api obor bagai lentera di tengah kegelapan.

Ragaku larut bersama keramaian. Tapi, tidak dengan pikiranku. Pikiran tak bertuankan raga. Ia –pikiran– sedemikian bebas dan liar. Perlahan, denting gamelan dan alunan tembang menyayup di telingaku. Lalu, kelana pikiran mengkhianati sempadan waktu. Pikiranku menjelajahi kenangan, menggelar bayangan ibu.
*
Ibu memeram sekisah hidup. Kisah itu tetas di telingaku seiring waktu mendewasakanku. Ibu menamainya kisah hujan ketika bulan tak memerah. Didalamnya, mengidung kisah cinta berlatar hujan yang pertama kali kudengar sekaligus kubenci.

Dengan kebencian yang sedemikian mengerak dan kemuakan tiada kepalang, aku kerap memaki kisah hujan ketika bulan tak memerah. Namun, kata ibu, aku tak boleh begitu. Ada yang ibu anggap mukzizat dalam kisah hujan ketika bulan tak memerah. Mukzizat hujan pertama yang turun setelah kemarau panjang membelit kampung ibu.

Ya. Mukzizat.

Bila hujan tidak turun, ibu tidak akan memaafkan dirinya yang telah melanggar syarat ritual cowongan[6]. Ibu telah melanggar syarat kesucian diri.

“Roh Dewi Sulasih sungguh masih bermurah hati pada ibu, Nak,” ucap ibu kala itu.

Di mataku, guyuran hujan setelah pesta-pora ritual cowongan, menjadi awal mula kekejaman hidup pada ibu. Lelakinya pergi. Setelah kepergiannya, mual-mual mengisi hari-hari ibu. Kamar menjadi tempat yang aman baginya untuk mengurung diri. Tempat ia mengumpulkan remah-remah harap: lelakinya akan datang menjemput.

Sampai akhirnya, ibu diasingkan. Sendirian. Tepat ketika hujan ketujuh datang di bulannya yang tak memerah. Bulan dimana rasa malu akan cibiran dan cemoohan mengalahkan rasa belas kasih. Bulan dimana kelindan sunyi yang perih menjadi lebih akrab dari keluarga sedarah. Dan hidup dengan jelas mengisyaratkan ketidak-berpihakannya pada perempuan beraib.

*

Pawang sintren memegang kedua tanganmu. Lantas, meletakkannya di atas kepulan asap kemenyan yang meliuk-liuk. Mulut sang pawang mengucapkan mantra turun-turun sintren. Mantra yang dimaktubkan sebagai mantra pemanggilan roh Dewi Sulasih.

Turun-turun sintren
sintrene widadari
Nemu kembang ning ayun-ayunan
kembange Siti Mahendra
widodari temurunan naranjing ka awak sira

Pawang sintren mengikatkan tali ke tubuhmu dan menutup matamu dengan saputangan. Di hadapanmu, berdiri sebuah kurungan ayam yang tertutup rapat kain hitam. Didalamnya, ada perlengkapan rias wajah dan busana sintren.

Kau dimasukkan ke dalam kurungan ayam. Sendirian. Dan tali mengikat erat tubuhmu. Mantra masih terus melagu. Kemudian, entah di menit ke berapa, pawang sintren membuka kurungan ayam. Busana kebaya tak lagi membalut ragamu.

Dalam kondisi tubuh masih terikat, kau telah mengenakan baju golek[7] dan celana cinde[8] bernuansa hitam. Celana cindemu tersemarakkan timpaan jarit[9] bercorak batik mega mendung[10]. Sampur[11] melingkari pinggangmu.Warnanya merah saga, senada dengan corak batik mega mendung. Jamang[12] memahkotai kepalamu. Matamu bersembunyi di balik kacamata hitam. Tanpa kacamata hitam, matamu yang melotot akan tampak menakutkan bagi penonton.

Pawang sintren menutup kembali kurungan ayam. Sampai, kurungan bergetar, barulah ia membuka kurungan. Kulihat, tali yang meliliti tubuhmu sudah terlepas. Kau mendapati apa yang didapati ibuku dahulu di ritual cowongan: kemurahan hati roh Dewi Sulasih. Dahulu, aku tak mengerti arti kemurahan hati roh Dewi Sulasih pada ibu. Juga sesoal tali yang terlepas dengan sendirinya tatkala para perempuan menarikan sintren.

Kini, kupikir, Dewi Sulasih lebih tahu derita yang kau dan ibuku hadapi ketimbang hukum adat yang memberi sesembahan kesucian wanita kepadanya. Dewi Sulasih bukan lelaki, ia perempuan. Sangat perempuan. Lainnya, Dewi Sulasih paham, betapa tali ketidak-adilan mengikat perempuan sedemikian erat. Terlepasnya tali yang mengikatmu di mataku sebuah perlambang. Dewi Sulasih ingin membebaskan jiwa-jiwa perempuan yang terpenjara ketidak-adilan dan penindasan atas haknya.

Mataku nanar memandangimu. Sedangkan, ingatanku menanak kembali percakapan kita beberapa waktu lalu.

“Aku berharap melihatnya di tengah-tengah kerumunan orang nanti saat aku menari. Seperti kisah kasih Sulasih-Sulandono yang kau ceritakan padaku saat kau mengenalkan sintren padaku,” ujarmu.

Kisah Sulasih-Sulandono, bagaimana aku tak hafal betul kisah itu. Ibu selalu mengulang-ngulang kisah itu setiap kali rombongan sintren yang diikutinya akan mengadakan pertunjukan. Serupa mengulang-ngulang harapan yang sama: bertemu lelakinya. Ibu lupa akan keperihan yang disisakan dari kepergian lelakinya. Pula keterasingan yang didapatinya akibat ulah lelakinya. 

Dikisahkan dalam cerita asmaraloka Sulasih-Sulandono, Raden Sulandono mencintai Sulasih yang berasal dari Desa Kalisalak. Namun, Ki Bahurekso –ayahanda Sulandono yang merupakan seorang Bupati Mataram– tak merestuinya. Lantas, Rantamsari –ibunda Sulandono– memerintahkan Sulandono untuk pergi bertapa. Rantamsari membekali Sulandono saputangan yang pernah dibawanya semasa menjadi penari ronggeng.

Sementara kepada Sulasih, Rantamsari menitahkannya menjadi penari sintren di setiap acara bebersih desa. Setiap Sulasih menari, raganya dipinjam roh Dewi Lanjar, Sang Penguasa Ratu Pantai Utara. Sementara, jiwa Sulasih mencari jiwa Sulandono. Setelah mereka bertemu di alam jiwa, pertapaan Sulandono berakhir. Kemudian, Sulandono diam-diam hadir di tengah-tengah kerumunan rakyat dan menjadi bagian dari penonton yang menyaksikan pertunjukan sintren Sulasih.

“Sudahlah, Sekar! Aku tidak mempercayai kisah itu!” tegasku.

“Aku percaya. Sama seperti ibumu mempercayai kisah itu. Bila kau tak percaya, mengapa tak kau lepaskan sintren dari hidupmu?”

“Karena ibu. Sintren layaknya udara bagi ibu. Udara yang didapatinya dari keterasingan. Kami mendulang tetes-tetes hidup dari Sintren. Menjaga keberlangsungan sintren adalah caraku mencintai mendiang ibu.”

“Kalau begitu, biarkan aku tetap percaya pada kisah kasih Sulasih-Sulandono.”

Sadarlah! Mengharap sintren mempertemukanmu dengan lelaki itu tak ubahnya bagai menyuburkan harapan kosong.”

“Tak apa. Harapan memberiku hidup. Caraku bertahan. Cara ibumu bertahan....

“Itu bukan caramu bertahan. Tapi caramu membiarkan luka terus menggerogoti hatimu. Seperti luka yang menggerogoti hati ibu sepanjang hayatnya. Sampai ibu berkalang tanah, tak sebatang hidung pun lelaki yang dinantikan ibu muncul menggenapi janjinya.”

“Aku ingin tetap menantinya,” kukuhmu.

Kepalaku mendidih. Tersulut sudah amarahku. Sebabnya, kau memilih luka memakan hidupmu demi lelaki itu.

“Ibuku salah! Kau salah! Kalian salah! Kisah kalian tak seperti Sulasih-Sulandono! Kisah kalian adalah pengingkaran tanggung jawab lelaki atas perempuan! Pengebirian sebuah janji! Kau dengar itu?!”

Kau terkesiap mendengar nada bicaraku yang tiba-tiba meninggi. Matamu perlahan memerah basah, lebih basah dari biasanya. Basah matamu melunakkanku seketika.

Tolong, jangan perpanjang laramu. Kisah itu hanya akan...-,” suaraku lirih menipis. Perih menenggelamkan kata-kataku. Lantas, mengendapkannya dalam hening yang mengiris hati.

Kau memelukku. Senggukmu tetas memecah hening. Basah di matamu menjelma linang. Jatuh menetes. Resap di bahuku. Ah, kau! Kau yang sudah kuanggap adikku sendiri.

Tahukah kau? Hatiku koyak-moyak.
*
Pembakaran kemenyan tak berjeda sedetik pun sepanjang pertunjukan. Setelah jeratan tali di tubuhmu terlepas, kau mulai menari. Empat orang bodor[13] meramaikan pertunjukan tarimu dengan gelak tawa. Alam sadarmu sudah di luar kendalimu. Kau sesekali melakukan akrobatik dengan menari di atas kurungan ayam diiringi tembang ayam walik. Seorang lelaki bertubuh jangkung mengawali prosesi balangan[14]. Ia melempar selembar uang ke tubuhmu. Kau tergeletak pingsan.

Apa yang tengah kau rasakan? Apakah kau merasakan harap yang memerih seperti yang dirasakan ibu? Ataukah kau seperti aku, yang ketika berada dalam fase itu hanya terbius lelap yang panjang?

Di kisah Sulasih-Sulandono, prosesi balangan menjadi titik puncak sebuah penantian panjang. Di titik ini, Sulandono yang menjadi bagian dari penonton sintren, melemparkan saputangan milik Rantamsari saat Sulasih tengah menari. Balangan saputangan Sulandono membuat Sulasih pingsan.

Pawang sintren tak sanggup membangunkan kembali Sulasih sehingga Sulasih dibawa keluar area pertunjukan. Penonton saling ribut. Kekacauan tercipta. Saat itulah Sulandono berhasil membawa Sulasih kabur. Dalam pelarian, mereka menikah dan membentuk rombongan sintren baru yang dipawangi oleh Sulandono.

Betapa di titik inilah... ibu dan kau meletakkan harapan tertinggi.

*

Pawang sintren menghampirimu. Ia letakkan kedua tanganmu di atas kepulan asap kemenyan lantas mengusap wajahmu. Mulutnya merapal mantra. Para penggerong mendendangkan tembang kawula gusti[15]. Roh Dewi Sulasih kembali merasukimu. Kau siuman, bangkit dan menari sekehendak roh Dewi Sulasih menggerakkanmu. Lelaki bertubuh jangkung yang mengawali balangan turut menari bersamamu di atas panggung. Disusul penonton lainnya. Kau pingsan-bangun-menari sebanyak balangan yang penonton lakukan. Sampai prosesi temohan[16] mengakhiri prosesi balangan.

*

Malam telah tanggal separuh waktunya. Sinar purnama lindap memudar ditelan awan hitam. Seiring gelap yang semakin kental, sintren memasuki tahap paripurna.

Pawang sintren memasukkanmu kembali ke dalam kurungan ayam. Baju kebaya yang kau gunakan sebelum prosesi sintren telah diletakkan didalamnya. Lalu ia mengitari kurangan ayam sambil membawa anglo berisi kemenyan. Dari bibirnya bergulir mantra.

Entah berapa kali kurungan ayam itu dikelilinginya. Sampai busana sintren yang kau kenakan dikeluarkan, barulah pawang sintren membuka kurungan ayam. Pakaian kebaya telah melekat di tubuhmu. Namun, kehidupan tak tampak di matamu. Pandanganmu masih mengosong.

Pawang sintren meletakkan kembali kedua tanganmu di atas asap kemenyan yang menguar dari anglo.

Turun-turun sintren, sintrene widodari
Nemu kembang yun-ayunan
Nemu kembang yun-ayunan
Kembang si jaya indra
Widodari temurunan
Kang manjing ning awak sira
....
kembang kates gandul
pinggire kembang kenanga
kembang kates gandul
pinggirekembang kenanga
arep ngalor arep ngidul
wis mana gageya lunga
....
kembang kilaras
di tandur tengae ngalas
kembang kilaras
ditandur tengae ngalas
paman bibi aja maras
dalang sintren jaluk waras

Roh Dewi Sulasih pergi. Kini, kau seutuhnya adalah Sekar.

*
Pagi ini, alam berkabung. Langit kelabu berkerudung mendung. Kurasai hatimu bercadar kabut. Pekat. Tapi, kau masih saja memanjangkan harap dengan tanya yang mengarat. Pula menambahi hatimu sekarat.

“Semalam, kau tak melihat lelakiku?”

“Aku tak melihatnya!”

“Tak apa. Masih ada pertunjukan sintren berikutnya.”

"Cukup, Sekar! Cukup! Mau berapa lama lagi kau mencabiki hatimu sendiri?"

Cerambuk petir berpendar-pendar. Guntur menggelegar. Langit menitikkan kemilau. Renyai lantas menderas.

Kau bukan Sulasih! Dia bukan Sulandono! Lelaki itu berkabar pun tidak! Rimbanya saja tak tahu di mana! Entah di dataran mana cendekiawan itu tinggal!”

Aku memberang. Bara amarah bermuntahan dari kata-kataku. Menyala-nyala. Kebencianku pada para lelaki pengebiri janji sedemikian mengesumat.

“Ia hanya lelaki yang singgah dan pergi sekehendak nafsunya! Ia tebar bujuk rayu dan janji-janji di dadamu untuk kemudian ia kebiri sekendak hati! Di kepalanya, nafsu lebih menggoda dari dosa! Kau tak lebih dari sekadar kesenangan sesaat! Tak mengertikah kau keluguanmu sendiri?! Kau tujuh belas, dia dua puluh tujuh!

Kau terduduk lemas. Tubuhmu gemetar. Kau memegangi perutmu. Perut yang akan membesar seiring bertambahnya bulan dan tak bisa kau sembunyikan lagi.

“Lalu, bagaimana? Bagaimana caraku menemukannya?”

Separuh diriku meremuk, terlumat perih. Sungguh, melihat kau begini, bagai merasai bayangan ibu belasan tahun silam. Bedanya, ibu menghadapi ini sendirian.

Seberdarah inikah rasanya, Bu? Kebanyakan isi kepala manusia memasung perempuan beraib dalam kenistaan yang abadi meski lelaki-lelaki itu yang mengubah suci menjadi aib. Sementara, lelaki-lelaki itu sanggup meniadakan ciri aib yang menandai mereka. Lelaki-lelaki itu bisa memilih perempuan suci yang lebih berkilau dari aib yang mereka perbuat. Namun tidak bagi perempuan. Aib lebih keras menempatkan perempuan pada cibiran dan cemoohan. Menyurukkannya pada ceruk tergelap yang semanusia pun tak sudi mengulurkan tangan. Inikah keadilan, Bu? Ataukah keadilan hanya milik lelaki-lelaki itu?

Kepalamu masih kulihat tertunduk. Gigitan bibirmu keras mengekang getar. Namun, pada akhirnya, kepedihan mengikis pertahananmu hingga habis. Tegarmu hilang. Menyisa rapuh. Kau benamkan wajah kuyumu ke pangkuanku. Isak tangismu pecah.

“Ada aku, Sekar. Kau tak akan sendirian. Ada aku."

Hatiku terajam pilu. Mendera-dera. Luruh embun di mataku.Tercecap asin di bibir.

Ada kebencian, yang ingin kuhapuskan dari penggalan cerita yang dibawa hujan. Hujan milik ibu dan milik Sekar. Hujan ketika bulan tak memerah. Hujan ketika aku mempertanyakan keberpihakan keadilan pada perempuan.

Kebencian yang ingin kugantikan dengan sebuah janji: merangkulkan tangan dan memberikan perempuan yang bernasib seperti ibu dan Sekar sebuah rumah bernama penerimaan.

*
[1]http://www.rayakultura.net/hujan-ketika-bulan-tak-memerah-karya-vinny-erika-putri/
[2]Acara berdoa bersama-sama diiringi membakar kemenyan dengan tujuan memohon perlindungan kepada Tuhan agar selama pertunjukan terhindar dari mara bahaya.
[3]Dayang
[4]Vokalis
[5]Penabuh gamelan
[6]Ritual pemanggilan hujan yang dilakukan oleh orang-orang Plana, Banyumas, ketika tertimpa kemarau panjang
[7]Baju tanpa lengan yang biasa dipergunakan dalam tari golek
[8]Celana tiga perempat yang panjangnya hanya sampai lutut
[9]Kain model busana wanita jawa
[10]Batik mega mendung adalah corak batik khas daerah Cirebon  
[11]Sehelai/selembar selendang yang dililitkan di pinggang dan diletakkan di samping kiri-kanan kemudianditutup  sabuk, atau diletakkan di depan
[12]Hiasan yang dipakai dikepala dengan untaian bunga melati di samping kanan dan kiri telinga sebagai koncer
[13]Pelawak
[14]Prosesi dimana saat penari sintren sedang menari, penonton diperbolehkan melempar sesuatu ke si penari sintren
[15]Tembang untuk permohonan maaf kepada sintren yang pingsan karena marah atau tidak berkenan hatinya
[16]Prosesi ketika penari sintren dengan tampah atau nampan mendekati penonton untuk meminta tanda terima kasih berupa uang ala kadarnya

 _________________________
* Cerpen ini masuk dalam kategori 6 pemenang karya unggulan Lomba Menulis Cerpen Obor Award 2