Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Rabu, 25 Desember 2013

Purnama yang Disulih Sabit


Purnama

Entah berapa malam yang berkesudah, sang gadis memagut lengkung sabit dalam jejaring pandangnya di malam kesunyian yang diakrabinya. Telah lama ia mengemas gelinang air mata menjadi cinta. Dan membiarkan sepi kehilangan pedihnya. Pun hatinya yang gerhana mampu memahami luka hingga perih yang umpama bilah pisau itu tak lagi dirasainya tajam.

Lalu, purnama kembali datang.
Bersama lelaki angin, menelisik geriak rasa di kedalaman hatinya.
Perlahan-lahan kesunyiannya terusik.

*

Lelaki Angin

Lelaki angin itu pencuri hatinya. Menguarkan rasa yang pernah gadis itu pusarakan sebelum kedatangannya. Dipusarakan oleh sebab luka yang pernah didapati dari lelaki pendahulunya. Setelahnya, keberadaan lelaki itu umpama purnama yang menenggelamkan sabit.

Seiring detak waktu yang bergulir, sang gadis kian hanyut meresapi keberadaannya. Lalu, ia mendapati kidung puisinya kembali mendendang rekah cinta yang telah lama melayu. Kidung yang mengajarinya detak jantung baru. Dari lelaki kedua yang datang laksana lesir angin malam.

Datang tiba-tiba. Menyelinap diam-diam. Merasuk pelan-pelan. Dan tanpa ia sadari, bersarang dalam-dalam di hatinya merupa sebentuk rasa yang dikenalinya cinta. Lebih dari cinta yang pernah ia kecap sebelumnya.

Lantas, yang dinamainya jalinan pun ia kantih bersama sang lelaki. Dengan raga yang nyaris tak kehilangan temunya di tiap masa yang mereka pintal. Hingga suatu ketika, jarak dan waktu membatasi mereka dalam rekat raga. Demi sebuah penghidupan yang layak di masa depan, sang lelaki menerbangkan asa di kota orang.

*

Kidung Kerinduan

Semenjak jarak dan waktu merentangi raga sang lelaki dari jerat jejala retinanya, ia tak pernah memejam rindu. Layaknya udara yang menghidupi peparunya. Sekalipun ia hembus, pada akhirnya, ia hirup kembali. Selalu berulang, tak berkeakhiran.

Barangkali, rindu membuatnya mengerti mengapa waktu dan jarak tercipta. Sebab dahulu, di kisah kasih sebelum ini, jarak dan waktu terus berpihak padanya.

Semalam-malam, ia tak pernah berhenti merangkai berlarik-larik syair berpuja cinta yang ia seduh bersama suara sang lelaki di kejauhan sana. Suara yang mampu membasuh rindunya. Suara yang merupa genggam tangan sang lelaki. Merupa lengan yang merengkuhi tubuh sang gadis.

Seringkali matanya basah kala suara lelaki menggeletar buluh-buluh perindu di hatinya. Matanya basah, sebab berharap-harap dekap raga menjelma. Sementara, waktu yang dihidupi sang lelaki terlampau pepat dengan kesibukan hingga kerap kali membuat secercah asa temu yang diingininya menjadi penantian. Entah seberapa banyak penantian itu telah ia telimpuhi dengan selaksa rindu mendendam.

Selaksa rindu mendedam yang hanya bisa ia tumpah dalam bebait kidung kerinduan ketika semasa penantian.

*

Purnama Membelah

Sang gadis dan sang lelaki hidup mengekor detak waktu. Jalinan yang mereka sulam menjelang berbilang dua tahun. Cinta sang gadis berbanding lurus selaju dengan perjalanan waktu; kian meriap mengakar. Dan kesetiaan pada cinta telah meliliti hatinya dalam kelindan penantian.

Sayang seribu sayang, ternyata, cinta sang lelaki hanya selarap jarak. Nun jauh di sana, diam-diam ia bermain api. Entah sejak kapan. Hingga akhirnya, ia habis terbakar oleh api yang diciptakannya sendiri. Lalu, keberadaan sang gadis menjadi tiada di lekap pikirannya.

Telah lama sang gadis menyadari. Sejak suara sang lelaki mulai jarang menghalwa di telinga. Perlahan-lahan, geliat perubahan menampak. Yang diyakininya insting menggetap, sekalipun raga sang lelaki tak mengada dalam tangkapan matanya. Sebab, di masa sebelumnya, sang gadis pernah mengalami cecap luka. Hingga tak muskil baginya mengenali sirat makna dari gelagat perubahan sang lelaki.

Bangkai yang disembunyikan sang lelaki telah ia endus kuat-kuat aromanya. Ia kuak bangkai itu, namun sang lelaki berkilah. Hanya wanita yang adalah biang onak, hadir dalam rupa suara. Secara terang merenggut apa yang telah menjadi bagian dari diri sang gadis. Sedangkan sang lelaki hanya membisu, berlindung di balik ketiak sang onak.

Lagi, jalinan retas. Musabab perkara yang sama; setia hilang, hati diduai. Rupa lelakinya yang membedakan. Kali ini lelaki angin. Yang datangnya bagai angin. Pun perginya.

Kemudian, didapatinya purnama membelah menjadi dua bagian. Dan separonya melenyap. Masih inginkah ia menatapi purnama sementara hatinya telah pintang separo dikerat luka akibat lelaku sang lelaki? Padahal baginya, purnama adalah dua yang satu. Dua belahan hati yang menyatu.

*

Kidung Duka

Cinta sang gadis meremuk. Repih berkecai-kecai. Dan serpihan-serpihan itu kembali melukai hatinya. Serupa mengulang kembali memorabilia luka yang pernah dikecapnya di masa silam sebelum ini. Ia kehilangan lengkung senyumnya

Setiap malam, kepingan-kepingan bayang wajah sang lelaki memancar di mana-mana. Di dinding-dinding kamar yang dingin, di pintu kamar, di lemari pakaian, di langit-langit atap, di cermin rias, di hamparan langit malam, kecuali kala langit purnama. Ia memunggungi purnama sejak purnama berwujud separo.

Sang gadis acapkali memporak-porandakan waktu. Ia tak pernah berjalan maju. Sebab udara yang ia hela bersama eja lukanya adalah masa lalu dimana kilatan-kilatan tilas kenangan bersama sang lelaki itu menggertir. Nyalang menelanjangi perih hatinya hingga lekuk wajahnya habis dipelajari airmata. 

Bilur luka yang dahulunya telah mengatup, koyak kembali. Melimbungkan dirinya hingga ke titik nadir. Luka itu seumpama lesit sebutir peluru dari senapan yang bersarang di dadanya terlalu dalam. Darahnya ruah bercucuran. Butuh siasat dan keberanian untuk menukil peluru itu dengan jemarinya sendiri. Dan saat itulah masa-masa sulit kembali membebatnya.

Entah seberapa lama pedih bercampur serangsang amarah ia timpakan pada luka yang melintari kalbunya. Hatinya tak lagi larat memahami keberadaan luka. Akibatnya, luka itu kembali dirasainya laksana pisau tajam yang mengiris nadi hidupnya. Pun solilokuinya tak lagi melengkingkan asmaraloka dua insan. Hanya mengisah getir luka.

Dengan hati yang tergenggam luka lebam 
Dan kurasai perihnya tak pernah memejam
Aku berjalan mengkhianati waktu
Menghela detaknya yang telah lampau terketuk palu

Kidung duka ....
Mengapa tak mampu lagi kunikmati gurat luka?
Ketika memorabilia tilas kenangan mengiris nadi
Dan menyesap waktu mundur dari waktu yang kupijaki

Mengapa kini kubenci yang dinamai airmata?
Ajari aku kembali pada suatu masa sebelum ini
Kala selaksa luka kulumati bukan sebagai pedih derita
Kala sepi telah kehilangan pedihnya yang tiada berperi


Kidung duka ....
Biarkan kumencintai airmata saja
Bersama pesta-pora malam-malam kesunyian
Hingga luka bisa kembali kukaribi bersama tawa

*

Purnama yang Disulih Sabit

Entah telah berapa malam rebah purnama di langit, sang gadis punggungi. Rupa purnama yang bertemaram bulat sempurna, benar-benar telah meniada dipikirannya. Sebab baginya wujud purnama masih sama; menjadi separo.

Perlahan, fase purnama disulih sabit. Sabit yang fasenya serupa gerhana purnama yang nyaris melesapkan seluruh temaramnya. Menyisa selengkung cahaya. Lengkung yang bagi sang gadis merupa senyum langit malam kepadanya.

Berkawan lengkung sabit, ia kembali meleburi diri bersama malam-malam kesunyian. Seperti kala ia merahim pada airmata dan mengemasnya menjadi cinta. Pun membuat sepi telah kehilangan pedihnya. Hingga luka mampu ia akrabi dengan sungging senyum.

*

Cerpen ini menjadi salah satu nominator kumcer "Solilokui Kenangan", terbitan HAEM Publishing.

Yang Kukatakan pada Dingin Malam ini


Pada dingin malam ini, kukatakan... jangan beranjak. Temaniku bersama detik yang tak pernah membatu.

Pada dingin malam ini, kukatakan... rayulah gerimis agar kembali bertandang mendekap bumi seperti sore tadi. Biarkan aroma tanah basah menimangku dalam jernih pikiran. Mengusir jenuh yang mendera-dera.

Pada dingin malam ini, kukatakan... bekukanlah kesunyian dalam aliran bulir-bulir waktu. Biarkan kubercakap-cakap dengan suara-suara diri dalam tenang yang panjang.

Pada dingin malam ini, kukatakan... ikutlah bersamaku, menjerit dalam kidung sesak penat. Berteriak pecahkan katarsis lewat serakan kata-kata.

Pada dingin malam ini, kukatakan... menyatulah bersamaku, masukilah aliran napasku melalui butir-butir udara yang kusesap dalam-dalam. Biarkan sesak dan penat ini merepih dan menjelma debu lantas lesap menguap.

Pada dingin malam ini, kukatakan... esok, ketika pekat langit menenggelamkan senja, tetaplah seperti ini. Sebab adamu yang mengkaribi malam, membuat sunyiku kian berkilau. Pula rasa yang kusembunyikan terlihat begitu jelas.

-Vinny Erika Putri, 26.12.13