Ada kebencian... yang ingin kuhapus dari penggalan cerita yang dibawa hujan. Hujan ketika bulan tak memerah[1].
*
Lingkar
bulan memurnama langit. Bulat, kuning merona. Keberadaannya serupa mata
satu yang merekam denyut semesta kala hari menggelap. Malam ini, di bawah kilaunya,
sebuah pertunjukan akan dipersembahkan.
Prosesi
dupan[2]
mengawali pertunjukan. Kau duduk didampingi seorang pawang sintren dan
empat orang cantrik[3].
Balutan kebaya sederhana memberimu keanggunan. Binar mata menenggelamkan duka yang
menghuni hatimu tujuh malam lalu. Hatimu bungah. Sebab, malam ini, kau bergelar
ratu sintren.
Lainnya, ada harap yang musykil menyata, tumbuh di kepalamu.
Tambak-tambak pawon. Isie dandang
kukusan. Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul.
Tembang
mengalun dari bibir para penggerong[4].
Pengrawit[5]
memainkan gamelan khas laras slendro.
Denting dan tembang merupa mantra pengundang. Dalam waktu singkat, jubelan
manusia memadati arena pertunjukan: lapangan luas berumput gersang, bermahkotakan
panggung kayu sederhana di atasnya. Di sekeliling panggung, keberadaan api
obor bagai lentera di tengah kegelapan.
Ragaku
larut bersama keramaian. Tapi, tidak dengan pikiranku. Pikiran tak bertuankan
raga. Ia –pikiran– sedemikian bebas dan liar. Perlahan, denting gamelan dan alunan
tembang menyayup di telingaku. Lalu, kelana pikiran mengkhianati sempadan waktu.
Pikiranku menjelajahi kenangan, menggelar bayangan ibu.
*
Ibu
memeram sekisah hidup. Kisah itu tetas di telingaku seiring waktu
mendewasakanku. Ibu menamainya kisah hujan
ketika bulan tak memerah. Didalamnya, mengidung kisah cinta berlatar hujan yang
pertama kali kudengar sekaligus kubenci.
Dengan
kebencian yang sedemikian mengerak dan kemuakan tiada kepalang, aku kerap memaki kisah
hujan ketika bulan tak memerah. Namun,
kata ibu, aku tak boleh begitu. Ada yang ibu anggap mukzizat dalam kisah hujan ketika bulan tak memerah. Mukzizat
hujan pertama yang turun setelah kemarau panjang membelit kampung ibu.
Ya.
Mukzizat.
Bila
hujan tidak turun, ibu tidak akan memaafkan dirinya yang telah melanggar syarat
ritual cowongan[6].
Ibu telah melanggar syarat kesucian diri.
“Roh
Dewi Sulasih sungguh masih bermurah hati pada ibu, Nak,” ucap ibu kala itu.
Di
mataku, guyuran hujan setelah pesta-pora ritual cowongan, menjadi awal mula kekejaman hidup pada ibu. Lelakinya
pergi. Setelah
kepergiannya, mual-mual mengisi hari-hari ibu. Kamar menjadi tempat yang aman
baginya untuk mengurung diri. Tempat ia mengumpulkan remah-remah harap: lelakinya
akan datang menjemput.
Sampai
akhirnya, ibu
diasingkan. Sendirian. Tepat ketika hujan ketujuh datang di bulannya yang tak
memerah. Bulan dimana rasa malu akan cibiran dan cemoohan mengalahkan rasa
belas kasih. Bulan dimana kelindan sunyi yang perih menjadi lebih akrab dari
keluarga sedarah. Dan hidup dengan jelas mengisyaratkan ketidak-berpihakannya
pada perempuan beraib.
*
Pawang
sintren memegang kedua tanganmu. Lantas, meletakkannya di atas kepulan asap
kemenyan yang meliuk-liuk. Mulut sang pawang mengucapkan mantra turun-turun
sintren. Mantra yang dimaktubkan sebagai mantra pemanggilan roh Dewi Sulasih.
Turun-turun sintren
sintrene widadari
Nemu kembang ning ayun-ayunan
kembange Siti Mahendra
widodari
temurunan naranjing ka awak sira
Pawang
sintren mengikatkan tali ke tubuhmu dan menutup matamu dengan saputangan. Di
hadapanmu, berdiri sebuah kurungan ayam yang tertutup rapat kain hitam.
Didalamnya, ada perlengkapan rias wajah dan busana sintren.
Kau
dimasukkan ke dalam kurungan ayam. Sendirian. Dan tali mengikat erat tubuhmu. Mantra
masih terus melagu. Kemudian, entah di menit ke berapa, pawang sintren membuka
kurungan ayam. Busana kebaya tak lagi membalut ragamu.
Dalam
kondisi tubuh masih terikat, kau telah mengenakan baju golek[7]
dan celana cinde[8]
bernuansa hitam. Celana cindemu tersemarakkan timpaan jarit[9]
bercorak batik mega mendung[10]. Sampur[11]
melingkari pinggangmu.Warnanya merah saga, senada dengan corak batik mega
mendung. Jamang[12]
memahkotai kepalamu. Matamu bersembunyi di balik kacamata hitam. Tanpa kacamata
hitam, matamu yang melotot akan tampak menakutkan bagi penonton.
Pawang
sintren menutup kembali kurungan ayam. Sampai, kurungan bergetar, barulah ia membuka
kurungan. Kulihat, tali yang meliliti tubuhmu sudah terlepas. Kau mendapati apa
yang didapati ibuku dahulu di ritual cowongan:
kemurahan hati roh Dewi Sulasih. Dahulu, aku tak mengerti arti kemurahan hati
roh Dewi Sulasih pada ibu. Juga sesoal tali yang terlepas dengan sendirinya tatkala
para perempuan menarikan sintren.
Kini,
kupikir, Dewi Sulasih lebih tahu derita yang kau dan ibuku hadapi ketimbang hukum
adat yang memberi sesembahan kesucian wanita kepadanya. Dewi Sulasih bukan
lelaki, ia perempuan. Sangat perempuan. Lainnya, Dewi Sulasih paham, betapa
tali ketidak-adilan mengikat perempuan sedemikian erat. Terlepasnya tali yang
mengikatmu di mataku sebuah perlambang. Dewi Sulasih ingin membebaskan
jiwa-jiwa perempuan yang terpenjara ketidak-adilan dan penindasan atas haknya.
Mataku
nanar memandangimu. Sedangkan, ingatanku menanak kembali percakapan kita
beberapa waktu lalu.
“Aku
berharap melihatnya di tengah-tengah kerumunan orang nanti saat aku menari. Seperti
kisah kasih Sulasih-Sulandono yang kau ceritakan padaku saat
kau mengenalkan sintren padaku,” ujarmu.
Kisah
Sulasih-Sulandono, bagaimana aku tak hafal betul kisah itu. Ibu selalu
mengulang-ngulang kisah itu setiap kali rombongan sintren yang diikutinya akan
mengadakan pertunjukan. Serupa mengulang-ngulang harapan yang sama: bertemu
lelakinya. Ibu lupa akan keperihan yang disisakan dari kepergian lelakinya. Pula
keterasingan yang didapatinya akibat ulah lelakinya.
Dikisahkan dalam cerita asmaraloka Sulasih-Sulandono, Raden Sulandono mencintai Sulasih yang berasal dari Desa Kalisalak. Namun, Ki Bahurekso –ayahanda Sulandono yang merupakan seorang Bupati Mataram– tak merestuinya. Lantas, Rantamsari –ibunda Sulandono– memerintahkan Sulandono untuk pergi bertapa. Rantamsari membekali Sulandono saputangan yang pernah dibawanya semasa menjadi penari ronggeng.
Dikisahkan dalam cerita asmaraloka Sulasih-Sulandono, Raden Sulandono mencintai Sulasih yang berasal dari Desa Kalisalak. Namun, Ki Bahurekso –ayahanda Sulandono yang merupakan seorang Bupati Mataram– tak merestuinya. Lantas, Rantamsari –ibunda Sulandono– memerintahkan Sulandono untuk pergi bertapa. Rantamsari membekali Sulandono saputangan yang pernah dibawanya semasa menjadi penari ronggeng.
Sementara
kepada Sulasih, Rantamsari menitahkannya menjadi penari sintren di setiap acara
bebersih desa. Setiap Sulasih menari, raganya dipinjam roh Dewi Lanjar, Sang Penguasa
Ratu Pantai Utara. Sementara, jiwa Sulasih mencari jiwa Sulandono. Setelah mereka
bertemu di alam jiwa, pertapaan Sulandono berakhir. Kemudian, Sulandono diam-diam
hadir di tengah-tengah kerumunan rakyat dan menjadi bagian dari penonton yang menyaksikan
pertunjukan sintren Sulasih.
“Sudahlah,
Sekar! Aku tidak mempercayai kisah itu!” tegasku.
“Aku
percaya. Sama seperti ibumu mempercayai kisah itu. Bila kau tak percaya,
mengapa tak
kau
lepaskan sintren dari hidupmu?”
“Karena
ibu. Sintren layaknya udara bagi ibu. Udara yang didapatinya dari keterasingan.
Kami mendulang tetes-tetes hidup dari Sintren. Menjaga keberlangsungan sintren
adalah caraku mencintai mendiang ibu.”
“Kalau
begitu, biarkan aku tetap percaya pada kisah kasih Sulasih-Sulandono.”
“Sadarlah! Mengharap
sintren mempertemukanmu dengan lelaki itu tak ubahnya bagai menyuburkan
harapan kosong.”
“Tak
apa. Harapan memberiku hidup. Caraku bertahan. Cara ibumu bertahan....”
“Itu
bukan caramu bertahan. Tapi caramu membiarkan luka terus menggerogoti hatimu. Seperti
luka yang menggerogoti hati ibu sepanjang hayatnya. Sampai ibu berkalang tanah,
tak sebatang hidung pun lelaki yang dinantikan ibu muncul menggenapi janjinya.”
“Aku
ingin tetap menantinya,” kukuhmu.
Kepalaku
mendidih. Tersulut sudah amarahku. Sebabnya, kau memilih luka memakan hidupmu
demi lelaki itu.
“Ibuku
salah! Kau salah! Kalian salah! Kisah kalian tak seperti Sulasih-Sulandono! Kisah
kalian adalah pengingkaran tanggung jawab lelaki atas perempuan! Pengebirian
sebuah janji! Kau dengar itu?!”
Kau
terkesiap mendengar nada bicaraku yang tiba-tiba meninggi. Matamu perlahan memerah
basah, lebih basah dari biasanya. Basah matamu melunakkanku seketika.
“Tolong,
jangan perpanjang laramu. Kisah itu hanya akan...-,” suaraku lirih menipis. Perih
menenggelamkan kata-kataku. Lantas, mengendapkannya dalam hening yang mengiris
hati.
Kau
memelukku. Senggukmu tetas memecah hening. Basah di matamu menjelma linang. Jatuh
menetes. Resap di bahuku. Ah, kau! Kau yang sudah kuanggap adikku sendiri.
Tahukah
kau? Hatiku
koyak-moyak.
*
Pembakaran
kemenyan tak berjeda sedetik pun sepanjang pertunjukan. Setelah jeratan tali di
tubuhmu terlepas, kau mulai menari. Empat orang bodor[13]
meramaikan pertunjukan tarimu dengan gelak tawa. Alam sadarmu sudah di luar
kendalimu. Kau sesekali melakukan akrobatik dengan menari di atas kurungan ayam
diiringi tembang ayam walik. Seorang
lelaki bertubuh jangkung mengawali prosesi balangan[14].
Ia melempar selembar uang ke tubuhmu. Kau tergeletak pingsan.
Apa yang tengah kau rasakan? Apakah
kau merasakan harap yang memerih seperti yang dirasakan ibu? Ataukah kau
seperti aku, yang
ketika berada dalam fase itu hanya terbius lelap yang panjang?
Di
kisah Sulasih-Sulandono, prosesi balangan
menjadi titik puncak
sebuah penantian panjang. Di titik ini, Sulandono yang menjadi bagian dari
penonton sintren, melemparkan saputangan milik Rantamsari saat Sulasih tengah
menari. Balangan saputangan Sulandono
membuat Sulasih pingsan.
Pawang
sintren tak sanggup membangunkan kembali Sulasih sehingga Sulasih dibawa keluar
area pertunjukan. Penonton saling ribut. Kekacauan tercipta. Saat itulah Sulandono
berhasil membawa Sulasih kabur. Dalam pelarian, mereka menikah dan membentuk
rombongan sintren baru yang dipawangi oleh Sulandono.
Betapa
di titik inilah... ibu dan kau meletakkan harapan tertinggi.
*
Pawang
sintren menghampirimu. Ia letakkan kedua tanganmu di atas kepulan asap kemenyan
lantas mengusap wajahmu. Mulutnya merapal mantra. Para penggerong mendendangkan tembang kawula gusti[15]. Roh
Dewi Sulasih kembali merasukimu. Kau siuman, bangkit dan menari sekehendak roh
Dewi Sulasih menggerakkanmu. Lelaki bertubuh jangkung yang mengawali balangan
turut menari bersamamu di atas panggung. Disusul penonton lainnya. Kau
pingsan-bangun-menari sebanyak balangan
yang penonton lakukan. Sampai prosesi temohan[16]
mengakhiri prosesi balangan.
*
Malam
telah tanggal separuh
waktunya. Sinar purnama lindap memudar ditelan awan hitam. Seiring gelap yang semakin
kental, sintren memasuki tahap paripurna.
Pawang
sintren memasukkanmu kembali ke dalam kurungan ayam. Baju kebaya yang kau
gunakan sebelum prosesi sintren telah diletakkan didalamnya. Lalu ia mengitari kurangan
ayam sambil membawa anglo berisi
kemenyan. Dari bibirnya bergulir mantra.
Entah
berapa kali kurungan ayam itu dikelilinginya. Sampai busana sintren yang kau
kenakan dikeluarkan, barulah pawang sintren membuka kurungan ayam. Pakaian
kebaya telah melekat di tubuhmu. Namun, kehidupan tak tampak di matamu. Pandanganmu
masih mengosong.
Pawang
sintren meletakkan kembali kedua tanganmu di atas asap kemenyan yang menguar
dari anglo.
Turun-turun sintren, sintrene widodari
Nemu kembang yun-ayunan
Nemu kembang yun-ayunan
Kembang si jaya indra
Widodari temurunan
Kang manjing ning awak sira
Nemu kembang yun-ayunan
Nemu kembang yun-ayunan
Kembang si jaya indra
Widodari temurunan
Kang manjing ning awak sira
....
kembang
kates gandul
pinggire kembang kenanga
kembang kates gandul
pinggirekembang kenanga
pinggire kembang kenanga
kembang kates gandul
pinggirekembang kenanga
arep ngalor arep ngidul
wis mana gageya lunga
wis mana gageya lunga
....
kembang kilaras
di tandur tengae ngalas
kembang kilaras
ditandur tengae ngalas
paman bibi aja maras
dalang sintren jaluk waras
di tandur tengae ngalas
kembang kilaras
ditandur tengae ngalas
paman bibi aja maras
dalang sintren jaluk waras
Roh
Dewi Sulasih pergi. Kini, kau seutuhnya adalah Sekar.
*
Pagi
ini, alam berkabung. Langit kelabu berkerudung mendung. Kurasai hatimu bercadar
kabut. Pekat. Tapi, kau masih saja memanjangkan harap dengan tanya yang
mengarat. Pula menambahi hatimu sekarat.
“Semalam,
kau tak melihat lelakiku?”
“Aku
tak melihatnya!”
“Tak
apa. Masih ada pertunjukan sintren berikutnya.”
"Cukup, Sekar! Cukup! Mau berapa
lama lagi kau mencabiki hatimu sendiri?"
Cerambuk petir berpendar-pendar. Guntur menggelegar. Langit menitikkan kemilau. Renyai lantas menderas.
“Kau bukan Sulasih! Dia
bukan Sulandono! Lelaki itu berkabar pun tidak! Rimbanya
saja tak tahu di mana! Entah di dataran mana cendekiawan itu tinggal!”
Aku memberang. Bara amarah
bermuntahan dari
kata-kataku. Menyala-nyala. Kebencianku pada para
lelaki pengebiri janji
sedemikian mengesumat.
“Ia hanya lelaki yang
singgah dan pergi sekehendak nafsunya! Ia tebar bujuk rayu dan janji-janji di
dadamu untuk kemudian ia kebiri sekendak hati! Di kepalanya, nafsu lebih
menggoda dari dosa! Kau tak lebih dari sekadar kesenangan sesaat! Tak mengertikah
kau keluguanmu sendiri?! Kau tujuh belas, dia dua puluh tujuh!”
Kau
terduduk lemas. Tubuhmu gemetar. Kau memegangi perutmu. Perut yang akan
membesar seiring bertambahnya bulan dan tak bisa kau sembunyikan lagi.
“Lalu,
bagaimana? Bagaimana caraku menemukannya?”
Separuh diriku meremuk,
terlumat perih. Sungguh, melihat kau begini, bagai merasai
bayangan ibu belasan tahun silam. Bedanya, ibu menghadapi ini sendirian.
Seberdarah inikah rasanya, Bu? Kebanyakan isi kepala manusia
memasung perempuan beraib dalam kenistaan yang abadi meski lelaki-lelaki itu yang
mengubah suci menjadi aib. Sementara, lelaki-lelaki itu sanggup meniadakan ciri
aib yang menandai mereka. Lelaki-lelaki itu bisa memilih perempuan suci yang
lebih berkilau dari aib yang mereka perbuat. Namun tidak
bagi perempuan. Aib lebih keras menempatkan perempuan pada cibiran dan cemoohan.
Menyurukkannya pada ceruk tergelap yang semanusia pun tak sudi mengulurkan
tangan. Inikah keadilan, Bu? Ataukah keadilan hanya milik lelaki-lelaki itu?
Kepalamu masih kulihat tertunduk.
Gigitan bibirmu keras mengekang getar. Namun, pada akhirnya, kepedihan mengikis
pertahananmu hingga habis. Tegarmu hilang. Menyisa rapuh. Kau benamkan wajah kuyumu
ke pangkuanku. Isak tangismu pecah.
“Ada aku, Sekar. Kau tak
akan sendirian. Ada aku."
Hatiku terajam pilu. Mendera-dera.
Luruh embun di mataku.Tercecap asin di bibir.
Ada kebencian, yang ingin kuhapuskan
dari penggalan cerita yang dibawa hujan. Hujan milik ibu dan milik Sekar. Hujan ketika bulan tak memerah. Hujan
ketika aku mempertanyakan keberpihakan keadilan
pada perempuan.
Kebencian yang ingin
kugantikan dengan sebuah janji: merangkulkan
tangan dan memberikan perempuan yang bernasib
seperti ibu dan Sekar sebuah rumah bernama penerimaan.
*
[1]http://www.rayakultura.net/hujan-ketika-bulan-tak-memerah-karya-vinny-erika-putri/
[2]Acara berdoa
bersama-sama diiringi membakar kemenyan dengan tujuan memohon perlindungan kepada Tuhan agar selama
pertunjukan terhindar dari mara bahaya.
[3]Dayang
[4]Vokalis
[5]Penabuh gamelan
[6]Ritual pemanggilan hujan yang dilakukan oleh
orang-orang Plana, Banyumas, ketika tertimpa kemarau panjang
[7]Baju tanpa lengan yang biasa dipergunakan
dalam tari golek
[8]Celana tiga perempat yang panjangnya hanya
sampai lutut
[9]Kain model busana wanita jawa
[10]Batik mega mendung adalah corak
batik khas daerah Cirebon
[11]Sehelai/selembar selendang yang
dililitkan di pinggang dan diletakkan di samping kiri-kanan kemudianditutup sabuk, atau diletakkan di depan
[12]Hiasan
yang dipakai dikepala dengan untaian bunga melati di samping kanan dan kiri
telinga sebagai koncer
[13]Pelawak
[14]Prosesi dimana saat penari sintren
sedang menari, penonton diperbolehkan melempar sesuatu ke si penari sintren
[15]Tembang
untuk permohonan maaf kepada sintren yang pingsan karena marah atau tidak
berkenan hatinya
[16]Prosesi
ketika penari sintren dengan tampah atau nampan mendekati penonton untuk
meminta tanda terima kasih berupa uang
ala kadarnya
_________________________
* Cerpen ini masuk dalam kategori 6 pemenang karya unggulan Lomba Menulis Cerpen Obor Award 2