Wahai Dunia ... tahukah kau, bagaimana aku memandangmu sampai dengan saat ini?
Kau bukan sekutu yang mesti kuakrabi. Kau bukan musuh yang harus kutakuti. Kau bukan karib kerabat yang bisa kupercayai. Kau bukan kembaran jiwa yang layak kucinta-kasihi.
Kau candu memabukkan untuk jiwa-jiwa yang kering kerontang akan harta, tahta dan seksualitas. Kau memperlihatkan ironi kehidupan manusia. Kau menantang milyaran manusia dengan siklus kematian-kebangkitan jiwa secara berulang lewat bermacam penderitaan yang kau suguhkan untuk mereka pilih-hadapi-jalani. Kau melakukan kesemuanya hanya untuk memberikan ruang kebencian dan cinta kasih berpeluang sama besarnya untuk tersebar di muka bumi. Kau membentuk manusia berkelompok-kelompok dengan segala dualitas dan hukum kausalitasnya.
Lantas, bagaimana kau memandangku sampai dengan saat ini, Wahai Dunia?
Sekutu yang layak kau kumpulkan bersama orang-orang yang memujamu? Musuh yang ingin kau satukan dalam barisan kelompok manusia yang membencimu? Karib kerabat yang kau percayai mampu berjalan selaras dengan dualitas hitam-putih sisi manusia? Belahan jiwa yang ingin kau rangkul dengan cinta kasih untuk menetralkan segala sumber kausalitas penderitaan hidup manusia?
Bagaimana cara kita saling memandang, Wahai Dunia?
Sampai saat ini, aku masih seorang pengembara sunyi dalam dimensimu yang tak tahu dimana letak horizon kita. Horizon yang memperlihatkan titik temu soal bagaimana cara kita saling memandang. Aku, seperti entitas yang mengalami keterpisahan eksistensial darimu dan memiliki cakrawala pandangnya sendiri.
-Vinny Erika Putri, 10.07.22