Entah berapa malam yang berkesudah, sang
gadis memagut lengkung sabit dalam jejaring pandangnya di malam kesunyian yang diakrabinya.
Telah lama ia mengemas gelinang air mata menjadi cinta. Dan membiarkan sepi
kehilangan pedihnya. Pun hatinya yang gerhana mampu memahami luka hingga perih yang
umpama bilah pisau itu tak lagi dirasainya tajam.
Lalu,
purnama kembali datang.
Bersama
lelaki angin, menelisik geriak rasa di kedalaman hatinya.
Perlahan-lahan
kesunyiannya terusik.
*
Lelaki
Angin
Lelaki angin itu pencuri hatinya.
Menguarkan rasa yang pernah gadis itu pusarakan sebelum kedatangannya. Dipusarakan
oleh sebab luka yang pernah didapati dari lelaki pendahulunya. Setelahnya, keberadaan
lelaki itu umpama purnama yang menenggelamkan sabit.
Seiring
detak waktu yang bergulir, sang gadis kian hanyut meresapi keberadaannya. Lalu,
ia mendapati kidung puisinya kembali mendendang rekah cinta yang telah lama melayu.
Kidung yang mengajarinya detak jantung baru. Dari lelaki kedua yang datang laksana
lesir angin malam.
Datang
tiba-tiba. Menyelinap diam-diam. Merasuk pelan-pelan. Dan tanpa ia sadari, bersarang
dalam-dalam di hatinya merupa sebentuk rasa yang dikenalinya cinta. Lebih dari cinta
yang pernah ia kecap sebelumnya.
Lantas,
yang dinamainya jalinan pun ia kantih bersama sang lelaki. Dengan raga yang
nyaris tak kehilangan temunya di tiap masa yang mereka pintal. Hingga suatu
ketika, jarak dan waktu membatasi mereka dalam rekat raga. Demi sebuah
penghidupan yang layak di masa depan, sang lelaki menerbangkan asa di kota
orang.
*
Kidung
Kerinduan
Semenjak
jarak dan waktu merentangi raga sang lelaki dari jerat jejala retinanya, ia tak
pernah memejam rindu. Layaknya udara yang menghidupi peparunya. Sekalipun ia
hembus, pada akhirnya, ia hirup kembali. Selalu berulang, tak berkeakhiran.
Barangkali, rindu membuatnya mengerti
mengapa waktu dan jarak tercipta. Sebab dahulu, di kisah kasih sebelum ini,
jarak dan waktu terus berpihak padanya.
Semalam-malam, ia tak pernah
berhenti merangkai berlarik-larik syair berpuja cinta yang ia seduh bersama
suara sang lelaki di kejauhan sana. Suara yang mampu membasuh rindunya. Suara
yang merupa genggam tangan sang lelaki. Merupa lengan yang merengkuhi tubuh
sang gadis.
Seringkali
matanya basah kala suara lelaki menggeletar buluh-buluh perindu di hatinya. Matanya
basah, sebab berharap-harap dekap raga menjelma. Sementara, waktu yang dihidupi
sang lelaki terlampau pepat dengan kesibukan hingga kerap kali membuat secercah
asa temu yang diingininya menjadi penantian. Entah seberapa banyak penantian
itu telah ia telimpuhi dengan selaksa rindu mendendam.
Selaksa
rindu mendedam yang hanya bisa ia tumpah dalam bebait kidung kerinduan ketika
semasa penantian.
*
Purnama
Membelah
Sang gadis dan sang lelaki hidup
mengekor detak waktu. Jalinan yang mereka sulam menjelang berbilang dua tahun. Cinta
sang gadis berbanding lurus selaju dengan perjalanan waktu; kian meriap
mengakar. Dan kesetiaan pada cinta telah meliliti hatinya dalam kelindan penantian.
Sayang
seribu sayang, ternyata, cinta sang lelaki hanya selarap jarak. Nun jauh di
sana, diam-diam ia bermain api. Entah sejak kapan. Hingga akhirnya, ia habis terbakar
oleh api yang diciptakannya sendiri. Lalu, keberadaan sang gadis menjadi tiada
di lekap pikirannya.
Telah
lama sang gadis menyadari. Sejak suara sang lelaki mulai jarang menghalwa di
telinga. Perlahan-lahan, geliat perubahan menampak. Yang diyakininya insting menggetap,
sekalipun raga sang lelaki tak mengada dalam tangkapan matanya. Sebab, di masa
sebelumnya, sang gadis pernah mengalami cecap luka. Hingga tak muskil baginya
mengenali sirat makna dari gelagat perubahan sang lelaki.
Bangkai
yang disembunyikan sang lelaki telah ia endus kuat-kuat aromanya. Ia kuak
bangkai itu, namun sang lelaki berkilah. Hanya wanita yang adalah biang onak, hadir
dalam rupa suara. Secara terang merenggut apa yang telah menjadi bagian dari
diri sang gadis. Sedangkan sang lelaki hanya membisu, berlindung di balik
ketiak sang onak.
Lagi,
jalinan retas. Musabab perkara yang sama; setia hilang, hati diduai. Rupa lelakinya
yang membedakan. Kali ini lelaki angin. Yang datangnya bagai angin. Pun
perginya.
Kemudian,
didapatinya purnama membelah menjadi dua bagian. Dan separonya melenyap. Masih
inginkah ia menatapi purnama sementara hatinya telah pintang separo dikerat
luka akibat lelaku sang lelaki? Padahal baginya, purnama adalah dua yang satu.
Dua belahan hati yang menyatu.
*
Kidung
Duka
Cinta sang gadis meremuk. Repih
berkecai-kecai. Dan serpihan-serpihan itu kembali melukai hatinya. Serupa mengulang
kembali memorabilia luka yang pernah dikecapnya di masa silam sebelum ini. Ia
kehilangan lengkung senyumnya
Setiap
malam, kepingan-kepingan bayang wajah sang
lelaki memancar di mana-mana. Di dinding-dinding kamar yang dingin, di pintu
kamar, di lemari pakaian, di langit-langit atap, di cermin rias, di hamparan
langit malam, kecuali kala langit purnama. Ia memunggungi purnama sejak purnama
berwujud separo.
Sang
gadis acapkali memporak-porandakan waktu. Ia tak pernah berjalan maju. Sebab
udara yang ia hela bersama eja lukanya adalah masa lalu dimana kilatan-kilatan tilas
kenangan bersama sang lelaki itu menggertir. Nyalang menelanjangi perih hatinya
hingga lekuk wajahnya habis dipelajari airmata.
Bilur
luka yang dahulunya telah mengatup, koyak kembali. Melimbungkan dirinya hingga
ke titik nadir. Luka itu seumpama lesit sebutir peluru dari senapan yang bersarang
di dadanya terlalu dalam. Darahnya ruah bercucuran. Butuh siasat dan keberanian
untuk menukil peluru itu dengan jemarinya sendiri. Dan saat itulah masa-masa
sulit kembali membebatnya.
Entah seberapa lama pedih bercampur
serangsang amarah ia timpakan pada luka yang melintari kalbunya. Hatinya tak
lagi larat memahami keberadaan luka. Akibatnya, luka itu kembali dirasainya
laksana pisau tajam yang mengiris nadi hidupnya. Pun solilokuinya tak lagi melengkingkan
asmaraloka dua insan. Hanya mengisah getir luka.
Dengan hati yang tergenggam luka lebam
Dan kurasai perihnya tak pernah
memejam
Aku berjalan mengkhianati waktu
Menghela
detaknya yang telah lampau terketuk palu
Kidung duka ....
Mengapa tak mampu lagi kunikmati gurat
luka?
Ketika memorabilia tilas kenangan mengiris
nadi
Dan
menyesap waktu mundur dari waktu yang kupijaki
Mengapa kini kubenci yang dinamai
airmata?
Ajari aku kembali pada suatu masa
sebelum ini
Kala selaksa luka kulumati bukan
sebagai pedih derita
Kala
sepi telah kehilangan pedihnya yang tiada berperi
Kidung duka ....
Biarkan kumencintai airmata saja
Bersama pesta-pora malam-malam
kesunyian
Hingga
luka bisa kembali kukaribi bersama tawa
*
Purnama
yang Disulih Sabit
Entah telah berapa malam rebah purnama di
langit, sang gadis punggungi. Rupa purnama yang bertemaram bulat sempurna, benar-benar
telah meniada dipikirannya. Sebab baginya wujud purnama masih sama; menjadi
separo.
Perlahan,
fase purnama disulih sabit. Sabit yang fasenya serupa gerhana purnama yang nyaris
melesapkan seluruh temaramnya. Menyisa selengkung cahaya. Lengkung yang bagi
sang gadis merupa senyum langit malam kepadanya.
Berkawan lengkung sabit, ia kembali meleburi diri bersama malam-malam
kesunyian. Seperti kala ia merahim pada airmata dan mengemasnya menjadi cinta. Pun
membuat sepi telah kehilangan pedihnya. Hingga luka mampu ia akrabi dengan
sungging senyum.
*
Cerpen ini menjadi salah satu nominator kumcer "Solilokui Kenangan", terbitan HAEM Publishing.